Cari

Kamis, Maret 13, 2014

Bikepacking berwisata candi

Tentu banyak orang yang tahu bahwa lereng gunung Lawu menawarkan pemandangan nan eksotis sekaligus trek yang mengasyikkan plus menantang adrenalin bagi pesepeda. Meskipun begitu, dua hal tersebut bagiku pecinta candi adalah bonus karena yang melatarbelakangi kisahku gowes ke lereng gunung Lawu ini adalah kejatuhcintaanku pada kemistikan Candi Cetho dan kesensualan Candi Sukuh.

CANDI CETHO

Aku beserta Ranz – soul mate sepedaanku – memulai gowes di satu hari Jumat dari kawasan Laweyan Solo sekitar pukul 06.00 pagi. Jalan-jalan protokol kota Solo yang kita lewati masih lumayan sepi, hingga kita sampai alun-alun Kabupaten Karanganyar. Untuk sarapan kita mampir di sebuah rumah makan di pinggir jalan raya Solo - Karanganyar yang menawarkan timlo Solo, hidangan yang berupa kuah bening dengan isi sosis ayam yang dipotong-potong, telor ayam pindang dan irisan hati serta ampela ayam. Menu ini dimakan dengan nasi putih yang ditaburi bawang goreng. Sangat segar jika dimakan pagi hari (meski juga cocok dimakan siang maupun malam hari. J )

timlo Solo
Usai sarapan kita kembali melanjutkan perjalanan. Dari Karanganyar trek menanjak halus hingga kurang lebih 15 kilometer sampai pertigaan Karang Pandan. Dari Karang Pandan kita memilih jalan yang menuju Tawangmangu, dimana tanjakan semakin meninggi terutama setelah kita melewati pertigaan berikutnya dimana ada gapura bertuliskan KAWASAN WISATA SUKUH – CETHO. (Di pertigaan ini kita belok kiri karena kalau memilih kanan kita akan sampai Tawangmangu.) Pemandangan indah di depan mata mulai menemani hingga tak akan kita menyesali keputusan untuk gowes ke arah ini.


Dalam perjalanan kita akan melewati gapura SELAMAT DATANG DI KAWASAN WISATA CANDI SUKUH – CETO, dimana para turis dikenakan biaya retribusi yang sangat murah yakni Rp. 1000,00. Namun pesepeda seperti  kita dipersilakan lewat tanpa membayar. J Sekitar satu kilometer dari gapura ini kita sampai pertigaan dimana jika kita belok kanan kita akan sampai Candi Sukuh; kita belok kiri karena tujuan kita yang pertama adalah Candi Cetho. Setelah melewati pertigaan ini, kita diberi istirahat mengayuh pedal karena trek justru menurun sejauh beberapa ratus meter, namun setelah itu kita harus ngoyo nanjak lagi. J



Selepas melewati satu tempat yang ada petunjuk “CANDI CETHO ± 3 KM     “ tanjakan yang kita lewati kian curam; tenaga kian terkuras, nafas kian terengah-engah, namun pemandangan di depan mata kian spektakuler! Angin yang bertiup menemani rintik hujan pun kian terasa menusuk tulang. Brrrrr ...
Setelah ‘berjuang’ berjam-jam ‘menaklukkan’ tanjakan demi tanjakan curam (menuntun sepeda hukumnya sangat boleh disini, heheheh) serta melawan hawa dingin akhirnya kita pun sampai ke lokasi yang kita tuju: Candi Cetho nan mistik karena sering diselimuti kabut. Maklum, Candi Hindu ini terletak sekitar 1400 meter di atas permukaan laut. Waktu menunjukkan pukul 17.00! Untunglah sesampai kita disini hujan sudah berhenti, meski tentu awan mendung tetap menggayut di langit.

gapura masuk Candi Cetho

kawasan di dalam Candi Cetho

kawasan di dalam Candi Cetho

Ada sekitar dua atau tiga pondok wisata di kawasan ini bagi mereka yang memutuskan menginap. Tarif kamar lumayan murah hanya Rp. 50.000,00 semalam dengan fasilitas kamar mandi dalam dan tempat tidur berukuran sedang. Yang agak repot adalah jika jumlah tamu yang menginap sedikit, pihak pengelola pondok wisata tidak menyediakan air panas untuk mandi. (Ditanggung airnya dingin sekali!) Selain itu tidak ada satu pun warung yang buka untuk menawarkan makan malam. Maka sangat disarankan jika ingin menginap di kawasan Candi Cetho siapkan bekal makan dan minum yang cukup. Ada satu dua toko kelontong yang tutup setelah adzan Maghrib terdengar berkumandang. Suasana Candi Cetho di malam hari sangat senyap!

