After all, the practical reason why, when the power is once in the hands of the people, a majority are permitted, and for a long period continue, to rule is not because they are most likely to be in the right, nor because this seems fairest to the minority, but because they are physically the strongest. But the government in which the majority rule in all cases cannot be based on justice, even as far as men understand it. Can there be a government in which the majorities do not virtually decide right or wrong, but conscience? (from Civil Disobedience by Thoreau)
Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Senin, September 13, 2010
Sekuler Fundamentalis
Mayoritas versus Minoritas
After all, the practical reason why, when the power is once in the hands of the people, a majority are permitted, and for a long period continue, to rule is not because they are most likely to be in the right, nor because this seems fairest to the minority, but because they are physically the strongest. But the government in which the majority rule in all cases cannot be based on justice, even as far as men understand it. Can there be a government in which the majorities do not virtually decide right or wrong, but conscience?
(from Civil Disobedience by Thoreau)
Kamis, Maret 12, 2009
Nikah siri
http://afemaleguest.blog.friendster.com/2006/06/nikah-siri/
I almost forgot that I have written about NIKAH SIRI when then someone wrote a comment on it. Perhaps because recently many people and ulema are talking about this 'phenonema'.
So? Enjoy reading it, please. :) To read the comment of the visitor, just visit the above site address.
Aku barusan membaca artikel yang berjudul “Praktik Nikah Siri, Banyak Ruginya…” oleh Mariana Aminuddin di http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=feature%7C-20%7CX
Kalau orang berpikir bahwa hak-hak dan kewajiban yang akan mereka dapatkan dari sebuah pernikahan siri sama dengan pernikahan yang dilakukan secara legal (read => legal menurut negara, tercatat di Catatan Sipil, maupun di KUA), terutama bagi kaum perempuan, jelas itu salah. Karena tidak tercatat secara resmi di kantor apapun milik negara, jelas kaum perempuan tidak akan mendapatkan hal-hal yang mereka harapkan seperti ketika mereka menikah secara resmi (e.g. biaya untuk kehidupan sehari-hari, warisan, pengakuan atas adanya anak yang lahir, dll.)
Sehingga, kalau tidak siap dengan itu semua, ya, jangan pernah mau berpikiran untuk melakukan nikah siri.
Dalam kenyataan, seorang perempuan yang menikah secara resmi pun terkadang tidak mendapatkan hak-hak mereka, misal: pengakuan anak. Berapa banyak kasus di sekitar kita yang telah kita dengar ketika seorang suami tiba-tiba saja tidak mengakui anak yang dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya? Dengan berdalih segala macam, laki-laki banyak yang melarikan diri dari tanggung jawab ini. Contoh lain: uang bulanan. Banyak laki-laki yang tiba-tiba merasa tidak lagi perlu memberi nafkah karena dia anggap istrinya tidak lagi memerlukannya setelah si istri bekerja dan mendapatkan gaji yang sekiranya mencukupi keperluan sebulan. Contoh lain: setelah terjadi perceraian, hukum di Indonesia mewajibkan sang ayah untuk tetap membiayai kebutuhan sang anak sampai si anak tumbuh dewasa. Kenyataan: berapa banyak laki-laki yang melenggang begitu saja setelah perceraian?
Boro-boro memberi nafkah untuk membiayai kebutuhan, ingat saja tidak.
Menurut hukum, laki-laki seperti ini bisa dituntut ke pengadilan. Kenyataan: berapa banyak kaum perempuan yang tidak mampu menuntut ke pengadilan karena mahalnya biaya untuk mengurusi hal ini?
Nikah siri, menurut pendapatku, hanya melegalkan hubungan seks saja antara laki-laki dan perempuan. Banyak kaum laki-laki yang memanfaatkan praktik nikah siri ini hanya untuk memanjakan libidonya semata dan mata keranjangnya saja. Kaum perempuan yang mau dinikah siri harus ingat ini, sehingga harus tidak kalah cerdik dari kaum buaya darat ini.
(Mereka melakukan nikah siri KATANYA untuk menghindari zina. Padahal seberapa yakin mereka bahwa pernikahan siri yang hanya untuk main-main ini diridhoi oleh Allah? Padahal semua ini hanyalah buatan kaum laki-laki yang egois saja!)
Untuk mengatasi hal ini, kaum perempuan harus mandiri dan percaya diri. Kalau sampai bersedia untuk melakukan nikah siri, ingatlah bahwa mereka harus MENDAPATKAN KEUNTUNGAN dari pernikahan secara sembunyi-sembunyi ini, karena laki-laki yang melakukannya pun hanya untuk medapatkan keuntungan bagi diri mereka.
Senin, Oktober 06, 2008
Puasa tahun 2008
Ini sudah bulan Syawal tanggal 3, namun aku baru mendapatkan ‘urge’ untuk menuliskan pengalamanku berpuasa tahun ini hari ini, setelah menyempatkan diri membaca tulisan Ulil tentang pengalamannya berpuasa di Boston.
Mulai pertengahan bulan Agustus, aku bekerja di sebuah International school dimana mayoritas siswa-siswi beragama non Muslim, mungkin berkisar antara 10% (Muslim) dan 90% (non Muslim). Sedangkan para pegawai—guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, dll, mungkin prosentasenya 25% Muslim, 75% non Muslim. Ini sebab tahun ini adalah pengalaman pertamaku berpuasa di tengah-tengah non Muslim, meskipun masih berada di Indonesia.
Jam masuk kerja mulai seperti biasa, pukul 07.00, beda dengan sekolah-sekolah negeri (atau mungkin juga sekolah nasional lain) yang memulai sekolah pukul 07.30. Lama pelajaran tiap slot pun tidak mengalami pengurangan, sehingga para siswa-siswi tetap menyelesaikan jadual sekolah pukul 14.15, khusus untuk siswa-siswi kelas 9 kelas usai pukul 15.00 karena mendapatkan pelajaran tambahan untuk persiapan ujian nasional. Jam istirahat pertama tetap pukul 09.45-10.00, dan istirahat makan siang pukul 12.15-12.45.
Ini kali pertama aku merasakan ‘nasib sebagai kaum minoritas’ sehingga aku pun benar-benar mempraktekkan satu bahan candaan, “Tolong yang puasa memahami mereka yang tidak puasa”, kebalikan satu doktrin yang kuterima sejak kecil, “Yang tidak puasa HARUS menghormati yang puasa dengan menghindari makan maupun minum di hadapan orang-orang yang berpuasa. Pertama kali aku mendapatkan menstruasi, Ibu-ku pun mendoktrinku hal ini: aku TIDAK BOLEH terlihat makan maupun minum di hadapan anggota keluarga lain yang sedang berpuasa, seolah-olah aku adalah pesakitan. Kalau aku melakukannya, maka tuduhan pengikut setan dan ahlun naar (calon penghuni neraka) pun dilabelkan, karena menggoda orang yang sedang berpuasa. Orang yang sedang berpuasa harus diistimewakan, harus dijaga dari godaan (itu juga konon selama bulan Ramadhan, setan pun ‘diikat’ oleh Tuhan di neraka, sehingga tidak bisa gentayangan menggoda kaum Muslim yang sedang berpuasa). Hal ini pun mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah Indonesia yang sebenarnya bukan negara Islam, juga bukan negara sekuler, berupa himbauan agar rumah makan tutup di siang hari, sehingga nampak tidak ada toleransi sama sekali kepada mereka yang tidak puasa. Untunglah tidak ada paksaan dari pemerintah agar semua warga negara—tanpa memandang agama—untuk berpuasa, demi menghormati orang-orang Muslim yang sedang berpuasa.
