Cari

Selasa, September 16, 2008

Shalat Jumat

Waktu membaca artikel Ulil Abshar Abdalla tentang pengalamannya shalat Jumat di Jakarta, (untuk artikelnya secara lengkap bisa dicari di http://superkoran.info atau klik blog http://themysteryinlife.blogspot.com) aku jadi ingat beberapa tahun yang lalu (mungkin lebih dari enam tahun lalu) waktu shalat Jumat di masjid Baiturrahman, di kawasan Simpanglima Semarang.
Di masjid Baiturrahman, tempat shalat jamaah perempuan berada di lantai tiga, sedangkan jamaah laki-laki berada di lantai dua. Di lantai satu, terutama di dekat pelataran parkir, ada sebuah toko kecil yang berjualan berbagai macam dagangan; mulai dari buku-buku, busana Muslim, makanan kecil, minuman, dll.
Hari itu adalah salah satu hari Jumat di bulan Ramadhan. Seusai shalat Jumat, aku turun ke bawah dan melihat ‘pemandangan’ yang digambarkan oleh Ulil, di halaman depan masjid, banyak pedagang tiban—selain yang memang berjualan di ‘toko’ yang disediakan oleh masjid Baiturrahman—yang menjajakan barang dagangannya masing-masing. Berhubung Idul Fitri akan menjelang, maka banyak jamaah yang merubungi pedagang yang berjualan pakaian. Setelah menginjak usia dewasa, aku super jarang shalat Jumat di masjid, sehingga pemandangan jual beli di halaman masjid ini pun menarik perhatianku. Sayangnya karena jamaah perempuan menempati lantai ketiga, aku tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Ulil, begitu usai shalat Jumat—terutama setelah melakukan salam—orang-orang langsung melanjutkan transaksi jual beli. Lupakan ‘tradisi’ membaca wirid dan doa yang panjang-panjang. J
Aku ingat tatkala duduk di bangku SD (aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah), aku sering sekali berangkat shalat Jumat di masjid Baiturrahman bersama-sama teman-teman sekolah, karena kebetulan kita libur pada hari Jumat. Dan tidak pernah aku melihat pemandangan orang-orang yang melakukan transaksi jual beli di halaman masjid tersebut. Zaman telah berubah?
Di sekitar MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) yang jauh lebih luas dari masjid Baiturrahman pun dibangun bangunan-bangunan permanen untuk melakukan transaksi jual beli seperti ini.
Setelah mengklaim diri sebagai seorang feminis, dan mengalami perjalanan spiritualitas sehingga menjadi seorang yang sekuler, sama seperti Ulil, aku pun mulai jengah dan bosan bila mendengar khotbah yang isinya sangat provokatif kepada pemeluk keyakinan lain, apalagi jika khotbahnya bersifat misoginis dan membodohi khalayak umum.
Aku jadi ingat Amina Wadud yang percaya bahwa seorang perempuan pun bisa mengisi khotbah Jumat dan menjadi imam shalat Jumat. Mungkin aku akan mau berangkat ke masjid untuk menghadiri shalat Jumat bersama perempuan-perempuan lain, dan mendengarkan khotbah yang tentu tidak misoginis, bahkan membangkitkan semangat kesetaraan. Meskipun bagi perempuan, shalat Jumat hukumnya sunnah, karena konon yang terkena fardhu kifayah hanya kaum laki-laki.
Sewaktu duduk di bangku S1 dulu (UGM – Jogja), ada seorang boarder di kos yang aku tinggali berasal dari Tasikmalaya. Tatkala aku bercerita kepadanya tentang pengalamanku shalat Jumat di masjid waktu pulang ke Semarang. Dia melengak keheranan, “Kamu shalat Jumat Na?” tanyanya heran.
“Iya. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Bukannya untuk perempuan shalat Jumat itu hukumnya haram? Di Tasikmalaya ga ada perempuan shalat Jumat.”
Pengalaman memang mahal harganya. Mengenal orang dari daerah lain tentu akan memperkaya pengalaman kita, sekaligus mengenal cara pandang/pikir orang lain, agar kita saling mengenal, kemudian saling menghormati. Sejak itu aku baru tahu bahwa di daerah Sunda, tidak ada sebuah masjid pun yang menyediakan tempat untuk perempuan untuk shalat Jumat, sedangkan di Semarang, banyak masjid yang dibanjiri kaum perempuan pada jam shalat Jumat.
Aku tidak tahu dengan kondisi sekarang. Aku lebih memilih shalat sendiri di rumah.
PT56 13.58 140908

Tidak ada komentar:

Posting Komentar