Di tempatku bekerja, sebuah kursus Bahasa Inggris yang lumayan punya nama di Indonesia, kita semua guru berusaha untuk mematuhi ‘peraturan-peraturan’ English yang baku tatkala menggunakan bahasa yang diimport dari negeri Ratu Elizabeth ini. Termasuk penggunaan kata “Mr. …” yang seyogyanya diikuti oleh family name, sehingga kita sangat jarang menggunakan kata “Mr. …” ini untuk menyebut nama seorang guru laki-laki. Maklum, kebetulan di kantorku tidak ada satu guru laki-laki pun yang memiliki family name di belakang nama mereka. Beda dengan penggunaan “Ms. …” yang memang ada dalam kamus untuk menyebut nama guru perempuan sejak zaman baheula. Walhasil, “Ms. Nana” terdengar biasa-biasa saja, sedangkan “Mr. Agung …” jarang terdengar, kecuali siswa-siswi yang menyebutnya. Kita tetap menyapa rekan kerjaku itu sebagai, “Pak Agung …”.
Tatkala aku menghadiri seminar TEFLIN yang diselenggarakan di Surabaya tahun 2002, dan Jack C. Richards sebagai salah satu keynote speaker encouraged orang untuk menumbuhkembangkan localized English, aku hanya berpikir, mungkin dalam Indoglish (baca INDONESIAN ENGLISH) kita bisa menyisipkan kata-kata yang tak ada dalam Bahasa Inggris, misal “deh”, “sih”, “dong” dlsb. NOTE: kerangka dasar pemikiran Jack C. Richards adalah bahwa English is a universal language, sehingga di masa ini, orang-orang British, American, maupun Australian tak lagi bisa merasa ‘arogan’ sebagai pemilik bahasa ini. Yang paling penting adalah, asal para ‘interlocutor’ saling memahami tatkala mereka berkomunikasi.
Satu kenyataan lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kita tidak memiliki native speaker. Semua guru lokal dengan asumsi bahwa para guru dulu pun mengalami masa-masa awal mempelajari bahasa import ini, sehingga diharapkan mereka akan mampu mentransfer pengalaman mereka kepada para siswa.
Di kantorku yang baru ada beberapa guru expat. Banyak pula siswa yang mixed blood. Dan ternyata justru di sinilah aku menemukan gejala “Indoglish” yang sebenar-benarnya.
Contoh:
“Halaman berapa?” yang seharusnya diterjemahkan menjadi “What page?” ternyata di kantorku yang baru ini sangat biasa menemukan anak-anak yang bertanya, “Page how many?”
“Kamu bisa ga?” yang tatkala diterjemahkan kedalam English, kita seharusnya menyertakan kata kerja, misal, “Can you do that?” menjadi ‘hanya’, “Can you?” dan kemudian dijawab, “Can!” dengan nada yang sama persis tatkala kita mengucapkan bahasa Indonesia, “Bisa!” atau tatkala seorang siswa merayu seorang guru, misal agar bisa agak molor mengumpulkan tugas, “Can ya Miss? Can ya?” Satu penggalan kalimat yang TIDAK PERNAH KUAJARKAN di kursus Bahasa Inggris tempat aku bekerja sejak tahun 1996 itu.
Contoh berikut tidak hanya diucapkan oleh siswa-siswi, namun juga diucapkan oleh beberapa guru.
Misal, “Bisakah saya bertanya sesuatu Pak?” diterjemahkan menjadi, “Can I ask you something Mister?” “Bisa ya Pak?” menjadi, “Can ya Mister ya?”
Selain vocabulary dan word order yang ‘aneh’ itu, logat bicara yang sangat nJawani terdengar sangat kental.
Aku perhatikan, para expat itu pun akhirnya “tunduk” pada “word order” Indoglish ini sehingga mereka tak lagi menganggapnya aneh. Kupingku saja yang masih sering merasa ‘risih’ tatkala mendengarnya. Namun sebagai seseorang yang beradaptasi dengan mudah (terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk dialek dan logat), tak lama lagi aku pun “jangan-jangan’ akan ketularan. LOL. Selama ini rekan-rekan kerja di kantor lama menganggap logatku dalam berbicara bahasa Inggris lumayan ‘bisa melepaskan diri’ dari pengaruh nJawani maupun Semarangan, (meskipun di telinga Abangku yang lama tinggal di luar negeri aku masih terdengar Jowo banget), ‘jangan-jangan’ tak lama lagi aku akan ketularan logat berbicara siswa-siswi dan rekan kerja baruku. Maklum, lebih banyak guru lokal dari pada guru expat-nya.
Kembali ke apa yang dikatakan oleh Jack C. Richards, kita harus tetap bangga dengan our localized English. Nevertheless, I do hope, I WILL NOT GET CONTAMINATED. LOL.
PT56 20.4 260908
ijin share gan
BalasHapus