Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang, atau yang (mungkin) lebih dikenal sebagai Rumah Sakit Tentara (RST) terletak di Jalan Dr. Soetomo, dekat sekali dengan Tugumuda, salah satu landmark kota Semarang. Waktu aku kecil dulu (baca aku duduk di bangku SD), orang tuaku biasa mengajak anak-anaknya periksa ke dokter mata Dr. Widagdo di RST lewat pintu masuk ‘belakang’ yang terletak di daerah yang disebut Karangasem (aku lupa nama jalannya LOL). Namun sekarang pintu masuk lewat belakang (dulu kupikir itulah jalan masuk utama alias ‘depan’) itu tidak lagi dibuka untuk umum, sehingga semua pasien, penjenguk pasien, dll harus masuk melalui pintu gerbang yang terletak di Jalan Dr. Soetomo.
Di rumah sakit inilah, adikku diopname sejak malam Natal 2007 sampai menjelang malam tahun baru 2008. Dengan alasan yang tidak kuketahui secara pasti, tempatnya yang strategis di tengah kota nampaknya tidak dimaksimalkan oleh pihak pengelola, sehingga misalnya bisa bersaing dengan rumah sakit yang lain, agar mendapatkan prestise yang lebih tinggi.
Ibu dan adikku, yand dipanggil Angie TeLa, memutuskan agar adikku yang paling kecil, yang dipanggil TeLi oleh Angie, untuk ditempatkan di kamar nomor 2 dengan dua alasan. Pertama, takut sendirian jika berada di kamar nomor 1, (ngeri dengan rumah sakit yang tentu “spooky” LOL). Kedua, tentu harganya lebih ekonomis dibandingkan jika dirawat di kamar nomor 1. Di kamar nomor 2, ada tiga buah tempat tidur, untuk tiga pasien. Di atas tempat tidur, ada sebuah selimut, sebuah bantal, dan sarung bantal beserta sprei yang tidak pernah diganti, semenjak adikku masuk sampai meninggalkan rumah sakit. (Dengan tidak sopannya aku sempat memprotes seorang suster mengapa sarung bantal, sprei, dan selimut tidak diganti setiap hari, seperti di hotel. LOL. Suster itu diam saja, tidak menanggapi.)
Masing-masing pasien mendapatkan sebuah paket, tatkala pertama kali masuk, yang berisi sebuah gelas ukuran tanggung, tutup gelas, pasta gigi kecil, sekitar 30 gram, sebuah sikat gigi, sebuah sendok makan, sebuah sabun, dan sebuah waslap—kayaknya gitu deh namanya. LOL. Setiap hari pasien mendapatkan makan tiga kali, namun tanpa air minum sama sekali, sehingga keluarga pasien harus menyediakan sendiri air minum, baik air putih, maupun teh hangat.
Satu hal yang ‘kusukai’ dari RST ini adalah penengok pasien, baik keluarga, maupun pihak lain, bisa datang 24 jam. Aku dan adikku bisa setiap saat datang untuk bergantian jaga. Angie pun bisa datang menjenguk tantenya setelah pulang sekolah, tanpa terbatasi jam besuk. Kita juga tidak diusir untuk segera pulang jika jam besuk usai.
Namun, seperti biasa, selalu ada plus minus dalam satu hal. Karena ‘sangat ramah’ terhadap pengunjung inilah satu peristiwa tidak enak terjadi. Minggu dini hari tatkala adikku terlelap di atas karpet kecil di pojok ruangan, tiba-tiba terbangun karena merasa ada gerakan yang mencurigakan masuk ke dalam kamar dimana adik bungsuku dirawat. Ada seorang laki-laki menatap adikku, seolah-olah ingin memastikan apakah dia sedang tidur atau terjaga. Adikku yang super galak itu, LOL, langsung bertanya,
“Ada apa Mas?”
Laki-laki itu menggumam, dengan nada bertanya, “Pasien Risma?”
“Bukan!” jawab adikku.
“Oh, maaf, salah kamar,” kata orang itu lagi, kemudian keluar.
Adikku yang masih setengah tidur setengah sadar, ditambah mata minusnya, tentu tidak sempat melihat wajah laki-laki itu dengan jelas.
Keesokan harinya, keluarga pasien di kamar sebelah kehilangan dua buah handphone.
*****
Thank God, Senin 31 Desember 2007, dokter Taufik yang bertanggung jawab atas sakitnya adik bungsuku telah membolehkannya pulang. Sekarang dia tinggal dalam proses pemulihan kondisi tubuhnya. Di rumah, kita semua bisa saling gantian mengurusnya, tanpa perlu meninggalkan rumah. Beban psikologis yang selama ini menggayuti kami sekeluarga telah pergi. Alhamdulillah.
PT56 18.33 010108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar