Cari

Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Education. Tampilkan semua postingan

Sabtu, September 27, 2008

Indoglish

Di tempatku bekerja, sebuah kursus Bahasa Inggris yang lumayan punya nama di Indonesia, kita semua guru berusaha untuk mematuhi ‘peraturan-peraturan’ English yang baku tatkala menggunakan bahasa yang diimport dari negeri Ratu Elizabeth ini. Termasuk penggunaan kata “Mr. …” yang seyogyanya diikuti oleh family name, sehingga kita sangat jarang menggunakan kata “Mr. …” ini untuk menyebut nama seorang guru laki-laki. Maklum, kebetulan di kantorku tidak ada satu guru laki-laki pun yang memiliki family name di belakang nama mereka. Beda dengan penggunaan “Ms. …” yang memang ada dalam kamus untuk menyebut nama guru perempuan sejak zaman baheula. Walhasil, “Ms. Nana” terdengar biasa-biasa saja, sedangkan “Mr. Agung …” jarang terdengar, kecuali siswa-siswi yang menyebutnya. Kita tetap menyapa rekan kerjaku itu sebagai, “Pak Agung …”.

Tatkala aku menghadiri seminar TEFLIN yang diselenggarakan di Surabaya tahun 2002, dan Jack C. Richards sebagai salah satu keynote speaker encouraged orang untuk menumbuhkembangkan localized English, aku hanya berpikir, mungkin dalam Indoglish (baca  INDONESIAN ENGLISH) kita bisa menyisipkan kata-kata yang tak ada dalam Bahasa Inggris, misal “deh”, “sih”, “dong” dlsb. NOTE: kerangka dasar pemikiran Jack C. Richards adalah bahwa English is a universal language, sehingga di masa ini, orang-orang British, American, maupun Australian tak lagi bisa merasa ‘arogan’ sebagai pemilik bahasa ini. Yang paling penting adalah, asal para ‘interlocutor’ saling memahami tatkala mereka berkomunikasi.

Satu kenyataan lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kita tidak memiliki native speaker. Semua guru lokal dengan asumsi bahwa para guru dulu pun mengalami masa-masa awal mempelajari bahasa import ini, sehingga diharapkan mereka akan mampu mentransfer pengalaman mereka kepada para siswa.

Di kantorku yang baru ada beberapa guru expat. Banyak pula siswa yang mixed blood. Dan ternyata justru di sinilah aku menemukan gejala “Indoglish” yang sebenar-benarnya.

Contoh:

“Halaman berapa?” yang seharusnya diterjemahkan menjadi “What page?” ternyata di kantorku yang baru ini sangat biasa menemukan anak-anak yang bertanya, “Page how many?

“Kamu bisa ga?” yang tatkala diterjemahkan kedalam English, kita seharusnya menyertakan kata kerja, misal, “Can you do that?” menjadi ‘hanya’, “Can you?” dan kemudian dijawab, “Can!” dengan nada yang sama persis tatkala kita mengucapkan bahasa Indonesia, “Bisa!” atau tatkala seorang siswa merayu seorang guru, misal agar bisa agak molor mengumpulkan tugas, “Can ya Miss? Can ya?” Satu penggalan kalimat yang TIDAK PERNAH KUAJARKAN di kursus Bahasa Inggris tempat aku bekerja sejak tahun 1996 itu.

Contoh berikut tidak hanya diucapkan oleh siswa-siswi, namun juga diucapkan oleh beberapa guru.

Misal, “Bisakah saya bertanya sesuatu Pak?” diterjemahkan menjadi, “Can I ask you something Mister?” “Bisa ya Pak?” menjadi, “Can ya Mister ya?

Selain vocabulary dan word order yang ‘aneh’ itu, logat bicara yang sangat nJawani terdengar sangat kental.

Aku perhatikan, para expat itu pun akhirnya “tunduk” pada “word order” Indoglish ini sehingga mereka tak lagi menganggapnya aneh. Kupingku saja yang masih sering merasa ‘risih’ tatkala mendengarnya. Namun sebagai seseorang yang beradaptasi dengan mudah (terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk dialek dan logat), tak lama lagi aku pun “jangan-jangan’ akan ketularan. LOL. Selama ini rekan-rekan kerja di kantor lama menganggap logatku dalam berbicara bahasa Inggris lumayan ‘bisa melepaskan diri’ dari pengaruh nJawani maupun Semarangan, (meskipun di telinga Abangku yang lama tinggal di luar negeri aku masih terdengar Jowo banget), ‘jangan-jangan’ tak lama lagi aku akan ketularan logat berbicara siswa-siswi dan rekan kerja baruku. Maklum, lebih banyak guru lokal dari pada guru expat-nya.

Kembali ke apa yang dikatakan oleh Jack C. Richards, kita harus tetap bangga dengan our localized English. Nevertheless, I do hope, I WILL NOT GET CONTAMINATED. LOL.