Betapa manjanya orang-orang Muslim itu, mentang-mentang karena mayoritas.
Aku tidak ingin menjadi seorang Muslim yang manja di tengah-tengah rekan kerjaku yang mayoritas non Muslim. Saat istirahat siang, di ruang guru, maupun di tempat-tempat lain di dalam sekolah yang diperuntukkan anak-anak untuk makan siang (di sekolah tidak ada kantin, sehingga anak-anak harus membawa bekal makan siang sendiri, namun pihak sekolah menyediakan tempat-tempat khusus dimana anak-anak biasa berkumpul untuk makan bersama) terlihat orang makan, ditambah dengan bau makanan yang menggoda hidung dan perut yang mulai lapar. Aku perhatikan beberapa guru expat tidak menunjukkan ekspresi wajah, seperti, “Sorry, I am enjoying my lunch now while probably you are hungry at the moment.” Tentu aku paham sekali akan hal ini, bukankah kita sendiri memiliki pilihan, untuk berpuasa, mengikuti ajaran agama, atau tidak berpuasa. Setelah kita menentukan pilihan untuk berpuasa, tak selayaknya kemudian kita minta diistimewakan, misal dengan mengatakan, “Please respect me by not eating before my nose!”
Ketika seorang rekan kerja, non Muslim, orang Indonesia (bukan expat) bertanya kepadaku dengan hati-hati, “So, how is your fasting in this month?” aku tidak langsung ‘ngeh’ kemana arah pertanyaannya, sehingga dia pun perlu menjelaskan,
“I believe it must be hard for you to fast among non Muslim?”
Maka aku pun menjawab, dengan nada bercanda, “You know the harder the tempation is, the more reward I will get from God. It is not a big deal for me to fast in the middle of people who do not fast. Don’t worry. Thank you for concern though.”
Aku yakin sebagai orang Indonesia, rekan kerja ini tentu sudah terbiasa dengan ‘himbauan’ pemerintah Indonesia, sehingga perlu merasa ‘tidak enak’ kepadaku dengan situasi yang ada. Berbeda dengan para guru expat yang tidak mendapatkan atau mengalami ‘indoktrinasi’ dari pemerintah mereka untuk ‘menghormati’ (atau memanjakan) orang-orang yang berpuasa.
Di sekolah ini aku belajar (lebih jauh lagi) untuk mempraktekkan toleransi antar agama.
PT56 22.19 031008
Selasa, September 16, 2008
Shalat Jumat
Di masjid Baiturrahman, tempat shalat jamaah perempuan berada di lantai tiga, sedangkan jamaah laki-laki berada di lantai dua. Di lantai satu, terutama di dekat pelataran parkir, ada sebuah toko kecil yang berjualan berbagai macam dagangan; mulai dari buku-buku, busana Muslim, makanan kecil, minuman, dll.
Hari itu adalah salah satu hari Jumat di bulan Ramadhan. Seusai shalat Jumat, aku turun ke bawah dan melihat ‘pemandangan’ yang digambarkan oleh Ulil, di halaman depan masjid, banyak pedagang tiban—selain yang memang berjualan di ‘toko’ yang disediakan oleh masjid Baiturrahman—yang menjajakan barang dagangannya masing-masing. Berhubung Idul Fitri akan menjelang, maka banyak jamaah yang merubungi pedagang yang berjualan pakaian. Setelah menginjak usia dewasa, aku super jarang shalat Jumat di masjid, sehingga pemandangan jual beli di halaman masjid ini pun menarik perhatianku. Sayangnya karena jamaah perempuan menempati lantai ketiga, aku tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Ulil, begitu usai shalat Jumat—terutama setelah melakukan salam—orang-orang langsung melanjutkan transaksi jual beli. Lupakan ‘tradisi’ membaca wirid dan doa yang panjang-panjang. J
Aku ingat tatkala duduk di bangku SD (aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah), aku sering sekali berangkat shalat Jumat di masjid Baiturrahman bersama-sama teman-teman sekolah, karena kebetulan kita libur pada hari Jumat. Dan tidak pernah aku melihat pemandangan orang-orang yang melakukan transaksi jual beli di halaman masjid tersebut. Zaman telah berubah?
Di sekitar MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) yang jauh lebih luas dari masjid Baiturrahman pun dibangun bangunan-bangunan permanen untuk melakukan transaksi jual beli seperti ini.
Setelah mengklaim diri sebagai seorang feminis, dan mengalami perjalanan spiritualitas sehingga menjadi seorang yang sekuler, sama seperti Ulil, aku pun mulai jengah dan bosan bila mendengar khotbah yang isinya sangat provokatif kepada pemeluk keyakinan lain, apalagi jika khotbahnya bersifat misoginis dan membodohi khalayak umum.
Aku jadi ingat Amina Wadud yang percaya bahwa seorang perempuan pun bisa mengisi khotbah Jumat dan menjadi imam shalat Jumat. Mungkin aku akan mau berangkat ke masjid untuk menghadiri shalat Jumat bersama perempuan-perempuan lain, dan mendengarkan khotbah yang tentu tidak misoginis, bahkan membangkitkan semangat kesetaraan. Meskipun bagi perempuan, shalat Jumat hukumnya sunnah, karena konon yang terkena fardhu kifayah hanya kaum laki-laki.
Sewaktu duduk di bangku S1 dulu (UGM – Jogja), ada seorang boarder di kos yang aku tinggali berasal dari Tasikmalaya. Tatkala aku bercerita kepadanya tentang pengalamanku shalat Jumat di masjid waktu pulang ke Semarang. Dia melengak keheranan, “Kamu shalat Jumat Na?” tanyanya heran.
“Iya. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Bukannya untuk perempuan shalat Jumat itu hukumnya haram? Di Tasikmalaya ga ada perempuan shalat Jumat.”
Pengalaman memang mahal harganya. Mengenal orang dari daerah lain tentu akan memperkaya pengalaman kita, sekaligus mengenal cara pandang/pikir orang lain, agar kita saling mengenal, kemudian saling menghormati. Sejak itu aku baru tahu bahwa di daerah Sunda, tidak ada sebuah masjid pun yang menyediakan tempat untuk perempuan untuk shalat Jumat, sedangkan di Semarang, banyak masjid yang dibanjiri kaum perempuan pada jam shalat Jumat.
Aku tidak tahu dengan kondisi sekarang. Aku lebih memilih shalat sendiri di rumah.
PT56 13.58 140908
Senin, Oktober 08, 2007
MUDIK atau MULIH
Masa kanak-kanak, seberapapun pahit masa itu, akan tetap berurat berakar pada diri seseorang, sehingga mengingat masa kanak-kanak akan senantiasa memanggil seseorang untuk ‘kembali’.
“Akar budaya sebuah komunitas aalah ‘masa kanak-kanak’ komunitas itu, yaitu aspek primitif yang pasti dimiliki oleh setiap orang dalam komunitas,” kata Budi Darma.
Point yang sangat menarik bagiku karena sampai di usia menjelang empatpuluh tahun ini, mimpi masa kanak-kanak yang masih sering hadir adalah tatkala aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah, masa pengindoktrinasian yang kuat antara yang hitam dan putih di batok kepalaku. Ini pula sebabnya tatkala aku membaca beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen “Petualangan Celana Dalam” aku merasakan ketertarikan yang sangat kuat karena cerpen-cerpen tersebut memiliki latar waktu dan tempat Semarang di dekade 60-70-an, masa kanak-kanakku. Ada ‘akar budaya’ku yang dilukiskan di situ.
Hal ini pun seolah menjelaskan kepadaku mengapa seseorang yang telah lama tinggal di negeri orang selalu merasakan ‘panggilan’ yang sangat kuat dari kota kelahirannya, Jakarta, meskipun Jakarta sekarang tak lagi senyaman tiga sampai empat dekade yang lalu. Seberapa pun ‘modern’ hidup dan life style seseorang, dia tetaplah memiliki ‘aspek primitif’ seperti yang dikatakan oleh Budi Darma.
Apakah dengan begitu kedua orang tuaku yang asli Gorontalo, dan sama-sama memiliki nama keluarga ‘Podungge’ itu berusaha melepaskan ‘aspek primitif’ yang mereka miliki karena sejak aku kecil, mereka tidak membiasakan diri untuk mudik ke kota dimana kedua orang tuaku bisa menemukan ‘akar keluarga’ dan ‘akar tanah kelahiran’? Sehingga aku pun benar-benar merasa ‘sebatangkara’ tanpa sanak saudara kecuali seorang kakak dan dua adik dan Ibu? (My father passed away in 1989.) Betapa ‘kuat’ ‘pembaleloan’ yang dilakukan oleh kedua orang tuaku atas aspek primitif yang diyakini oleh Budi Darma dimiliki oleh setiap manusia. Tidak ada tradisi mudik dalam keluarga Podungge yang berada di Semarang.
Membaca perbincangan antara Triyanto Triwikromo dan Budi Darma mengingatkanku pada waktu kecil di hari Lebaran, aku beserta saudara-saudaraku duduk-duduk di ruang tamu, memandang ke jalan di depan rumah. Banyak orang lalu lalang, tidak pernah kita mengerti mengapa orang-orang begitu sibuk. Kemana mereka pergi? Ke tempat wisata? Libur Lebaran tentu membuat tempat-tempat wisata itu penuh sesak, sesuatu yang tidak begitu menyenangkan bagiku karena kepadatan manusianya.
Setelah menikah, dan “tiba-tiba” memiliki jadual kunjungan setiap kali Lebaran datang, yaitu mengunjungi sanak saudara dari ayah anakku itu, aku baru memahami, mengapa orang-orang lain—minus keluargaku—begitu sibuk setiap kali Lebaran tiba. Bagiku pribadi, tentu bukan untuk ‘menemukan kembali’ hubunganku saat ini dengan ‘akar keluarga’ku, namun justru lebih ke ‘membentuk’ akar keluarga baru. Akan tetapi karena pembentukan akar keluarga baru ini dilakukan tidak pada masa kanak-kanak, seperti yang digarisbawahi oleh Budi Darma, aku merasa gagal menemukan suatu ritual yang mengasikkan dari jadual kunjungan tersebut.
Artikel lain lagi yang tak kalah menariknya mengenai mudik ini ditulis oleh Adi Ekopriyono dalam Suara Merdeka edisi hari Senin 8 Oktober 2007 halaman 6. Adi Ekopriyono lebih memilih menggunakan istilah ‘mulih’ daripada ‘mudik’. ‘Mulih’ dipercaya memiliki kaitan dengan ‘pulih’. Kamus Basa Jawa (Balai Bahasa Yogyakarta, 2006:639) menyebutkan bahwa kata ‘mulihake’ (mengembalikan) berarti ‘mbalekake kaya kaanane sing sakawit’, artinya ‘memulihkan menjadi seperti keadaan semula’. Para ulama mengatakan bahwa ibadah puasa yang dilakukan dengan sebagaimana mestinya, akan membawa seseorang kembali ke ‘fitrah’. Keadaan “fitrah” yang berarti ‘suci’ ini biasanya dihubungkan dengan seorang bayi yang masih polos, suci. Melakukan ibadah puasa akan mengembalikan seseorang keadaan semula, yang berarti tanpa dosa, polos. (Dan bukannya seorang penjahat setelah melewati bulan Ramadhan akan kembali menjadi penjahat lagi, koruptor boleh melakukan kejahatannya lagi, dst.)
Karena hal ini pulalah bisa jadi jika masyarakat Jawa akan memberi ‘julukan’ pengkhianat bagi mereka yang tidak pulang di hari Lebaran, karena bisa berkonotasi memutuskan tali silaturrahmi pada sanak saudara. “Mulih” yang bisa bermakna ‘memulihkan’ ke keadaan semula—ngumpulke balung pisah—setelah mungkin selama 11 bulan merantau, ‘mulih’ akan membuat hubungan kekeluargaan erat kembali seperti sebelumnya. (Thank God, orang tuaku bukan orang Jawa sehingga mereka tidak akan ‘didakwa’ sebagai pengkhianat keluarga besar Podungge hanya karena tidak ‘mulih’ di hari Lebaran.)
Bagi mereka yang akan pulang ke kampung halaman di hari Lebaran ini, entah makna yang mana yang anda ambil, mudik yang berkonotasi ‘kembali ke akar keluarga dan tanah kelahiran’ versi Budi Darma, maupun ‘mulih’ yang berkonotasi ‘memulihkan ke keadaan semula’, kuucapkan selamat menempuh perjalanan yang telah merupakan ritual dalam kehidupan ini. Semoga selamat sampai tujuan. Jangan lupa jaga kesehatan.
PT56 12.42 081007
![]() |
foto om Poetoet ini kuambil dari sini |
Sabtu, September 22, 2007
My Spiritual Journey
Berikut adalah salah satu point obrolan antara Ade Armando dan Ulil Abshar Abdalla yang beredar di milis JIL beberapa waktu lalu.
AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler
Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.
Apapun istilah yang digunakan oleh Ulil ‘semakin mengapresiasi’ ataukah yang lain, namun pada prinsipnya aku setuju dengan kata yang digunakan oleh Ade Armando: ‘semakin sekuler’.
Perjalanan spiritual yang mungkin agak mirip terjadi padaku beberapa tahun lalu (bukannya aku ingin sok agar ikut terkenal seperti Ulil nih. LOL.) yakni tatkala aku mulai kuliah di American Studies UGM, mengambil jurusan ‘American Literature and Culture’. Satu hal yang bagiku menggelikan tatkala aku membaca tulisan William Bradford bahwa orang-orang Amerika adalah “the chosen people”, sedangkan John Winthrop dalam pidatonya “A Model of Christian Charity” mengatakan bahwa bangsa Amerika telah dipilih oleh Tuhan untuk membangun “the city upon a hill” yang akan memimpin dunia. Bradford dan Winthrop adalah dua imigran dari Inggris di awal abad ke 17.
Mengapa menggelikan bagiku? Aku ingat diskusi ‘panas’ antara aku dan Rick, my special Californian chat friend beberapa tahun sebelumnya. Rick menganggap keyakinanku sebagai ‘the chosen person’ karena aku adalah seorang Muslim menggelikan. “Would you be a Muslim if you had been born here, in America?” tanyanya. Bagaimana mungkin orang Amerika yang dikenal sebagai pemuja hedonisme adalah ‘the chosen people’ yang dipilih Tuhan untuk membangun satu negara untuk memimpin dunia?
Tepat tatkala aku merasa ‘geli’ dengan tulisan Bradford dan Winthrop, aku ingat Rick yang juga menganggap keyakinanku menggelikan. What is the difference? Pertama kali aku mendapatkan kesadaran bahwa agama yang kuyakini sejak lahir adalah agama yang paling sempurna, yang berarti tidak ada cacatnya sama sekali, yang harus pula diyakini oleh seluruh manusia di seluruh kolong langit adalah sesuatu yang berangkat dari cara berpikir yang sangat sempit.
