Icha Koraag:
Rasanya perkembangan free seks di Indonesia terutama di kalangan pelajar tak lepas dari kebebasan memperoleh informasi. Termasuk memperoleh informasi yang salah. Dalam sebuah penelitian study kualitatif yang aku lakukan di kalangan mahasiswa/i tahun 2006. Semua responden mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Baik sekedar pegangan sampai penetrasi.
Sebagian besar menjawab mulanya karena rasa ingin tahu kemudian diikuti perasaan enak/nyaman. Dari yang bermula sekedar sentuhan terus menjadi lebih jauh. Tidak ada perasaan takut karena semua menjawab tidak akan mati hanya dengan melakukan hubungan seks.
Ketika ditanyakan mengenai penyakit kelamin sampai HIV dengan tegas mereka menjawab, melakukannya dengan bersih. Artinya selain tidak terlalu sering berganti pasangan (Umumnya melakukannya denganpacar) dan tidak takut memeriksakan diri ke dokter.
Kehamilan? Kondom dan pil KB yang mudah di dapat, bisa jadi andalan. Ketika dipertanyakan soal moral atau arti keperawanan/keperjakaan. Semua tertawa dan berkomentar "Gini ari ngomongin soal perawan/perjaka? Langka deh!!!"
Aku menyimpulkan nilai-nilai sosial remaja Indonesia sudah bergeser jauh dari nilai-nilai sosial yang lama. Ketidak takutan mereka terhadap dampak dari hubungan seks sudah bisa diatasi karena tingkat kecerdasan mereka juga sudah meningkat seiring terbukanya
kesempatan memperoleh informasi.
Kita tidak bisa bicara soal moral karena moral bagi sebagain remaja khusunya remaja Jakarta hanya ada dalam buku-buku sekolah dan naseht orang tua. Tidak mematuhi aturan tersebut tidak membuat mereka berhadapan dengan neraka. Artinya mereka sadar benar dengan kehidupan nyata dan mereka berbicara berdasarkan pada kenyataan. Sesuatu yang absurd seperti pesan moral atau agama, dipahami lebih luas.
Bagi mereka masih lebih baik melakukan kehidupan seks bebas daripada menjadi koruptor atau pembunuh dan sejenisnya. melakukan seks sebelum menikah selama berdasarkan suka-sama suka, nikmati saja.
Memang penelitian ini memakai responden mahasiswa/i tapi usia mereka tak jauh berbeda dari anak-anak SMA. Bahkan mereka tidak malu menyebut berbagai istilah yang jujur membuat telinga dan wajahku merah.
Tidak ada motivasi apa-apa/ Dan lebih celaka lagi, sebagian besar melakukannya di rumah. Baik di rumah si cewek atau si cowok bukan di tempat lain. Sebagian mengatakan pada waktu melakukannya ada yang ortunya di rumah ada yang tidak.
Sehingga pada waktu itu (Aku menuliskan artikel) jadi mempertanyakan apa gunanya melarang penerbitan majalah Playboy Indonesia kalau kenyataannya free seks adalah hal biasa?
Salam
Icha
Angel:
Mbak Icha yang baik, apa kabar?
Topic menarik dari postingan mbak Nana mengenai "Free Sex" dihubungkan dengan penemuan penelitiannya mbak Icha mengenai kehidupan sex para remaja dan pemuda di Indonesia, tampaknya sangat relevan dengan kenyataan. Tampaknya, kita semua mengacu masalah sexual tersebut kepada berapa "ukuran moral" seseorang dari kelakuan sexualnya.
Dalam topic ini, mungkin memerlukan ulasan yang rumit dari para ahli ilmu sosial dan ahli moral (ahli agama dan philosophy). Siapa dari kita disini yang berada di bidang tersebut? yang bisa mengulasnya lebih detail? Salah satunya pasti mbak Icha dan mbak Nana. Mohon para saudara kita semua di RKB, jika tertarik, bisa turut serta untuk nimbrug mengulas topicnya mbak Nana mengenai "Free Sex", yang mungkin sebaiknya di ulas lebih detail kepada topis "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia"
Salam hangat mbak Icha
Angel
Icha Koraag:
Dear Angel!
Kabar saya baik.
Postiongan Nana dengan topic Free Sex memang menarik untuk didiskusikan. Apalagi Nana punya anak gadis, sehingga hal tersebut menjadi perhatian serius Nana.
