Cari

Sabtu, September 22, 2007

My Spiritual Journey



Berikut adalah salah satu point obrolan antara Ade Armando dan Ulil Abshar Abdalla yang beredar di milis JIL beberapa waktu lalu.

 

AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler

Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.

 

Apapun istilah yang digunakan oleh Ulil ‘semakin mengapresiasi’ ataukah yang lain, namun pada prinsipnya aku setuju dengan kata yang digunakan oleh Ade Armando: ‘semakin sekuler’.

 

Perjalanan spiritual yang mungkin agak mirip terjadi padaku beberapa tahun lalu (bukannya aku ingin sok agar ikut terkenal seperti Ulil nih. LOL.) yakni tatkala aku mulai kuliah di American Studies UGM, mengambil jurusan ‘American Literature and Culture’. Satu hal yang bagiku menggelikan tatkala aku membaca tulisan William Bradford bahwa orang-orang Amerika adalah “the chosen people”, sedangkan John Winthrop dalam pidatonya “A Model of Christian Charity” mengatakan bahwa bangsa Amerika telah dipilih oleh Tuhan untuk membangun “the city upon a hill” yang akan memimpin dunia. Bradford dan Winthrop adalah dua imigran dari Inggris di awal abad ke 17.

 

Mengapa menggelikan bagiku? Aku ingat diskusi ‘panas’ antara aku dan Rick, my special Californian chat friend beberapa tahun sebelumnya. Rick menganggap keyakinanku sebagai ‘the chosen person’ karena aku adalah seorang Muslim menggelikan. “Would you be a Muslim if you had been born here, in America?” tanyanya. Bagaimana mungkin orang Amerika yang dikenal sebagai pemuja hedonisme adalah ‘the chosen people’ yang dipilih Tuhan untuk membangun satu negara untuk memimpin dunia?

 

Tepat tatkala aku merasa ‘geli’ dengan tulisan Bradford dan Winthrop, aku ingat Rick yang juga menganggap keyakinanku menggelikan. What is the difference? Pertama kali aku mendapatkan kesadaran bahwa agama yang kuyakini sejak lahir adalah agama yang paling sempurna, yang berarti tidak ada cacatnya sama sekali, yang harus pula diyakini oleh seluruh manusia di seluruh kolong langit adalah sesuatu yang berangkat dari cara berpikir yang sangat sempit.

 

Kesadaran awal ini menjadi pijakan bagiku untuk ‘membangun’ cara berpikir baru yang bagiku membuatku justru merasa lebih manusiawi, menghormati keyakinan yang berbeda dariku, dan mempraktekkan toleransi dengan sebagaimana mestinya.

 

Berkenalan dengan ideologi feminisme dan membaca buku-buku feminisme yang ditulis berangkat dari kerangka cara berpikir orang Islam semakin meyakinkanku bahwa tidak ada kebenaran absolut akan satu keyakinan. Membaca interpretasi-interpretasi ‘baru’ atas ayat-ayat Alquran menyadarkanku bahwa ajaran ‘Alquran tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat nanti karena akan selalu dijaga oleh Allah’ tidak berarti sama dengan ‘tafsir-tafsir Alquran yang telah dibuat oleh para mufassir selama ini tidak mungkin salah’.

 

Jika waktu aku kuliah, mendapati bagaimana orang-orang di zaman dulu yang tidak memahami bahasa Latin maupun Ibrani kemudian bertumpu kepada para pendeta maupun pastor untuk memahami Alkitab adalah sesuatu hal yang ‘menggelikan’ pula (waktu kuliah aku geli melulu nih? LOL), bukankah ternyata aku dan sebagian besar orang Islam di Indonesia ini melakukan hal yang sama? Bertumpu pada tafsir-tafsir yang telah dibuat oleh para mufassir untuk memahami ayat-ayat Alquran. Repot belajar bahasa Arab sendiri. Dan tatkala membaca terjemahan Alquran, berdasarkan teori THE ACT OF READING yang kupelajari, selalu ada kemungkinan terjemahan Alquran itu telah dimasuki oleh cara berpikir sang penerjemah. (Untuk ini, Fatima Mernissi dan Riffat Hassan telah menulis sebuah buku yang berjudul SETARA DI HADAPAN ALLAH (terjemahan) yang mengupas habis satu ayat (saja) untuk menyampaikan bahwa cara menafsirkan satu ayat yang dilatarbelakangi oleh misoginis akan menghasilkan tafsir perempuan sebagai the second sex. Lepas dari misoginis, ayat yang sama akan menghasilkan tafsir yang berbeda.)

 

Tatkala ada orang bertanya kepadaku, “How could your study change you radically?”

 

Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin aku bisa menyitir apa yang dikatakan oleh Ulil yang berhubungan dengan Al Ghazali yang banyak orang kenal sebagai anti filsafat,

 

AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?

 

Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. 

 

Dulu saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak akan saya baca. Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.

 

Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang. Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya, saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini. Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.

 

AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim saat ini.

 

Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dengan keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu ketabahan sendiri untuk mempelajarinya. Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.

 

 

Jika aku mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Professor Chamamah, dosen ‘Teori Sastra’, tatkala seseorang menganalisis satu karya sastra, dia akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan the knowledge he/she stores in his/her brain. Jika boleh kutambahkan lagi, ‘waktu yang tepat’.

