Cari

Tampilkan postingan dengan label Ayu Utami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ayu Utami. Tampilkan semua postingan

Rabu, Mei 21, 2008

Ketelanjangan

Berikut ini adalah cuplikan artikel Ayu Utami yang berjudul PAK MARTA yang dimuat dalam buku Ayu yang berjudul SIDANG SUSILA (diterbitkan oleh Spasi & VHR Book, tahun 2008).

Hampir seperempat abad yang lampau, guru agama di SMP kami, Tarakanita 1, mengajukan pertanyaan di muka kelas yang takkan pernah saya lupakan. “Menurut kalian, apakah menonton film biru itu salah?” katanya. Ia juga bertanya, pertanyaan yang lebih lunak, apakah menurut kami ibu-ibu yang suka berdandan di salon melakukan sesuatu yang tidak benar. Dalam ingatan saya, semua murid menjawab bahwa keduanya bukan perbuatan yang baik.
Guru saya bernama Pak Marta (barangkali saya salah mengeja namanya). Pertanyaannya menjadi tak terlupakan terutama ketika ia menggugat jawaban kami yang sederhana. Katanya, kira-kira, “pernahkah kalian bayangkan, suami istri yang telah menikah bertahun-tahun? Film biru bisa baik bagi mereka.”
Kami masih kelas dua SMP, tapi jawaban itu amat masuk akal. Banyak hal tidak bersifat jahat pada dirinya, tetapi menjadi jahat pada tempat yang salah. Inilah pelajaran agama yang tidak mengajarkan larangan, melainkan mengajarkan murid menggunakan akal sehat. (hal. 109)

*****
Tatkala duduk di bangku SD, aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Seingatku aku lebih sering mendapatkan pelajaran larangan, daripada menggunakan akal sehat. Mungkin karena kita masih duduk di bangku sekolah dasar, dianggap masih terlalu muda sehingga diragukan apakah sudah bisa menggunakan akal sehat, kita dikondisikan hanya untuk menerima doktrin-doktrin belaka.
Seks selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangat tabu untuk dibicarakan, mungkin karena takut jika kita justru akan menjadi ingin tahu lebih jauh. Demikian pula dengan ketelanjangan. Ketelanjangan adalah sesuatu yang tabu dan kotor, pun jika itu terjadi di antara suami dan istri. Aku masih ingat seorang guru mengatakan bahwa kita tidak boleh mandi telanjang. Kalau pun kita tidak memiliki kain yang bisa kita pakai untuk menutup tubuh kita tatkala kita mandi, kita dilarang keras untuk memandang tubuh kita sendiri; yang menurut RUU APP dianggap sensual dan bisa mengakibatkan kecabulan, yakni alat kelamin dan payudara (khusus untuk perempuan).
Bagi pasangan suami istri seks hanya boleh dilakukan di tempat yang gelap, karena kita tidak boleh memandang tubuh kita yang sedang telanjang, apalagi tubuh orang lain—dalam hal ini adalah suami/istri kita. Jika terpaksa melakukannya di tempat yang tidak gelap, kita HARUS menutupkan selimut ke seluruh tubuh agar tidak terlihat.
Aku membayangkan seandainya aku berada di kelas yang sama dengan Ayu Utami tatkala Pak Marta mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku tidak akan pernah bisa memahami mengapa Pak Marta mengatakan bahwa bagi suami istri menonton film biru diperbolehkan. Memandang tubuh kita sendiri yang sedang telanjang saja tidak boleh, juga tubuh pasangan ‘resmi’ kita, apalagi tubuh orang lain yang tidak kita kenal, yang ada di dalam film-film biru tersebut? Menonton film biru sama dengan memandang tubuh orang yang sedang telanjang, bukan?
Bisa dipahami jika aku tidak pernah nonton film biru di masa remajaku (otakku penuh dengan doktrin-doktrin kuat yang kuterima di bangku SD plus ketakutan-ketakutan bahwa Tuhan adalah suatu Dzat yang suka menghukum makhluk-Nya), pun juga setelah menikahi bokapnya Angie (1990). Aku selalu menolak permintaannya untuk menonton film biru. Pertama kali menonton film biru di tahun 2000, ketika ada seorang teman dekatku ‘memaksaku’ untuk mencoba suatu pengalaman baru. LOL. “Kamu tuh jadi orang janganlah terlalu ‘lurus’. Sekali-sekali perlu lah membelok,” katanya. LOL. “Lagi pula kamu sudah lama ga lihat penis kan?” rayunya lagi. Hal ini terjadi beberapa bulan setelah permohonan berceraiku dikabulkan oleh PA. (Goodness, she didn’t know that looking at penis was not attractive at all for me!!! LOL. Maklum hasil indoktrinasi yang kuat bahwa memandang tubuh telanjang adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan, bahkan mungkin berdosa).
Aku yakin sampai sekarang masih banyak orang atau institusi yang mendoktrin anak-anaknya maupun siswa-siswinya seperti guru-guruku di Madrasah Ibtidaiyah, sekitar tiga dekade yang lalu. Lihat saja apa yang dituliskan oleh Habiburrahman tentang tokoh Aisha dalam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’.
PT56 20.20 200508

