Cari

Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, Mei 28, 2013

PERAYAAN TRISUCI WAISAK 2557 TAHUN 2013


jepretan Ranz dari dalam Taman Wisata Candi Borobudur
Semula kupikir Taman Wisata Candi Borobudur ditutup untuk umum pada hari perayaan Trisuci Waisak demi memberi kesempatan kaum Buddhis untuk merayakan hari perayaan ketika Siddharta Gautama dilahirkan, mencapai ‘enlightenment’ dan hari wafatya. Maka satu-satunya cara untuk bisa mengikuti upacara perayaan adalah dengan cara menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan yang membawa air dan api suci dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.

But in fact I was wrong. Maka tidak heran jika Taman Wisata Candi Borobudur sangat penuh, dipadati pengunjung pada hari Sabtu 25 Mei 2013 itu. Menurut perkiraan mungkin lebih dari 10000 orang memadati pelataran taman wisata maupun monumen candi.
beberapa orang dengan kamera di tangan


seseorang dengan tab/note di tangan
Kulihat banyak di tengah kerumunan orang yang menunggu datangnya arak-arakan dari Candi Mendut yang membawa kamera, entah mereka fotografer profesional atau fotografer hobbyist atau jurnalis. (Di zaman dimana kamera DSLR masih sangat mahal, jumlah para ‘fotografer’ ini tidak sebanyak sekarang sehingga kehadiran mereka tidak begitu terasa mengganggu jalannya arak-arakan.) Saat mobil yang membawa air suci lewat, seorang Bhikku menyipratkan air ke kerumunan pengunjung. Konon mereka yang terkena cipratan air ini akan mendapatkan berkah.


Aku dan Ranz tidak kesulitan menyusup ke dalam arak-arakan, meski kita tidak mengenakan ‘badge’ yang bertuliskan ‘peserta’ atau ‘fotografer’ atau ‘jurnalis’ atau apa pun juga. Dalam hati aku sempat geli – namun juga merasa ridiculous – ketika berjalan mengiringi arak-arakan, di pinggir jalan di antara kerumunan orang kulihat dua tiga orang yang sedang merekam jalannya arak-arakan, mengarahkan kameranya ke arahku dan Ranz. :(

Menjelang sampai ke pintu masuk Manohara, kulihat banyak orang yang tadi ikut berjalan di tengah-tengah arak-arakan di depanku jalan berbalik arah. Selintas kudengar selentingan orang yang mengatakan, “Tidak diperbolehkan masuk bagi mereka yang tidak memiliki tanda khusus – misal peserta atau apa pun juga. Jika ingin tetap masuk, harus beli tiket Rp. 30.000,00 per orang.” Aku juga mendengar seseorang mengatakan, “Tentulah mereka tidak akan membiarkan kita masuk gratis.” 



Ranz mulai khawatir apakah kita bisa masuk arena taman wisata Candi. Namun jika kita diperbolehkan masuk dengan membeli tiket, aku sudah berkeputusan untuk membelinya. Dan ... ternyata kita berdua mulus melewati pintu masuk Manohara! Tidak ada kesulitan berarti. It was our luck then! :) Setelah melewati pintu masuk, kita harus melewati sebuah ambang pintu dimana kita dan barang bawaan kita dipindai apakah kita membawa barang terlarang. Sebelum melewati, aku dengar orang-orang – sebelum melewati ambang pintu pemindai – yang ada di depanku berbicara, “Siapkan tanda pengenalmu!” Ranz kembali deg-degan. Tapi ... mungkin memang it was our luck sehingga kita pun melewatinya dengan mudah.

Setelah melalui detik-detik ‘deg-degan’ LOL kita pun memilih tempat untuk beristirahat, duduk-duduk. I was so exhausted! Banyak juga orang yang beristirahat di rerumputan sekitar kita duduk. Sementara itu, rombongan arak-arakan yang ada di belakang kita ternyata masih lah panjang. Sekitar setengah jam kemudian, kita mulai melanjutkan perjalanan menuju monumen Candi. Namun karena pada dasarnya aku masih lelah dan mengantuk, melihat banyak orang lain yang membaringkan tubuh, leyeh-leyeh, aku kembali mengajak Ranz istirahat lagi, padahal dari lokasi kita istirhat yang kedua kali ini monumen Candi Borobudur sudah terlihat. 