Aku bukan pakar hanya punya sedikit pengalaman berhadapan dengan remaja dalam penelitian yang kebetulan menyangkut free sex. Akan menjadi lebih bermanfaat jika semua anggota RKB ambil bagian dalam diskusi ini.
Karena memang sulit sekali mecampurkan kehidupan nyata saat ini dengan pesan moral atau agama.
Salam
Icha
Roslina:
Mbak icha,
Anak-anak muda yg diajak utk menghormati/hargai nilai moral apalagi agama akan lebih cendrung utk menyepelekannya/melwan jika ajaran itu tdk disertai dgn perilaku yg benar-benar mencerminkan ajaran moral itu sendiri. Itulah yg jadi kunci.
Banyak orang sok relejious, misalnya orangtua suruh anak-anak sembahyang, tapi perilaku orangtua yg mereka saksikan sendiri tdk mencerminkan sesuatu yg istimewa.
Anak generasi sekarang selain mudah dapat info, mereka juga tahu kalau orangtua mereka melakukan penyelewengan seks, masak mereka diminta harus lebih baik dari orangtua mereka?
Menurut saya info dari luar, atau tepatnya pengaruh dari luar adalah faktor kesekian bukan faktor utama.
Salam
Roslina
Roslina:
40 thn. yl. salah seorang teman sekelas kakak saya tiba-tiba muntah-muntah di sekolah. Kakak saya sama sekali ngak mengerti apa yg terjadi dgn sahabatnya. Tapi karena dia sahabat, akhirnya si sahabat dgn rasa takut, bingung diiringi tangisan dan suara terpatah-patah ngaku, Ris (Damaris, panggilan pendek buat kakak saya), kali aku hamil???
Kakak saya yg mendengar kata itu lebih terkejut lagi, apa? kamu hamil?
Hanya beberapa minggu kemudian, teman kakak saya dikawinkan dengan pacarnya. Seluruh penduduk Padangsidempuan gemparrrrrrrrrrr. Setidaknya komunitas Kristen, sebab utk pertama kali (mungkin setelah saya lahir dan dapat mengingat) terjadi, hamil dulu baru dinikahkan dalam komunitas yg diatas ribuan KK. Itu 40 thn. yl.
Dua puluh tahun lalu keadaan semakin parah. Walau dalam agama Kristen hanya diijinkan seorang lelaki beristri satu, tapi kenyataan memaksa seorang lelaki kristen harus mengawini perempuan lain jika perempuan itu dapat membuktikan bahwa dia hamil oleh si suami perempuan lain.
Hal ini tidak dianggap normal, namun sudah terjadi, walau akhirnya, si perempuan teman selingkuh suami orang itu, lama-lama harus mengalah dan kawin lagi dengan lelaki lain.
Lama kelamaan, seorang wanita hamil, tanpa nikah sudah tidak apa-apa. Bahkan seorang wanita yg tidak menuntut lelaki yg menghamilinya utk menikahinya, juga tdk melakukan abortus melainkan mempertahankan janin yg dikandungnya, ditempatkan sebagai hero, artinya orang bertanggungjawab.
Demikianlah pergeseran moral itu berjalan terus, semakin jauh dan semakin jauh, sampai satu titik jenuh tertentu. Sekarang kita berada dalam zaman post modern. Sejarah telah melewati zaman kegelapan, renaisance, diikuti reformasi, menginjak pada demokrasi. Setiap orang berhak melalukan apa saja yg menyenangkan hatinya kan begitu? Asal jangan orang itu sampai meninju kita, kita harus toleran dan mengerti mereka. Apakah kita harus goyang kepala?
Kembali pada kata-kata Raja Salomo 2500 thn. lalu: Di dunia ini tdk ada sesuatu yg baru. Apa yg ada sekarang hanya pengulangan dari apa yg sudah ada dahulu.
Beidewe, saya baru dapat Majalah Femina, oleh-oleh dari teman yg baru kembali dari Indonesia. Salah satu artikel di dalamnya berjudul: Redam Seks bebas Rwmaja di Indramayu Sang Bupati instruksikan Tes Virginitas.
Salam Week End
Roslina
Audy:
Dear all,
Kita beruntung ada Icha yang berpengalaman dalam bidang survey, sehingga bisa membawa data dari lapangan ditahun 2006, yang relevan dengan topic ini.Melihat baru 1 tahun, untuk masalah sosial budaya harusnya masih valid.
