Cari

Tampilkan postingan dengan label seksualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seksualitas. Tampilkan semua postingan

Rabu, September 15, 2010

Sexual Abuse

Just found it inside my mailbox. I wrote it four years ago. Well, I am not sure if I have posted it in one blog of mine (I sent it to a good friend of mine.) Now, I want to share it with my blog visitors.


When women become a criminal only coz of wearing “open” clothes—under accusation to turn on men’s desire when looking at their sexy body, why is there no law saying that men are allegedly guilty for abusing women by staring at women, or whistling at them or saying something abusive to women who don’t wear “open” clothes?
I was brought up in a very religious family, sent to an Islamic elementary school, indoctrinated that women’s body is the source of sin, that women can become the cause of the fall of men to hell due to women’s sinful sexy body. (Similar to the fall of Adam to this mortal world coz Eva gave in to Satan’s trick to eat “khuldi” (this is how Al-Quran named it)—the forbidden fruit in heaven.) Because of that, women are supposed to cover their source-of-sin body in order that men will not get aroused.
After I grew up (I always consider myself as a rebel), I started to wonder why all mistakes are put on women’s shoulder? Why is there no punishment for men who cannot control their lust?
Since knowing feminism, and got answers of my lots of questions (due to the gender bias in Islam) when I was a kid or teenager, I came to the conclusion that if women can control their lust (women are just human beings, like men, they have lust too!) when seeing naked men’s body, men are supposed to be able to control their lust too and not abuse any woman they want. I completely agree with Fatima Mernissi, a Muslim feminist Morocco saying, “If the rights of Muslim women become problems for a group of Muslim men, this is not engendered by Al-Quran or Islam itself, but this is caused by the different interpretation resulting in contradictory interpretation opposing the want of a group of elite Muslim men.”
Btw, some months ago, I had a middle-aged private student who was outstandingly pretty. We often took a walk for sightseeing or had lunch in a downtown mall. Contradictory from me that mostly wear my “uniform” (long black dress and black blazer—I am not an Amish nor Quaker though LOL) this student of mine loved wearing “sexy” clothes. The first time we went to have lunch, I felt very disturbed and annoyed by men who stared at her greedily. It sometimes made me want to throw my thick-heeled shoes to those men’s eyes! Later on, I realized, that not only her “sexy” clothes attracted those men with greedy eyes, she in fact also showed “inviting” body language to those guys. No wonder she didn’t feel abused. She herself invited those guys to abuse her.
As a feminist that believes women can do anything they like, as long as they enjoy it and not harm other people, I think it is okay for her to do that. However, as someone with very religious upbringing when I was a kid, I still sometimes didn’t understand why the hell that private student of mine attracted men’s attention demonstratively despite her outstanding beauty. Her beauty only was already enough to attract people’s attention. So, when she wore sexy clothes and showed inviting body language, it was just very understandable if then those guys with greedy eyes “abused” her. (Oh well, she herself didn’t feel abused. She felt flattered. LOL)
On the contrary from this flirt, LOL, I never show any inviting body language, I never wear any open clothes to attract men’s attention. I never feel ready to get abuse. Does it mean, then, I never get abused? Unfortunately, the answer was SOME GUYS WITH GREEDY EYES STILL ABUSE ME, by staring at me indecently, whistling at me, smiling at me abusively, etc.
The conclusion? SOME MEN ARE INDEED BIG SHIT.
Recently, in Indonesia there has still been a very “poignant” debate about pornography bill where it states that women are not allowed to wear body-hugging, tight and “open” clothes coz it will cause men to get aroused. A woman will be punished if she unintentionally/intentionally turns on men in public, by wearing “sexy” dress, for example. Why is there no statement that men will be put into jail when they cannot repress their lust in public?
I prove it myself that although I mostly wear clothes covering all over my body (except my head), it still doesn’t stop men to try to abuse me. Who can guarantee that issuing such a bill will stop sexual abuse? Something wrong is not in what women wear, or how women walk and move, not in women’s voice, but in men’s mind! 
 
Semarang March 16, 2006

Senin, Januari 12, 2009

Sex Education


 
Tatkala mandi di shower room (tentu saja khusus untuk perempuan) setelah berenang tadi pagi, ada seorang perempuan masuk bersama anak laki-lakinya, mungkin berusia tiga tahun. Sang ibu memandikan anaknya, yang mungkin belum dia percayai bisa membersihkan diri sendiri. Terjadi percakapan ‘khas’ orang tua kepada anak kecilnya. 

“Ayo, cuci rambutnya sampai bersih. Nah, begitu, rambut digosok-gosok di bawah pancuran air. Kalau tidak bersih, nanti tokeknya datang loh ke adik. Tapi kalau mandinya bersih, tokek tidak akan datang.” Kata sang ibu.

“Jadi adik harus menggosok rambut yang bersih ya Ma?” komentar si anak.
“Iya ...” sahut sang ibu, sambil ikut menggosok rambut sang anak menggunakan shampoo. 
Setelah itu, dia pun menyabuni tubuh anaknya.

Aku bayangkan si anak laki-laki kecil ini kelak akan tumbuh menjadi seseorang yang takut pada tokek. Dia akan belajar membersihkan diri bukan demi kesehatan kulit maupun tubuh, melainkan karena merasa takut dikunjungi seekor tokek yang menurutku berwajah menyeramkan.
*****
Ketika aku sedang ganti baju di dalam sebuah bilik, aku dengar suara seorang anak kecil laki-laki lain,

“Ini bukan tempatku mandi Ma! Tempatku di kamar sebelah. Kan aku laki-laki? Masak aku mandi di kamar bilas perempuan?”

“Lho, kamu kan belum bisa mandi sendiri? Dan Mama ga boleh masuk ke kamar bilas laki-laki. Dan karena kamu masih kecil, ga papalah kamu mandi di sini, bersama perempuan.”

Aku ingat sebuah artikel yang pernah kubaca mengatakan bahwa salah satu bentuk sexual education yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya yang masih kecil adalah tatkala berada di tempat umum ajaklah anak laki-laki ke kamar mandi laki-laki, sehingga dia tahu bahwa dia berjenis kelamin laki-laki. Demikian juga anak perempuan harus diajak ke kamar mandi perempuan.

Dalam kasus di atas, si anak sudah benar, dan bersifat kritis yang cerdas. Sang ibu yang kurang paham pentingnya pendidikan seks yang harus diberikan kepada sang anak sejak kecil. Batasan “kamu masih kecil, jadi boleh saja masuk ke kamar mandi perempuan meskipun kamu laki-laki” tidak jelas sampai usia berapa. Bisa jadi ini akan terus berlaku sampai si anak sudah besar. Atau, tatkala dia masih merasa belum mampu melepaskan diri dari bayang-bayang sang ibu, dia akan mengalami masa sulit tatkala harus masuk ke kamar mandi laki-laki (once again: di tempat umum), dia akan merasa tidak nyaman dengan ‘pemaksaan’ itu.

Kebetulan aku memiliki dua kenalan laki-laki yang memiliki pengalaman masa kecil yang membekas pada psyche mereka. Yang satu, sangat terobsesi dengan kaki perempuan. Dia akan sangat merasa ‘aroused’ tatkala melihat kaki perempuan. Sepanjang yang dia ingat, waktu kecil kalau dia menangis, dia akan memeluk kaki ibunya dan menangis tersedu-sedu di situ. Hal ini ternyata memberinya perasaan nyaman. Sekarang, dengan mudah dia tertarik melihat kaki perempuan, dan ada hasrat untuk memeluk kaki itu, terutama kalau dia tertarik kepada sang perempuan itu secara keseluruhan, tidak hanya fisik, namun juga sifat dan intelektualitasnya.

Yang satu lagi, terobsesi dengan diikat stagen, tatkala melakukan hubungan seks. Dia akan mendapatkan orgasme yang sempurna tatkala pasangan seksnya mengikat tubuhnya dengan stagen—termasuk tangannya, kecuali penisnya—kemudian ‘memperkosanya’ dengan lembut. Atau sebaliknya, dia mengikat tubuh pasangannya, kecuali bagian payudara dan vagina, kemudian berhubungan seks dengannya. Namun tanpa kekerasan, misal: pukulan atau sejenis kekerasan yang lain. Latar belakang obsesi ini adalah tatkala dia kecil, dia selalu keluyuran bermain, yang membuat ibunya marah. Ketika dia kembali, sang ibu akan mengikat tubuhnya dengan stagen, di salah satu kaki meja.

Nampaknya, kedua laki-laki ini serasa kembali ke hangatnya rahim sang bunda dengan cara yang berbeda: memeluk kaki, atau diikat/mengikat dengan stagen.

Kembali ke dua kejadian di kamar bilas perempuan di kolam renang Paradise Club Semarang. Aku berpendapat alangkah baiknya kalau sang bapak yang memandikan kedua anak laki-laki itu, di kamar bilas laki-laki. Mengurusi anak bukan hanya pekerjaan istri kan? Dan, tanpa embel-embel ancaman: ‘kalau ga bersih, nanti tokek datang untuk menggigitmu!’

PT56 20.45 110109

Rabu, Mei 21, 2008

Ketelanjangan

Berikut ini adalah cuplikan artikel Ayu Utami yang berjudul PAK MARTA yang dimuat dalam buku Ayu yang berjudul SIDANG SUSILA (diterbitkan oleh Spasi & VHR Book, tahun 2008).

Hampir seperempat abad yang lampau, guru agama di SMP kami, Tarakanita 1, mengajukan pertanyaan di muka kelas yang takkan pernah saya lupakan. “Menurut kalian, apakah menonton film biru itu salah?” katanya. Ia juga bertanya, pertanyaan yang lebih lunak, apakah menurut kami ibu-ibu yang suka berdandan di salon melakukan sesuatu yang tidak benar. Dalam ingatan saya, semua murid menjawab bahwa keduanya bukan perbuatan yang baik.
Guru saya bernama Pak Marta (barangkali saya salah mengeja namanya). Pertanyaannya menjadi tak terlupakan terutama ketika ia menggugat jawaban kami yang sederhana. Katanya, kira-kira, “pernahkah kalian bayangkan, suami istri yang telah menikah bertahun-tahun? Film biru bisa baik bagi mereka.”
Kami masih kelas dua SMP, tapi jawaban itu amat masuk akal. Banyak hal tidak bersifat jahat pada dirinya, tetapi menjadi jahat pada tempat yang salah. Inilah pelajaran agama yang tidak mengajarkan larangan, melainkan mengajarkan murid menggunakan akal sehat. (hal. 109)

*****
Tatkala duduk di bangku SD, aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Seingatku aku lebih sering mendapatkan pelajaran larangan, daripada menggunakan akal sehat. Mungkin karena kita masih duduk di bangku sekolah dasar, dianggap masih terlalu muda sehingga diragukan apakah sudah bisa menggunakan akal sehat, kita dikondisikan hanya untuk menerima doktrin-doktrin belaka.
Seks selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangat tabu untuk dibicarakan, mungkin karena takut jika kita justru akan menjadi ingin tahu lebih jauh. Demikian pula dengan ketelanjangan. Ketelanjangan adalah sesuatu yang tabu dan kotor, pun jika itu terjadi di antara suami dan istri. Aku masih ingat seorang guru mengatakan bahwa kita tidak boleh mandi telanjang. Kalau pun kita tidak memiliki kain yang bisa kita pakai untuk menutup tubuh kita tatkala kita mandi, kita dilarang keras untuk memandang tubuh kita sendiri; yang menurut RUU APP dianggap sensual dan bisa mengakibatkan kecabulan, yakni alat kelamin dan payudara (khusus untuk perempuan).
Bagi pasangan suami istri seks hanya boleh dilakukan di tempat yang gelap, karena kita tidak boleh memandang tubuh kita yang sedang telanjang, apalagi tubuh orang lain—dalam hal ini adalah suami/istri kita. Jika terpaksa melakukannya di tempat yang tidak gelap, kita HARUS menutupkan selimut ke seluruh tubuh agar tidak terlihat.
Aku membayangkan seandainya aku berada di kelas yang sama dengan Ayu Utami tatkala Pak Marta mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku tidak akan pernah bisa memahami mengapa Pak Marta mengatakan bahwa bagi suami istri menonton film biru diperbolehkan. Memandang tubuh kita sendiri yang sedang telanjang saja tidak boleh, juga tubuh pasangan ‘resmi’ kita, apalagi tubuh orang lain yang tidak kita kenal, yang ada di dalam film-film biru tersebut? Menonton film biru sama dengan memandang tubuh orang yang sedang telanjang, bukan?
Bisa dipahami jika aku tidak pernah nonton film biru di masa remajaku (otakku penuh dengan doktrin-doktrin kuat yang kuterima di bangku SD plus ketakutan-ketakutan bahwa Tuhan adalah suatu Dzat yang suka menghukum makhluk-Nya), pun juga setelah menikahi bokapnya Angie (1990). Aku selalu menolak permintaannya untuk menonton film biru. Pertama kali menonton film biru di tahun 2000, ketika ada seorang teman dekatku ‘memaksaku’ untuk mencoba suatu pengalaman baru. LOL. “Kamu tuh jadi orang janganlah terlalu ‘lurus’. Sekali-sekali perlu lah membelok,” katanya. LOL. “Lagi pula kamu sudah lama ga lihat penis kan?” rayunya lagi. Hal ini terjadi beberapa bulan setelah permohonan berceraiku dikabulkan oleh PA. (Goodness, she didn’t know that looking at penis was not attractive at all for me!!! LOL. Maklum hasil indoktrinasi yang kuat bahwa memandang tubuh telanjang adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan, bahkan mungkin berdosa).
Aku yakin sampai sekarang masih banyak orang atau institusi yang mendoktrin anak-anaknya maupun siswa-siswinya seperti guru-guruku di Madrasah Ibtidaiyah, sekitar tiga dekade yang lalu. Lihat saja apa yang dituliskan oleh Habiburrahman tentang tokoh Aisha dalam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’.
PT56 20.20 200508

Jumat, Mei 09, 2008

Krisna Mukti

“Tuduhan” bahwa dirinya adalah seorang gay kembali ‘menyerang’ aktor Krisna Mukti seminggu terakhir ini. (Gile, foto-foto Krisna yang dimuat di salah satu tabloid lokal keren banget! huehehehe ... Pasti para ‘penggemar’ gay-nya bakal ga bisa berhenti melototin foto-foto itu. LOL.)
Aku bukanlah “tukang mengkonsumsi” infotainment sehingga selalu bisa mengikuti gosip terkini. Lah, darimana aku tahu gosip tentang Krisna Mukti?
Ceritanya begini. Kemarin, di salah satu kelas, aku meminta para mahasiswa untuk berpura-pura bekerja di salah satu majalah/tabloid yang akan memberi anugerah “the celebrity of the year”. Aku meminta mereka berdiskusi berkelompok untuk memilih seorang selebriti laki-laki dan seorang selebriti perempuan. Ada tiga kelompok, dan di setiap kelompok, ada tiga mahasiswa. (Mereka semua adalah mahasiswa sebuah universitas negeri yang terletak di kawasan Tembalang Semarang.)
Satu kelompok, yang anggotanya semuanya laki-laki, memilih Krisna Mukti, sebagai the male celebrity of the year.
“Why him?” tanyaku heran, mengingat akhir-akhir ini ‘bintang’ KM tidaklah secemerlang waktu dia menjadi lakon utama di sinetron AKU INGIN PULANG, sekitar delapan tahun yang lalu.
Ternyata alasan yang dikemukakan adalah KM ‘terpergok’ mengirim surat cinta kepada seorang laki-laki. KM sendiri menolak mengiyakan bahwa dirinya memang seorang gay.
“Why didn’t he just admit that he was a gay? I will support him anyway,” kataku, mengingat aku selalu mengambil ‘sikap politik’ untuk mendukung para homoseksual. (You can read my posts in my blogs about this.)
Di tabloid yang kubaca barusan, KM diceritakan bahwa dia menulis sebuah surat ‘mesra’ kepada seorang kliennya, karena menyapa sang klien, “honey”, dan kemudian mengakhiri surat itu dengan “love”.
Aku jadi ingat beberapa teman perempuan Angie yang selalu menyapanya “Cin ...” singkatan dari “Cinta”. Pertama mengetahuinya aku agak cemburu, karena aku mengharap hanya akulah yang akan menyapanya “love”, meskipun lama-lama aku biasa saja.
Aku sendiri juga sering mengakhiri email ke teman-teman perempuanku dengan “love”. Aku dan Angie, plus teman-temanku dan teman-teman Angie yang biasa mengakhiri menulis email dengan “love”, maupun menyapa dengan “honey” maupun “Cinta”, aku yakin semuanya heteroseksual. Dan mungkin karena kita bukanlah selebriti, ga bakal masuk infotainment sebagai lesbian. LOL. LOL.
Namun aku ingat perlakuan yang memang selalu diskriminatif di masyarakat. Tatkala ada dua orang perempuan berjalan bersama di tempat umum, bergandengan tangan, bahkan mungkin berpelukan, orang-orang akan memandangnya dengan biasa saja. Namun jika yang melakukan hal itu adalah dua orang laki-laki, maka orang-orang yang memandangnya pun akan heboh, dan menganggap kedua laki-laki itu menjijikkan.
Jika yang melakukannya seorang laki-laki dan perempuan, berjalan bersama mesra, mungkin sampai berpelukan, orang pun akan memandangnya dengan agak jijik, sembari berujar, “Orang pacaran kok ga tahu tempat. Si perempuan kok ya mau-maunya. Apalagi kalau di tempat yang sepi, pasti sudah habis “diapa-apain”. LOL.
Yah, memang beginilah masyarakat Indonesia yang senantiasa dibuat ‘sakit’ oleh pemerintahnya.
Kembali ke topik utama tentang ke-gay-an Krisna Mukti. Sebagai seorang perempuan yang heteroseksual, sayang juga ya laki-laki sekeren KM gay? Aku ga bisa ikut ‘menikmati’ dong. Wakakakaka ... Tapi, tentu aku akan mendukungnya, juga para gay yang lain, untuk membuka diri dengan pede, sambil mengatakan, “Inilah kodratku!”
Semalam, di acara Empat Mata” yang kutonton secara sekilas, ada tamu yang mantan ratu waria, “namun dia telah bertobat dan kembali ke ‘kodrat’nya”, demikian kata Tukul. Aku tidak menonton kelanjutan acara itu.
Kodrat oh kodrat.
Aku ingat pernyataan beberapa antropolog yang mengemukakan bahwa mengkotakkan manusia hanya dua jenis kelamin tidaklah adil, meskipun secara biologis manusia hanya terbagi menjadi dua, memiliki penis, dan memiliki vagina. Ada antropolog yang mengatakan selain laki-laki dan perempuan, masih ada lagi jenis ‘gay’ dan ‘lesbian’ yang orientasi seksualnya ke sesama jenis kelamin. Gay dan lesbian di sini tetap mengakui bahwa diri mereka laki-laki dan perempuan. Jenis lain lagi yakni transseksual. Male-to-female transseksual adalah orang yang dilahirkan memiliki penis namun merasa diri mereka sebagai perempuan, sehingga mereka pun hanya tertarik kepada laki-laki. Dorce adalah contoh male-to-female transseksual yang terkenal, dan dia memiliki uang untuk operasi ganti kelamin. Female-to-male transseksual adalah orang yang dilahirkan memiliki vagina namun mereka merasa diri sebagai laki-laki sehingga secara seksual mereka hanya tertarik kepada perempuan. Belum ada contoh female-to-male transseksual yang cukup terkenal di Indonesia. Mereka ada namun lebih memilih ‘bersembunyi’ karena masyarakat menganggap mereka sakit secara psikologis.
Kapankah masalah kodrat/melawan kodrat (alias created versus constructed) ini benar-benar dipahami oleh masyarakat luas?
PT56 14.30 090508

Selasa, September 25, 2007

Free Sex (2)

Ketika melemparkan artikel yang berjudul “Free Sex: a ‘co-culture’ in Indonesia (already)?” ke milis RumahKitaBersama beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan sambutan hangat berupa beberapa komentar dari beberapa member milis. Berikut ini beberapa postingan yang sempat kudownload:

Icha Koraag:

Rasanya perkembangan free seks di Indonesia terutama di kalangan pelajar tak lepas dari kebebasan memperoleh informasi. Termasuk memperoleh informasi yang salah. Dalam sebuah penelitian study kualitatif yang aku lakukan di kalangan mahasiswa/i tahun 2006. Semua responden mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Baik sekedar pegangan sampai penetrasi.