Setelah istirahat secukupnya, aku dan Ranz mencari toilet. Namun kita berdua tidak jadi melakukan ‘hajat’ yang kita butuhkan karena antrian di toilet sangat menggila, kata Ranz. Akhirnya kita langsung berjalan ke arah monumen.
 
lautan pengunjung 1

lautan pengunjung 2
Melihat kerumunan orang di jalan setapak menuju monumen candi, kita berdua pun takjub. Wow! So crowded! so full of people! Saat itu aku baru ngeh, bahwa ternyata Taman Wisata Candi Borobudur tidak tertutup untuk umum pada hari Waisak! Karena upacara perayaan belum dimulai, para bhikku/bhiksu kulihat berbaur dengan pengunjung. Mungkin pada saat ini lah ‘insiden’ yang tercetak di satu foto yang beredar di media sosial terekam: ada seorang bhikku yang melakukan ibadah di tengah monumen candi difoto oleh para fotografer yang kurang menghargai pelaksanaan ibadah tersebut.
foto yang ramai diedarkan dan diperbincangkan di sosial media
Ranz hanya bersedia kuajak naik ke undakan yang pertama – Kamadhatu – mungkin karena begitu banyak pengunjung yang menginjakkan kakinya di monumen. Tumben Ranz tidak penasaran untuk naik ke stupa yang paling atas untuk mendapatkan foto pemandangan yang bagus. Setelah usai mengitari undakan Kamadhatu, Ranz langsung mengajak kita turun, menuju ke panggung utama dimana perayaan Waisak akan diselenggarakan. Sesampai disana, hamparan karpet yang ada di bawah panggung telah dipenuhi para pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya upacara seremonial Waisak. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi yang strategis untuk mendapatkan the best shots. But tentu saja siapa yang cepat dia yang mendapatkan posisi strategis tersebut.
 Sementara itu dari pembawa acara aku mendengar info bahwa terjadi desak-desakan orang yang rebutan untuk membeli lampion. Berulang kali pembawa acara mengingatkan agar para pengunjung berbaris rapi karena semua akan kebagian; panitia telah menyediakan lebih dari seribu lampion. Namun nampaknya para pengunjung itu tetap sulit diperingatkan karena sang pembawa acara perlu mengingatkan berulang kali. FYI, bagi mereka yang membeli lampion, saat menerbangkannya nanti mereka bisa ‘make a wish’ yang dipercaya akan terkabul.
 
panggung utama, difoto dari sisi kiri


para bhiksu/bhikku dan beberapa kaum muda Buddhis di atas panggung
Satu kali sang pembawa acara mengumumkan seorang ibu kehilangan anaknya yang berusia 7 tahun. Tak lama kemudian, seseorang mengantar si anak hilang itu naik ke panggung untuk berjalan menuju tenda panitia. Para pengunjung serta merta bertepuk tangan, berseru-seru gembira.
Jelang jam 18.00 para bhikku, bhiksu, maupun bhikkuni datang menuju panggung diikuti para pemuka agama Buddha dan beberapa undangan khusus. Gerimis mulai menyapa. Banyak pengunjung mulai mengembangkan payung yang mereka bawa. Para bhikku, bhiksu maupun bhikkuni duduk dengan tenang di panggung utama. Menurut jadual, upacara perayaan seremonial Waisak akan dimulai jam 19.00, setelah undangan istimewa – menteri agama Suryadharma Ali dan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo – datang.