Melihat topic yang sudah lebih diarahkan Angel menjadi "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia", coba dilihat dulu apakah hubungan free sex dengan moral di jaman sekarang? Masih seerat seperti dulukah? Saya tidak yakin apakah free sex dapat diartikan a moral? Kelakuan tidak bermoral? Rasanya belum tentu semua orang yang free sex itu tidak bermoral.
Kalau waktu saya kecil, sepertinya begitu, orang yang menganut concept free sex dianggap bejat, tidak bermoral dsb dsb.
Tapi sekarang? Sepertinya mendapat pengertian dan tempat yang lebih luas dibanding dulu, tapi tentu masih dalam batas-batas tertentu.
Perkembangan yang sama seperti kaum homo (gay or lesbi), mereka semakin mendapat tempat dan dapat diterima orang.
Kalau melihat topic yang ada disini, lebih mengarah keanak-anak muda, anak sekolah dan mahasiswa/ siswi dan mungkin juga yang baru lulus tetapi belum mapan.
Yang ada didiskusi sebelumnya, apa penyebab utamanya? Menurut saya lain negara lain sebab atau faktor utamanya, karena kondisi sosial budaya yang berbeda.
Untuk Indonesia, negara yang berbudaya ketimuran, sekitar 20 tahun yang lalu
mungkin masih mentabukan yang namanya free sex (sex pranikah), tapi sekarang mengalami pergeseran yang cepat mengikuti yang ada di negara berbudaya kebaratan.
Untuk ini saya percaya informasi memegang peranan besar. Buku bacaan, tontonan dan internet berdampak banyak bagi remaja Indonesia.
Lalu yang sudah terpengaruh, mempengaruhi temannya lagi (karena pergaulan) sehingga penyebaran menjadi cepat. Apakah peran orang tua ada? Tentu bisa saja. Orang tua yang berkelakuan tidak benar otomatis memberi celah besar kepada anaknya kearah sana.
Juga orang tua yang kurang dekat dan kurang memperhatikan anak, ikut berperan membuka pintu bagi si anak.
Bagaimana dengan negara barat? Bagi yang tinggal dinegara maju, seperti Europe or US, tidak lagi meributkan ini seperti kita. Karena memang sudah lebih diterima oleh budaya setempat, informasi tidak lagi menjadi penyebab utama karena sudah dari dulunya ada.
Faktor pergaulan dan orang tua yang lebih besar disini. Karena sudah lebih diterima, maka yang perlu dilakukan adalah kontrol yang baik, sehingga si anak memahami dengan baik apa itu sex pranikah, bagaimana supaya aman dan dengan siapa mereka begitu.
Tahun1998, keponakan saya yang tinggal di Belgium datang ke Indonesia dengan pacarnya tinggal ditempat saya. Awalnya saya bingung, mau tidur bagaimana 2 orang yang belum menikah ini?
Saya telp kakak saya dan tanya 'Anak kamu ini bilang mereka tidur sekamar berdua, apa benar mereka boleh tidur berduaan?'
Kakak saya menjawab 'Ya betul, mereka sudah dewasa, dan tahu apa yang mereka lakukan. Kita tahu siapa pacarnya itu'
'Well..., ok then' saya bilang. Done!
Itu pertama saya mengerti bahwa di negara barat memang sudah sampai di titik 'mengontrol', bukan 'melarang'. Yang dikontrol adalah dengan siapa mereka berhubungan, dan bagaimana penggunaan contraceptive. Jadi yang diterima adalah mereka boleh melakuan sex pranikah, bukannya sex dengan sembarang orang yang bisa mengundang penyakit.
Lalu bagaimana pencegahan atau pengontrolan yang baik? Bagi saya yang masih berjiwa asia, pendekatan hubungan orang tua dengan anak, sangat penting.
Contoh mudahnya Nana, selama hubungannya dengan anaknya sangat dekat, jadi
bisa mengikuti perkembangan anaknya dengan baik, dan jadi tempat bertanya sang anak.
Monitor dengan baik kehidupan si anak, mengenal teman2 mereka, sering-sering berbicara dengan mereka. Tidak perlu menutup pengetahuan tentang sex, selama dilihat dari kacamata yang benar. Itu lebih baik bagi mereka dari pada tahu dibelakang orang tua, karena internet susah untuk di firewall 100%..
Gitu ajadeh, udah panjang bener.
Salam.
Audy
(belum bisa terima sex pranikah, dasar kolot!)