Sebagian besar menjawab mulanya karena rasa ingin tahu kemudian diikuti perasaan enak/nyaman. Dari yang bermula sekedar sentuhan terus menjadi lebih jauh. Tidak ada perasaan takut karena semua menjawab tidak akan mati hanya dengan melakukan hubungan seks.

Ketika ditanyakan mengenai penyakit kelamin sampai HIV dengan tegas mereka menjawab, melakukannya dengan bersih. Artinya selain tidak terlalu sering berganti pasangan (Umumnya melakukannya denganpacar) dan tidak takut memeriksakan diri ke dokter.

Kehamilan? Kondom dan pil KB yang mudah di dapat, bisa jadi andalan. Ketika dipertanyakan soal moral atau arti keperawanan/keperjakaan. Semua tertawa dan berkomentar "Gini ari ngomongin soal perawan/perjaka? Langka deh!!!"

Aku menyimpulkan nilai-nilai sosial remaja Indonesia sudah bergeser jauh dari nilai-nilai sosial yang lama. Ketidak takutan mereka terhadap dampak dari hubungan seks sudah bisa diatasi karena tingkat kecerdasan mereka juga sudah meningkat seiring terbukanya
kesempatan memperoleh informasi.

Kita tidak bisa bicara soal moral karena moral bagi sebagain remaja khusunya remaja Jakarta hanya ada dalam buku-buku sekolah dan naseht orang tua. Tidak mematuhi aturan tersebut tidak membuat mereka berhadapan dengan neraka. Artinya mereka sadar benar dengan kehidupan nyata dan mereka berbicara berdasarkan pada kenyataan. Sesuatu yang absurd seperti pesan moral atau agama, dipahami lebih luas.

Bagi mereka masih lebih baik melakukan kehidupan seks bebas daripada menjadi koruptor atau pembunuh dan sejenisnya. melakukan seks sebelum menikah selama berdasarkan suka-sama suka, nikmati saja.

Memang penelitian ini memakai responden mahasiswa/i tapi usia mereka tak jauh berbeda dari anak-anak SMA. Bahkan mereka tidak malu menyebut berbagai istilah yang jujur membuat telinga dan wajahku merah.

Tidak ada motivasi apa-apa/ Dan lebih celaka lagi, sebagian besar melakukannya di rumah. Baik di rumah si cewek atau si cowok bukan di tempat lain. Sebagian mengatakan pada waktu melakukannya ada yang ortunya di rumah ada yang tidak.

Sehingga pada waktu itu (Aku menuliskan artikel) jadi mempertanyakan apa gunanya melarang penerbitan majalah Playboy Indonesia kalau kenyataannya free seks adalah hal biasa?

Salam
Icha


Angel:

Mbak Icha yang baik, apa kabar?
Topic menarik dari postingan mbak Nana mengenai "Free Sex" dihubungkan dengan penemuan penelitiannya mbak Icha mengenai kehidupan sex para remaja dan pemuda di Indonesia, tampaknya sangat relevan dengan kenyataan. Tampaknya, kita semua mengacu masalah sexual tersebut kepada berapa "ukuran moral" seseorang dari kelakuan sexualnya.
Dalam topic ini, mungkin memerlukan ulasan yang rumit dari para ahli ilmu sosial dan ahli moral (ahli agama dan philosophy). Siapa dari kita disini yang berada di bidang tersebut? yang bisa mengulasnya lebih detail? Salah satunya pasti mbak Icha dan mbak Nana. Mohon para saudara kita semua di RKB, jika tertarik, bisa turut serta untuk nimbrug mengulas topicnya mbak Nana mengenai "Free Sex", yang mungkin sebaiknya di ulas lebih detail kepada topis "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia"

Salam hangat mbak Icha
Angel


Icha Koraag:

Dear Angel!
Kabar saya baik.
Postiongan Nana dengan topic Free Sex memang menarik untuk didiskusikan. Apalagi Nana punya anak gadis, sehingga hal tersebut menjadi perhatian serius Nana.

Aku bukan pakar hanya punya sedikit pengalaman berhadapan dengan remaja dalam penelitian yang kebetulan menyangkut free sex. Akan menjadi lebih bermanfaat jika semua anggota RKB ambil bagian dalam diskusi ini.

Karena memang sulit sekali mecampurkan kehidupan nyata saat ini dengan pesan moral atau agama.

Salam
Icha


Roslina:

Mbak icha,
Anak-anak muda yg diajak utk menghormati/hargai nilai moral apalagi agama akan lebih cendrung utk menyepelekannya/melwan jika ajaran itu tdk disertai dgn perilaku yg benar-benar mencerminkan ajaran moral itu sendiri. Itulah yg jadi kunci.

Banyak orang sok relejious, misalnya orangtua suruh anak-anak sembahyang, tapi perilaku orangtua yg mereka saksikan sendiri tdk mencerminkan sesuatu yg istimewa.

Anak generasi sekarang selain mudah dapat info, mereka juga tahu kalau orangtua mereka melakukan penyelewengan seks, masak mereka diminta harus lebih baik dari orangtua mereka?

Menurut saya info dari luar, atau tepatnya pengaruh dari luar adalah faktor kesekian bukan faktor utama.

Salam
Roslina


Roslina:

40 thn. yl. salah seorang teman sekelas kakak saya tiba-tiba muntah-muntah di sekolah. Kakak saya sama sekali ngak mengerti apa yg terjadi dgn sahabatnya. Tapi karena dia sahabat, akhirnya si sahabat dgn rasa takut, bingung diiringi tangisan dan suara terpatah-patah ngaku, Ris (Damaris, panggilan pendek buat kakak saya), kali aku hamil???

Kakak saya yg mendengar kata itu lebih terkejut lagi, apa? kamu hamil?

Hanya beberapa minggu kemudian, teman kakak saya dikawinkan dengan pacarnya. Seluruh penduduk Padangsidempuan gemparrrrrrrrrrr. Setidaknya komunitas Kristen, sebab utk pertama kali (mungkin setelah saya lahir dan dapat mengingat) terjadi, hamil dulu baru dinikahkan dalam komunitas yg diatas ribuan KK. Itu 40 thn. yl.

Dua puluh tahun lalu keadaan semakin parah. Walau dalam agama Kristen hanya diijinkan seorang lelaki beristri satu, tapi kenyataan memaksa seorang lelaki kristen harus mengawini perempuan lain jika perempuan itu dapat membuktikan bahwa dia hamil oleh si suami perempuan lain.

Hal ini tidak dianggap normal, namun sudah terjadi, walau akhirnya, si perempuan teman selingkuh suami orang itu, lama-lama harus mengalah dan kawin lagi dengan lelaki lain.

Lama kelamaan, seorang wanita hamil, tanpa nikah sudah tidak apa-apa. Bahkan seorang wanita yg tidak menuntut lelaki yg menghamilinya utk menikahinya, juga tdk melakukan abortus melainkan mempertahankan janin yg dikandungnya, ditempatkan sebagai hero, artinya orang bertanggungjawab.

Demikianlah pergeseran moral itu berjalan terus, semakin jauh dan semakin jauh, sampai satu titik jenuh tertentu. Sekarang kita berada dalam zaman post modern. Sejarah telah melewati zaman kegelapan, renaisance, diikuti reformasi, menginjak pada demokrasi. Setiap orang berhak melalukan apa saja yg menyenangkan hatinya kan begitu? Asal jangan orang itu sampai meninju kita, kita harus toleran dan mengerti mereka. Apakah kita harus goyang kepala?

Kembali pada kata-kata Raja Salomo 2500 thn. lalu: Di dunia ini tdk ada sesuatu yg baru. Apa yg ada sekarang hanya pengulangan dari apa yg sudah ada dahulu.

Beidewe, saya baru dapat Majalah Femina, oleh-oleh dari teman yg baru kembali dari Indonesia. Salah satu artikel di dalamnya berjudul: Redam Seks bebas Rwmaja di Indramayu Sang Bupati instruksikan Tes Virginitas.

Salam Week End
Roslina


Audy:

Dear all,
Kita beruntung ada Icha yang berpengalaman dalam bidang survey, sehingga bisa membawa data dari lapangan ditahun 2006, yang relevan dengan topic ini.Melihat baru 1 tahun, untuk masalah sosial budaya harusnya masih valid.