Gerimis datang dan pergi dan datang lagi. Setelah jam 19.00 berlalu, pengunjung mulai resah ketika belum terlihat tanda-tanda bahwa menag dan gubernur JaTeng datang. Mereka berharap upacara segera dimulai tanda menunggu kehadiran orang-orang ‘istimewa’ tersebut. Tapi tentu hal itu tidak bisa dilakukan.
 
foto ini juga kumbil dari sosial media
Gerimis mulai menderas menjadi hujan. Pengunjung tambah resah. Kulihat beberapa yang duduk di sekitarku meninggalkan lokasi. Karpet yang terletak di bawah panggung itu terasa lebih longgar. Baru jelang pukul 20.00 rombongan menag dan gubernur datang, yang disambut dengan teriakan kecewa ‘huuuuuuuuuuuu’ dari para pengunjung. Para panitia dan bhikku/bhiksu/bhiksuni panggung – juga para kaum Buddhis yang duduk di atas panggung – nampak tetap tenang.

Tidak menunggu lama, pembawa acara segera membuka upacara. Pengunjung duduk tenang mendengarkan sambutan dari ketua panitia dan ‘khotbah’ tentang Waisak. Namun pengunjung mengganggu sambutan menag dan gubernur dengan teriakan-teriakan kekecewaan.

Usai sambutan dan khotbah, acara dilanjutkan dengan pradaksina, yakni ritual para bhikku/bhiksu/bhikkuni mengelilingi monumen Candi Borobudur tiga kali, setelah para undangan istimewa dipersilakan meninggalkan panggung upacara. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba orang-orang yang semula duduk rapi mulai berdiri, bahkan ada dorongan dari belakang untuk maju ke atas panggung. Suasana di sekitarku mulai kacau balau. Sementara itu hujan menderas. 
Merasa pusing berdiri di tengah kerumunan orang di sekitarku – I could not see anything but people’s backs and umbrellas – aku mengajak Ranz meninggalkan panggung, menjauh, mencari lokasi yang lumayan jauh dari panggung.

Karena gelap – atau karena mataku yang belor – aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di atas panggung/belakang panggung. (Monumen Candi Borobudur terletak di belakang panggung utama.) Namun berulang kali aku mendengar peringatan seorang bhikkuni yang memimpin pradaksina memperingatkan pengunjung untuk tidak memenuhi area sekitar monumen yang sedang dipakai untuk melakukan ritual pradaksina. Peringatan bhikkuni berikutnya membuatku terpana, malu, terluka: “Bagi para pengunjung yang ingin mengikuti ritual pradaksina, silakan mengikuti dengan tertib dan tenang. Jangan sibuk foto-foto sendiri.” DUH! 
Hujan yang tak kunjng reda hingga akhir pelaksanaan pradaksina membuat panitia mengumumkan pembatalan pelepasan lampion. Ribuan pengunjung yang keukeuh memilih tetap tinggal di lokasi meski kehujanan karena menunggu detik-detik pelepasan lampion yang konon bakal menghasilkan pemandangan yang menakjubkan pun berteriak-teriak meluapkan kekesalannya. :( :( :(
Mungkin aku sendiri termasuk orang yang menganggap ritual keagamaan agama – yang termasuk minoritas di Indonesia – ini sebagai tontonan karena aku ikut berada di lokasi? Karena aku ikut foto-foto dengan latar belakang panggung upacara perayaan. Karena aku ikut menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan demi ikut menyaksikan (menonton?) suatu ritual keagamaan yang karena minoritas maka bisa dianggap eksotis? :( :( :(

Tulisan ini tidak untuk ikut mengeruhkan suasana dimana banyak orang berpolemik apakah ini salah panitia atau salah pengunjung yang tidak memiliki rasa tenggang rasa pada pemeluk agama lain. Tulisan ini hanya untuk memaparkan apa yang terjadi pada hari Sabtu 25 Mei 2013 dari kacamataku sebagai salah satu turis nusantara yang hadir.

GL7 12.32 280513

Sabtu, September 08, 2007

Hypermarket ...