Kesadaran awal ini menjadi pijakan bagiku untuk ‘membangun’ cara berpikir baru yang bagiku membuatku justru merasa lebih manusiawi, menghormati keyakinan yang berbeda dariku, dan mempraktekkan toleransi dengan sebagaimana mestinya.
Berkenalan dengan ideologi feminisme dan membaca buku-buku feminisme yang ditulis berangkat dari kerangka cara berpikir orang Islam semakin meyakinkanku bahwa tidak ada kebenaran absolut akan satu keyakinan. Membaca interpretasi-interpretasi ‘baru’ atas ayat-ayat Alquran menyadarkanku bahwa ajaran ‘Alquran tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat nanti karena akan selalu dijaga oleh Allah’ tidak berarti sama dengan ‘tafsir-tafsir Alquran yang telah dibuat oleh para mufassir selama ini tidak mungkin salah’.
Jika waktu aku kuliah, mendapati bagaimana orang-orang di zaman dulu yang tidak memahami bahasa Latin maupun Ibrani kemudian bertumpu kepada para pendeta maupun pastor untuk memahami Alkitab adalah sesuatu hal yang ‘menggelikan’ pula (waktu kuliah aku geli melulu nih? LOL), bukankah ternyata aku dan sebagian besar orang Islam di Indonesia ini melakukan hal yang sama? Bertumpu pada tafsir-tafsir yang telah dibuat oleh para mufassir untuk memahami ayat-ayat Alquran. Repot belajar bahasa Arab sendiri. Dan tatkala membaca terjemahan Alquran, berdasarkan teori THE ACT OF READING yang kupelajari, selalu ada kemungkinan terjemahan Alquran itu telah dimasuki oleh cara berpikir sang penerjemah. (Untuk ini, Fatima Mernissi dan Riffat Hassan telah menulis sebuah buku yang berjudul SETARA DI HADAPAN ALLAH (terjemahan) yang mengupas habis satu ayat (saja) untuk menyampaikan bahwa cara menafsirkan satu ayat yang dilatarbelakangi oleh misoginis akan menghasilkan tafsir perempuan sebagai the second sex. Lepas dari misoginis, ayat yang sama akan menghasilkan tafsir yang berbeda.)
Tatkala ada orang bertanya kepadaku, “How could your study change you radically?”
Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin aku bisa menyitir apa yang dikatakan oleh Ulil yang berhubungan dengan Al Ghazali yang banyak orang kenal sebagai anti filsafat,
AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?
Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita.
Dulu saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak akan saya baca. Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.
Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang. Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya, saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini. Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.
AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim saat ini.
Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dengan keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu ketabahan sendiri untuk mempelajarinya. Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.
Jika aku mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Professor Chamamah, dosen ‘Teori Sastra’, tatkala seseorang menganalisis satu karya sastra, dia akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan the knowledge he/she stores in his/her brain. Jika boleh kutambahkan lagi, ‘waktu yang tepat’.
Hasilnya? Nana yang sekuler. Atau seperti kata yang digunakan oleh Ulil, “Nana yang semakin mengapresiasi perbedaan yang ada di masyarakat”. Lebih lanjut tentang sekulerisme, Ulil mengatakan:
“Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas, Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical. Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum Islam sebagai minoritas itu penting sekali.”
Saat aku terheran-heran dengan seorang dosen senior—non Muslim—di sebuah universitas negeri di Semarang yang di mataku terlihat betapa sempit dia memandang perbedaan agama di lingkungan dia bekerja, padahal dia mendapatkan gelar doktornya di luar negeri, “Bagaimana mungkin seseorang yang bright seperti dia terlihat begitu picik dalam menyikapi dosen-dosen lain yang berbeda agama?” akhirnya aku harus kembali ke tiga hal penting yang kutulis di atas, “pengalaman hidup, knowledge she keeps in her brain, dan waktu yang tepat” tidak menghampirinya untuk menjadi seseorang yang broad-minded dan open-minded dalam hal agama.
Semua orang memang menjalani pengalaman hidup yang berbeda. Semua orang pun mengalami proses ‘renaissance’ yang berbeda pula.
PT56 22.15 210907
Minggu, September 16, 2007
Debat Agama
Semenjak berpisah dengannya, aku mengalami perubahan dalam prinsip hidup yang sangat signifikan, yang tidak pernah dia kira sebelumnya: aku menjadi seorang feminis yang taat (instead of using the term ‘radical’, my Abang doesn’t really like it. And due to his coming into my life, our long and continuous discussion has made me realize that I am not a radical feminist.) dan seorang sekuler.
Di tahun 2005, aku iseng mengirimi Dita sebuah email yang berisikan kontemplasi, dimana aku menulis
“When I was a little, my elementary school teachers told me (and my classmates, of course), that Al-Quran will always be pure till the judgment day. Allah will keep it pure so that any effort to ‘change’ it will fail. It is contradictory from Bible that has undergone changes, from Old Testament to New Testament. There is Bible ‘written’ by Markus, Matthew, who else I don’t know. We deserve to question then whether Bible is really from God? Why is it ‘written’ by Markus and his friends? Why is not written by God? Not even by Jesus that Muslim people know as Isa?”
(untuk lebih lengkapnya, klik aja site berikut ini http://afeministblog.blogspot.com/2006/05/religious.html )
Email ini memang bukan kutulis untuk Dita, namun seseorang yang lain. Dan waktu aku mengirim email ini ke Dita, aku lupa untuk mengedit bagian yang ternyata cukup mengganggunya. Setelah membacanya, Dita mengirim sms ke aku, yang intinya ingin “meluruskan” apa yang kutulis di atas. Menyadari aku telah melakukan kesalahan—telah memasuki areal pribadinya—aku diam saja.
Tahun 2006, tatkala heboh masalah poligami seorang dai terkenal, Dita mengirim sms ke aku yang di mata seorang Muslim sekuler (namun ‘mantan’ seorang relijius taat) sepertiku cukup mengganggu. Aku lebih memilih untuk tidak membalas smsnya, meskipun dalam rangka “meluruskan” pendapatnya yang salah sebagai seseorang yang awam agama Islam.
Hal ini kemudian kuceritakan kepada Abang yang langsung memberikan ‘wejangan’, “Makanya Na, bersabahat dengan orang beragama lain, that’s fine, but you had better not touch religion, because possibly it can ruin the friendship. This is a very crucial sphere.” (FYI, aku dan Abang pun berbeda agama, berbeda etnik, yang membuat kita memiliki background yang berbeda pula.)
*****
Ketika membaca diskusi—atau debat—tentang ‘aurat’ di sebuah milis yang kuikuti (dan kutengarai membernya para scholar di bidang masing-masing), aku mendapati seseorang yang tersinggung—sort of—karena seseorang yang non Islam mempertanyakan apa pentingnya mempermasalahkan aurat, karena toh itu hanya bikin-bikinan kaum laki-laki saja (menurutku agama selalu dikonotasikan sebagai masculine sphere rather than feminine one, karena kebanyakan agama yang mampu menancapkan kukunya di tengah masyarakat lebih sering mengacu ke kepentingan kaum pemuja phallocentrism). Untuk itu, ada seorang member yang menawarkan ide
“hanya orang kristen yang boleh mengkritik agama kristen, hanya orang islam mengkritik islam, hanya ahmadiyyah mengkritik ahmadiyyah, hanya taliban mengkritik taliban, hanya orang jerman kuno yang boleh mengkritik thor, odin dan jord (dan agnostik serta atheis tidak bisa mengkritik karena mereka tidak beriman)”.
Hal ini mengingatkanku pada friksi yang sempat hadir antara aku dan Dita setahun yang lalu. Semenjak itu aku memang lebih memfokuskan diri untuk kritis hanya kepada agama yang kuanut, justru karena aku mengimaninya, dan bukan ke agama lain, karena toh aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu.