Melihat topic yang sudah lebih diarahkan Angel menjadi "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia", coba dilihat dulu apakah hubungan free sex dengan moral di jaman sekarang? Masih seerat seperti dulukah? Saya tidak yakin apakah free sex dapat diartikan a moral? Kelakuan tidak bermoral? Rasanya belum tentu semua orang yang free sex itu tidak bermoral.

Kalau waktu saya kecil, sepertinya begitu, orang yang menganut concept free sex dianggap bejat, tidak bermoral dsb dsb.
Tapi sekarang? Sepertinya mendapat pengertian dan tempat yang lebih luas dibanding dulu, tapi tentu masih dalam batas-batas tertentu.
Perkembangan yang sama seperti kaum homo (gay or lesbi), mereka semakin mendapat tempat dan dapat diterima orang.

Kalau melihat topic yang ada disini, lebih mengarah keanak-anak muda, anak sekolah dan mahasiswa/ siswi dan mungkin juga yang baru lulus tetapi belum mapan.
Yang ada didiskusi sebelumnya, apa penyebab utamanya? Menurut saya lain negara lain sebab atau faktor utamanya, karena kondisi sosial budaya yang berbeda.

Untuk Indonesia, negara yang berbudaya ketimuran, sekitar 20 tahun yang lalu
mungkin masih mentabukan yang namanya free sex (sex pranikah), tapi sekarang mengalami pergeseran yang cepat mengikuti yang ada di negara berbudaya kebaratan.
Untuk ini saya percaya informasi memegang peranan besar. Buku bacaan, tontonan dan internet berdampak banyak bagi remaja Indonesia.
Lalu yang sudah terpengaruh, mempengaruhi temannya lagi (karena pergaulan) sehingga penyebaran menjadi cepat. Apakah peran orang tua ada? Tentu bisa saja. Orang tua yang berkelakuan tidak benar otomatis memberi celah besar kepada anaknya kearah sana.
Juga orang tua yang kurang dekat dan kurang memperhatikan anak, ikut berperan membuka pintu bagi si anak.

Bagaimana dengan negara barat? Bagi yang tinggal dinegara maju, seperti Europe or US, tidak lagi meributkan ini seperti kita. Karena memang sudah lebih diterima oleh budaya setempat, informasi tidak lagi menjadi penyebab utama karena sudah dari dulunya ada.
Faktor pergaulan dan orang tua yang lebih besar disini. Karena sudah lebih diterima, maka yang perlu dilakukan adalah kontrol yang baik, sehingga si anak memahami dengan baik apa itu sex pranikah, bagaimana supaya aman dan dengan siapa mereka begitu.

Tahun1998, keponakan saya yang tinggal di Belgium datang ke Indonesia dengan pacarnya tinggal ditempat saya. Awalnya saya bingung, mau tidur bagaimana 2 orang yang belum menikah ini?
Saya telp kakak saya dan tanya 'Anak kamu ini bilang mereka tidur sekamar berdua, apa benar mereka boleh tidur berduaan?'
Kakak saya menjawab 'Ya betul, mereka sudah dewasa, dan tahu apa yang mereka lakukan. Kita tahu siapa pacarnya itu'
'Well..., ok then' saya bilang. Done!
Itu pertama saya mengerti bahwa di negara barat memang sudah sampai di titik 'mengontrol', bukan 'melarang'. Yang dikontrol adalah dengan siapa mereka berhubungan, dan bagaimana penggunaan contraceptive. Jadi yang diterima adalah mereka boleh melakuan sex pranikah, bukannya sex dengan sembarang orang yang bisa mengundang penyakit.

Lalu bagaimana pencegahan atau pengontrolan yang baik? Bagi saya yang masih berjiwa asia, pendekatan hubungan orang tua dengan anak, sangat penting.
Contoh mudahnya Nana, selama hubungannya dengan anaknya sangat dekat, jadi
bisa mengikuti perkembangan anaknya dengan baik, dan jadi tempat bertanya sang anak.
Monitor dengan baik kehidupan si anak, mengenal teman2 mereka, sering-sering berbicara dengan mereka. Tidak perlu menutup pengetahuan tentang sex, selama dilihat dari kacamata yang benar. Itu lebih baik bagi mereka dari pada tahu dibelakang orang tua, karena internet susah untuk di firewall 100%..

Gitu ajadeh, udah panjang bener.

Salam.
Audy
(belum bisa terima sex pranikah, dasar kolot!)


Hillyard Malik (1):

itu tv, majalah. radio, cd/dvd movie, buku, internet .... yang dibaca dan ditonton oleh anak muda sekarang adalah sumbernya. Media2 ini kebanyakan dikelola oleh anak2 muda yang pintar dan cerdas, tapi "miskin moral", "miskin agama", "miskin pertimbangan".

Sumbernya jelas bukan kompas atau tempo atau tvri atau rri , karena media2 ini dieditori oleh orang2 tua yang sensornya ketat.

Tapi cobalah lihat media2 yang digemari anak2 muda sekarang, yang plek menerjemahkan langsung dari luar-negeri. Semua budaya diterjemahkan plek tanpa ada yang menyensori. Bagaimana mau menyensori "free sex", wong editornya juga free sex kumpul kebo waktu kuliah di amerika. Wa ha ha ha.

Inilah reformasi yang kebablasan. Bangsa kita ini seperti anak2 yang dibiarkan berbuat apa saja tanpa ada yang mengontrol. Harusnya ada class action kepada para tokoh reformasi seperti amin rais, megawati, gus dur, yang menjadikan moral bangsa indonesia berantakan.


Ati Gustiati:

Freesex di Indonesia itu bukan new style saya pikir, saya mau buka kartu nih, waktu usia 17, se kali2 saya gabung sama temen2 cewe saya yg punya kenalan cowo2 dari luar daerah yg tidak saya kenal sebelum nya, mereka berpasangan, hanya saya yg tunggal, bukan krn saya tak suka cowo, cuman memang kondisi hidup saya memang lain, saya tidak tertarik sama cowo hingga usia saya mencapai 19, cowo pertama yg saya suka lelaki Indonesia (menado) mamih nya bikin saya marah, lalu saya tinggalkan dan sejak itu saya tak pernah lagi punya pacar sesama bangsa, saya kemudian bertemu lelaki german dan menikah, jadi experience sexual saya selama remaja memang tidak cukup ya....(ahhha rugi deh gue),

anyway, Jeep melaju ke daerah pantai, disana kami tinggal didalam cottages, mulai menyeruput ganja, dan mendengarkan lagu2 rollingstones, richie blackmore, pink floyd dll, temen2 saya itu gantian pasangan, mereka bersenggama didepan kita semua, ada memang cowo yg mencoba mendekati saya..saya tolak halus " gue gak suka sex dan gue gak tertarik sama cowo " gitu kalau gak salah kata saya..saya memang dulu tomboy dan paling ceplas ceplos kalau ngomong.
Setelah pengalaman itu, saya tau bahwa temen2 saya sudah tidak perawan lagi, mereka sudah mahir bercinta dan bersetubuh dengan lawan jenisnya, bukan itu saja temen2 saya inipun memang sudah sering gunta ganti pasangan tanpa rasa was2 lagi.
Lalu pengalaman berikutnya di Bandung, ada kenalan istrinya org indonesia, suaminya bule (Perancis), setiap hari Yeni pergi ke kursus kecantikan, tetapi sebelum pergi ke tempat kursus dia mampir disebuah rumah kontrakan yg dihuni oleh 2 pria idnonesia, mereka melakukan threeseome (persetubuhan antara 3 orang), saya dapatkan info itu dari supirnya, sekaligus dari Yeni sendiri, Yeni malah ajak saya utk foursome, gile ! pikir saya.

So, freesex is existed sejak duluuuuuuuuu sekali, kenpa tidak muncul ke permukaan ? karena kita munafik, kita tidak jujur utk mengungkapkan opini2 kita, kita mendidik anak2 kita utk membohong demi utk menyenangakan orang tua, guru dan lingkungan, dulu kalau mau tanya soal dari mana anak keluar aja si ibu jawabnya dari puser lah, dari keajaiban lah, tau2 gubrak kepala anak nongol dari dalam perut, lalu kalau kita tanya kenapa gak boleh berghubungan sex sebelum nikah, jawaban nya kayak dongeng zombie, dipanggang di api neraka lah, di coblos besi panas lah vagina kita, di nista lah, disiksa lah...aduuh edan, bikin observasi generasi remaja kita pada kabur jadinya, enggak ada structure yg terarah, dan akhirnya otak dan pengertian umum pun tentang freesex jadi kabur, jangankan di Jkt, di Aceh pun ada freesex, di amrik freesex di praktekan karena mereka umum nya sudah mengerti apa resiko nya, mereka tau preventing terhadap STD (penyakit kelamin) serta kehamilan dini dll, di Indonesia banyak kebodohan yg disembunyikan, ada yg msh tabu bicara soal sex, padahal kalau semua serba terbuka dan mendidik, sex bisa tertib dan dipertanggung jawabkan.
Anak saya umur 9 thn udah dididik basik sexual di sekolah, sekrang dia malah lebih pinter dari saya menerangkan bagaimana kehamilan dan penyakit kelamin ditularkan dll.., thats a good idea I think, kalau generasi muda dikasih landasan atau knowledge yg baik pasti tidak akan nyasar berat ke depan nya.