“DPRD Usulkan Standar Harga Eceran Carrefour” adalah satu headline di harian Suara Merdeka hari Kamis 6 September 2007 di bagian SEMARANG METRO. Judul ini mengingatkanku pada satu kuliah yang kuikuti dari dosen tamu Prof. Kenneth Hall, yakni “American Capitalism”. Kehadiran hypermarket di Amerika telah mematikan banyak toko kecil yang biasanya berupa toko usaha keluarga, yang kadang-kadang disebut Mom and Pop’s Store. Contoh bagus bisa dilihat dalam film yang lumayan lama, “You’ve Got Mail” dimana si tokoh perempuan akhirnya harus menutup toko buku miliknya yang mungil karena kehadiran hyper bookstore tepat di sampingnya. Toko buku yang lebih mengedepankan strategi kekeluargaan kepada para pelanggan ini akhirnya harus tutup, karena zaman yang telah berubah dan orang tidak mementingkan lagi strategi seperti ini.
Jika hypermarket telah mematikan banyak toko kecil di Amerika, aku setuju dengan beberapa pedagang yang diwawancarai oleh Suara Merdeka tentang ketidakkhawatiran mereka akan pelanggan yang bakal lari ke DP Mall—supermall baru yang terletak dekat dengan gedung bersejarah Semarang, Lawangsewu. Mengapa? Karena jelas kultur Indonesia yang berbeda dengan kultur di Amerika. Contoh yang paling kongkrit, juga disebutkan dalam artikel tersebut, yaitu kecenderungan masyarakat Indonesia yang membeli eceran—karena miskin. Misal: membeli rokok satu batang karena tidak mampu membeli rokok langsung satu pak. Mana bisa membeli rokok satu batang di mall? Mana ada orang Amerika membeli rokok hanya satu batang, meskipun di Mom and Pop’s Store? Kata Michael Sunggiardi, presenter utama dalam seminar “SOLUSI IT MURAH UNTUK DUNIA BISNIS” yang diselenggarakan oleh Unika Soegijapranata hari Selasa 4 September 2007, bahkan di Sudan negara yang konon lebih miskin daripada Indonesia saja menjual rokok eceran minimal dalam hitungan 5 dan kelipatannya. Apalagi di Amerika negara super power itu yang aku yakin semua penduduknya mampu membeli lisensi Microsoft sehingga tidak perlu membajak seperti orang-orang di Indonesia.
Bisa jadi harga-harga barang pokok yang dijual di Carrefour, yang terletak di DP Mall, lebih murah beberapa ratus rupiah dibandingkan di toko-toko kecil. Namun tentu orang yang keuangannya pas pasan akan berpikir beberapa kali sebelum memutuskan belanja di Carrefour jika tahu bahwa biaya parkir konon dihitung perjam, dan bukan per satu kali parkir. Belum lagi jarak yang lebih jauh dari rumah sehingga membutuhkan waktu ekstra untuk berbelanja. Hal ini pun bisa jadi mempengaruhi keinginan orang untuk pergi berbelanja ke mall manapun.
Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku ke mall. LOL. Setahun yang lalu kayaknya waktu aku dan Angie sengaja ke Citraland Mall untuk berfoto-ria di swa gaya. 
PT56 21.37 060907

Sabtu, September 01, 2007

Bahasa Indonesia vs English

Setelah mendapatkan desakan dari Abang (FYI, aku paling suka menjadikan dia sebagai scapegoat alias kambing hitam, meskipun dia tidak bershio kambing, tidak pula berkulit hitam LOL) aku mengirimkan beberapa tulisanku di blog ini ke milis yang dibuat Abang, RumahKitaBersama. Salah satu yang kukirimkan adalah “English versus Bahasa”. Tidak kusangka sama sekali kalau kemudian artikelku yang ini mendapatkan sambutan yang hangat dari para anggota milis. FYI, sebagian anggota milis adalah orang-orang Indonesia yang telah lama bermukim di luar negeri, seperti Amerika, Belanda, Austria, Australia, Cina, Canada, Praha, dan New Zealand, dimana Abangku bermukim sekarang. Sambutan yang hangat ini salah satunya berupa sebuah artikel yang ditulis oleh Bapak Sumar Sastrowardojo, yang telah lama bermukim di Amerika. Aku ingin berbagi tulisan Pak Sumar ini dengan para pengunjung blogku. Klik aja di alamat berikut ini.

