Cari

Tampilkan postingan dengan label sepedahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sepedahan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Agustus 24, 2013

PANTAI KLAYAR : KEEKSOTISAN DI UJUNG PACITAN

PANTAI KLAYAR : 
KEEKSOTISAN DI UJUNG PACITAN


Pantai Klayar dari atas bukit

Apakah anda ingin berkunjung ke pantai nan eksotis dengan pemandangan batu karang bak di gurun pasir? Juga debur ombak yang tak pernah lelah mencumbu bibir pantai? Pantai Klayar lah jawabannya!

Pantai Klayar terletak kurang lebih 45 kilometer sebelah Barat kota Pacitan. Jalanan mulus memanjakan kita hanyalah sampai di kecamatan Punung – Pacitan. Dari terminal Punung, jalan menuju Pantai Klayar – kurang lebih 19 kilometer – adalah perjalanan yang sangat menantang dikarenakan badan jalan yang sempit, naik turun terjal, berkelok-kelok, dengan aspal yang telah mengelupas disana sini. Jalanan nan sempit ini hanya bias dilewati oleh mobil, sepeda motor, atau sepeda onthel. :)

foto dijepret di pagi hari
foto dijepret di pagi hari

Aku pribadi butuh mengayuh pedal sepeda lipatku sekitar 17 jam dari Solo! Hari pertama gowes dari Laweyan Solo hingga Baturetno Pacitan, aku dan Ranz – my biking soul mate – butuh 9 jam. Agar tidak kemalaman di jalan dan mengembalikan stamina kita memilih untuk menginap semalam di pusat kota kecamatan Baturetno. Di hari kedua, kita gowes dari Baturetno hingga Pantai Klayar sekitar 8 jam. But our hard work paid off! Pantai Klayar sangat pantas dikunjungi.

di jalan waktu gowes
di jalan waktu gowes


mejeng dulu di pinggir jalan
mejeng dulu di pinggir jalan

Kebetulan kita berdua sampai di Klayar pada hari kelimat hari raya Idul Fitri 1434 H, hingga sangatlah dipahami jika suasana pantai sangatlah ramai pengunjung. Hah, padahal kita ingin foto-foto kita di pantai dalam suasana sepi hingga seolah-olah kitalah sang pemilik pantai. LOL. Pantai Klayar terletak di bawah bukit sehingga untuk menuju kesana kita harus menuruni jalanan yang curam. Dari atas, pemandangan di bawah ternoda oleh ratusan mobil yang terparkir rapi di tempat parkir. :( Apa boleh buat?

Hal pertama yang kita lakukan adalah memesan sebuah kamar di “Restaurant dan Homestay Larasati”. Kita memang berencana untuk menginap semalam agar puas bermain di pantai. Kita memilih kamar yang sewanya Rp. 150.000,00 dengan fasilitas double bed, fan, sebuah lemari kecil, dan kamar mandi dalam. Di dalam kamar, kita juga mendapati tikar sehingga kita menyimpulkan bahwa sebenarnya kamar bisa dihuni oleh banyak orang yang ingin menginap bersama.

mejeng bersama Austin di pinggir pantai
mejeng bersama Austin di pinggir pantai



Setelah menaruh barang, kita berdua menikmati ‘turunan tajam’ menuju bibir pantai. Yuhuuu. Hal kedua yang kita lakukan adalah mencari makan siang/sore. Mungkin saat itu kita sedang kurang beruntung sehingga seporsi mie ayam yang kita pesan rasanya ga karuan. Meskipun begitu, mood kita yang sedang bergembira tidak terganggu. Lain kali kita coba warung makan yang lain deh.

Hal ketiga yang kita lakukan tentu adalah bernarsis ria! Yeaaayyy. Dimana pun kita berfoto-ria, pantai Klayar selalu terlihat indah! Dengan latar belakang karang, laut lepas beserta ombaknya yang besar, pepohonan di pinggir pantai, you name it! Kita juga sempat menyambangi tempat yang disebut “seruling samudera” yang berupa air ombak yang memancar ke atas dari lobang di karang.

seruling samudera!
seruling samudera!

mejeng di karang, dijepret oleh si Bapak pemandu
mejeng di karang, dijepret oleh si Bapak pemandu

Kita kembali ke penginapan sekitar pukul enam sore. Di pinggir pantai kita lihat ada dua tiga tenda yang telah didirikan oleh pengunjung yang memilih untuk camping. Juga ada rombongan yang Nampak menikmati senja itu dengan duduk-duduk di atas kap mobil sembari menyanyi riang. Bahkan meski malam telah merambah, dari teras penginapan aku melihat masih ada pengunjung yang baru dating ke pantai.

Keesokan hari, kita kembali ke pantai, kali ini kita memulai hunting foto dari karang sebelah Barat dimana terletak gardu pandang. Sayangnya sunrise tak terlihat dari tempat kita berdiri. Dari atas karang itu kita turun, kemudian berjalan menyusuri pantai hingga tiba di karang yang berbentuk seperti layar (konon dari karang berbentuk layar inilah nama Pantai Klayar), yang orang lain juga menyebutnya seperti sphinx.

suasana Pantai Klayar di pagi hari saat sepi pengunjung
suasana Pantai Klayar di pagi hari saat (masih) sepi pengunjung

in action berdua dengan Ranz

dari atas bukit

latar belakangnya seperti lukisan ya? :)
latar belakangnya seperti lukisan ya? :)

Pagi ini suasana pantai tentu jauh lebih sepi dibanding kemarin sore. Kita melihat beberapa rombongan yang mungkin bermalam di pantai. Namun sebaiknya kita harus mengikuti peraturan yang telah dibuat, dengan tidak mendekati daerah yang ada bendera merah. Itu adalah tempat-tempat yang berbahaya: ombak besar yang dikirim dari tengah laut bisa menghempaskan siapa pun yang berada di tempat itu hingga bias jatuh ke karang-karang yang bertebaran di bibir pantai.

