Cari

Jumat, September 07, 2007

Agama Kemanusiaan

“Penuhilah hatimu dengan kasih sayang, cinta dan kemurahan hati kepada rakyatmu, ... karena mereka hanya satu di antara dua: saudara seagama, atau sesama sebagai makhluk Tuhan.” – Nasihat Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar al-Nakha’i
(dari “Melampaui Pluralisme” halaman 203)


Agama Kemanusiaan konon didirikan oleh August Comte (1789-1857). Ini terus terang saja merunut ke tulisan Adi Ekopriyono. (Ini tulisan keduaku yang mengulas tulisan Adi Ekopriyono buat blogku.) Agama Kemanusiaan ini berarti moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan, tukan kepada The Omnipotent yang tak terlihat itu. Konsep ‘agama kemanusiaan’ muncul sebagai reaksi atas absolutisme kekuatan di luar kekuatan manusia pada masa teologis dan abstraksi-abstraksi metafisik pada masa metafisika.
Di dalam agama Islam, yang kupelajari waktu kecil ada dua hubungan yang seharusnya sama pentingnya—hablum minallah (hubungan kepada Allah—vertikal) yang bersifat sangat pribadi, dan hablum minannas (hubungan kepada sesama manusia—horizontal) yang tentu bersifat sosial. Meskipun aku diajari bahwa hablum minannas ini sama pentingnya dengan hablum minallah, dalam kenyataan orang-orang yang ada di sekitarku, aku lihat mereka lebih mementingkan hablum minallah. Bahkan kadang-kadang dalam rangka hablum minallah ini kalau perlu merusak hablum minannas, orang-orang itu akan melakukannya. Misal: sebagai akibat indoktrinasi bahwa wajib hukumnya untuk mempercayai bahwa ajaran agama kita yang paling benar, orang-orang melupakan pentingnya hablum minannas, sehingga hanya karena berbeda agama, orang-orang merasa berhak untuk menghakimi orang-orang lain agama sebagai orang-orang yang sesat, dan bahkan kalau perlu membunuhnya. Ayat-ayat dalam Alquran yang bersifat inklusif ‘dilupakan’ atau ‘dikubur dengan sengaja’ dan lebih mengemukakan ayat-ayat lain yang lebih bersifat ekslusif (lihat contohnya dalam tulisanku yang kuberi judul “Toleransi 2”)
Well, mungkin saja bisa dikatakan bahwa contoh ekstrim seperti Amrozi dkk hanyalah segelintir jumlahnya dibandingkan jumlah orang Muslim di negara tercinta kita ini. Namun kita tidak bisa menutup mata dari contoh-contoh di sekitar kita, yang memang mungkin ‘kadar’nya jauh lebih ringan. Akan tetapi yang ringan ini suatu saat nanti akan bisa menjadi lebih berat.
Contoh (pertama) dalam lingkungan kerjaku. Seorang teman—berjilbab, sebut saja X—suatu saat minta tolong untuk menggantikan mengajar di kelasnya karena dia tidak bisa datang, kepada seorang teman lain yang kebetulan beragama lain, sebut saja Y. Beberapa hari kemudian seorang teman lain—sebut saja Z—menegur X dengan mengatakan, “Kamu ini Islam, berjilbab lagi, kok bisa-bisanya minta tolong kepada orang yang beragama lain?” LHO!!! Permintaan tolong ini kan dalam rangka kehidupan duniawi, yang tidak ada hubungannya dengan masalah ukhrowi, bagaimana mungkin Z yang menurutku cukup berpendidikan memiliki cara berpikir yang sempit begitu?
Contoh (kedua): beberapa waktu lalu adikku pergi dengan dua temannya. Kebetulan kedua temannya itu sekarang berjilbab. (Dulu waktu mereka bertiga kuliah bersama di satu perguruan tinggi di Semarang, mereka belum berjilbab.) Tatkala mereka bertiga sedang makan dan minum di satu kedai, salah satu dari mereka bilang ke adikku, “Nuk, kamu harusnya pake jilbab juga. Sehingga kita bertiga semua berjilbab.” Adikku—yang masih sangat relijius dibandingkan aku, kakaknya, yang telah membaptis diri menjadi sekuler—sempat tercekat tenggorokannya mendengar seorang temannya mengatakan hal itu. Dalam hati dia mengatakan, “Aku sangat tidak suka melihat orang-orang yang mengkotak-kotakkan diri mereka, sehingga justru membuat mereka menjadi seperti katak dalam tempurung. Misal: orang-orang yang berjilbab hanya memilih teman yang memakai jilbab juga. Jilbab pun dibagi menjadi dua: jilbab yang longgar dengan pakaian yang longgar, biasanya orang-orang seperti ini merasa lebih alim, lebih dekat dengan Tuhannya, dan sering melemparkan tuduhan ke orang-orang yang berjilbab yang dikonotasikan ‘modern’ alias mengikuti perkembangan zaman, sebagai orang-orang yang tidak serius melakukan ajaran agamanya. Karena itulah mereka memilih berteman dengan ‘sesamanya’. Mereka cenderung menutup diri. Mereka lupa dengan ajaran hablum minannas yang tidak boleh memilih-milih teman untuk bersosialisasi.
Orang-orang yang semacam ini—yang biasanya lebih cenderung mengikuti interpretasi Alquran klasik yang eksklusif—yang menurutku akan dengan ‘mudah meledak’ jika terjadi perpecahan suatu masyarakat di satu negara berdasarkan agama.
Ide Adi Ekopriyono yang mengacu ke ide August Comte memang bagus untuk mencoba menciptakan masyarakat yang lebih toleran. Namun sebenarnya ga perlu jauh-jauh kembali ke abad 18/19 saat Comte hidup. Kita masyarakatkan saja hablum minannas dengan semestinya, dibarengi dengan pemahaman ayat-ayat Alquran yang inklusif.
PT56 22.52 050907

Tidak ada komentar:

Posting Komentar