http://themysteryinlife.blogspot.com/2007/09/bahasa-inggeris.html

Dalam tulisan ini, aku ingin menyinggung tentang penggunaan kata ‘interesting’ dan ‘interested’. ‘interesting’ bermakna ‘menarik’ sedangkan ‘interested’ bermakna ‘tertarik’. Bisa terbayangkan bukan betapa bingungnya orang yang mendengarnya, orang-orang yang tidak memahami Bahasa Indonesia, sehingga tidak memahami kebingungan orang Indonesia untuk membedakan antara ‘interesting’ dan ‘interested’. Kebingungan yang mempermalukan Indonesia di mata internasional (karena wakilnya yang tidak mampu berbahasa Inggris yang baik), sekaligus lucu. Bayangkan saja jika yang dimaksud adalah “Indonesia tertarik ...” namun yang keluar adalah “Indonesia menarik ...” Dan berhubung si penutur tidak paham bahwa dia telah melakukan kesalahan, dia akan semakin bingung bila ada yang menyelutuk “Really?”
Selain kedua kata ini, kata lain yang sering orang Indonesia salah dalam mempergunakannya adalah kata ‘boring’ dan ‘bored’. Banyak public figure yang tidak tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan dalam penggunaan kata ‘boring’, karena seharusnya mereka memilih kata ‘bored’. Misal, seorang public figure (nah, bahasa Indonesianya apa ya? LOL. Tokoh masyarakat? LOL) atau seorang celebrity (ini juga kata asing ya?) mengatakan, “Saya boring di rumah terus, itu sebabnya saya ingin kembali menyanyi atau berakting,” seharusnya dia menggunakan kata ‘bored’ yang berarti ‘bosan’, dan bukannya ‘boring’ yang berarti ‘membosankan’.
Merunut ke artikel “Alat Pemersatu Kurang Laku” di surat kabar Suara Merdeka tanggal 9 Agustus 2007 halaman 6, si penulis menyarankan agar kita berkomunikasi menggunakan bahasa persatuan kita, karena toh kosa kata yang ada dalam bahasa nasional kita ini sudah cukup kaya, tidak perlulah kita menggunakan istilah ‘busway’, ‘three in one’, dan lain sebagainya. Dalam tulisannya yang berjudul “Bahasaku Bahasamu” (bisa dilihat di www.superkoran.info) Bapak Anwari menyebut banyak contoh kata dalam bahasa Indonesia yang merupakan kata turunan dari bahasa asing, misal bahasa Belanda, bahasa Portugal, dan aku yakin juga bahasa Inggris, serta beberapa bahasa lain. Setelah sekian lama kata-kata itu kita adopsi, dan kemudian kita akui sebagai kata-kata dalam Bahasa Indonesia asli (misal, kemeja, jendela, lampu, bangku, dll), kita akan lupa (atau mungkin generasi mendatang tidak akan tahu, jika mereka tidak secara khusus mempelajari Bahasa Indonesia) bahwa sebenarnya kata-kata tersebut merupakan kata-kata serapan dari bahasa asing. Hal ini berarti bahwa ada kemungkinan satu saat nanti kita akan menganggap kata-kata ‘asing’ sejenis ‘busway’ sudah menjadi satu kesatuan dalam bahasa persatuan kita.
Ada pakar bahasa yang mengatakan bahwa sangatlah tidak mungkin menghindari pengaruh satu bahasa untuk masuk ke bahasa lain. Selain itu, salah satu ciri bahasa yang bisa dijadikan lingua franca adalah bahwa bahasa itu sangat flexible menerima kosa kata baru dari bahasa lain. Menerima kosa kata bahasa lain tidak akan dengan mudah mematikan bahasa kita bukan? Bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional saat ini merupakan contoh bahasa yang sangat fleksilel dalam menerima kosa kata baru. Kalau memang kita bermimpi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional satu saat nanti, ya marilah kita berflexible ria menerima kosa kata baru. Dan kita tidak perlu takut bahwa alat permersatu kita kurang laku.
PT56 11.47 010907