Nevertheless, aku sangat senang ketika mendapati seorang member milis beragama non Islam—yang kutengarai seorang expert dalam agamanya—menulis
“tidak seperti Alquran, Alkitab mengalami perubahan. bukan cuma sekali, sudah puluhan kali. di sebelah saya tergeletak the New American Bible, Saint Joseph edition. di kitab itu tersodor sejumlah perubahan, dan sederet tafsir baru. terlepas dari -apakah- saya setuju dengannya, saya memeluk Bible itu karena saya merasa bahwa Tuhan sungguh menghargai saya; bahwa Tuhan tak pernah menganggap saya batu; bahwa di mata Tuhan, manusia adalah perjalanan yang belum selesai.”
Perbincangan tentang agama yang dilakukan dengan kedewasaan penuh dan kelapangan dada memang selalu menarik bagiku. Namun bukan dalam bentuk debat kusir yang menjelek-jelekkan agama lain—tanpa memahami latar belakang mengapa satu peraturan hadir dalam satu agama, dan tidak ada di agama lainnya. Di mataku hal ini justru menunjukkan betapa dangkal pengetahuan seseorang tentang hal yang yang dia kritik.
PT56 12.38 160907
Aurat
Ketika aku masih duduk di bangku SD (alias madrasah ibtidaiyah), aku diajari bahwa ‘aurat’ seorang perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah; sedangkan untuk laki-laki, ‘aurat’ yang harus mereka tutupi hanya berkisar dari pusar sampai lutut. Hal ini berarti, perempuan hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangannya, dan untuk laki-laki, orang-orang bisa melihat kepala secara keseluruhan, leher, pundak, lengan, dada, sebagian perut bagian atas (yang di atas pusar), dan kaki, mulai dari lutut ke bawah.
Mengapa perempuan harus menutup hampir seluruh tubuhnya?
Konon, bagian tubuh perempuan yang lain, mulai dari rambut, leher, tengkuk, telinga, dan lain-lainnya akan mudah membangkitkan gairah laki-laki—yang heteroseksual tentu saja; seingatku dalam agama Islam, jenis kelamin yang di’akui’ hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga mungkin yang dimaksudkan adalah semua laki-laki dianggap akan bangkit gairahnya tatkala melihat tubuh perempuan. Bila seorang laki-laki bangkit gairahnya, dia dikhawatirkan akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak diharapkan, mulai dari bersiul, menatap dengan kurang ajar, sampai menyenggol, menyentuh, meremas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, KONON, untuk ‘melindungi’ kaum perempuan dari tindakan-tindakan yang tidak diharapkan itu, perempuan harus menutupi (atau memenjarakan?) tubuh indahnya di balik balutan pakaian yang tentu saja tidak boleh ketat. Hal ini juga untuk ‘melindungi’ kaum laki-laki agar tidak ‘terjerumus’ ke tindakan-tindakan yang akan membawanya ke panasnya api neraka. ‘Melindungi’ di sini tentu berbeda dengan ‘memenjarakan’ seperti apa yang terjadi kepada kaum perempuan.
Aku berkeyakinan bahwa definisi ‘aurat’ ini berhubungan sangat erat dengan dimana agama Islam pertama kali ‘lahir’, yakni di negara Arab. Jika dihubungkan dengan dua agama sawami besar sebelumnya, yang diimani oleh para pemeluk agama Islam sebagai agama pendahulu mereka, Kristen dan Yahudi, dua agama inipun ‘lahir’ di jazirah Arab, yang tentu saja cara berpakaiannya tidak jauh berbeda, menutupi hampir seluruh tubuh.
Aku ingat beberapa tahun lalu pernah mendapatkan pertanyaan ‘iseng’ namun menggelitik dari seorang teman—a male, non believer, from California, “Seandainya agama Islam tidak lahir di Arab, namun di Indonesia, apalagi jika turun di daerah Papua dimana konon penduduk asli hanya mengenakan koteka, apakah menurutmu ‘aurat’ yang harus ditutupi tetap sama—yakni seluruh tubuh?”
Setelah semakin banyak membaca tentang kisah-kisah manusia yang hidup di zaman dahulu, untuk melepaskan diri dari indoktrinasi yang kuterima di waktu kecil dari guru-guru agama, zaman dimana konon laki-laki perempuan setara, tak ada pemisahan ranah publik dan ranah domestik, zaman yang mungkin belum mengenal adanya agama samawi, aku mendapati laki-laki perempuan konon memakai pakaian yang sama minimnya, tidak perlu adanya ‘pemenjaraan’ kepada kaum perempuan, maupun ‘perlindungan’ kepada kaum laki-laki agar terhindar dari hasrat-hasrat seksual, sehingga aku setuju saja bahwa ‘aurat’ ini sangatlah berbau kultural. Peraturan ‘aurat’ ini hanyalah untuk semakin memenjarakan kaum perempuan, dan pemanjaan kepada kaum laki-laki.
Itulah sebabnya aku setuju bahwa permasalahan ‘aurat’ ini hanyalah main-main belaka. Aku juga setuju jika seorang perempuan memprotes mengapa hanya kaum laki-laki yang ‘dilindungi’ dari letupan hasrat seksual manakala mereka melihat tubuh perempuan. Mengapa kaum perempuan tidak dilindungi pula dari hasrat seksual mereka? Bukankah banyak pula kaum perempuan yang menjadi berhasrat tatkala mereka melihat laki-laki bertelanjang dada? Melihat lengan yang berotot hasil olah tubuh?
LL 15.33 150907
Jumat, September 14, 2007
Beragama Secara Sosial
Beragama secara sosial, sebetulnya, menyalahi sejarah kelahiran agama itu sendiri. Hampir sebagian besar agama lahir karena sikap yang resisten terhadap praktek sosial yang ada. Dengan kata lain, sejarah kelahiran agama adalah sejarah penyimpangan dari norma yang berlaku. Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu. (Ulil Abshar-Abdalla)
Tatkala membaca kalimat di atas, di satu milis yang kuikuti (topik utama sebenarnya adalah “mempertanyakan puasa”), aku teringat dua hal. Yang pertama tentang seorang teman kos waktu aku kuliah S1 dulu. Aku tinggal di sebuah kos yang terletak di Jalan Kaliurang Km 5. Jumlah penghuni kos sekitar 18 perempuan, rata-rata seusia denganku, atau lebih tua 2-4 tahun. Seingatku hanya ada satu di antara kita yang beragama Katolik.
Di antara yang beragama Islam, ada satu yang dengan konsisten tidak menjalankan ibadah shalat lima waktu. Aku dan kebanyakan temanku yang waktu itu cara berpikirnya masih seperti Fahri Anwar, LOL, tentu merasa sangat prihatin karena kita yakin tentu dia akan berteman dengan setan di neraka setelah hari kiamat nanti. Oleh karena itu, beberapa hal kita lakukan bersama untuk ‘menyentilnya’ agar dia mau menjalankan shalat lima waktu.
Pertama, kita memberi ‘mandat’ kepada teman sekamarnya (kebetulan dia menyewa kamar berdua, beda denganku yang hanya sendirian saja menyewa satu kamar) untuk menyentilnya. Bagaimana caranya? Temanku—sebut saja namanya Jujuk—membaca Alquran dan terjemahannya keras-keras setelah shalat Maghrib di kamar agar teman yang tidak shalat itu—sebut saja namanya Eva—mendengarnya. Jujuk dengan sengaja memilih ayat-ayat Alquran (terjemahannya) dimana (konon, bagi yang mengimani) Allah berfirman agar manusia menjalankan shalat lima waktu dengan teratur. Kalau tidak nerakalah tempatnya, dibakar bersama segala bentuk jin dan setan, kekal di dalamnya. Tentu saja kita bermaksud agar Eva takut dengan siksaan api neraka itu jika tidak shalat, sehingga dia akan shalat.