Sabtu pagi kawasan Cetho kembali diguyur gerimis. Namun untunglah selepas pukul enam hujan telah reda. Jelang pukul tujuh kita sudah masuk ke dalam kawasan Candi Cetho. Pagi ini Candi Cetho kebetulan tidak diselimuti kabut (beda dengan ketika aku kesana pertama kali dua tahun yang lalu.) Candi Cetho terletak di Dukuh Cetho Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho berupa kelompok bangunan yang terdiri dari 11 teras berundak yang membentang dari arah timur ke barat. Bangunan utamanya terletak di halaman paling belakang yang berarti juga di teras yang paling tinggi, serta menghadap ke puncak gunung. Konon ini berarti orang yang membangun Candi Cetho percaya pada konsep yang mengatakan dewa-dewa bersemayam di puncak gunung. Mereka percaya bahwa gunung adalah sumber enerji. Selain itu bentuk candi tidak mirip candi-candi lain yang ada di Indonesia namun justru menyerupai candi (kuil) yang ada di peradaban Inca, Maya di Amerika Latin. Demikian juga bentuk patung yang berada di teras pertama , patung tidak menyerupai bentuk orang Indonesia melainkan lebih mirip orang Sumeria.



Kurang lebih 20 meter dari bangunan utama, kita akan menemukan Puri Saraswati, yang dipercaya sebagai Dewi Sumber Pengetahuan. Di kawasan ini ada arca Dewi Saraswati yang berupa hadiah dari Kabupaten Gianyar Bali tahun 2004.

CANDI KETHEK


menuju lokasi Candi Kethek
kawasan Puri Saraswati

Candi Cetho

Setelah puas mengitari kawasan Candi Cetho, dan sarapan di sebuah warung yang telah buka, kita melanjutkan berjalan ke arah Candi Kethek, kurang lebih jaraknya 300 meter. Trek agak sulit – meski kita ‘hanya’ jalan kaki – karena kita harus melewati tepian tebing sampai menyeberangi sungai kecil yang bisa jadi airnya meluap jika usai hujan lebat. Seperti Candi Cetho, Candi Kethek pun berundak-undak. Bangunan utama Candi Kethek yang berbentuk kotak kecil tempat pemujaan dan sesembahan terletak di bagian undakan yang paling atas.
Sekitar pukul 10.00 kita meninggalkan Candi Cetho. Perjalanan yang berupa “bonus” : full turunan! Namun, meski menyenangkan trek turun itu, kita harus ekstra hati-hati agar sepeda tidak sampai terjungkal. Kita juga harus yakin bahwa rem sepeda dalam kondisi prima. Jika tidak; lebih baik menuntun. J
Untuk makan siang kita mampir di rumah makan Kemuning Indah, sebuah rumah makan yang terletak di tengah-tengah perkebunan teh Kemuning hingga suasananya sangat asri dan segar. Menu berupa berbagai jenis ikan bakar/goreng, lalapan, sambal.

CANDI SUKUH

Dari perkebunan teh Kemuning yang menyenangkan dipandang mata itu kita terus ‘dimanjakan’ trek yang terus menurun hingga pertigaan Candi Cetho – Candi Sukuh – Karang Pandan. Tujuan kita berikutnya adalah Candi Sukuh! Di pertigaan itu kita belok kiri ke arah Candi Sukuh. ‘Perjuangan’ mengayuh pedal sepeda di tanjakan curam kembali kita hadapi. Dari pertigaan itu kita harus menapaki tanjakan terjal sejauh kurang lebih 3 kilometer.

patung phallus setinggi 2 meter

candi Sukuh dari belakang

beberapa relief di kawasan Candi Sukuh

Setelah ‘berjuang’ selama kurang lebih satu setengah jam (maklum tanjakannya amat curam), akhirnya kita sampai juga di Candi Sukuh sekitar pukul 15.00. Legaaa! Ternyata pemandangan dari kawasan Candi Sukuh ini tak jauh spektakuler dari atas Candi Cetho, meski Candi Sukuh ‘hanya’ terletak di ketinggian 1220 m di atas permukaan laut.