Senin, Agustus 27, 2007

Penjajahan Ideologi dan Budaya

Tatkala menulis artikel yang ku-post sebelum ini, aku senantiasa teringat satu diskusi pendek antara aku dengan seorang dosen tamu muda usia dari Amerika di eks tempat kerjaku. Terilhami dengan kebijakan MANIFEST DESTINY yang kudapatkan tatkala duduk di bangku kuliah, aku bertanya (dengan setengah menuduh LOL) bahwa Amerika melakukan perembesan budaya ke banyak negara di seluruh dunia melalui musik (dengan program-program MTVnya), way of living (dengan film-filmnya), ataupun cara makan dan jenis makanan (dengan fast food restaurant yang dituding hanya menawarkan junk food), dll. Keberhasilan masuknya budaya Amerika ke banyak negara—termasuk Indonesia—bisa kita interpretasikan bahwa Amerika telah menjajah banyak negara, tanpa membuat yang dijajah itu menyadarinya; bahkan mungkin justru membuat orang-orang yang ‘dijajah ideologinya’ bangga dengan mengatakan, “aku mendengarkan musik Amerika”, “aku hidup a la orang Amerika”, sampai “aku makan makanan Amerika”.
Matthew, nama dosen tamu tersebut, tentu saja nampak tersinggung dengan tuduhan itu. LOL. Namun karena dia harus membawa nama baik Amerika, dia menjawab pertanyaanku (ataupun ‘tuduhanku’) dengan hati-hati.
“We American don’t mean to colonize other countries’ ideology or way of living, etc via music, movies, or our fast food restaurants. I think this is related to your confidence with your own way of living. You Indonesians have great music, why don’t you just listen to your own music and just ignore those MTV products? Don’t watch American movies if you think those movies even make you forget or ignore your own way of living. Don’t come to eat at those fast food restaurants when you know that they just offer junk food. You have your own fast food restaurants, such as Padang food stall, or even warteg. I often wonder why Indonesian people even feel more prestigious when they are seen eating in American fast food restaurant, such as McDonald’s. I recommend that Indonesian people build their own confidence and trust to their own products, music, movies, food. If you stop listening to American music, or watching American movies, or consuming American junk food, MTV, Hollywood, or American fast food restaurants will stop importing their products to Indonesia too. And perhaps it will make you stop feeling colonized ideologically?”
Skak match. Mati aku. Hahahaha ...
Aku mulai mencoba menganalisis hidupku sendiri. Apakah tanpa kusadari ideologi hidupku ini telah dijajah oleh Amerika? Musik, well, aku penikmat musik dari banyak negara, tidak hanya Amerika. Tentu saja aku juga menikmati musik dari negeri sendiri, bahkan termasuk campur sari (yang kata Angie anakku, musik khas kondangan perkawinan LOL). Untuk film, well, dengan sangat menyesal aku harus mengakui aku lebih banyak nonton film buatan Hollywood memang, daripada film hasil karya anak negeri (karena kualitas yang menyedihkan), namun tidak berarti bahwa aku telah di-amerika-kan oleh film-film yang kutonton. (Ngeles boleh kan? LOL.) Mengenai makanan, nah, ini dia, aku benar-benar memiliki lidah dan perut Jawa, yang lebih suka nasi, pecel, rujak, gado-gado, opor, sambel goreng, dll ketimbang pizza, spaghetti, steak, dan sebangsanya itu.
Bagaimana dengan anakku? Untuk musik, dia sama denganku. Untuk film, dia kurang kritis dengan film produksi dalam negeri, (mungkin karena usianya yang masih muda belia), sehingga dia menikmati film-film remaja, sebangsa, My Heart, Love is Cinta, Bangsal 13, Mirror, dll yang bagiku tidak menggigit. Sedangkan film bagus, sebangsa Denias, dia kurang mengapresiasinya  meskipun aku mengatakan padanya bahwa Denias film bagus. Untuk makanan, dengan sedih harus kukatakan, dia telah dijajah oleh pizza, spaghetti, steak, dll, meskipun ketergantungan perutnya kepada nasi masih cukup besar.
How about you? Seberapa sadarkah kamu tentang penjajahan ideologi dan budaya ini?
==================
Note: MANIFEST DESTINY adalah kebijakan Amerika untuk memperluas tanah yang dikuasai. Di awal ‘pendudukan’ tanah Amerika oleh para migran Inggris, mereka hanya menempati pesisir pantai sebelah Timur, daerah New York dan sekitarnya, dengan jumlah koloni hanya 13. Dengan MANIFEST DESTINY, mereka berhasil memperluas daerah, hingga mencapai pesisir pantai Barat, di daerah California dan sekitarnya. Kepercayaan orang Amerika (awal) sebagai ‘the chosen people’, karena Tuhan memilih mereka sebagai penguasa dunia, adalah awal pembentukan MANIFEST DESTINY. Setelah mereka ‘menduduki’ semua tanah yang maha luas itu, dari pantai Timur ke pantai Barat, tentu mereka ingin tetap melanjutkan MANIFEST DESTINY dengan menyeberang lautan. Di zaman modern ini, melakukan penjajahan ideologi bisa jadi pilihan yang sangat tepat karena orang tidak akan menyadari bahwa mereka telah dijajah.
PT56 13.21 270807

