Cari

Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label religion. Tampilkan semua postingan

Rabu, Januari 02, 2008

Nana si Rebel



Tanpa kuketahui penjelasan secara logis, di antara keempat anak Mami Papi, aku nampak beda sendiri, yang pasti aku bukan anak ‘nemu’ di onggokan tempat sampah, seperti godaan Mami kepada adikku waktu kita masih kecil. Papi yang memiliki kulit warna terang membuatnya nampak mirip orang berdarah Tionghoa. Waktu duduk di bangku SD dulu, belum kenal yang namanya keluyuran, ikut karate, maupun berenang, warna kulitku pun terang, meskipun hal ini tidak berarti aku jadi nampak mirip orang Cina. Kakakku memiliki warna kulit yang lebih gelap dari aku, meskipun dia tipe orang rumahan, membuatnya tidak nampak mirip orang Cina pula. Namun kedua adikku, yang kata banyak orang mirip saudara kembar, meski beda umur 6 tahun, sering disangka orang Cina, walaupun mata mereka tidak Oriental. Kedua adikku dan kakakku memiliki tekstur wajah yang mirip membuat orang yakin mereka memang sedarah, berbeda denganku.

 

Adikku yang biasa dipanggil Anggie TeLa memiliki beberapa teman berdarah Cina, yang di awal perkenalan sering menganggap adikku pun berasal dari etnik yang sama. Hal ini terjadi terutama semenjak dia ikut PRANA, yang kemudian dilanjutkan dengan FALUN. Dengan teman-teman PRANA dan FALUN, dia sempat pergi ke luar kota untuk melakukan kegiatan ini itu, misal mempromosikan FALUN agar orang-orang mengenal cara alternatif untuk menjaga kesehatan dengan melakukan olah tenaga dalam.

 

Sementara itu, adik bungsuku yang dipanggil Anggie TeLi bekerja di sebuah radio swasta yang biasa menyelenggarakan acara karaoke untuk para pendengarnya, dan sering pula musik yang dipilih untuk berkaraoke ria adalah lagu-lagu Mandarin. Bukan hal yang mengherankan jika kemudian penggemarnya pun orang-orang berdarah Cina. Hal ini lebih terlihat jelas tatkala dia diopname di rumah sakit, sebagian besar orang-orang yang menengoknya berkulit kuning dan bermata sipit. Perbedaan etnis, agama, maupun kultur tidak nampak lagi, tatkala aku ikut ngobrol dengan mereka. Mami yang mudah merasa haru, senantiasa nampak begitu grateful tatkala orang-orang itu datang, berusaha menghibur adikku yang tergolek lemah di tempat tidur.

 

Beberapa hari lalu, aku sempat mendengarnya berkata ke salah seorang penengok itu, “Mohon doanya ya, semoga anak saya lekas sembuh.”

 

Kalimat yang seharusnya terdengar biasa saja menjadi SANGAT LUAR BIASA di telingaku karena aku kenal banget karakter Mami yang mungkin bagi seorang Laksmi, si penulis “Addicted to Religion” di www.superkoran.info termasuk ‘imbecile’. (I hate to say this, but memang begitulah keadaannya.) “My mom is so desperate to see her youngest child lying helplessly due to typhoid that she asked people—whose pray she believes (in her ‘normal’ condition, not desperate) wouldn’t be listened by God because they are not Muslim—to pray for my youngest sister.” Aku berkata pada diri sendiri, takjub.

 

Masih jelas terekam dalam ingatanku tatkala Mami (tidak hanya Mami, namun juga guru-guru agama waktu aku sekolah) men’doktrin’ku bahwa orang-orang Islam tidak boleh meminta doa orang beragama lain, dan orang-orang Islam tidak boleh mendoakan orang yang beragama lain karena doa itu tidak akan didengar—apalagi dikabulkan oleh Tuhan. Ada satu peristiwa—seingatku—yang selalu dijadikan rujukan oleh umat Islam bahwa tidak diperbolehkan berdoa untuk umat antaragama; waktu Abu Thalib paman Nabi Muhammad SAW meninggal dalam keadaan non Muslim. KONON Nabi sangat terpukul dengan kematian pamannya dalam keadaan non Muslim, sehingga praktis Abu Thalib tidak memiliki tiket untuk masuk surga. Mengingat jasa dan pengorbanan Abu Thalib yang begitu besar untuk kemajuan agama Islam, Nabi pun berdoa agar Allah mengampuni segala dosanya dan memasukkannya ke dalam surga. Di tengah-tengah berdoa itu, Nabi “disentil” oleh Allah dengan mengingatkannya bahwa orang Islam tidak boleh mendoakan orang beragama non Islam. “Ingat, surga hanya untuk umatmu saja, orang-orang yang beragama Islam,” konon demikianlah Allah berfirman kepada Nabi. Mendapatkan peringatan itu, Nabi menangis, memohon ampunan kepada Allah, karena telah kelepasan kontrol. Namun Allah berjanji kepada Nabi bahwa siksaan di alam akhirat nanti kepada Abu Thalib akan sangat ringan, mengingat jasa Abu Thalib yang besar.