Malam kedua ini kita mendapatkan penginapan di sebuah rumah penduduk – yang mungkin sudah biasa disewakan kepada pengunjung Candi Sukuh – dengan tarif sama dengan penginapan di Candi Cetho : Rp. 50.000,00 semalam.

Candi Sukuh – yang juga berupa Candi Hindu seperti Candi Cetho  -- terletak di lereng barat Gunung Lawu, di Dusun Sukuh Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.  Ada yang mengatakan Candi Sukuh ini dibangun sekitar abad kelima belas. Namun ada juga yang meragukan informasi ini mengingat bangunan Candi Sukuh yang jauh lebih sederhana dan kasar ketimbang Candi Prambanan yang dibangun enam abad sebelumnya.

Candi Sukuh dari depan

nunut narsis ye? :D

Sebelum masuk ke kawasan Candi Sukuh, kita disambut gerbang paduraksa yang sayangnya ditutup dengan pintu besi, sehingga untuk masuk ke teras pertama, kita harus melewati jalan setapak di samping gerbang ini. Arsitektur Candi Sukuh mirip dengan Candi Cetho berupa punden berundak yang dikenal sejak zaman megalitikum. Ada tiga teras di Candi Sukuh. Bangunan utama Candi Sukuh – yang terletak di teras ketiga – pun mirip dengan Candi Cetho, namun lebih kasar pengerjaannya.

Sore itu kita terpaksa buru-buru pulang ke penginapan sebelum Maghrib karena hujan tiba-tiba turun dengan deras. Malam kedua itu kita lebih beruntung karena si empunya rumah bersedia menyiapkan makan malam sehingga kita tidak kelaparan.

Tapi malam itu kita tidak bisa menikmati suasana Sukuh karena hujan tak kunjung reda hingga kita terlelap karena kantuk dan lelah.


Minggu pagi kita sempat jalan-jalan ke Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunegoro I. Tahura ini oleh pemerintah Kabupaten Karanganyar dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan serta pendidikan yang menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Pulang dari Tahura, kita berkunjung lagi ke Candi Sukuh. Setelah itu kita packing, sarapan dan siap gowes ke tujuan berikutnya: Telaga Madirda.

TELAGA MADIRDA

Telaga yang memiliki air yang bening ini terletak di tengah-tengah bukit dimana hehijauan bukit terpantul di permukaan air. Dari tempat parkir Candi Sukuh ada jalan sempit ke arah kanan, kita menuju arah ini. Meski jalannya sempit namun aspalnya cukup mulus. Dan ternyata perjalanan kita hari ini masih belum terlepas dari tanjakan curam!

Meninggalkan kawasan Candi Sukuh, kita langsung disambut turunan yang cukup curam sehingga kita harus hati-hati. Sesampai bawah, jalan langsung berbelok ke arah kanan dengan tajam dan langsung menanjak dengan terjal! Namun tentu saja tetap dengan pemandangan indah di depan mata.

Di tengah jalan kita sempat bertanya pada beberapa orang yang kita temui untuk menuju Telaga Madirda; semua menjawab dengan ramah. Jarak yang kita tempuh sekitar 3 kilometer dari Candi Sukuh.


beningnya Telaga Madirda!

Telaga Madirda terletak di desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Ukurannya tidak terlalu besar namun airnya memang sangat bening. Di dalam telaga ada banyak ikan namun konon para pengunjung dilarang memancing ikan. Kawasan telaga ini ramai untuk upacara Melasti yang dilakukan oleh umat Hindu beberapa hari sebelum Hari Raya Nyepi.

Sekitar pukul 10.30 kita meninggalkan Telaga Madirda untuk kembali ke Solo. Bye bye Karanganyar. See ya next time. J


GG 15.30 231013

1 komentar: