Tentu banyak orang
yang tahu bahwa lereng gunung Lawu menawarkan pemandangan nan eksotis sekaligus
trek yang mengasyikkan plus menantang adrenalin bagi pesepeda. Meskipun begitu,
dua hal tersebut bagiku pecinta candi adalah bonus karena yang melatarbelakangi
kisahku gowes ke lereng gunung Lawu ini adalah kejatuhcintaanku pada kemistikan
Candi Cetho dan kesensualan Candi Sukuh.
CANDI CETHO
Aku beserta Ranz –
soul mate sepedaanku – memulai gowes di satu hari Jumat dari kawasan Laweyan
Solo sekitar pukul 06.00 pagi. Jalan-jalan protokol kota Solo yang kita lewati
masih lumayan sepi, hingga kita sampai alun-alun Kabupaten Karanganyar. Untuk
sarapan kita mampir di sebuah rumah makan di pinggir jalan raya Solo -
Karanganyar yang menawarkan timlo Solo, hidangan yang berupa kuah bening dengan
isi sosis ayam yang dipotong-potong, telor ayam pindang dan irisan hati serta
ampela ayam. Menu ini dimakan dengan nasi putih yang ditaburi bawang goreng. Sangat
segar jika dimakan pagi hari (meski juga cocok dimakan siang maupun malam hari.
J )
timlo Solo |
Usai sarapan kita
kembali melanjutkan perjalanan. Dari Karanganyar trek menanjak halus hingga
kurang lebih 15 kilometer sampai pertigaan Karang Pandan. Dari Karang Pandan
kita memilih jalan yang menuju Tawangmangu, dimana tanjakan semakin meninggi
terutama setelah kita melewati pertigaan berikutnya dimana ada gapura bertuliskan
KAWASAN WISATA SUKUH – CETHO. (Di pertigaan ini kita belok kiri karena kalau
memilih kanan kita akan sampai Tawangmangu.) Pemandangan indah di depan mata
mulai menemani hingga tak akan kita menyesali keputusan untuk gowes ke arah
ini.
Dalam perjalanan
kita akan melewati gapura SELAMAT DATANG DI KAWASAN WISATA CANDI SUKUH – CETO,
dimana para turis dikenakan biaya retribusi yang sangat murah yakni Rp.
1000,00. Namun pesepeda seperti kita
dipersilakan lewat tanpa membayar. J Sekitar satu kilometer dari gapura ini kita sampai pertigaan
dimana jika kita belok kanan kita akan sampai Candi Sukuh; kita belok kiri
karena tujuan kita yang pertama adalah Candi Cetho. Setelah melewati pertigaan
ini, kita diberi istirahat mengayuh pedal karena trek justru menurun sejauh
beberapa ratus meter, namun setelah itu kita harus ngoyo nanjak lagi. J
Selepas
melewati satu tempat yang ada petunjuk “CANDI CETHO ± 3 KM “ tanjakan yang kita lewati kian curam;
tenaga kian terkuras, nafas kian terengah-engah, namun pemandangan di depan
mata kian spektakuler! Angin yang bertiup menemani rintik hujan pun kian terasa
menusuk tulang. Brrrrr ...
Setelah ‘berjuang’ berjam-jam
‘menaklukkan’ tanjakan demi tanjakan curam (menuntun sepeda hukumnya sangat
boleh disini, heheheh) serta melawan hawa dingin akhirnya kita pun sampai ke
lokasi yang kita tuju: Candi Cetho nan mistik karena sering diselimuti kabut. Maklum,
Candi Hindu ini terletak sekitar 1400 meter di atas permukaan laut. Waktu
menunjukkan pukul 17.00! Untunglah sesampai kita disini hujan sudah berhenti,
meski tentu awan mendung tetap menggayut di langit.
gapura masuk Candi Cetho |
kawasan di dalam Candi Cetho |
kawasan di dalam Candi Cetho |
Ada sekitar dua atau
tiga pondok wisata di kawasan ini bagi mereka yang memutuskan menginap. Tarif
kamar lumayan murah hanya Rp. 50.000,00 semalam dengan fasilitas kamar mandi
dalam dan tempat tidur berukuran sedang. Yang agak repot adalah jika jumlah
tamu yang menginap sedikit, pihak pengelola pondok wisata tidak menyediakan air
panas untuk mandi. (Ditanggung airnya dingin sekali!) Selain itu tidak ada satu
pun warung yang buka untuk menawarkan makan malam. Maka sangat disarankan jika
ingin menginap di kawasan Candi Cetho siapkan bekal makan dan minum yang cukup.
Ada satu dua toko kelontong yang tutup setelah adzan Maghrib terdengar
berkumandang. Suasana Candi Cetho di malam hari sangat senyap!
Sabtu pagi kawasan
Cetho kembali diguyur gerimis. Namun untunglah selepas pukul enam hujan telah
reda. Jelang pukul tujuh kita sudah masuk ke dalam kawasan Candi Cetho. Pagi
ini Candi Cetho kebetulan tidak diselimuti kabut (beda dengan ketika aku kesana
pertama kali dua tahun yang lalu.) Candi Cetho terletak di Dukuh Cetho Desa
Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho berupa kelompok
bangunan yang terdiri dari 11 teras berundak yang membentang dari arah timur ke
barat. Bangunan utamanya terletak di halaman paling belakang yang berarti juga
di teras yang paling tinggi, serta menghadap ke puncak gunung. Konon ini
berarti orang yang membangun Candi Cetho percaya pada konsep yang mengatakan
dewa-dewa bersemayam di puncak gunung. Mereka percaya bahwa gunung adalah
sumber enerji. Selain itu bentuk candi tidak mirip candi-candi lain yang ada di
Indonesia namun justru menyerupai candi (kuil) yang ada di peradaban Inca, Maya
di Amerika Latin. Demikian juga bentuk patung yang berada di teras pertama ,
patung tidak menyerupai bentuk orang Indonesia melainkan lebih mirip orang
Sumeria.
Kurang lebih 20
meter dari bangunan utama, kita akan menemukan Puri Saraswati, yang dipercaya
sebagai Dewi Sumber Pengetahuan. Di kawasan ini ada arca Dewi Saraswati yang
berupa hadiah dari Kabupaten Gianyar Bali tahun 2004.
CANDI KETHEK
menuju lokasi Candi Kethek |
kawasan Puri Saraswati |
Candi Cetho |
Setelah puas mengitari
kawasan Candi Cetho, dan sarapan di sebuah warung yang telah buka, kita
melanjutkan berjalan ke arah Candi Kethek, kurang lebih jaraknya 300 meter. Trek
agak sulit – meski kita ‘hanya’ jalan kaki – karena kita harus melewati tepian
tebing sampai menyeberangi sungai kecil yang bisa jadi airnya meluap jika usai
hujan lebat. Seperti Candi Cetho, Candi Kethek pun berundak-undak. Bangunan
utama Candi Kethek yang berbentuk kotak kecil tempat pemujaan dan sesembahan
terletak di bagian undakan yang paling atas.
Sekitar pukul 10.00
kita meninggalkan Candi Cetho. Perjalanan yang berupa “bonus” : full turunan! Namun,
meski menyenangkan trek turun itu, kita harus ekstra hati-hati agar sepeda
tidak sampai terjungkal. Kita juga harus yakin bahwa rem sepeda dalam kondisi
prima. Jika tidak; lebih baik menuntun. J
Untuk makan siang
kita mampir di rumah makan Kemuning Indah, sebuah rumah makan yang terletak di
tengah-tengah perkebunan teh Kemuning hingga suasananya sangat asri dan segar. Menu
berupa berbagai jenis ikan bakar/goreng, lalapan, sambal.
CANDI SUKUH
Dari perkebunan teh
Kemuning yang menyenangkan dipandang mata itu kita terus ‘dimanjakan’ trek yang
terus menurun hingga pertigaan Candi Cetho – Candi Sukuh – Karang Pandan.
Tujuan kita berikutnya adalah Candi Sukuh! Di pertigaan itu kita belok kiri ke
arah Candi Sukuh. ‘Perjuangan’ mengayuh pedal sepeda di tanjakan curam kembali
kita hadapi. Dari pertigaan itu kita harus menapaki tanjakan terjal sejauh
kurang lebih 3 kilometer.
patung phallus setinggi 2 meter |
candi Sukuh dari belakang |
beberapa relief di kawasan Candi Sukuh |
Setelah ‘berjuang’
selama kurang lebih satu setengah jam (maklum tanjakannya amat curam), akhirnya
kita sampai juga di Candi Sukuh sekitar pukul 15.00. Legaaa! Ternyata
pemandangan dari kawasan Candi Sukuh ini tak jauh spektakuler dari atas Candi
Cetho, meski Candi Sukuh ‘hanya’ terletak di ketinggian 1220 m di atas
permukaan laut.