Apa yang terjadi setelah itu? Eva memilih ngeluyur di ruang TV atau ruang tamu tatkala waktu shalat Maghrib tiba dan dirasanya Jujuk akan ‘menyindirnya’.
Tidak berhasil dengan cara tersebut, aku dan teman-teman menggunakan cara lain. Waktu Eva merayakan ulang tahun, kita mengumpulkan uang untuk membelikannya satu hadiah. Tepat di hari ulang tahunnya, kita ajak dia jalan-jalan ke Kaliurang, sambil membawa berbagai macam makanan dan minuman, kita mengadakan pesta kecil untuknya. Di tengah-tengah acara makan-makan dan nyanyi, tak lupa kita serahkan kado ultah untuk Eva. Eva nampak senang. Namun setelah dia buka kado itu, wajahnya nampak sedikit kesal dan kecewa. Isinya: mukena dan sajadah!
Setelah balik ke kos, dia sempat komplain ke Jujuk, “Kenapa sih teman-teman kok gitu? Sudah tahu aku tidak shalat aku diberi mukena dan sajadah? Mubazir kan? Mending juga aku ga usah diberi apa-apa aku ga bakal tersinggung.”
Aku sudah lupa apa yang dikatakan Jujuk kepadanya.
Beberapa bulan kemudian, tatkala bulan Ramadhan datang untuk pertama kali kita menjalani puasa bersama di kos, aku dan teman-teman terheran-heran melihat Eva begitu antusias menyambut bulan Ramadhan. “Dia ga shalat, ngapain juga dia heboh begitu menyambut puasa?” pikir kita.
Ternyata Eva ikut menjalankan ibadah puasa bersama. Dia mengaku meskipun dia tidak shalat secara teratur, dia selalu menjalankan ibadah puasa, dan bolong hanya waktu dia sedang menstruasi saja. Wah! Jujuk sempat menegurnya dengan mengatakan, “Sia-sia saja puasamu kalau tidak dibarengi dengan shalat. Ibadah itu harus dijalankan bersama-sama, tidak bisa kamu memilih yang mana yang ingin kamu lakukan.”
Malamnya, tatkala kita rame-rame mau menghadiri shalat tarawih bersama di Gelanggang Mahasiswa UGM (waktu itu UGM belum punya masjid kampus yang megah itu, yang sekarang terletak di daerah Kuningan, sebelah Tenggara Fakultas Ilmu Budaya), ternyata Eva dengan malu-malu bilang dia ingin ikut bersama kita. Akhirnya mukena dan sajadah yang kita berikan kepadanya, dia pakai juga. LOL.
Beragama secara sosial, eh? Melakukan ritual agama karena tekanan sosial?
Satu tahun lalu, dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan, aku menulis sebuah artikel untuk mengingat masa kecilku di bulan Ramadhan. Tatkala aku post tulisan itu di blog http://afemaleguest.blog.co.uk dimana kebanyakan pengunjung berasal dari Eropa, seorang teman blog bertanya, heran, “Why did you teach Angie to do such a foolish thing? To starve yourself/herself? What’s the point?” Jika aku menjawab, “Agar masuk surga, atau agar terhindar dari api neraka” tentu aku akan ditertawakan olehnya. LOL. Jawabanku adalah, “I live in Indonesia, where social pressures to do religious teachings are very big. Later after Angie grows up and can use her own common sense, I let her choose what she wants to do. I don’t want her to be judged irreligous or evil or ‘naughty’ by her friends. I am still worried if her mental is not strong yet with that. Let her follow the mainstream first.”
Temanku masih heran, namun dia tidak mendesakku untuk memberikan jawaban yang mauk akal buatnya. LOL.
Hal kedua yang kuingat berdasarkan kalimat “Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu.”
Aku teringat waktu kuliah di American Studies dan mempelajari sejarah awal ‘terbentuknya’ negara Amerika. Para imigran “pertama” adalah kaum yang konon disebut ‘The Pilgrim” yang menaiki kapal Mayflower di awal abad ke-17. Di antara kaum “The Pilgrim” itu ada sekolompok orang yang menamakan diri mereka kaum “Puritan” yang memegang peran sangat penting dalam pembentukan awal koloni-koloni yang berjumlah 13 itu. Kaum “Puritan” ini terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya karena mereka merasa tidak bisa menjalankan agama yang mereka yakini dikarenakan raja Inggris yang sangat memaksakan agama yang dia anut untuk seluruh rakyat Inggris. Sejarah kaum Puritan ini bisa dikatakan sebagai sejarah “kekafiran” mereka terhadap agama yang diyakini oleh para penguasa Inggris di sekitar abad 16-17. Kediktatoran raja Inggris yang menganggap mereka sebagai Kaum Pembangkang/Pembelot atau “The Dissenter” membawa mereka ke the New Land yang “ditemukan” oleh Columbus beberapa abad sebelumnya. Kaum Puritan ini beralasan ingin mendapatkan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang meraka yakini.
Setelah berimigrasi ke Amerika, sayangnya mereka pun melakukan hal yang sama dengan raja Inggris, yakni sewenang-wenang kepada mereka yang tidak meyakini agama yang sama dengan mereka. Tidak hanya kepada “penduduk asli” yang mereka sebut suku Indian, juga kepada para imigran lain yang tidak meingimani kepercayaan kaum Puritan, kaum Puritan ini bertindak persis dengan raja yang mereka benci.
Kembali ke topik utama tulisan ini “beragama secara sosial”, kapankah manusia akan bersikap dewasa terhadap agama yang mereka anut, tidak memaksakan kebenaran absolut yang mereka yakini kepada orang lain, dan menghormati agama orang lain, juga menghormati orang lain yang memilih untuk tidak melakukan ritual agama apapun.
-- Nana yang (pernah) relijius karena tekanan sosial, dan sekarang memilih menjadi sekuler karena ‘fatwa’ dari dalam hati sendiri –
PT56 22.12 130907
Jumat, September 07, 2007
Agama Kemanusiaan
“Penuhilah hatimu dengan kasih sayang, cinta dan kemurahan hati kepada rakyatmu, ... karena mereka hanya satu di antara dua: saudara seagama, atau sesama sebagai makhluk Tuhan.” – Nasihat Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar al-Nakha’i
(dari “Melampaui Pluralisme” halaman 203)
Agama Kemanusiaan konon didirikan oleh August Comte (1789-1857). Ini terus terang saja merunut ke tulisan Adi Ekopriyono. (Ini tulisan keduaku yang mengulas tulisan Adi Ekopriyono buat blogku.) Agama Kemanusiaan ini berarti moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan, tukan kepada The Omnipotent yang tak terlihat itu. Konsep ‘agama kemanusiaan’ muncul sebagai reaksi atas absolutisme kekuatan di luar kekuatan manusia pada masa teologis dan abstraksi-abstraksi metafisik pada masa metafisika.