 

“Dongeng” di masa kecil ini jelas merupakan salah satu dongeng yang pantang kuceritakan kepada Angie, kecuali kalau dia bertanya kepadaku mengenai hal ini, karena mendapatkan ‘doktrin’ dari guru agamanya di sekolah.

 

Aku masih mengharapkan keluargaku, terutama, dan orang-orang Islam, pada umumnya, untuk mengalami perjalanan spiritual yang membuat mereka tak lagi menjadi ‘imbecile’ yang addicted to religion blindly, dengan mematikan akal sehat mereka.

 

BWT 14.22 301207

Sabtu, November 03, 2007

Al-Qiyadah

I have recently been wondering what America would be like now if it had not been ‘colonized’ (instead of ‘rediscovered’) by Columbus at the end of the fifteenth century; if the welfare of people in England had been good after that, if Puritans—and some other so-called ‘deviant’ religious sects—had been welcome well by the country so that they did not need to escape from their homeland.

 

Todd and Curti in their book “Rise of the American Nation” (1972: 24-25) mentioned five reasons for many English people—as well as other Europeans” to migrate to the New World:



Conflict over religion
Search for religion freedom
Search for political freedom
Widespread unemployment
Economic ferment


The first and second reasons can be categorized into one similar problem, and so can the fourth and fifth reasons; while the third reason shows the hostility of the citizens toward the government. King James I (1603-1625) and King Charles (1625-1640) ruled without Parliament because they believed in “the divine right of kings”. (1972:25)

 

The recent condition in Indonesia reminds me of the not conducive situation in England during the sixteenth and seventeenth century. The somewhat chaotic situation in adhering religion in Indonesia lately—due to the most contemporary so-called deviant Al Qiyadah Al Islamiyah and some other sects such as Ahmadiyah before—in fact is not far cry from the ugly condition in England several centuries ago. This is also accompanied by the rising poverty line due to widespread unemployment and the soaring prices of anything. The difference is it (still) happens in Indonesia in this “modern” time while “modern countries” are supposed to support tolerance and freedom to choose which religion to adhere. It shows that Indonesia fails to fulfill one of the tenets to be a modern country.

 

Lately, some newspapers (I read) have headlined Al Qiyadah—that is categorized deviant sect unfairly by the government. The way the newspapers write the news and even in the editorial—the dictions, the tone, etc—shows that they also take side to the government and Al Qiyadah becomes the culprit. That means the government is strongly supported by the media (forgive my limited reading because I don’t read a lot of newspapers published in Indonesia) to dictate the majority of Indonesian citizens’ attitude.

 

Coincidently not long ago one mailing list I join—RumahKitaBersama—talked about adhering a religion and practicing its teachings blindly—one of its longest thread if I am not mistaken. One of its discussion is about the arrogance of Muslims’ claim that Islam is the most perfect religion, the last one that complete its two ‘older siblings’—Jewish and Christian. I threw a question, “When Christian was believed by its adherents to complete Jewish, this upset the Jewish. When Islam is believed by its adherents to perfect Christian (and Jewish)’ teachings, this offended both religions. Will one day a new religion emerges, and it is said to complete the previous three Abrahamic faiths, will Muslim get angry?” The answer was: “the new religion perhaps will not have time to grow since it will easily and quickly be labeled ‘deviant’ and killed afterwards.”

 

And there it was: out of the blue Al Qiyadah emerged and its prophet Abussalam alias Ahmad Moshadded became a new celebrity.

 

When Professor Kenneth Hall—my guest lecturer when I was studying at American Studies Gadjah Mada University—said that the social life of Indonesia was left behind America around 50 years, can we say that Indonesia is left behind England several centuries in the not conducive situation in adhering religions?

 

PT56 11.11 021107