Jika anda adalah pecinta pantai, jangan pernah lewatkan Pantai Klayar dari daftar wajib kunjung anda! Jam berapa pun anda datang, Pantai Klayar tetap terbuka!

GG 14.10 190813

Selasa, Juli 15, 2008

Sepedaku, sepedamu, sepedanya

“Pandanglah orang yang berada di ‘bawah’mu agar engkau mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadamu…”
penampakan Austin dan Karen, di pinggir 'taman air' Balekambang, Solo, 2011



Kalimat ini terus menerus bergaung di benakku tatkala aku membawa sepeda ‘lungsuran’ kakakku seorang ke bengkel sepeda yang terletak di Jalan Suyudono, tak jauh dari Pasar Bulu, pada hari Jumat 11 Juli 2008.

Lho kok?

Backgroundnya begini. 

Hari Rabu 2 Juli, seperti yang kutulis di postingan beberapa waktu lalu, aku ngikut ‘city night riding’ yang diadakan oleh komunitas b2w Semarang. Di antara para partisipan yang ikut waktu itu, sepedaku jelas nampak paling perlu dikasihani. LOL. Usianya sama dengan Angie, 17 tahun!!! (Kalo ga salah ingat, kakakku mengirimkan sepeda merk WINNER ini ke Semarang tahun 1991, tahun anak semata wayangku itu lahir, sebelum kakakku menikahi sang pemberi sepeda tahun 1992.) Selain itu, selama beberapa tahun sepeda sempat mangkrak ga diurusin, apalagi dinaikin. LOL. 

Sepeda rekan-rekan b2w Semarang kebetulan kebanyakan merk POLYGON (aku tidak bermaksud promosi, tapi apa boleh buat? Aku ga bisa ga menyebut merek. LOL.) Aku belum tahu dengan jelas mengapa seolah-olah komunitas b2w Semarang ‘didukung’ oleh toko sepeda RODALINK yang berdomisili di kawasan Bangkong, karena beberapa rekan mempromosikan toko ini bagi member yang ingin membeli sepeda baru. Selain POLYGON, seorang member kulihat menaiki sepeda merek GIANT yang tentu jauh lebih keren dibanding milik kakakku yang berharga ‘cuma’ 3 jutaan karena harganya terpaut lima jutaan. (Gile bener!!! – ngeces mode ON. LOL. LOL.) 

Wes to poll, pit duwekku iku elik dewe. Wakakakaka ... But I love it a lot and feel proud of myself while riding it, karena selalu terngiang kata-kataku sendiri, “I have supported to reduce air pollution in my dearest hometown.” Mbombong awake dewe luwih becik tinimbang ora mbombong. Wakakakakaka ...
Hari Minggu 6 Juli tatkala berkumpul di Stadion Diponegoro untuk ikut meramaikan acara sepeda santai yang diselenggarakan oleh Polres Semarang Timur, tentu aku berkumpul dengan rekan-rekanku yang sangat membanggakan bagiku (karena semangat bike to work). And again, sepedaku jelas terlihat yang paling ‘tua’ di antara para member b2w Semarang. Nevertheless, karena acara tersebut diikuti oleh banyak klub-klub pecinta sepeda lain, seperti SOC alias ‘Semarang Onthel Club’, sepedaku ga begitu terlihat patut dikasihani. Wakakakaka ... Lah, yang onthel-onthel itu kan tentu usianya sudah lebih dari tiga dekade.


Hari Jumat 11 Juli. Aku bawa sepedaku ke bengkel sepeda yang kelasnya di bawah RODALINK , namun aku yakin kemampuan sang mekanik sepeda tentu ga kalah. Tatkala menunggu si Bapak mekanik membetulkan rem dan letak sadel, aku duduk-duduk di bangku depan bengkel yang sekaligus juga berjualan sepeda dan sparepartsnya. Di hadapanku kulihat berbagai macam sepeda yang dari ‘penampilannya’ jauh lebih mengenaskan dari sepeda yang akhir-akhir ini setia menemani kemana pun aku pergi. Ada seorang Bapak mengendarai sepeda onthel yang dia beli tahun 1976 yang roda depannya ringsek karena ditabrak sepeda motor. Ada beberapa orang lain yang naik sepeda tanpa rem (praktis dia harus ‘memanfaatkan’ kakinya untuk mengerem laju sepeda tatkala dia akan berhenti.) Masih ada beberapa sepeda lain yang kondisinya, bagiku, mengkhawatirkan si pengendaranya.

Dan tatkala kupandang sepeda WINNER ku, out of the blue, dia nampak begitu gagah perkasa, sehingga aku pun berbisik dalam hati, “Thank God, I have this bike to help reduce the air pollution as well as the negative impacts of global warming.”

P.S.: Tapi kalau ada yang mau menghadiahi aku sepeda gunung yang baru, tentu aku MAU ... MAU ... MAU!!! Huehehehehe ...


PT56 15.00 110708

P. S.:

Aku tidak punya foto sepeda WINNER  

Orenj, my mountain bike, on the side of Maron beach, 5 August 2011