Watching TV? COUNT ME OUT!
Bagi mereka yang mengenalku (dari tulisan-tulisanku di blog) aku bukanlah penikmat kotak “ajaib” (mungkin sekarang tak lagi dianggap ajaib LOL) ini. Terakhir kali aku sengaja duduk manis di depan televisi, merelakan diri menjadi santapan nyamuk yang tak mau berkompromi denganku adalah pada puncak acara PPI tanggal 3 Agustus 2007, itu pun karena Elva, wakil dari Jawa Tengah adalah my ex student. Kalau tidak, aku sudah lupa kapan terakhir kali aku sengaja nongkrong di depan televisi untuk nonton acara-acara yang disajikan. So, bisa dipahami jika aku hampir tidak tahu acara-acara apa aja yang ada di televisi. (Mungkin kejadiannya akan berbeda jika aku memiliki televisi pribadi yang bisa kuletakkan di dalam kamar tidurku—shared with my Lovely Star. J Mungkin aku akan punya pengalaman nonton beberapa acara, seperti “Kick Andy”, “Oprah Winfrey Show” dll.)
Meskipun begitu, kalau acara “Dorce Show” aku tahu. Di pagi hari, tatkala aku masih ‘beredar’ di rumah, my dear Mom suka nonton acara ini. Sekali-sekali tatkala aku melewati ruang makan—dimana televisi diletakkan di tempat tinggalku—aku jadi tahu sedikit-sedikit what kind of program Dorce Show is.
Semalam, seorang rekan kerja bertanya padaku apakah aku nonton “Dorce Show” pada hari Kamis 6 September 2007. Berhubung aku tidak nonton, aku bertanya kepadanya what it was all about. Dia bercerita, “Di acara tadi pagi ada seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup lama. Waktu si ibu ini ditanyai Dorce apakah dia akan menggugat cerai, dia bilang, “Tidak.” Karenanya Dorce bertepuk tangan meriah dan memuji, “Bagus Bu. Ibu yang sabar saja ya? Tuhan akan membukakan mata hati suami Ibu nanti.” Dan para perempuan yang berada di dalam studio pun memberikan applause kepada si Ibu itu, juga Dorce.”
Aku melongo mendengar cerita temanku itu. Kemudian dia melanjutkan, “Seandainya kalimat itu diucapkan dari seorang perempuan “asli” (baca è manusia yang dilahirkan dengan memiliki vagina dan payudara) yang didoktrin dalam kultur patriarki dengan kuat, dan doktrin itu tertanam kuat pada batok kepalanya, mungkin aku akan lebih memahami. Namun tatkala kalimat itu keluar dari seseorang yang waktu lahir memiliki penis dan tidak berpayudara, yang kemudian melalui operasi menjadi memiliki vagina dan (mungkin) payudara buatan, I really can’t believe that.”
Kebetulan pada hari yang sama, Kamis 6 September 2007, tabloid Cempaka keluaran Suara Merdeka, dalam kolom “curhat” memuat kegalauan sekelompok anak yang melihat ibu mereka menjadi korban kekerasan ayah mereka. Anak-anak yang tidak terima melihat ibu yang melahirkan dan membesarkan mereka menjadi korban kekerasan sang suami menginginkan kedua orang tua mereka bercerai. Namun, harus kukatakan karena sang ibu ini menyimpan doktrin tentang “seorang perempuan yang baik” yang dilihat baik dari kacamata agama maupun kacamata kultur patriarki, si ibu ini tetap berat meninggalkan sang suami.
Kembali ke acara Dorce Show. Beberapa bulan lalu, tatkala kebetulan aku lewat ruang makan saat my Mom nonton, acara menampilkan beberapa perempuan yang suaminya dipenjara. Dorce bertanya kepada seorang perempuan, “Apakah Ibu akan menggugat cerai suami Ibu?” (dari caranya mengajukan pertanyaan, aku bisa menebak bahwa Dorce mengharapkan jawaban, “Tidak” dan kemudian akan memberikan applause kepada si perempuan yang mengikuti stereotipe “perempuan baik-baik” menurut kultur patriarki.) Ketika si perempuan—yang nampaknya bukan dari kalangan berpendidikan tinggi—itu menjawab, “Ya jelas dong!” aku melihat ekspresi wajah Dorce yang melongo. Kemudian dia bertanya, “Apa Ibu ada rencana untuk menikah lagi?” Si perempuan menjawab, “Iya. Saya sudah menikah lagi sekarang.” Komentar Dorce (yang menyakitkan kupingku) adalah, “Wah, ternyata Ibu gatel juga ya?” G-U-B-R-A-K!!!
Bukankah seorang perempuan berhak untuk menentukan bagaimana dia akan hidup, menjalani kehidupannya dan memilih jalan yang sesuai keinginannya untuk mencapai kebahagiannya?
Missi apakah yang dibawa acara talk show ini? Pelanggengan kultur patriarki yang dilakukan oleh seorang “mantan” pelaku kekerasan (read è kaum Feminis Radikal percaya bahwa kekerasan di muka bumi ini semua berawal dari kaum penyembah phallocentrism ini.) Dorce dulu memiliki penis, sekarang karena operasi konon dia telah memiliki vagina yang membuatnya merasa menjadi “perempuan”, sehingga kemudian dia pun merasa berhak untuk berpikir a la “perempuan baik-baik”?
N.B.: Bukankah akan lebih menyenangkan jika Dorce menjadi salah satu pejuang kesetaraan gender?
PT56 12.18 070907
Tidak ada komentar:
Posting Komentar