Malam kedua ini kita
mendapatkan penginapan di sebuah rumah penduduk – yang mungkin sudah biasa
disewakan kepada pengunjung Candi Sukuh – dengan tarif sama dengan penginapan
di Candi Cetho : Rp. 50.000,00 semalam.
Candi Sukuh – yang
juga berupa Candi Hindu seperti Candi Cetho
-- terletak di lereng barat Gunung Lawu, di Dusun Sukuh Desa Berjo
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Ada yang mengatakan Candi Sukuh ini dibangun
sekitar abad kelima belas. Namun ada juga yang meragukan informasi ini
mengingat bangunan Candi Sukuh yang jauh lebih sederhana dan kasar ketimbang
Candi Prambanan yang dibangun enam abad sebelumnya.
Candi Sukuh dari depan |
nunut narsis ye? :D |
Sebelum masuk ke
kawasan Candi Sukuh, kita disambut gerbang paduraksa yang sayangnya ditutup
dengan pintu besi, sehingga untuk masuk ke teras pertama, kita harus melewati
jalan setapak di samping gerbang ini. Arsitektur Candi Sukuh mirip dengan Candi
Cetho berupa punden berundak yang dikenal sejak zaman megalitikum. Ada tiga
teras di Candi Sukuh. Bangunan utama Candi Sukuh – yang terletak di teras
ketiga – pun mirip dengan Candi Cetho, namun lebih kasar pengerjaannya.
Sore itu kita
terpaksa buru-buru pulang ke penginapan sebelum Maghrib karena hujan tiba-tiba
turun dengan deras. Malam kedua itu kita lebih beruntung karena si empunya
rumah bersedia menyiapkan makan malam sehingga kita tidak kelaparan.
Tapi malam itu kita
tidak bisa menikmati suasana Sukuh karena hujan tak kunjung reda hingga kita
terlelap karena kantuk dan lelah.
Minggu pagi kita
sempat jalan-jalan ke Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunegoro I. Tahura ini oleh
pemerintah Kabupaten Karanganyar dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan serta pendidikan yang menunjang budidaya, budaya, pariwisata
dan rekreasi.
Pulang dari Tahura,
kita berkunjung lagi ke Candi Sukuh. Setelah itu kita packing, sarapan dan siap
gowes ke tujuan berikutnya: Telaga Madirda.
TELAGA MADIRDA
Telaga yang memiliki
air yang bening ini terletak di tengah-tengah bukit dimana hehijauan bukit
terpantul di permukaan air. Dari tempat parkir Candi Sukuh ada jalan sempit ke
arah kanan, kita menuju arah ini. Meski jalannya sempit namun aspalnya cukup
mulus. Dan ternyata perjalanan kita hari ini masih belum terlepas dari tanjakan
curam!
Meninggalkan kawasan
Candi Sukuh, kita langsung disambut turunan yang cukup curam sehingga kita
harus hati-hati. Sesampai bawah, jalan langsung berbelok ke arah kanan dengan
tajam dan langsung menanjak dengan terjal! Namun tentu saja tetap dengan
pemandangan indah di depan mata.
Di tengah jalan kita
sempat bertanya pada beberapa orang yang kita temui untuk menuju Telaga
Madirda; semua menjawab dengan ramah. Jarak yang kita tempuh sekitar 3
kilometer dari Candi Sukuh.
beningnya Telaga Madirda! |
Telaga Madirda terletak
di desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Ukurannya tidak
terlalu besar namun airnya memang sangat bening. Di dalam telaga ada banyak
ikan namun konon para pengunjung dilarang memancing ikan. Kawasan telaga ini
ramai untuk upacara Melasti yang dilakukan oleh umat Hindu beberapa hari
sebelum Hari Raya Nyepi.
Sekitar pukul 10.30
kita meninggalkan Telaga Madirda untuk kembali ke Solo. Bye bye Karanganyar.
See ya next time. J
GG 15.30 231013
enak ya kak udah sehat dapet pemandangan indah lagi hhihihi
BalasHapus