Anyway, freesex is everywhere, kalau di Indo majalah Playboy dilarang beredar karena dianggap bisa merusak moral generasi bangsa, that is a complete idiot !!!

that is my two cent opinion about freesex

omie


Angel:

Benar apa yang Hillyard Malik katakan bahwa definisi free sex itu yang mana? Apakah hubungan sex pranikah dengan pasangan resmi yang nantinya akan menikah, atau selingkuhan atau dengan siapapun? Yang jelas saat ini konotasi free sex dicampur adukkan, pokoknya sex pra nikah itu semua dianggap freesex. Jika konotasi itu yang dihindari, berarti semua pasangan yang akan menikah seharusnya VIRGIN? Apakah begitu?

Mbak Omie juga benar, free sex itu ada sejak dahulu kala...Contohnya, sewaktu saya usia 6 tahunan, sudah lebih dari 30-35 tahun lalu saya ingat tetangga saya di pulau Lombok ribut2.. masalahnya, anaknya yang masih gadis jelas 2 SMP hamil dan yang menghamili itu adalah termasuk omnya sendiri.

Kemudian sewaktu kami pindah ke pulau kalimantan, kira2 saya berumur 9-10 tahunan, kembali ada tetangga saya yang ribut2.. karena anak gadisnya yang masih SMA hamil dan laki2 yang menghamilinya adalah juga anak tetangga lainnya. Ribut2nya ramai sekali hampir terjadi perang saudara karena si laki2 menolak mengakui bahwa itu akibat perbuatannya, padahal kita semua tau jika mereka itu berdua diam2 berpacaran. Kami yang anak2 sering melihat mereka berdua sembunyi2 bertemu pojok2 rumah.
Sewaktu saya remaja, ada beberapa teman sekolah yang kedapatan hamil.. beberapa bahkan ada yang berasal dari keluarga fanatik agama. Yang parah, saya banyak menemukan banyak para suami yang menghamili para pembantunya atau pegawainya. Bahkan demi menghindari rasa malu bagi si suami dan keluarganya, si istri mengantarkan pembantunya ke klinik aborsi.
Dari pengetahuan saya tersebut, mereka ada yang menyelesaikannya dengan perkawinan, menggugurkan ataupun dibiarkan saja menjadi tanggung jawab si wanita dan keluarganya.

Setelah saya belajar di Australia saya menemukan banyak anak2 mahasiswa yang kumpul kebo atau punya pacar yang tidak serumah tetapi secara rutin mereka berhubungan sex.. tetapi ada juga teman saya yang orang Amerika keturunan Jewish, cantik dan ramah, tetapi mengaku kepada kami semua bahwa pada umurnya yang cukup dewasa itu dia masih gadis.. dan akan menjaga kegadisannya sampai dia menikah nanti. Di Universitas, ada juga gadis Iran yang sudah menikah sejak usia dini dan mempunyai satu anak, akhirnya mereka bercerai, anaknya dibawa suaminya. Setelah itu dia menjalin hubungan
Dengan orang Italia dan hidup bersama2 (kumpul kebo) dengan seorang peneliti orang Italia. Beberapa tahun kemudian, mereka menikah, mempunyai anak2 dan tampaknya hidup bahagia.

Sedangkan saya? Saya datang dari keluarga yang tidak religious, hanya sering dibekali nilai2 tanggung jawab dan sebab akibat yang cukup kuat untuk meghadapi hidup. Jika week end, kadang2 para mahasiswa mengadakan suatu pesta yang disebut "Animal party" Saya ikut saja berparty dengan mereka... tetapi tidak mau ikut drinking beer sampai mabuk.. dan pada akhirnya menjadi ajang sexual ria. Saya tidak sendirian, karena cukup banyak juga ahasiwa yang sama seperti saya, hanya ikut berparty, tetapi MEMILIH untuk
Membatasi diri dan MEMILIH untuk tidak mengikuti apa yang orang lain lakukan. Jelas sekali saya atau setiap orang boleh MEMILIH apa yang dilakukan orang lain.
Mengapa saya tidak mau minum beer sampai mabuk? Karena saya tidak suka beer, rasanya pahit dan tidak nyaman di lidah saya. Kalau saya paksakan, walaupun baru beberapa teguk, nanti pasti muntah. Saya suka wine dan setiap kali hanya minum 2-3 gelas wine, takut nanti kalau pulang tidak bisa menyetir atau takut kena alcohol test... Juga wine penelitian menunjukkan bahwa jika diminum dalam jumlah tertentu, akan cukup bagus untuk kesehatan, asal jangan terlalu banyak.

 

Mengapa saya tidak ikut sexual party? Jika mau kan bisa saja dan siapa yang mau protes? Saya tidak lakukan hal2 semacam itu bukan karena saya beragama atau tidak, tetapi karena saya punya pilihan untuk menghormati laki2 yang saya cintai dan MEMILIH menghormatinya dengan cara bersetia dengannya. Ada banyak orang, dengan alasan2nya pribadi juga melakukan cara yang sama dengan cara saya, dan mereka berasal dari berbagai latar belakang keluarga, baik yang fanatik maupun atheis.

Jadi saya menceriterakan pengalaman pribadi ini, untuk menjelaskan pendapat saya pribadi.. bahwa peran suatu agama di dalam menanamkan nilai2 kehidupan, dengan cara pembatasan gerak para manusia agar tidak melakukan apa yang dikatakan "Free Sex" itu tidaklah terlalu relevan. Seperti pengalaman mbak Omie, dia tidak melakukan hal2 yang dia tidak inginkan seperti threesome or foursome seperti yang dijelaskan di bawah ini, tampaknya tidak dipengaruhi oleh nilai2 yang diberikan oleh agamanya tetapi dari nilai2 yang dia peroleh sebagai manusia yang tidak ingin merugikan dirinya sendiri. 
Dari pengalaman saya pribadi, terbukti, banyak di keluarga yang fanatik agama, hal2 kehamilan di luar nikah bisa terjadi juga.. Sedangkan di keluarga yang dianggap atheis kadang2 hal2 semacam itu bisa terjaga dengan baik.. Buktinya banyak yang saya temui termasuk orang Amerika itu yang ingin menikah virgin, padahal saya tidak pernah melihatnya pergi ke gereja. 
Sedangkan pengalaman2 saya di tanah air, banyak melihat orang melakukan tindakan sexual yang tdk bertanggung jawab, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, menghamili keluarganya sendiri atau para pembantu, berselingkuh dan lain2 yang menghancurkan rumah tangganya sendiri. bahkan tetangga saya sendiri di kampung ini, seorang dokter specialist harus ribut2 dengan istrinya gara2 rumahnya kedatangan tamu wanita dari pulau seberang yang mengaku hamil akibat perbuatan selingkuh suaminya. Padahal keluarga dokter ini, terlihat sangat fanatik beragama.

Sering kita mendengar orang2 menyalahkan media, technology internet bahkan arus budaya bangsa lain atas kerusakan yang kita derita. Kita lupa, bahwa kerusakan yang kita sendiri rasakan sebenarnya adalah akibat pilihan perbuatan kita sendiri. Dunia semakin terbuka, adanya globalisasi dan tuntutan reformasi diri kita untuk mengikuti perkembangan dunia tidak bisa kita hindari. Terbukanya keran2 pembatas keterbelakangan dunia di berbagai bidang, termasuk technology dan budaya juga terbuka. Bagaimana bisa kita menutup keran arus budaya lain sementara kita inginkan technologynya?
Hal itu bisa terjadi jika kita sendiri memilih yang terbaik... mengajarkan anak2 kita untuk bisa mengikuti perkembangan dunia tetapi tetap mampu memilih apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Melalui agama? bukankan selama ini kita telah melakukannya? Bukankan bangsa2 lain juga melakukannya? Kita melihat bagaimana Arab saudia dan Malaysia gencar sekali menerapkan agama di dalam kehidupannya? Lalu apa yang telah dilakukannya terhadap bangsa Indonesia yang bekerja di negaranya? Belum lagi kasus2 yang ada di dalam komunitas mereka sendiri, yang jelas tidak akan bisa kita ketahui, karena mereka begitu tertutup.

Mohon maaf jika pendapat saya pribadi mungkin berbenturan dengan pendapat2 lainnya. Mohon petromaknya.

Salam hangat
Angel


Hillyard Malik (2):

mungkin definisi freesex harus sepakat dulu, supaya diskusi jangan melebar kemana-mana
- hubungan sex sebelum nikah
- hubungan sex dengan bukan pasangan resmi / selingkuh

penolakan atas freesex bisa dilihat dari segi agama, segi peraturan permerintah, etika bermasyarakat.

Jadi kalau anak dari kecil sudah dididik agama dengan baik, dikenal dengan peraturan pemerintah dan etika bermasyarakat disertai dengan kontrol dan arahan dari orang-tua, lingkungan, dan masyarakat, free-sex ini bisa ditekan.

Sekarang ini yang terjadi pendidikan agama kurang, pengajaran etika kurang, keluarga, lingkungan masyarakat serba cuek tidak ada kontrol, permisif, pemerintah dan polisi seperti salah tingkah untuk mengontrol apa yang katanya hak individu, dsb dsb dsb dsb.

Mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, lingkungan sendiri ..... ah jadi teringat Aa Gym ... :)


Well, mungkin memang sebaiknya aku memulai dengan menulis definisi ‘free sex’. Namun mengacu ke dua kategori yang ditulis oleh Hillyard, yang kumaksud free sex ya keduanya itu, sex yang dilakukan out of wedlock, baik yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah, maupun yang telah menikah namun melakukannya dengan bukan istri/suami. Sedangkan dalam postinganku sendiri, memang aku lebih menitikberatkan ke kategori yang pertama. Selain itu juga kategori usia yang menurutku masih sangat belia untuk mengenal seks (baca  intercourse), plus melakukannya di areal sekolah membangkitkan kekhawatiranku.
Pertama kali membaca komentar Icha Koraag tentang pengalamannya melakukan survey tentang perilaku remaja di Jakarta terhadap free sex cukup mengejutkanku karena ternyata perilaku remaja di Jakarta tidak begitu berbeda jauh dengan para remaja di kota metropolitan di negara-negara lain (paling tidak dari film-film yang kutonton, dan novel-novel ataupun berita yang kubaca). Jakarta sebagai satu kota metropolis di Indonesia, sumber berkumpulnya para produser media, baik elektronik maupun cetak, aku yakin akan mempengaruhi perilaku remaja-remaja di kota lain. (Aku masih percaya bahwa medialah pihak yang paling bertanggung-jawab dalam perembesan satu budaya ke dalam budaya lain.).
Namun membaca postingan Omie (Ati Gustiati), aku semakin shocked lagi, karena apa yang dia ceritakan terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Jikalau sekarang kita bisa menyalahkan media sebagai sumber ‘penyebaran budaya luar tanpa kontrol’ melalui internet (terutama) dan televisi/radio/majalah/surat kabar, media pulakah yang harus bertanggung-jawab bila hal tersebut terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu? Apa yang diceritakan oleh Omie sangat jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Roslina, karena jelas yang terjadi di depan mata Omie itu merupakan pilihan bagi para pelaku, yang ditulis oleh Roslina bisa jadi merupakan suatu ‘kecelakaan’ karena ketidaktahuan kedua pelaku bahwa apa yang mereka lakukan akan membuahkan kehamilan.
Namun menyalahkan begitu saja bahwa budaya free sex merupakan budaya adopsi dari Barat sangatlah tidak bijaksana. Seperti apa yang ditulis oleh Ayu Utami dalam artikelnya yang berjudul “Timur dan Barat” di dalam bukunya SI PARASIT LAJANG, (untuk lengkapnya klik saja alamat ini http://themysteryinlife.blogspot.com/2007/03/timur-dan-barat.html )
Sekarang kita orang Timur menuduh orang Barat tidak bermoral karena free sex, sedangkan beberapa abad lalu justru orang Belanda yang menuduh orang Indonesia tidak bermoral.
Jadi ingat omongan orang-orang tua yang kudengar beberapa dekade yang lalu. Kita sesungguhnya tidak membutuhkan pendidikan seks (baca  how to do sexual intercourse) karena kita semua bisa belajar secara otodidak. Toh meskipun orang-orang tua kita tidak pernah mendapatkan pendidikan yang semacam itu, mereka ‘berhasil’ memiliki keturunan. (Di zaman itu diyakini bahwa keberhasilan melakukan seks berupa kehamilan.) Hal ini berarti bahwa setiap orang diberi suatu ‘instink’ atau intuisi bagaimana memuaskan diri mereka sendiri secara seksual.
Kalaulah apa yang dikatakan oleh Hillyard bahwa perilaku seks bebas ini bisa dikontrol dengan pemberian pendidikan agama dengan baik, seharusnya apa yang diceritakan oleh Roslina dan Angel—beberapa perempuan yang hamil berasal dari kalangan keluarga yang terkenal peraturan agamanya sangat ketat alias relijius.
Dalam hal ini aku lebih setuju kepada Omie dan Angel bahwa kita justru bisa mengontrol perilaku seks bebas ini dengan baik bila terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dan anak-anak. Kita tidak bisa menghentikan keingintahuan para remaja tentang seks dengan, misalnya, menyensor film-film apa yang mereka tonton, karena toh mereka akan bisa menonton apa yang dilarang di rumah di luar rumah. Seks bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Apalagi mengingat kita semua dilahirkan dengan memiliki sexual desire yang tidak mudah dikontrol hanya dengan mengatakan, “Kamu akan dibakar panasnya api neraka jika melakukannya di luar institusi yang sah, yakni perkawinan.” Remaja-remaja sekarang lebih membutuhkan sesuatu yang nyata, yang langsung mengena, yakni seperti apa yang ditulis oleh Omie. Seandainya pendidikan seks diberikan kepada remaja-remaja kita sejak dini, mereka akan lebih bertanggung-jawab dengan apa yang mereka lakukan. Mereka diharapkan bisa melakukannya dengan terkontrol—seperti apa yang diceritakan oleh Audy—sekaligus menjaga kesehatan dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan—seperti apa yang ditulis oleh Omie.
Aku juga setuju dengan apa yang ditulis oleh Audy bahwa mereka yang melakukan hubungan seks di luar nikah tidak serta merta bisa kita tuduh sebagai orang yang tidak bermoral. Mereka melakukan hubungan seks dengan sadar, tanpa merugikan pihak lain. Berbeda dengan para koruptor yang merugikan rakyat banyak dan juga bangsa dan negara.
Satu hal yang sangat kusayangkan adalah bahwa kita orang Indonesia masih menutup mata dengan kenyataan bahwa seks bebas telah terjadi di masyarakat kita selama beberapa dekade—dan mungkin lebih lama lagi. Seperti apa yang dikatakan oleh Omie, karena kita munafik dan tidak mau mengakui bahwa free sex does exist in our society. Seharusnya kita segera mencari jalan keluar untuk mengurangi resiko free sex ini—bukannya mencari jalan keluar bagaimana mengurangi jumlah seks bebas, karena terbukti pendidikan agama tidak berhasil meredamnya. Memberikan pendidikan seks kepada anak-anak kita sejak dini adalah salah satu cara yang jitu menurutku sehingga diharapkan kita akan bisa mengurangi resiko menularnya penyakit kelamin dan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Menghukum” para pelaku seks bebas dengan julukan “perek” dan sebaainya itu tidak memecahkan masalah. Bahkan justru menyebabkan masalah lain timbul, misal, karena sudah dicap sebagai ‘perek’ di lingkungannya, seorang remaja akan kehilangan harga dirinya, atau mungkin akan kehilangan rasa harus menjaga kesehatan reproduksinya karena sudah telanjur dicap ‘perek’ dengan melakukan seks bebas tanpa kontrol.
PT56 10.15 250907

Sabtu, September 08, 2007

Waria dan KDRT

Berdasarkan talkshow untuk lebih mensosialisasikan UU PKDRT yang dilaksanakan di Fakultas Sastra Undip beberapa waktu lalu, aku mendapati angka lebih dari 90% korban KDRT adalah perempuan, selebihnya adalah laki-laki. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah perempuan sebagai korban KDRT. Kebanyakan korban ini tentu saja berasal dari mereka yang buta hukum, buta hak-hak mereka dalam rumah tangga, korban indoktrinasi kultur patriarki yang sering dibungkus oleh ajaran agama (contoh: perempuan yang selalu mengalah kepada suami akan masuk surga. Satu hal yang belum pernah ada yang membuktikan karena belum ada orang mati, masuk surga, atau masuk neraka, kemudian ‘hidup’ lagi, sehingga bisa diinterogasi mengenai kebenaran ajaran yang disebarluaskan di tengah masyarakat.) Pendidikan tinggi seorang perempuan (misal lulus dari universitas strata satu) belum tentu menjanjikan bahwa mereka tahu hak-hak mereka.
Akan tetapi satu hal yang mungkin kurang disentuh dalam KDRT adalah kekerasan yang terjadi kepada waria (baik yang masuk kategori ‘transvestite’ maupun kategori ‘transseksual’; pengkategorian ini diberikan oleh James Danandjaja dalam artikel pendeknya yang berjudul “Homoseksual atawa Heteroseksual dalam Jurnal Srinthil Media Perempuan Multikultural terbit Oktober 2003). Dalam edisi yang sama, Endah Sulistyowati menuliskan hasil risetnya yang diberi judul “Waria: Eksistensi dalam Pasungan”. Dalam artikel ini, Endah menjelaskan hubungan antara waria, prostitusi, termasuk penyakit seksual yang dihasilkan dari relasi seksual waria dan laki-laki. Sedangkan dalam sub ‘Relasi Gender Waria Jatinegara’, Endah menggambarkan kekerasan yang biasa diterima oleh para waria dalam ‘rumah tangga’ yang mereka bina dengan laki-laki yang menjadi pasangan hidupnya. Peran waria dalam kehidupan ‘rumah tangganya’ tidak hanya terbatas pada mencari nafkah dan melayani kebutuhan suami atau pacar tetapi juga sebagai pelindung. Waria akan melakukan apa saja untuk melindungi pasangannya walaupun ternyata yang bersalah adalah pasangannya. Mereka biasanya takut jika secara tidak sengaja menyakiti hati pasangannya, karena mereka tidak mau ditinggalkan begitu saja oleh pasangannya. Akan sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan pengganti. Selain itu di kalangan waria, memiliki laki-laki yang seorang heteroseksual sebagai pasangan hidup merupakan satu hal yang sangat membanggakan bagi mereka; karena dengan begitu, eksistensi mereka sebagai ‘perempuan’ akan lebih diakui. Untuk ‘mengikat’ pasangan hidupnya itulah, mereka akan selalu rela jika diperas tenaganya untuk mencari uang, untuk melayani pasangan laksana melayani seorang raja (layaknya seorang istri yang berbakti kepada sang suami). Dan jika di kemudian hari ternyata si laki-laki meninggalkan mereka, mungkin karena telah ada perempuan “asli” yang mau menampung si laki-laki sebagai pasangan hidupnya, tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh para waria tersebut selain menerima keadaan tersebut, dalam keadaan terluka hati dan jiwanya, juga eksistensi mereka. Bahkan kadang semua harta yang mereka hasilkan dari kerja selama bertahun-tahun pun raib dibawa laki-laki tersebut.
Di dalam UU PKDRT no 23 tahun 2004, hak-hak para waria ini tidak disebutkan, tentu karena di Indonesia, eksistensi mereka belum diakui. Hukum di Indonesia hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki (bagi mereka yang dilahirkan berpenis) dan perempuan (bagi mereka yang dilahirkan memiliki vagina dan berpayudara).
Mengacu ke tulisanku yang kuberi judul “Dorce Show”, Dorce adalah contoh seorang transseksual (mengikuti definisi James Danandjaja) yang beruntung memiliki uang banyak sehingga dia bisa melakukan operasi ganti kelamin, dan menyuntikkan hormon-hormon seks dari lawan jenis kelamin.agar bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenisnya. Jika Dorce tidak memiliki empati kepada para perempuan “asli” yang menerima kekerasan dalam rumah tangga dari suami mereka, apakah dia memiliki empati kepada ‘rekan sejawatnya’ yang belum mampu melalukan operasi dan mendapatkan kekerasan dari laki-laki pasangan hidupnya?
PT56 13.00 080709

Jumat, September 07, 2007

Free Sex: ‘co-culture’ in Indonesia (already)?

Semalam, Rabu 5 September 2007, aku dan Angie makan malam di kafe “Kahuripan”, tempat kita biasa ‘merayakan’ sesuatu hanya berdua saja. Misal: waktu Angie lulus SMP lebih dari setahun yang lalu (kebetulan dia bersekolah di SMP N 1, yang lokasinya dekat dengan kafe “Kahuripan”), kemudian Angie diterima di SMA N 3, Angie masuk jurusan IPA—jurusan yang dia inginkan, agar dia bisa mendaftar di Fakultas Psikologi nanti setelah lulus SMA. Occasion apa semalam? Tentu kemenanganku dalam lomba blog yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Komputer Unika Soegijapranata. Namun, tentu saja tidak hanya dalam occasions tertentu saja aku dan Angie mampir ke kafe tempat nongkrong anak-anak SMP N 1 dan SMA N 6 Semarang (kedua sekolah ini kebetulan terletak di jalan yang sama, Jl. Ronggolawe Semarang). Kadang-kadang kalau aku dan Angie kangen masakan yanb biasa kita pesan di kafe ini.
Seperti biasa, yang paling kunikmati tatkala eating out berdua dengan Angie adalah saat Angie bercerita tentang teman-temannya, sekolahnya, dll. Pada saat-saat seperti itu, Angie biasa bercerita banyak tanpa aku perlu ‘menginterogasinya’. LOL.
Dan, yang diceritakan oleh Angie semalam benar-benar membuatku shocked—areal sekolah telah menjadi tempat pilihan untuk melakukan hubungan seks!
Sebenarnya Angie telah membawa ‘wacana’ ini kepadaku sejak seminggu yang lalu, namun aku tidak dengan mudah mempercayainya. Apalagi tatkala Angie menyebut nama seorang guru yang—I am really to say this --menurutku sok tahu dan fussy banget. (Ini berdasarkan pengalamanku sendiri waktu belajar di sekolah itu lebih dari 20 tahun yang lalu.)
Aku bilang ke Angie, “Honey, don’t easily believe in what people say. Moreover you know I know that particular teacher well. Don’t easily judge your friends to do that so-called immoral thing. Ok?”
“But Mama, I am sorry to say that she was not the only one who said such a thing. Some other teachers also said the same thing. One of the janitors also saw some students doing ‘that’ in the classroom. The rumor said that the students threatened the janitor not to tell the teachers.”
Waktu itu obrolan berhenti di situ mungkin karena suasana yang kurang mendukung kita berdua untuk curhat.
Obrolan baru berlanjut tadi malam di kafe “Kahuripan”. Angie bercerita lebih panjang lebar ini itu, itu ini, bla bla bla ...
Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang.
Aku mencoba mengingat kembali zamanku dulu tatkala masih duduk di bangku SMA. Tidak ada kisah sepasang cowo cewe terpergok guru ataupun siapa sedang melakukan sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan di sekolah. Ada gosip yang mengatakan beberapa temanku saat itu kalau pulang dijemput ‘om om’. Namun tentu saja waktu itu tidak ada kisah ‘terpergok’ di sekolah. Dan aku ingat, pada waktu itu, ruang-ruang kelas di gedung SMA N 3 dipakai oleh sekolah swasta, SMA PGRI 2 yang memang waktu itu belum memiliki gedung sendiri. (Btw, sekolah itu masih eksis ga ya sekarang? Kok aku ga tahu kelanjutannya? Atau memang aku ini tipe pasif dan ignorant. )
Aku yakin, kisah ini tidak hanya terjadi di sekolah terfavorit di Semarang. Tentu hal ini pun terjadi di sekolah-sekolah lain. Fenomena ini telah menggejala di seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar.
(Aku jadi ingat cerita seorang teman chat. Dia pernah chat dengan seorang cewe, masih duduk di bangku SMA. Cewe ini mengajaknya kopi darat. Setelah kopi darat, si cewe yang mengendarai mobil lumayan mewah ini mengajaknya mampir ke sebuah hotel dan mengajaknya having sex. Berhubung si cewe ini cantik, dan temanku mengaku sebagai seorang laki-laki hetero yang ‘normal’, (yang menolak berarti tidak normal. LOL.) they had sex. Waktu mengetahui bahwa ternyata si cewe masih perawan—baca  temanku mengaku dia yang merobek selaput dara si cewe cantik berusia belasan tahun itu, terbukti dari darah yang keluar dari vagina—temanku terheran-heran. Konon setelah kejadian itu, mereka tidak pernah kontak satu sama lain. Tatkala temanku kudesak kira-kira motivasi apa yang dimiliki oleh si cewe itu to invite him for a hot date, dia bilang, “Well, mungkin saja dia taruhan dengan temannya, atau apa kek, dimana dia bakal malu kalau ketahuan dia masih ‘perawan’ dan belum punya pengalaman to have sex. Di Jakarta hal seperti ini sudah umum!”)
Aku ingat zaman kuliah waktu mempelajari tentang ‘sub-culture’ (yang kemudian kuketahui sebagai ‘co-culture’ untuk menunjukkan kesetaraan ‘culture’ ini dengan ‘culture’ yang lain, dan bukan ‘sub-culture’ yang konotasinya berada ‘di bawah’ ‘culture’ yang mainstream) ada pertanyaan, “What is sub-culture of America?” pertanyaan yang kedengarannya nampak mengada-ada ini bisa kita ganti dengan “What is sub-culture of Indonesia?”
Di awal kuliah di American Studies UGM, ada satu pertanyaan yang menggelitik dari salah satu presenter yang juga dosen pada kesempatan “General Stadium”. “What is the culture of America?” Kita-kita yang (masih) orang awam tentang American Studies, menjawab sekenanya, such as, “free sex”, “individualistic” “hip hop culture”, “pluralism” “freedom” dan masih banyak lagi. Bagi mereka yang pernah mendapatkan kuliah “American Studies” waktu duduk di bangku S1, mungkin menjawab dengan jawaban yang lebih keren, seperti “American dream: from rags to riches”, “middle class society”, “the pursuit of happiness”, dll.
Seandainya pertanyaan “What is the culture of Indonesia?” mungkin jawaban yang akan keluar adalah, “gotong royong, andap asor, toleransi, ramah tamah,” dll. Free sex? Tentu kita akan dengan lantang mengatakan “TIDAK!”
Namun lihatlah apa yang telah terjadi pada bangsa kita belakangan ini. Tidak adakah free sex di kalangan orang-orang Indonesia? Jawabannya tentu adalah “ADA”. Akan tetapi karena kita tidak mengakuinya, bisa saja free sex—yang nampaknya telah terjadi secara meluas di masyarakat—kita sebut sebagai ‘co-culture’. Mau tidak mau it has existed.
Bagaimanakah pihak sekolah Angie menyikapi hal ini? Pihak sekolah mulai lebih ketat mengadakan pengawasan kepada anak-anak. Jika sebelum ini para guru membiarkan para siswa-siswinya ‘berkeliaran’ di sekolah (dengan alasan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ini itu, aktif di OSIS dan sebagainya) setelah jam sekolah usai, sekarang para guru mulai dengan ketat ‘mengusir’ anak-anak untuk segera meninggalkan areal sekolah jika memang tidak ada kegiatan yang jelas.
“Do you want to know why honey?” aku tanya Angie.
“Why Mama?” Angie bertanya balik.
“Pihak sekolah tidak mau ikut bertanggung jawab. No matter what, jika hal tersebut terjadi di sekolah, pihak sekolah akan ikut dituding sebagai pihak yang membiarkan hal tersebut berlangsung. Namun jika hal tersebut terjadi di luar sekolah, pihak sekolah merasa aman, anak-anak bukan lagi merupakan tanggung jawab sekolah begitu meninggalkan areal sekolah. Anak-anak harus bertanggung jawab akan segala hal yang mereka lakukan sendiri. Btw honey, how did school know some particular students who have done that? Even as you told me before, school even also knew how many times the students have done that?”
“Ya mereka dipanggil lah Ma oleh BK, kemudian diinterogasi. Masak waktu si X ditanya, ‘apa kamu ga takut kalau pacarmu hamil?’ dengan innocent X bilang, ‘Tidak dong Bu. Saya kan pake kondom.’“
Hal ini mengingatkanku atas satu diskusi di satu kelas beberapa tahun yang lalu. Waktu aku tanya ke siswaku tentang free sex, salah satu dari mereka menjawab, “Tidak setuju Ma’am. Pertama, dosa. Kedua, ada kemungkinan terkena penyakit kalau ganti-ganti pasangan. Ketiga, kalau si cewe hamil, kan repot saya? Saya masih belum mau menikah dan harus bertanggung jawab memberi makan anak orang lain. Lha wong saya sendiri masih ngikut makan orang tua.”
Tatkala kudesak di antara ketiga alasan yang dia berikan kepadaku yang manakah yang lebih penting, dia mengaku “Takut terkena penyakit kelamin.” Satu hal yang lebih konkrit ketimbang alasan yang pertama.
Dari perbincanganku dengan Angie, aku belum bisa menemukan apa yang membuat free sex ini lebih mengglobal di Indonesia. Guru-guru Angie tidak—atau mungkin Angie yang tidak tahu, sehingga aku pun tidak tahu—atau belum mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan remaja-remaja itu bereksperimen dengan seks? Jika kita tahu ‘sumber’nya akan lebih mudah mengatasinya ketimbang memberikan ‘hukuman psikologis’ kepada para pelaku—yang terpergok melakukannya di sekolah dengan julukan yang sama sekali tidak pantas, contoh ‘perek’ dan sebagainya itu.
For me myself with Angie, the time has come for both of us to talk about sex openly so that Angie doesn’t need to look for information from irresponsible source.
PT56 11.55 060907