Di dalam agama Islam, yang kupelajari waktu kecil ada dua hubungan yang seharusnya sama pentingnya—hablum minallah (hubungan kepada Allah—vertikal) yang bersifat sangat pribadi, dan hablum minannas (hubungan kepada sesama manusia—horizontal) yang tentu bersifat sosial. Meskipun aku diajari bahwa hablum minannas ini sama pentingnya dengan hablum minallah, dalam kenyataan orang-orang yang ada di sekitarku, aku lihat mereka lebih mementingkan hablum minallah. Bahkan kadang-kadang dalam rangka hablum minallah ini kalau perlu merusak hablum minannas, orang-orang itu akan melakukannya. Misal: sebagai akibat indoktrinasi bahwa wajib hukumnya untuk mempercayai bahwa ajaran agama kita yang paling benar, orang-orang melupakan pentingnya hablum minannas, sehingga hanya karena berbeda agama, orang-orang merasa berhak untuk menghakimi orang-orang lain agama sebagai orang-orang yang sesat, dan bahkan kalau perlu membunuhnya. Ayat-ayat dalam Alquran yang bersifat inklusif ‘dilupakan’ atau ‘dikubur dengan sengaja’ dan lebih mengemukakan ayat-ayat lain yang lebih bersifat ekslusif (lihat contohnya dalam tulisanku yang kuberi judul “Toleransi 2”)
Well, mungkin saja bisa dikatakan bahwa contoh ekstrim seperti Amrozi dkk hanyalah segelintir jumlahnya dibandingkan jumlah orang Muslim di negara tercinta kita ini. Namun kita tidak bisa menutup mata dari contoh-contoh di sekitar kita, yang memang mungkin ‘kadar’nya jauh lebih ringan. Akan tetapi yang ringan ini suatu saat nanti akan bisa menjadi lebih berat.
Contoh (pertama) dalam lingkungan kerjaku. Seorang teman—berjilbab, sebut saja X—suatu saat minta tolong untuk menggantikan mengajar di kelasnya karena dia tidak bisa datang, kepada seorang teman lain yang kebetulan beragama lain, sebut saja Y. Beberapa hari kemudian seorang teman lain—sebut saja Z—menegur X dengan mengatakan, “Kamu ini Islam, berjilbab lagi, kok bisa-bisanya minta tolong kepada orang yang beragama lain?” LHO!!! Permintaan tolong ini kan dalam rangka kehidupan duniawi, yang tidak ada hubungannya dengan masalah ukhrowi, bagaimana mungkin Z yang menurutku cukup berpendidikan memiliki cara berpikir yang sempit begitu?
Contoh (kedua): beberapa waktu lalu adikku pergi dengan dua temannya. Kebetulan kedua temannya itu sekarang berjilbab. (Dulu waktu mereka bertiga kuliah bersama di satu perguruan tinggi di Semarang, mereka belum berjilbab.) Tatkala mereka bertiga sedang makan dan minum di satu kedai, salah satu dari mereka bilang ke adikku, “Nuk, kamu harusnya pake jilbab juga. Sehingga kita bertiga semua berjilbab.” Adikku—yang masih sangat relijius dibandingkan aku, kakaknya, yang telah membaptis diri menjadi sekuler—sempat tercekat tenggorokannya mendengar seorang temannya mengatakan hal itu. Dalam hati dia mengatakan, “Aku sangat tidak suka melihat orang-orang yang mengkotak-kotakkan diri mereka, sehingga justru membuat mereka menjadi seperti katak dalam tempurung. Misal: orang-orang yang berjilbab hanya memilih teman yang memakai jilbab juga. Jilbab pun dibagi menjadi dua: jilbab yang longgar dengan pakaian yang longgar, biasanya orang-orang seperti ini merasa lebih alim, lebih dekat dengan Tuhannya, dan sering melemparkan tuduhan ke orang-orang yang berjilbab yang dikonotasikan ‘modern’ alias mengikuti perkembangan zaman, sebagai orang-orang yang tidak serius melakukan ajaran agamanya. Karena itulah mereka memilih berteman dengan ‘sesamanya’. Mereka cenderung menutup diri. Mereka lupa dengan ajaran hablum minannas yang tidak boleh memilih-milih teman untuk bersosialisasi.
Orang-orang yang semacam ini—yang biasanya lebih cenderung mengikuti interpretasi Alquran klasik yang eksklusif—yang menurutku akan dengan ‘mudah meledak’ jika terjadi perpecahan suatu masyarakat di satu negara berdasarkan agama.
Ide Adi Ekopriyono yang mengacu ke ide August Comte memang bagus untuk mencoba menciptakan masyarakat yang lebih toleran. Namun sebenarnya ga perlu jauh-jauh kembali ke abad 18/19 saat Comte hidup. Kita masyarakatkan saja hablum minannas dengan semestinya, dibarengi dengan pemahaman ayat-ayat Alquran yang inklusif.
PT56 22.52 050907
Jumat, Agustus 31, 2007
Toleransi 2
Aku diam saja, tidak melayani gunjingannya.
Melihatku diam saja, rupanya temanku ini melihatnya sebagai ‘lampu hijau’ baginya untuk melanjutkan pergunjingan, dan bukannya melihatnya sebagai keengganan.
“Seminggu yang lalu aku menghadiri pengajian. Ustadz yang mengisi pengajian waktu itu mengatakan jika seorang orang tua sibuk beribadah sendiri, shalat, mengaji, berpuasa, dan lain-lain namun mengabaikan anaknya, dan anaknya tidak tumbuh sebagai seseorang yang relijius, nanti di akhirat tatkala orang tua ini akan masuk surga, langkahnya akan diberhentikan oleh anaknya. Si anak akan mengatakan, ‘Stop! Tuhan, orang itu tidak boleh masuk surga karena ketika di dunia dia asik beribadah sendiri, dan tidak mengajariku, anaknya, untuk beribadah. Aku bahkan dibiarkannya melakukan maksiat.’ “
Aku pun tetap diam. Aku telah mendengar ‘kisah’ seperti ini sejak kecil, jadi bukan merupakan barang baru bagiku, kisah yang dijadikan ‘senjata’ oleh para orang tuanya untuk melarang anaknya berpacaran dengan orang lain agama, bukan karena cintanya kepada sang anak yang mungkin di mata mereka akan ‘terjerumus’ kepada kemurtadan, melainkan karena ketakutan diri mereka sendiri yang tidak akan masuk surga, karena langkah mereka dihentikan oleh si anak yang sejak kecil tidak pernah diajari beribadah, seperti shalat, mengaji, berpuasa, dll.
“Padahal kakeknya si pengantin perempuan itu kan termasuk mubaligh. Mubaligh yang bisa berceramah di sana sini tapi tidak bisa menceramahi cucu sendiri. Dengar-dengar katanya ibu si pengantin putri menyesal sekali tatkala dia tahu anaknya berkeputusan untuk mengikuti agama calon suami. Penyesalan yang sangat terlambat karena seharusnya dia melarang anaknya membina hubungan dengan laki-laki yang beragama lain sejak awal. Apa sang kakek tidak pernah bercerita tentang anak kecil yang tidak diajari beribadah akan menyeret orang tuanya ke neraka?”
Setelah diam beberapa saat, dan akhirnya tak tahan lagi mendengarkan gunjingan ini, aku pun buka suara, “Kasus ini berbeda. Memang tugas orang tua mengajari anaknya untuk melakukan kebaikan dan kebajikan, termasuk melakukan ibadah agama. Kalau tidak, ya berarti orang tua itu salah. Tapi kalau kasus si calon pengantin ini kan berbeda? Dia sudah dewasa, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sudah bisa menggunakan akal sehatnya untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan berkenaan dengan masa depannya. Segala apa yang dia lakukan sekarang adalah tanggung jawabnya sendiri, dan bukan lagi tanggung jawab orang tuanya. Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa tatkala seorang anak mencapai akil balik, anak perempuan setelah mendapatkan menstruasi, anak lelaki setelah khitan, semua tingkah laku, ibadah, maupun dosa menjadi tanggung jawabnya sendiri?”