Hillyard Malik (1):
itu tv, majalah. radio, cd/dvd movie, buku, internet .... yang dibaca dan ditonton oleh anak muda sekarang adalah sumbernya. Media2 ini kebanyakan dikelola oleh anak2 muda yang pintar dan cerdas, tapi "miskin moral", "miskin agama", "miskin pertimbangan".
Sumbernya jelas bukan kompas atau tempo atau tvri atau rri , karena media2 ini dieditori oleh orang2 tua yang sensornya ketat.
Tapi cobalah lihat media2 yang digemari anak2 muda sekarang, yang plek menerjemahkan langsung dari luar-negeri. Semua budaya diterjemahkan plek tanpa ada yang menyensori. Bagaimana mau menyensori "free sex", wong editornya juga free sex kumpul kebo waktu kuliah di amerika. Wa ha ha ha.
Inilah reformasi yang kebablasan. Bangsa kita ini seperti anak2 yang dibiarkan berbuat apa saja tanpa ada yang mengontrol. Harusnya ada class action kepada para tokoh reformasi seperti amin rais, megawati, gus dur, yang menjadikan moral bangsa indonesia berantakan.
Ati Gustiati:
Freesex di Indonesia itu bukan new style saya pikir, saya mau buka kartu nih, waktu usia 17, se kali2 saya gabung sama temen2 cewe saya yg punya kenalan cowo2 dari luar daerah yg tidak saya kenal sebelum nya, mereka berpasangan, hanya saya yg tunggal, bukan krn saya tak suka cowo, cuman memang kondisi hidup saya memang lain, saya tidak tertarik sama cowo hingga usia saya mencapai 19, cowo pertama yg saya suka lelaki Indonesia (menado) mamih nya bikin saya marah, lalu saya tinggalkan dan sejak itu saya tak pernah lagi punya pacar sesama bangsa, saya kemudian bertemu lelaki german dan menikah, jadi experience sexual saya selama remaja memang tidak cukup ya....(ahhha rugi deh gue),
anyway, Jeep melaju ke daerah pantai, disana kami tinggal didalam cottages, mulai menyeruput ganja, dan mendengarkan lagu2 rollingstones, richie blackmore, pink floyd dll, temen2 saya itu gantian pasangan, mereka bersenggama didepan kita semua, ada memang cowo yg mencoba mendekati saya..saya tolak halus " gue gak suka sex dan gue gak tertarik sama cowo " gitu kalau gak salah kata saya..saya memang dulu tomboy dan paling ceplas ceplos kalau ngomong.
Setelah pengalaman itu, saya tau bahwa temen2 saya sudah tidak perawan lagi, mereka sudah mahir bercinta dan bersetubuh dengan lawan jenisnya, bukan itu saja temen2 saya inipun memang sudah sering gunta ganti pasangan tanpa rasa was2 lagi.
Lalu pengalaman berikutnya di Bandung, ada kenalan istrinya org indonesia, suaminya bule (Perancis), setiap hari Yeni pergi ke kursus kecantikan, tetapi sebelum pergi ke tempat kursus dia mampir disebuah rumah kontrakan yg dihuni oleh 2 pria idnonesia, mereka melakukan threeseome (persetubuhan antara 3 orang), saya dapatkan info itu dari supirnya, sekaligus dari Yeni sendiri, Yeni malah ajak saya utk foursome, gile ! pikir saya.
So, freesex is existed sejak duluuuuuuuuu sekali, kenpa tidak muncul ke permukaan ? karena kita munafik, kita tidak jujur utk mengungkapkan opini2 kita, kita mendidik anak2 kita utk membohong demi utk menyenangakan orang tua, guru dan lingkungan, dulu kalau mau tanya soal dari mana anak keluar aja si ibu jawabnya dari puser lah, dari keajaiban lah, tau2 gubrak kepala anak nongol dari dalam perut, lalu kalau kita tanya kenapa gak boleh berghubungan sex sebelum nikah, jawaban nya kayak dongeng zombie, dipanggang di api neraka lah, di coblos besi panas lah vagina kita, di nista lah, disiksa lah...aduuh edan, bikin observasi generasi remaja kita pada kabur jadinya, enggak ada structure yg terarah, dan akhirnya otak dan pengertian umum pun tentang freesex jadi kabur, jangankan di Jkt, di Aceh pun ada freesex, di amrik freesex di praktekan karena mereka umum nya sudah mengerti apa resiko nya, mereka tau preventing terhadap STD (penyakit kelamin) serta kehamilan dini dll, di Indonesia banyak kebodohan yg disembunyikan, ada yg msh tabu bicara soal sex, padahal kalau semua serba terbuka dan mendidik, sex bisa tertib dan dipertanggung jawabkan.