Sabtu, Desember 22, 2007

Ayu Utami


Senin 17 Desember 2007 aku menghadiri acara ‘talk show’ dengan pembicara utama Ayu Utami dengan moderator Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka. ‘Talk show’ diselenggarakan di sebuah event yang diberi tajuk KAMPOENG WEDANGAN bertempat di kampus BLPT Jalan Brotojoyo Pondok Indraprasta Semarang.
Menurut info yang kubaca di Suara Merdeka, acara dimulai pukul 19.00, sedangkan aku baru sampai ke tempat sekitar pukul 19.30. Untuk memberi alasan mengapa aku datang terlambat (coz I always insist I belong to the punctual type ) aku selesai mengajar pukul 19.00. I needed some time untuk berjalan dari classroom ke teachers’ room, mengembalikan attendance list ke tempatnya, minum, dll. Setelah itu, aku harus mengantar Angie pulang ke rumah dulu, karena dia harus belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi final semester di sekolah, sehingga dia ga bisa ngikut aku nongkrongin Ayu Utami.  Sesampai di rumah, aku sempatin mengganti “baju kebesaranku” mengajar (rok panjang hitam, blus, plus blazer hitam), dengan celana jeans plus sweater (hawa di Semarang sedang cukup dingin karena hujan yang sedang “rajin” turun membasahi bumi yang memiliki landmark Tugumuda ini).
Meskipun datang terlambat, dengan pedenya aku langsung menempatkan diri duduk di salah satu kursi yang terletak di deretan paling depan. Aku tengarai karena hujan yang mengguyur sejak siang hari, sehingga tidak banyak masyarakat Semarang yang mengunjungi KAMPOENG WEDANGAN; tidak banyak juga orang yang menempati kursi yang disediakan oleh panitia untuk “menikmati” Ayu Utami. LOL. Begitu duduk, Triyanto bertanya kepada hadirin, “Ada pertanyaan?” Waduh ... jelas I had no question karena aku belum tahu sampai mana perbincangan antara Ayu dan Triyanto, dan aku juga lumayan kaget karena aku yakin acara belum lama dimulai (mengingat ‘budaya’ buruk jam karet yang nampaknya telah mendarah daging di orang-orang Jawa; sorry, bukan bermaksud menghakimi nih: AKU YAKIN TIDAK SEMUA ORANG JAWA MEMPRAKTEKKAN BUDAYA—if we can call it BUDAYA—JAM KARET.) kok tahu-tahu Triyanto sudah ‘menyeruduk’ hadirin dengan “Ada pertanyaan?”
Berhubung tidak, atau belum ada satu pun pengunjung yang mengacungkan tangan sebagai tanda ingin mengajukan pertanyaan, Triyanto turun dari panggung, menghampiri seorang pengunjung yang duduk di sebelah kananku, dan bertanya,
“Apa yang membuat anda menghadiri acara ini?”
Berhubung jawabannya terlalu berbelit-belit, atau memang aku yang sudah menjadi makhluk pelupa, LOL, aku pun lupa apa alasan yang dia kemukakan. Aku sudah mempersiapkan diri jika Triyanto menanyaiku pertanyaan yang sama: “I am one fan of Ayu Utami! That for sure made me come to this place.” But ternyata harapanku itu terlalu tinggi. Triyanto langsung balik ke panggung, tanpa melirikku sedetikpun. (kayaknya sih. LOL.)
Satu hal yang sangat menarik bagiku yang dikemukakan oleh Ayu adalah dia menegasikan teori Roland Barthes tentang “The author is dead” begitu seorang pengarang usai menulis buku, dan buku tersebut dipublikasikan dan disebar ke masyarakat. (You can read one post of mine, I entitled “The death of the author” or similar like that in my blog http://afeministblog.blogspot.com) di post ini, aku pun menuliskan ketidakpedeanku untuk menggunakan teori Barthes ini, karena aku lebih condong ke teori Genetic Structuralism milik Lucien Goldmann, yang melibatkan ketiga elemen penting dalam menelaah suatu karya sastra, world view, the author’s view, plus his/her background, as well as the work itself.)