Temanku termangu mendengarkan jawabanku, dan dengan agak terbata berkomentar, “Oh, jadi kasusnya berbeda ya?”
“Iya.” Jawabku tegas. Kemudian aku mengalihkan perbincangan ke hal lain.
****
Beberapa hari yang lalu, tatkala menemani Angie belajar untuk persiapan tes di sekolah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh ‘pernyataan’ (atau pertanyaan?) Angie,
“Eh Ma, coba dengar ini. Di buku ini (note: buku Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI) dituliskan ‘... dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman yang artinya Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Ali ‘Imran, 3:85)”
Aku memang tidak banyak mengajari Angie tentang ayat-ayat Alquran, aku lebih suka mengajaknya diskusi tentang menghormati orang lain, termasuk kepercayaan mereka, agar dia jauh dari sikap fanatisme berlebihan yang akan membuatnya kesulitan menerapkan toleransi. Tentu dia terheran-heran membaca ayat tersebut di atas dalam buku pelajaran sekolahnya.
“Sayang, semenjak Mama melanjutkan kuliah dan mempelajari tentang teori-teori baru, yang akan menghasilkan interpretasi baru tentang segala hal, Mama yakin teori-teori itu pun bisa dipakai untuk menghasilkan interpretasi baru dalam pembacaan Alquran, termasuk ayat yang Angie baca terjemahannya itu. Lagipula untuk memahami Alquran benar-benar, kita tidak bisa memenggal satu ayat dari ayat-ayat lain. Kita tidak bisa membaca satu atau dua ayat saja, kemudian menginterpretasikannya, tanpa memandang keberadaan ayat-ayat lain, juga asbabun nuzulnya, konteks apa yang melatari satu ayat turun.” Bla bla bla ...
Angie yang sedang pusing menghafalkan ayat-ayat sebegitu banyak, mungkin tambah pusing dengan keteranganku itu. LOL. Karena aku melihatnya sebagai waktu yang kurang tepat untuk ‘berceramah’ lebih lanjut, aku kembali ke kegiatanku semula, menulis artikel untuk blog, dan Angie sendiri melanjutkan belajarnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Melampaui Pluralisme”, untuk membahas ayat di atas, Hendar Riyadi menjabarkannya di bab 5 yang berjudul “Paradigma Etika Alquran dalam Konteks Pluralisme Agama” halaman 113-163.
Lebih lanjut lagi, Alquran menegaskan bahwa “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 272) Hal ini berarti bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit pun untuk menilai serta menghukumi orang lain yang berbeda pemahaman, agama dan keyakinan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan. Prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semagat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda. Manusia sebagai ciptaan Allah sama sekali TIDAK PUNYA hak untuk menghakimi orang lain sebagai orang yang tersesat, berdosa, dan sebangsanya itu.
Menurutku sudah tiba saatnya untuk lebih memasyarakatkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang bersifat inklusif, dan menghentikan menginterpretasikan secara eksklusif, agar tercipta kedamaian dan saling menghormati antarumat beragama.
PT56 22.59 290807
Rabu, Agustus 29, 2007
Toleransi
Tatkala membaca buku “Melampaui Pluralisme” tulisan Hendar Riyadi (RMBooks & PSAP: 2007), aku mendapati ternyata dalam tradisi agama Islam, istilah ‘toleransi’ ini baru muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi benturan antara ideologi Katolik dan Protestan. Menilik waktu pertama kali istilah ‘toleransi’ ini muncul hampir lebih sepuluh abad semenjak agama Islam pertama kali diwartakan oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan satu hal yang dimengerti jika istilah ‘toleransi’ ini tidak mendapatkan dukungan di sebagian besar masyarakat Islam. Dalam artikel “Akar Islam bagi Teologi Toleransi”, (dimuat dalam buku DEKONSTRUKSI SYARIAH) Abdullah Ahmed al-Naim mengemukakan bahwa masyarakat Islam menolak konsep toleransi ini karena mereka berpedoman bahwa ayat-ayat dalam Alquran yang mendukung konsep ini telah dihapus (dinaskh) oleh ayat Alquran tentang jihad.
Sebagai pengikut Jacques Derrida dengan teori Dekonstruksinya (teori Hermeneutik bisa digolongkan sebagai anak cabang Dekonstruksi, seperti Feminisme, Poskolonilisme, dll), aku setuju dengan Mohammad Arkoun bahwa dalam memahami aksioma-aksioma dasar Alquran, perlu kita tegaskan perlunya penggunaan teori hermeneutik dalam menginterpretasikan ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks yang mendukung dan kemungkinan menjalankan toleransi penuh.
Lebih lanjut Hendar Riyadi menjelaskan bahwa secara umum, akar-akar toleransi dalam teks kitab suci Alquran dapat dirumuskan seperti berikut ini:
Pertama, prinsip bahwa perbedaan (keragaman) keyakinan itu adalah sunnatullah (kehendak Allah) yang bersifat terus menerus. Alquran menyatakan “sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat saja, akan tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, oleh karena itu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Kedua, prinsip bahwa pengadilan dan hukuman bagi keyakinan yang salah harus diserahkan kepada Allah sendiri. Tuhan lebih tahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk. Alquran menyebutkan “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS> An-Nahl [16]: 125)
Ketiga, dalam “Akar-akar Teologi Toleransi” Roy P. Mottahedeh menyebutkan bahwa semua ummat manusia mempunyai “agama alamiah”, yakni agama yang melekat dengan “fitrah” spiritual dan moral yang ditiupkan Allah ke dalam jiwa mereka yang atas dasar fitrah itu kita harus mengasumsikan kebaikan fitrah sesama manusia. Untuk mendukung prinsip ketiga ini—keyakinan kepada sebuah agama fitrah—Mottahedeh menyitir satu hadits Nabi yang artinya “Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat keagamaan yang toleran” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).
Teks Alquran yang mendukung prinsip ini adalah surat Ar-Rum [30] yang berarti “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Menggunakan teori hermeneutik, kata ‘fitrah’ dalam ayat di atas bisa dimaknakan sebagai “agama asal mula ummat manusia yang melekat, dan dicapkan secara tak terhapuskan pada jiwa semua manusia.” Ini berarti bahwa setiap manusia terikat dalam suatu persaudaraan keagamaan universal. Masing-masing agama lahir dan didasarkan kepada suatu sumber yang sama, yakni agama Allah (baca Tuhan) yang tertanam dalam diri manusia. Dalam Tafsir Tematik Alquran, Ismail Raji al-Faruqi berpendapat bahwa keyakinan kepada agama fitrah ini merupakan suatu terobosan paling penting ke arah pembinaan hubungan antarummat beragama.
Ketiga prinsip di atas memiliki tujuan utama yakni untuk melakukan kompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat), yang merupakan prinsip penting Alquran dalam hubungan sosial antar kaum beriman.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku ingin menyitir apa yang dikatakan oleh Issa J. Boulata dalam Tafsir Bintu al-Syathi’: “perbedaan di antara ummat beragama haruslah merupakan suatu kesempatan untuk berkompetisi dalam amal salih, bukan kesempatan untuk perbuatan-perbuatan fanatik yang membawa kepada permusuhan di antara penganut iman dari agama yang berbeda.”
Mari dengan kesadaran penuh, kita hadirkan toleransi yang sesungguhnya (yang bukan merupakan ide abstrak semata) dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk membangun bangsa Indonesia bersama-sama, tanpa memandang beda etnik, agama, maupun strata sosial.
PT56 11.43 290807