Buku “Melampaui Pluralisme: Etika alquran tentang Keanekaragaman Agama”” ditulis oleh Hendar Riyadi, dicetak oleh RMBooks & PSAP Januari 2007. Dalam kata pengantarnya, Professor Dr. Komarudin Hidayat menulis bahwa buku ini merupakan sebuah ijtihad untuk menciptakan hubungan yang konstruktif antarumat beragama yang selalu menyimpan potensi konflik. Di tengah-tengah era dimana konflik antar umat beragama semakin meningkat, yang bisa membahayakan integrasi negara, buku semacam ini sangatlah dibutuhkan.
Indonesia merupakan sebuah negara yang mengakui keberagaman agama yang dianut oleh pare penduduknya, paling tidak ada 6 agama: Islam dengan pengikut terbesar, kemudian Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Toleransi yang digembar-gemborkan harus diakui bahwa hal tersebut tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Contoh terburuk dari ketidaktoleran ini bisa kita sebutkan sebagai konflik di Ambon beberapa tahun lalu, juga di Poso, dan di beberapa tempat lain. Jika memang semangat toleransi itu ada di dalam hati setiap warga negara Indonesia, dimanapun mereka berada, tidak akan mudah para provokator merasuki cara berpikir orang-orang dan menyebabkan konflik berdarah karea perbedaan agama.
Orang-orang yang sulit mempraktekkan toleransi itu tentu karena mereka yakin bahwa apa yang dituliskan di dalam kitab suci yang mereka percayai benar—bahwa hanya agama merekalah yang benar. Untuk itulah, untuk menumbuhkan semagat toleransi, harus ada cara baru dalam membaca dan memahami ayat-ayat kitab suci. Semangat inilah yang mendasari Hendar Riyadi melakukan riset dan menghasilkan buku “Melampaui Pluralisme”.
Untuk menghasilkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang inklusif, Hendar Riyadi menawarkan metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh para ahli tafsir klasik: metode penafsiran yang integratif. Metode ini didasarkan pada beberapa teori penafsiran. Baik yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam maupun yang berkembang dalam tradisi teori hermeneutika kontemporer. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah Alquran harus dibaca secara utuh, secara totalitas, dan bukan sebagian-sebagian.
Selain metodologi, Hendar Riyadi juga menawarkan untuk menggunakan perspektif yang berbeda: perspektif etika relijius. Etika relijius yang dimaksudkan di sini adalah pertimbangan-pertimbangan atau keputusan-keputusan moral yang didasarkan pada pandangan dunia Alquran , konsep-konsep teologis, serta kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal merujuk pada etika sufistik.
Dalam postingan sebelum ini, yang berjudul ‘Toleransi’ dan ‘Toleransi 2’ aku telah menyebut beberapa bagian buku ini. Bagi pengunjung blogku, bisa juga membaca ulasanku tentang buku yang sama di alamat berikut ini:
http://afeministblog.blogspot.com/2007/05/going-beyond-pluralism.html
Terima kasih.
LL 18.01 010907
Saya baru saja tadi ke pameran buku islam dan saya minta teman saya beli buku itu. Kemudian saya buka blog dan ketemu tulisan ini. Jadi bolehlah saya mampir sejenak.
BalasHapusSaya ada beberapa pertanyaan,
1. Saya pikir mengganggap agama kita (saya ISLAM) paling benar adalah hal yg wajib dan sah sah saja. Meskipun saya juga tidak yakin apakah dengan mengklaim benar kemudian serta merta tidak bertoleran kepada agama yang lainnya. Berpegang pada agama yang dianut is a must, kudu, harus bahkan wajib. Yang kemudian praktek ini tdk serta merta membuat seseorang menjadi anti toleransi. Wallahua'lam.
Ya lihat saja dari pengalaman sendiri apakah menganggap agama kita paling benar akan mengakibatkan kita menjadi tidak toleransi kepada yang lain. Masing-masing dari kita tentu memiliki pengalaman yang berbeda. Dan akan lebih baik jika kita saling berbagi pengalaman itu dengan yang lain. Whaddayathink?
BalasHapusYang justru dibangun adalah kesadaran bahwa beragama itu penting dan mempertahankan kebenaran agamanya itu juga penting. Agar setiap insan beragama tidak limbung, bingung dengan pegangan dia. dan menghindari kemungkinan justru kemudian atas nama toleransi menjadi kebingungan menjalankan agamanya dan ragu dengan keyakinannya. :)
BalasHapus'kesadaran bahwa beragama itu penting dan mempertahankan kebenaran agamanya itu juga penting'
BalasHapustidak semua orang memerlukan agama. semua kembali kepada individu. di Indonesia dikondisikan bila tidak beragama = komunis, padahal tidak ada hubungannya.
bagaimana kita mempertahankan sesuai sebagai satu satunya kebenaran (dan yg tidak seiman adalah salah) bila pembuktiannya hanya (mungkin) terjadi bila kita sudah mati nanti?
selain itu bagaimana kita bisa menjamin apa yg kita tau sekarang itu sama persis seperti ketika 'agama turun' yg ribuan tahun yg lalu pada kondisi yg jauh berbeda.
bagaimana orang selalu mengatasnamakan Tuhan demi kepentingan masing2 sehingga bila ada yg tidak setuju artinya anti Tuhan/agama? Jadi kebenaran yg mana?
Buat Burhan, jawabanku atas komentarmu yang kedua kutulis di post yang kuberi judul "AGAMA KEMANUSIAAN".
BalasHapusBuat 'anonim', thanks a million for the support. Apparently we share the same opinion. :)
apa yg saya kemukakan adalah ketika saya dan Anda beragama. Mengimani apa yg dijarakan agama itu dan mencoba menjadi insan beragama. jadi kalau mas anonim tidak beragama berarti memang mas anonim tidak berhak mengklaim kebenaran apa2.
BalasHapusApa maksudnya 'ketika saya dan Anda beragama'?
BalasHapusMemangnya kadang2 tidak beragama?
Kalau Anda mau mengimani ajaran Agama Anda, ya silahkan saja, itu bagus.
Tapi kalau karena Anda beragama dan bilang orang lain yang (mungkin) tidak beragama 'Tidak berhak mengklaim kebenaran apa-apa'
Itu namanya salah kaprah.
Orang yang mengaku beragama tetapi menghakimi orang yang tidak beragama atau beragama lain sebagai 'tidak berhak atas kebenaran apa-apa' sesungguhnya adalah oang yang tidak mengerti Agamanya. Masih cetek pengetahuan agamanya.
Anda berbicara atas pendapat pribadi Anda, jangan sekali-kali mengatas namakan agama Anda, itu namanya merendahkan Islam.
Ingat, akal budi juga pemberian Tuhan, itu untuk dipakai baik-baik sebijak mungkin, bukan hanya untuk menelan doktrin-doktrin tanpa dicerna.
a
saya bingung darimana burhan berkesimpulan kalau anonim #1 tidak beragama. itu namanya kesimpulannya loncat.
BalasHapussebetulnya kebenaran apa sih yg tidak bisa diklaim oleh mereka yg tidak beragama dan apa yg bisa diklaim oleh mereka yg beragama?
mungkin baiknya: mengaggap agama yg individu anut sebagai yg terbaik bagi dirinya, krn belum tentu agama tersebut paling baik/benar/whatever bagi orang lain.