Anak saya umur 9 thn udah dididik basik sexual di sekolah, sekrang dia malah lebih pinter dari saya menerangkan bagaimana kehamilan dan penyakit kelamin ditularkan dll.., thats a good idea I think, kalau generasi muda dikasih landasan atau knowledge yg baik pasti tidak akan nyasar berat ke depan nya.
Anyway, freesex is everywhere, kalau di Indo majalah Playboy dilarang beredar karena dianggap bisa merusak moral generasi bangsa, that is a complete idiot !!!
that is my two cent opinion about freesex
omie
Angel:
Benar apa yang Hillyard Malik katakan bahwa definisi free sex itu yang mana? Apakah hubungan sex pranikah dengan pasangan resmi yang nantinya akan menikah, atau selingkuhan atau dengan siapapun? Yang jelas saat ini konotasi free sex dicampur adukkan, pokoknya sex pra nikah itu semua dianggap freesex. Jika konotasi itu yang dihindari, berarti semua pasangan yang akan menikah seharusnya VIRGIN? Apakah begitu?
Mbak Omie juga benar, free sex itu ada sejak dahulu kala...Contohnya, sewaktu saya usia 6 tahunan, sudah lebih dari 30-35 tahun lalu saya ingat tetangga saya di pulau Lombok ribut2.. masalahnya, anaknya yang masih gadis jelas 2 SMP hamil dan yang menghamili itu adalah termasuk omnya sendiri.
Kemudian sewaktu kami pindah ke pulau kalimantan, kira2 saya berumur 9-10 tahunan, kembali ada tetangga saya yang ribut2.. karena anak gadisnya yang masih SMA hamil dan laki2 yang menghamilinya adalah juga anak tetangga lainnya. Ribut2nya ramai sekali hampir terjadi perang saudara karena si laki2 menolak mengakui bahwa itu akibat perbuatannya, padahal kita semua tau jika mereka itu berdua diam2 berpacaran. Kami yang anak2 sering melihat mereka berdua sembunyi2 bertemu pojok2 rumah.
Sewaktu saya remaja, ada beberapa teman sekolah yang kedapatan hamil.. beberapa bahkan ada yang berasal dari keluarga fanatik agama. Yang parah, saya banyak menemukan banyak para suami yang menghamili para pembantunya atau pegawainya. Bahkan demi menghindari rasa malu bagi si suami dan keluarganya, si istri mengantarkan pembantunya ke klinik aborsi.
Dari pengetahuan saya tersebut, mereka ada yang menyelesaikannya dengan perkawinan, menggugurkan ataupun dibiarkan saja menjadi tanggung jawab si wanita dan keluarganya.
Setelah saya belajar di Australia saya menemukan banyak anak2 mahasiswa yang kumpul kebo atau punya pacar yang tidak serumah tetapi secara rutin mereka berhubungan sex.. tetapi ada juga teman saya yang orang Amerika keturunan Jewish, cantik dan ramah, tetapi mengaku kepada kami semua bahwa pada umurnya yang cukup dewasa itu dia masih gadis.. dan akan menjaga kegadisannya sampai dia menikah nanti. Di Universitas, ada juga gadis Iran yang sudah menikah sejak usia dini dan mempunyai satu anak, akhirnya mereka bercerai, anaknya dibawa suaminya. Setelah itu dia menjalin hubungan
Dengan orang Italia dan hidup bersama2 (kumpul kebo) dengan seorang peneliti orang Italia. Beberapa tahun kemudian, mereka menikah, mempunyai anak2 dan tampaknya hidup bahagia.
Sedangkan saya? Saya datang dari keluarga yang tidak religious, hanya sering dibekali nilai2 tanggung jawab dan sebab akibat yang cukup kuat untuk meghadapi hidup. Jika week end, kadang2 para mahasiswa mengadakan suatu pesta yang disebut "Animal party" Saya ikut saja berparty dengan mereka... tetapi tidak mau ikut drinking beer sampai mabuk.. dan pada akhirnya menjadi ajang sexual ria. Saya tidak sendirian, karena cukup banyak juga ahasiwa yang sama seperti saya, hanya ikut berparty, tetapi MEMILIH untuk
Membatasi diri dan MEMILIH untuk tidak mengikuti apa yang orang lain lakukan. Jelas sekali saya atau setiap orang boleh MEMILIH apa yang dilakukan orang lain.