PT56 20.4 260908

Kamis, Agustus 23, 2007

S B I

Tatkala Angie masuk SMA N 3 Semarang tahun ajaran 2006/2007, aku tidak tahu apakah yang dimaksud dengan SNBI = Sekolah Nasional Berstandar Internasional (yang belakangan lebih dikenal sebagai SBI = Sekolah Bertaraf Internasional?) Angie ingin masuk sekolah negeri terfavorit di Semarang ini karena beberapa teman dekatnya waktu SMP masuk ke SMA N 3. Aku sendiri ingin Angie bersekolah di situ bukan melulu karena prestise (karena aku belum tahu apa-apa tentang SBI), namun lebih ke romantisme pertengahan tahun 1980-an, aku bersekolah di sekolah yang gedungnya merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang terletak di Jalan Pemuda no 149 ini.
Setelah Angie masuk SMA N 3, kepala sekolah Drs. Sudjono, menjelaskan yang dimaksudkan dari SBI. Para siswa diharapkan akan mampu bersaing dengan lulusan high school dari luar negeri. Bagaimana caranya? Di kelas X, enam mata pelajaran diberikan dalam Bahasa Inggris: matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan tentu saja Bahasa Inggris.  Sedangkan untuk prasarana, semua kelas dilengkapi dengan AC—agar siswa nyaman dan tidak merasa kegerahan, maklum Semarang terkenal dengan hawa panasnya—sehingga siswa diharapkan akan mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu, setiap kelas dilengkapi dengan LCD dan komputer yang bisa dipakai oleh guru maupun siswa. Tak heran jika beberapa guru memberikan catatan dalam bentuk file dan siswa mentransfernya ke dalam flash disk. Floppy disk menjadi kuno di sini, karena dianggap tak cukup untuk menampung semua data.
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif yang kurasakan. Pertama, aku senang dengan prasarana yang disediakan oleh sekolah—AC, LCD, dan komputer. Angie akan merasa nyaman dan tidak buta teknologi. Yang kedua aku ragu. Seandainya kemampuan Bahasa Inggris guru matematika, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi tidak memadai, bagaimana cara mereka mencerdaskan para siswa? Diberikan dalam Bahasa Indonesia saja masih memusingkan, apalagi diberikan dalam English yang masih tetap dianggap sebagai bahasa asing di Indonesia ini? (Sebagai bandingan, English dianggap sebagai bahasa kedua di negara tetangga, Malaysia dan Singapore.) Apa yang akan didapatkan Angie, selain bahwa she is exposed to an English-speaking environment?
Keraguan ini semakin membesar tatkala di lembaga kursus Bahasa Inggris tempatku bekerja dipercaya oleh sebuah sekolah kejuruan untuk memberikan pelatihan Bahasa Inggris kepada para gurunya, untuk mempersiapkan sekolah itu menyongsong era SBI. Kemampuan Bahasa Inggris para guru yang lebih dari 50% telah mencapai usia matang itu sangat memprihatinkan. Untuk daily conversation saja sangat memprihatinkan, bagaimana mereka harus menyampaikan pelajaran dalam Bahasa Inggris?
Sebagai seorang guru Bahasa Inggris, tentu aku sangat senang dengan lebih meluasnya pemakaian Bahasa Inggris dimana pun kita berada. Namun untuk ‘menyulap’ sebuah sekolah siap bersaing menjadi SBI, tidaklah semudah mengatakan abrakadabra. SMA N 1 yang tidak mau kalah dengan SMA N 3 pun mulai tahun ini menyiapkan diri menjadi SBI secara swadaya, lain dengan SMA N 3 yang dipilih oleh pemerintah sehingga mendapatkan bantuan dana. Swadaya? Ya, pihak sekolah membebani para orang tua siswa dengan uang sumbangan pembangunan sejumlah 4-5 juta rupiah per siswa baru, jumlah yang bagiku sangat fantastis untuk masuk ke SMA. Dan seperti yang kukemukakan di atas, untuk perlengkapan fisik kelas, seperti penyediaan AC, LCD, komputer dan internet jauh lebih mudah daripada meningkatkan mutu para guru dan karyawan. Sudah saatnya dalam perekrutan guru baru, syarat mampu berbahasa Inggris aktif harus disertakan, seperti beberapa perusahaan bonafide yang mengharuskan pelamarnya memiliki sertifikat TOEFL dengan skor tertentu.
Mengenai keraguan beberapa pihak bahwa seorang siswa yang bersekolah di SBI akan melupakan jati dirinya sebagai seorang anak Indonesia, aku tidak setuju. Untuk mengantisipasinya, dalam kurikulum bisa ditambahkan muatan lokal, seperti pelajaran menari tradisional, maupun bahasa daerah. Seseorang yang berbicara bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari tidak akan serta merta membuatnya menjelma menjadi seorang American atau European maupun Australian. Jack C. Richards dalam pidatonya sebagai salah satu keynote speaker dalam seminar TEFLIN di Surabaya tahun 2002 lalu mengatakan bahwa Bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia, bukan semata milik orang Inggris, Amerika, maupun Australia. Semua orang bisa berbicara bahasa Inggris menggunakan dialek lokal masing-masing, dan tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai seorang warga negara Indonesia, Jepang, Korea, dll.
Kembali ke masalah SBI. Kita belum melihat lulusan pertama hasil kurikulum SBI dari SMA N 3 yang kebetulan terpilih sebagai ‘kelinci percobaan’ pemerintah di Semarang. Apakah benar para siswa itu akan mampu bersaing dengan para lulusan high school luar negeri? Sebaiknya kita melihat dulu, dan tidak terburu-buru untuk mengubah sekolah lain mengikuti ‘demam SBI’, hanya demi gengsi sekolah, apalagi hanya demi keuntungan keuangan semata, dan mengorbankan pendidikan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa.
PT56 22.19 220807