Media dan Budaya

Media merupakan salah satu alat promosi yang paling jitu. Banyak perusahaan menggunakan media—baik cetak maupun elektronik—untuk mengiklankan produk maupun jasa yang mereka tawarkan kepada publik. Media juga merupakan alat penyebaran ideologi yang sangat berpengaruh di era globalisasi ini, termasuk salah satunya adalah budaya. Oleh karena itu, media pun dituding sebagai salah satu pihak yang paling berpengaruh dalam pembentukan/pengubahan pola pikir, perilaku, maupun cara berbusana.
Kolonialisme—dimana banyak negara Barat, yang notabene berkulit putih, menjajah negara Timur, yang notabene berkulit berwarna—telah menciptakan gap antara kulit putih dan kulit berwarna. Gap ini menciptakan inferioritas di kalangan kulit berwarna sebagai pihak yang dijajah terhadap kalangan kulit putih sebagai pihak yang menjajah. Sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat, perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing, wayang, tarian tradisional, dll? Haruskah kita salahkan mereka yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall, sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing lewat media?
Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik—kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat,terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut. Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi muda jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut pengamatanku selama ini, kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak bijaksana.
Sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang telah menginjak masa remaja, satu hal yang bisa kusarankan: hubungan harmonis dan terbuka antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk ‘mengarahkan’ anak untuk tidak ikut terseret arus budaya yang tidak jelas juntrungannya, tanpa membuat anak-anak itu merasa digurui. Beda satu generasi antara kita dengan anak-anak kita sering membuat anak-anak itu berpikir bahwa kita telah masuk ke generasi katro, sehingga tidak mampu mengimbangi kemajuan cara berpikir anak-anak itu. Jangan sampai hal ini terjadi. Kita harus selalu mengikuti dan mendampingi anak-anak dalam menerima/mengalami hal-hal baru, kemudian kita perbincangkan dan mencari solusi bersama. Tidak semua sistem nilai dan ideologi yang diusung oleh program-program yang diimpor dari luar negeri—terutama Amerika dan Eropa—negatif. Kita sebagai orang tua yang harus aktif memilah dan memilih untuk anak-anak kita.
Let us start from home.
PT56 11.19 270807