Mengapa saya tidak mau minum beer sampai mabuk? Karena saya tidak suka beer, rasanya pahit dan tidak nyaman di lidah saya. Kalau saya paksakan, walaupun baru beberapa teguk, nanti pasti muntah. Saya suka wine dan setiap kali hanya minum 2-3 gelas wine, takut nanti kalau pulang tidak bisa menyetir atau takut kena alcohol test... Juga wine penelitian menunjukkan bahwa jika diminum dalam jumlah tertentu, akan cukup bagus untuk kesehatan, asal jangan terlalu banyak.
Mengapa saya tidak ikut sexual party? Jika mau kan bisa saja dan siapa yang mau protes? Saya tidak lakukan hal2 semacam itu bukan karena saya beragama atau tidak, tetapi karena saya punya pilihan untuk menghormati laki2 yang saya cintai dan MEMILIH menghormatinya dengan cara bersetia dengannya. Ada banyak orang, dengan alasan2nya pribadi juga melakukan cara yang sama dengan cara saya, dan mereka berasal dari berbagai latar belakang keluarga, baik yang fanatik maupun atheis.
Jadi saya menceriterakan pengalaman pribadi ini, untuk menjelaskan pendapat saya pribadi.. bahwa peran suatu agama di dalam menanamkan nilai2 kehidupan, dengan cara pembatasan gerak para manusia agar tidak melakukan apa yang dikatakan "Free Sex" itu tidaklah terlalu relevan. Seperti pengalaman mbak Omie, dia tidak melakukan hal2 yang dia tidak inginkan seperti threesome or foursome seperti yang dijelaskan di bawah ini, tampaknya tidak dipengaruhi oleh nilai2 yang diberikan oleh agamanya tetapi dari nilai2 yang dia peroleh sebagai manusia yang tidak ingin merugikan dirinya sendiri.
Dari pengalaman saya pribadi, terbukti, banyak di keluarga yang fanatik agama, hal2 kehamilan di luar nikah bisa terjadi juga.. Sedangkan di keluarga yang dianggap atheis kadang2 hal2 semacam itu bisa terjaga dengan baik.. Buktinya banyak yang saya temui termasuk orang Amerika itu yang ingin menikah virgin, padahal saya tidak pernah melihatnya pergi ke gereja.
Sedangkan pengalaman2 saya di tanah air, banyak melihat orang melakukan tindakan sexual yang tdk bertanggung jawab, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, menghamili keluarganya sendiri atau para pembantu, berselingkuh dan lain2 yang menghancurkan rumah tangganya sendiri. bahkan tetangga saya sendiri di kampung ini, seorang dokter specialist harus ribut2 dengan istrinya gara2 rumahnya kedatangan tamu wanita dari pulau seberang yang mengaku hamil akibat perbuatan selingkuh suaminya. Padahal keluarga dokter ini, terlihat sangat fanatik beragama.
Sering kita mendengar orang2 menyalahkan media, technology internet bahkan arus budaya bangsa lain atas kerusakan yang kita derita. Kita lupa, bahwa kerusakan yang kita sendiri rasakan sebenarnya adalah akibat pilihan perbuatan kita sendiri. Dunia semakin terbuka, adanya globalisasi dan tuntutan reformasi diri kita untuk mengikuti perkembangan dunia tidak bisa kita hindari. Terbukanya keran2 pembatas keterbelakangan dunia di berbagai bidang, termasuk technology dan budaya juga terbuka. Bagaimana bisa kita menutup keran arus budaya lain sementara kita inginkan technologynya?
Hal itu bisa terjadi jika kita sendiri memilih yang terbaik... mengajarkan anak2 kita untuk bisa mengikuti perkembangan dunia tetapi tetap mampu memilih apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Melalui agama? bukankan selama ini kita telah melakukannya? Bukankan bangsa2 lain juga melakukannya? Kita melihat bagaimana Arab saudia dan Malaysia gencar sekali menerapkan agama di dalam kehidupannya? Lalu apa yang telah dilakukannya terhadap bangsa Indonesia yang bekerja di negaranya? Belum lagi kasus2 yang ada di dalam komunitas mereka sendiri, yang jelas tidak akan bisa kita ketahui, karena mereka begitu tertutup.