Berbeda denganku yang tidak mengimani teori Barthes karena aku bukan seorang yang pede, Ayu menjelaskan bahwa dia baru saja kembali dari Prancis, dalam rangka menghadiri launching SAMAN dalam versi Francaise. Sebelum buku SAMAN berbahasa Prancis itu diluncurkan ke masyarakat Prancis, Ayu diminta untuk menjelaskan kepada publik, “What is Saman all about?” yang bermakna Ayu tidak dimatikan oleh masyarakat sastra disana, Ayu tetap dianggap hidup sehingga suaranya perlu didengar untuk menjelaskan apa sih yang dia kemukakan, maupun yang dia kritisi, lewat novel perdananya yang dianugerahi sebagai tonggak bangkitnya Sastrawan Angkatan tahun 2000.
Seorang pengunjung bertanya tentang polemik sastra yang heboh di internet beberapa waktu lalu, antara pihak Forum Lingkar Pena—yang dimotori oleh Taufik Ismail—dengan Komunitas Utan Kayu—tempat dimana SAMAN dulu dilahirkan, meskipun sekarang Ayu tidak lagi terlibat secara aktif di KUK. Aku ingat yang ‘heboh’ di internet, adalah pelaku polemik yang menurutku mengklasifikasikan diri mereka ke dalam dua ‘kubu’ yakni ‘penghujat’ dan ‘pembela’ KUK dengan alasan masing-masing, bersaing siapa yang mampu mengemukakan alasan yang lebih intelektual. Ayu sendiri yang dihujat adem ayem saja. “Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” mungkin Ayu berpikir begitu.
Dan, ternyata setelah bertemu langsung, Ayu pun tetap memilih untuk tidak ‘menceburkan’ diri ke kelompok pembela KUK, ataupun pembela diri sendiri. Dengan kata lain Ayu tetap dengan arif membiarkan para ‘anjing’ itu menggonggong, dan dia tetap berlenggang. 
Tatkala mendapatkan kesempatan, aku bertanya, “Bukankah itu berarti mbak Ayu ‘dimatikan’ oleh kelompok penghujat?”
Dari jawaban yang diberikan olehnya, aku mengambil kesimpulan bahwa dia memang memilih sikap, “I don’t give a damn.” Katanya lagi, dari sekian banyak kritik yang ditulis oleh para krittikus sastra, baik dalam maupun luar negeri, satu kritik yang dia soroti, ditulis oleh seorang feminis Australia yang mengatakan, bahwa sebenarnya SAMAN akhirnya kembali lagi ke dikotomi makhluk publik dan domestik, makhluk superior dan inferior, karena SAMAN, sang karakter laki-laki lah yang mendapatkan porsi sebagai ‘pahlawan’, makhluk publik dan superior, sedangkan karakter perempuan yang ada, tetaplah merupakan tokoh pelengkap, seperti biasa, kehadiran makhluk berpayudara dan bervagina ini hanya untuk menjadikan satu suasana, era, or whatever we call it, menjadi lebih colorful.
FYI, tujuan utama panitia KAMPOENG WEDANGAN mengundang Ayu Utami adalah untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat Semarang, bahwa menulis bisa dijadikan salah satu cara berwirausaha, mengingat tema utama KAMPOENG WEDANGAN adalah “Expo Kewirausahaan dan Budaya”.
Berbicara tentang menulis, Ayu Utami membagi profesi menulis ini menjadi dua
1.penulis yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai WRITER, sebagai tataran pemula
2.pengarang yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai AUTHOR, sebagai kelas yang lebih tinggi, lebih sesuai disejajarkan dengan SENIMAN
Untuk menjadi AUTHOR, seseorang seyogyanya memulai dari tataran pemula, sebagai WRITER. Tulislah apa saja, misal tentang “How to be a millionaire”, “How to say NO to your boyfriend when he asks you to have sex” (NOTE: ini ideku, bukan yang disampaikan oleh Ayu. LOL.) Dalam menggapai ke-AUTHOR-annya, Ayu memulainya dengan profesinya sebagai wartawan dan kolumnis. Setelah merasa capable, dia baru memulai menulis proyek idealis (plus ambisius)nya, yakni menulis novel yang dia beri judul SAMAN.
Masih banyak lagi yang dikemukakan oleh Ayu, kusimpan untukku sendiri. LOL. Atau, kalau mood nulis datang (lagi), akan kutulis di post yang lain.
LL TBL 10.52 221207