Homoseksual

Aku sudah menunjukkan ‘sikap politikku’ atas satu hal ini—homoseksual—dalam dua tulisan utamaku di http://afeministblog.blogspot.com Yang pertama berjudul “What is normal?” bisa diakses di sini Yang kedua berjudul “Sexuality” bisa diakses di situ Yang pertama sangat kental hubungannya dengan pengalaman pribadiku, jadi mungkin masih mudah dipahami oleh orang awam. Sedangkan yang kedua sangat berbau scientific, sehingga mungkin agak complicated bagi mereka yang tidak terbiasa membaca sesuatu yang ‘berat’. Tulisanku yang bertemakan agak mirip kuberi judul “Maskulinitas dan Femininitas” dapat diakses di sana.


Seperti tulisan yang pertama, tulisan yang ini sangat kental dengan pengalaman pribadiku.


Beberapa hari lalu, tiba-tiba di milis yang kuikuti ada seseorang yang menggunakan istilah ‘agak aneh’ untuk mengacu ke homoseksual. Aku yang akhir-akhir ini jarang mengikuti diskusi di milis tidak begitu tertarik mengomentarinya (lantaran masih sibuk nulis buat lomba blog). Namun tatkala ada seseorang lain mengomentari dengan nada agak tersinggung—aku langsung ‘membacanya’ bahwa orang ini tersinggung beronya (istilah yang biasa dipake Abang untuk jailin aku kalo aku sedang ngambek LOL) karena dia tersinggung secara personal—aku menyempatkan diri menulis komentar, untuk mendukung dia yang sedang tersinggung beronya, LOL, begini:


Bahkan di zaman globalisasi ini, dimana orang-orang menganggap diri sebagai bagian dari zaman modern (tepatnya post modern harusnya), masih buanyaaaaaaaaaaaakkkkk orang-orang yang melihat homoseksualisme sebagai sesuatu yang aneh. Padahal hal ini sudah terjadi selama berabad-abad ... Orang-orang masih mau dikuasai oleh segelintir kekuatan yang mengatakan bahwa homoseksualisme melawan takdir, hanya segelintir, namun kekuatannya menghegemoni dunia sangat dahsyat--lewat agama.


Salam,
Nana




Trus aku off.
Beberapa jam kemudian Abang sms, “Na, L sautin kamu tuh, tapi sepertinya dia salah nangkep. Ga nyambung!”
Weleh, kok malah begitu kejadiannya? Aku mendukung dia, dia malah menyerangku?
“Kok gitu Bang? Wah repot deh ngomong sama orang yang engga nyambungan. LOL. Emang kalimatku sulit dipahami yah? Wah, tapi kan Abang udah biasa dengan caraku menulis kalimat?” jawabku ke Abang.
“Yang kacau tuh dia! Bukan kamu!” jawab Abang.
Waduh, kok jutek gitu jawabannya Bang? Wakakakaka ...


Beberapa hari lagi waktu aku online, aku membaca tulisan L yang tersinggung, hasil dari salah nangkepnya dia atas tulisanku. LOL. Aku super heran darimana dia menghasilkan interpretasi yang seperti itu, menuduhku narrow-minded, dll. Karena aku males nulis panjang lebar, akhirnya kuberi aja link ke tulisanku (seperti yang kutulis di atas), sembari tak lupa kukatakan kepadanya that he MISREAD alias MISINTERPRETED what I wrote. Terus, kepada si ‘pemantik’ api diskusi—yang pertama kali menyebut kata ‘aneh’ untuk mengacu ke homoseksual—aku juga menulis sesuatu. :)


Hari Rabu, 05 September 2007 waktu Abang keluar jailnya minta kutraktir (karena aku menang lomba blog) lewat sms, aku iseng nanya, “How is RKB Bang?”
“RKB is waiting for you.”
Wah ... jadi rame nih di milis yang selama ini adem ayem aja, bener-bener home sweet home, LOL, yang tentu bikin bosen bagi miliser yang hobbynya berantem di milis. LOL. Aku yang nampaknya dilahirkan dengan sisi femininitas yang lumayan kental—contoh: mudah capek berantem LOL—merasa agak males sebenarnya membuka tulisan-tulisan yang ikut nyautin topik itu. Tapi Abang yang sedang online pula di belahan bumi Selatan sana mendukungku.
“Bang, gara-gara aku nyautin L suasana RKB jadi agak memanas ya?” aku (agak) mengeluh. (Tapi, tentu dia tidak tahu kalau aku mengatakannya dengan nada mengeluh. LOL. Setelah ini dia akan tahu. Wakakakaka ...)
“Gapapa Na, terlalu adem kan bosen?”
There he was!!! Yang ngaku suka ngajakin taruhan. Hahahaha ... (“Berani taruhan apa bahwa manusia kerdil itu tidak pernah ada?” Adalah contoh taruhan terakhir yang dia sebut sekitar sebulan lalu.)
Aku tidak menemukan tulisan L untuk nyautin tulisanku kepadanya yang mengatakan padanya bahwa dia telah SALAH membaca tulisanku. Dia malah nyautin tulisan seseorang yang bercerita tentang seorang temannya yang mengeluh karena anak laki-lakinya ternyata homo, sebagai seseorang yang open-minded. Weleh ... LOL. Untuk ini, Abangku nyautin tulisannya begini:


L,
Yes O is very well known for her open minded. So does most other members, including Nana, An and R. We value everyone's right without exception, regardless their religion, ethnic, gender, and private life.
Your respond to Nana is an act of defense, thinking of being criticized, which caused you to misinterpret it badly. You do owe her something for your statement:
"but if we (dari segelintir manusia atau group) don't start to open your mind, are you still going to live with them? kalau saya akan jawab NO!!!"
Why do you have to open their mind? Millions of them!
Let me give you my 2 cents thought, 'be your self'. Means do not easily influenced by false remark (if any). Freedom of speech does exist. There is nothing you can do as long as not physically addressed to you.
Find peace in your self, not in other's, then you should live better.


Kind regards,
A.




Abangku yang super jail itu keren kan cara berpikirnya? (yang merasa disebut, boleh blushing. LOL.)
Pertama, seperti yang kutulis di atas, ketersinggungan L atas kata seseorang ‘aneh’ sudah kubaca sebagai dia tersinggung karena dia adalah seorang homo, dan dia tidak terima dianggap aneh. Abang pun ‘membacanya’ dari respons L ke tulisanku, merasa kukritik, dia langsung ‘membela diri’. Merasa kukritik, dan buru-buru membela diri menghasilkan misinterpretasi.


Tahu ga, dari tulisan itu, aku jadi ingat tulisanku—tentang gender—di sebuah milis sekitar satu tahun lalu. Merasa dikritik, aku membaca tulisan Abang tidak thorough, aku maunya langsung defended myself, sehingga aku memulai sautan itu dengan, “Abang yang jelek...” wakakakaka ... Dan dengan nice-nya, dia membalas sautan itu dengan, “Nana yang sama sekali tidak jelek...” wakakakakaka ...


Dari chat-chat kita, juga dari diskusi panjang-panjang kita lewat email berpuluh-puluh ribu kata (kita saingan melulu siapa yang bisa lebih panjang menulis dalam waktu singkat. FYI, AKU KALAH. Hahahaha ...) aku telah banyak belajar dari Abang untuk percaya dengan pandangan hidupku sendiri. BE MYSELF, dan jangan mudah menggunakan jurus defensif yang ba bi bu tanpa pemahaman situasi yang matang.
Kedua, “be yourself” means do not easily get influenced by false remark (if any).


Aku ingat tatkala aku ‘menguliahi’ seorang teman tentang pemahaman gender dan Islam, temanku yang beragama Nasrani namun suaminya beragama Islam ini, sekitar lebih dari satu tahun yang lalu. Tatkala dia pulang dan bercerita tentang diskusiku dengannya kepada suaminya, suaminya bilang, “Kamu tuh kok gampang dipengaruhi orang? Lah yang kamu percaya tentang peran seorang perempuan dalam budaya kita itu apa? Jangan cuma dengerin ocehan Nana, trus menelannya bulat-bulat. Kamu harus punya pendirian sendiri.”


Temanku yang lebih open-minded dan broad-mided dibanding suaminya yang bagiku merupakan korban brain-washed keluarganya diam saja. Yang aku lihat, temanku itu cinta mati kepada suaminya kayaknya. :(
Nasihat Abang itu juga pas buatku. “Be a feminist if I do abide by this ideology. Don’t let others ruin my principle.” Seperti yang kutulis di atas.


Lomba Blog telah usai. Dan tulisanku pun kembali sangat personal. (Another scapegoat ... hahahaha...)
PT56 00.12 060907