 

Hasilnya? Nana yang sekuler. Atau seperti kata yang digunakan oleh Ulil, “Nana yang semakin mengapresiasi perbedaan yang ada di masyarakat”. Lebih lanjut tentang sekulerisme, Ulil mengatakan:

 

“Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas, Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical. Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum Islam sebagai minoritas itu penting sekali.”

 

Saat aku terheran-heran dengan seorang dosen senior—non Muslim—di sebuah universitas negeri di Semarang yang di mataku terlihat betapa sempit dia memandang perbedaan agama di lingkungan dia bekerja, padahal dia mendapatkan gelar doktornya di luar negeri, “Bagaimana mungkin seseorang yang bright seperti dia terlihat begitu picik dalam menyikapi dosen-dosen lain yang berbeda agama?” akhirnya aku harus kembali ke tiga hal penting yang kutulis di atas, “pengalaman hidup, knowledge she keeps in her brain, dan waktu yang tepat” tidak menghampirinya untuk menjadi seseorang yang broad-minded dan open-minded dalam hal agama.

 

Semua orang memang menjalani pengalaman hidup yang berbeda. Semua orang pun mengalami proses ‘renaissance’ yang berbeda pula.

 

PT56 22.15 210907

3 komentar:

  1. pernahkah kamu menjadi minoritas,Na? lebih dari separuh hidupku aku minoritas di lingkunganku, entah krn suku, gender, agama bahkan krn ketiganya.

    bisa jadi sikap/pandangan dosen non-muslim itu terbawa dari perbandingan antara saat dia di LN & di dalam negeri. karena terus terang saja, menurutku menjadi minoritas di Ind, lebih tidak enak daripada di luar negeri dan hal ini masih dibawa oleh warga Ind. ketika mereka berada di luar negeri.

    bayangkan sudah menjadi minoritas di negeri orang pun banyak yg masih mendiskriminasikan orang lain yg sebangsa hanya karena agama atau bahkan suku!

    terus terang ketika kamu menyebut dosen itu non-muslim aku bertanya2 mengapa hal itu harus kamu sebut. krn toh banyak org muslim yg pernah study di luar negeri yg masih terkungkung pemikirannya. jadi agama apapun, tidak masalah... tergantung individunya.

    BalasHapus
  2. Triesti dear,
    You are very right. Tatkala aku menuliskan secuplik kisah tentang dosen non Muslim itu aku tidak bermaksud mendiskreditkan agama tertentu, karena akupun tahu bahwa orang-orang Islam Indonesia yang telah mendapatkan pengalaman menimba ilmu di luar negeri pun banyak yang masih sempit cara berpikirnya. Aku lebih cenderung bertanya pada diri sendiri ternyata pendidikan yang tinggi--yang menurutku berkonotasi banyak membaca dan banyak merenungkan kejadian-kejadian di lingkungan--ternyata tidak menjamin seseorang akan mampu membebaskan diri dari kungkungan cara berpikir yang masih kolot.
    Sekitar satu tahun yang lalu tatkala aku menulis untuk milis tentang Angie yang dipelototin dua orang berjilbab tatkala dia kuajak makan di satu kafe malam hari dan dia masih memakai seragam, aku tidak bermaksud memojokkan orang-orang Islam yang judgmental, hanya kebetulan saja kedua orang yang melototin Angie itu berjilbab.
    I do understand bahwa menjadi minoritas di Indonesia serba tidak enak, kebetulan pula aku selalu menjadi bagian dari mayoritas selama seumur hidupku sampai sekarang. But I have been trying to understand how bad it is to be among the minority.
    Thanks a lot for the comment Triesti.

    BalasHapus
  3. Nana dear,
    pendidikan bisa membebaskan, tapi sayangnya tidak selalu demikian.

    Kalau aku perhatikan bila orang Ind. ke luar negeri, ada yg jadi seperti (bahkan lebih dari) bule, ada yg justru jadi konservatif sekali. normal sih, itu cara mereka survive. mungkin itu lebih enak, jelas posisinya daripada seperti aku yg selalu merasa ditengah2, tidak ke sana tidak ke sini krn aku memilih2 apa yg aku ambil dari masih2 kultur.

    aku perhatikan, orang Ind. punya kecenderungan untuk mengkotak2an orang lain menurut SARA. Seperti pernah ada komentarku di blog lain ttg minoritas langsung diberi label aku berlatar belakang X di blog lainnya. padahal aku hanya menyebutkan fakta, bukan sentimen. kalau aku bertanya ke teman bule ttg komentar itu, mereka tidak melihat hal tersebut. Dari situ aku belajar bila bicara dgn orang Indonesia, hal berbau SARA akan selalu menjadi hal yg tersirat bagi orang lain.

    oh, pengalaman Angie masih lumayan, dia pergi dgn ibunya malam2. Aku dulu dgn seragam SMP makan siang di A&W bersama iparku yg mau rapat ke kantor. Ngga cuma diliatin nyinyir, tapi juga terdengar komentar dari anak SMA yg diantaranya ada yg berjilbab. bukankah itu fitnah yg katanya tidak boleh dilakukan?

    anyway, nice of you to try to understand about minorities.

    Triesti

    BalasHapus