Mohon maaf jika pendapat saya pribadi mungkin berbenturan dengan pendapat2 lainnya. Mohon petromaknya.
Salam hangat
Angel
Hillyard Malik (2):
mungkin definisi freesex harus sepakat dulu, supaya diskusi jangan melebar kemana-mana
- hubungan sex sebelum nikah
- hubungan sex dengan bukan pasangan resmi / selingkuh
penolakan atas freesex bisa dilihat dari segi agama, segi peraturan permerintah, etika bermasyarakat.
Jadi kalau anak dari kecil sudah dididik agama dengan baik, dikenal dengan peraturan pemerintah dan etika bermasyarakat disertai dengan kontrol dan arahan dari orang-tua, lingkungan, dan masyarakat, free-sex ini bisa ditekan.
Sekarang ini yang terjadi pendidikan agama kurang, pengajaran etika kurang, keluarga, lingkungan masyarakat serba cuek tidak ada kontrol, permisif, pemerintah dan polisi seperti salah tingkah untuk mengontrol apa yang katanya hak individu, dsb dsb dsb dsb.
Mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, lingkungan sendiri ..... ah jadi teringat Aa Gym ... :)
Well, mungkin memang sebaiknya aku memulai dengan menulis definisi ‘free sex’. Namun mengacu ke dua kategori yang ditulis oleh Hillyard, yang kumaksud free sex ya keduanya itu, sex yang dilakukan out of wedlock, baik yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah, maupun yang telah menikah namun melakukannya dengan bukan istri/suami. Sedangkan dalam postinganku sendiri, memang aku lebih menitikberatkan ke kategori yang pertama. Selain itu juga kategori usia yang menurutku masih sangat belia untuk mengenal seks (baca intercourse), plus melakukannya di areal sekolah membangkitkan kekhawatiranku.
Pertama kali membaca komentar Icha Koraag tentang pengalamannya melakukan survey tentang perilaku remaja di Jakarta terhadap free sex cukup mengejutkanku karena ternyata perilaku remaja di Jakarta tidak begitu berbeda jauh dengan para remaja di kota metropolitan di negara-negara lain (paling tidak dari film-film yang kutonton, dan novel-novel ataupun berita yang kubaca). Jakarta sebagai satu kota metropolis di Indonesia, sumber berkumpulnya para produser media, baik elektronik maupun cetak, aku yakin akan mempengaruhi perilaku remaja-remaja di kota lain. (Aku masih percaya bahwa medialah pihak yang paling bertanggung-jawab dalam perembesan satu budaya ke dalam budaya lain.).
Namun membaca postingan Omie (Ati Gustiati), aku semakin shocked lagi, karena apa yang dia ceritakan terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Jikalau sekarang kita bisa menyalahkan media sebagai sumber ‘penyebaran budaya luar tanpa kontrol’ melalui internet (terutama) dan televisi/radio/majalah/surat kabar, media pulakah yang harus bertanggung-jawab bila hal tersebut terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu? Apa yang diceritakan oleh Omie sangat jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Roslina, karena jelas yang terjadi di depan mata Omie itu merupakan pilihan bagi para pelaku, yang ditulis oleh Roslina bisa jadi merupakan suatu ‘kecelakaan’ karena ketidaktahuan kedua pelaku bahwa apa yang mereka lakukan akan membuahkan kehamilan.
Namun menyalahkan begitu saja bahwa budaya free sex merupakan budaya adopsi dari Barat sangatlah tidak bijaksana. Seperti apa yang ditulis oleh Ayu Utami dalam artikelnya yang berjudul “Timur dan Barat” di dalam bukunya SI PARASIT LAJANG, (untuk lengkapnya klik saja alamat ini http://themysteryinlife.blogspot.com/2007/03/timur-dan-barat.html )
Sekarang kita orang Timur menuduh orang Barat tidak bermoral karena free sex, sedangkan beberapa abad lalu justru orang Belanda yang menuduh orang Indonesia tidak bermoral.
Jadi ingat omongan orang-orang tua yang kudengar beberapa dekade yang lalu. Kita sesungguhnya tidak membutuhkan pendidikan seks (baca how to do sexual intercourse) karena kita semua bisa belajar secara otodidak. Toh meskipun orang-orang tua kita tidak pernah mendapatkan pendidikan yang semacam itu, mereka ‘berhasil’ memiliki keturunan. (Di zaman itu diyakini bahwa keberhasilan melakukan seks berupa kehamilan.) Hal ini berarti bahwa setiap orang diberi suatu ‘instink’ atau intuisi bagaimana memuaskan diri mereka sendiri secara seksual.
Kalaulah apa yang dikatakan oleh Hillyard bahwa perilaku seks bebas ini bisa dikontrol dengan pemberian pendidikan agama dengan baik, seharusnya apa yang diceritakan oleh Roslina dan Angel—beberapa perempuan yang hamil berasal dari kalangan keluarga yang terkenal peraturan agamanya sangat ketat alias relijius.
Dalam hal ini aku lebih setuju kepada Omie dan Angel bahwa kita justru bisa mengontrol perilaku seks bebas ini dengan baik bila terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dan anak-anak. Kita tidak bisa menghentikan keingintahuan para remaja tentang seks dengan, misalnya, menyensor film-film apa yang mereka tonton, karena toh mereka akan bisa menonton apa yang dilarang di rumah di luar rumah. Seks bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Apalagi mengingat kita semua dilahirkan dengan memiliki sexual desire yang tidak mudah dikontrol hanya dengan mengatakan, “Kamu akan dibakar panasnya api neraka jika melakukannya di luar institusi yang sah, yakni perkawinan.” Remaja-remaja sekarang lebih membutuhkan sesuatu yang nyata, yang langsung mengena, yakni seperti apa yang ditulis oleh Omie. Seandainya pendidikan seks diberikan kepada remaja-remaja kita sejak dini, mereka akan lebih bertanggung-jawab dengan apa yang mereka lakukan. Mereka diharapkan bisa melakukannya dengan terkontrol—seperti apa yang diceritakan oleh Audy—sekaligus menjaga kesehatan dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan—seperti apa yang ditulis oleh Omie.
Aku juga setuju dengan apa yang ditulis oleh Audy bahwa mereka yang melakukan hubungan seks di luar nikah tidak serta merta bisa kita tuduh sebagai orang yang tidak bermoral. Mereka melakukan hubungan seks dengan sadar, tanpa merugikan pihak lain. Berbeda dengan para koruptor yang merugikan rakyat banyak dan juga bangsa dan negara.
Satu hal yang sangat kusayangkan adalah bahwa kita orang Indonesia masih menutup mata dengan kenyataan bahwa seks bebas telah terjadi di masyarakat kita selama beberapa dekade—dan mungkin lebih lama lagi. Seperti apa yang dikatakan oleh Omie, karena kita munafik dan tidak mau mengakui bahwa free sex does exist in our society. Seharusnya kita segera mencari jalan keluar untuk mengurangi resiko free sex ini—bukannya mencari jalan keluar bagaimana mengurangi jumlah seks bebas, karena terbukti pendidikan agama tidak berhasil meredamnya. Memberikan pendidikan seks kepada anak-anak kita sejak dini adalah salah satu cara yang jitu menurutku sehingga diharapkan kita akan bisa mengurangi resiko menularnya penyakit kelamin dan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Menghukum” para pelaku seks bebas dengan julukan “perek” dan sebaainya itu tidak memecahkan masalah. Bahkan justru menyebabkan masalah lain timbul, misal, karena sudah dicap sebagai ‘perek’ di lingkungannya, seorang remaja akan kehilangan harga dirinya, atau mungkin akan kehilangan rasa harus menjaga kesehatan reproduksinya karena sudah telanjur dicap ‘perek’ dengan melakukan seks bebas tanpa kontrol.
PT56 10.15 250907
buat mba icha,,,
BalasHapussepertinya kebetulan saat ne saya sedangn melakukan penelitian mengenai freesex yang terjadi dikalangan mahasiswa universitasQ terkait dengan adanya hubungan tanpa status,,,
dan saya sangat tertarik dengan penelitian yang pernah mba icha lakukan sebelumnya mengenai free sex,,,
kalo boleh saya minta soft copy nya sebagai kumpulan referensi saya?
dan sebagai pertimbangan mengenai apa saja yang sekiranya akan dibutuhkan dalam penelitian saya ini,,,
kebetulan saat ini saya sedang skripsi,,,
mohon bantuannya mba,,,
jika mba berkenan membagi laporan hasil penelitiannya dulu,,,
tolong dikirim ke email saya mba,,,
aureliaditya_zein@yahoo.com
thanks a lot!
Aurel,
BalasHapusHmm ... aku tahu sih alamat mba Icha, but aku ga yakin apakah dia membolehkanku share alamat emailnya kepada orang lain?