Cari

Tampilkan postingan dengan label Semarang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Semarang. Tampilkan semua postingan

Kamis, September 26, 2013

WISATA RELIGI DI KOTA SEMARANG


WISATA RELIGI DI KOTA SEMARANG

Jika anda adalah penikmat wisata religi, jangan pernah lewatkan berkunjung ke ibu kota Jawa Tengah ini. Anda bisa menemukan masjid, gereja, kelenteng, pagoda hingga pura. Bahkan beberapa di antaranya dibangun ratusan tahun yang lalu! Penasaran? Check it out.

Masjid
1.       
Masjid Menara Kampung Melayu

Masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Layur karena terletak di Jalan Layur, salah satu jalan yang (sayangnya) terkenal sebagai kawasan langganan terkena banjir rob alias banjir yang datang tanpa mengenal musim penghujan maupun musim kemarau. Kawasan ini juga disebut Kampung Melayu karena konon dulu penduduknya merupakan keturunan para migran yang berasal dari Melayu. 

Masjid Menara Kp. Melayu

Masjid Layur dibangun oleh seorang ulama Arab yang datang dari Yaman.  Bangunan induk masjid memiliki arsitektur bergaya Jawa dengan atap masjid susun tiga. Sedangkan menara yang berdiri kokoh di depan pintu masuk masjid bergaya arsitektur Timur Tengah. 

menara di Masjid Menara Kp. Melayu

Sampai sekarang bangunan masjid ini masih asli seperti ketika pertama kai dibangun pada tahun 1802, lebih dari 200 tahun yang lalu. Hanya ada tambahan bangunan ruangan untuk jemaah perempuan. Masjid juga masih digunakan untuk beribadah oleh masyarakat sekitar. 

Untuk menuju masjid ini, dari arah Kantor Pos Besar Jalan Pemuda, sebelum Jembatan mBerok, kita belok kiri. Kita akan menemukan rel kereta api di depan, kita menyeberangi rel tersebut. Setelah menyeberangi rel, kita lurus saja, kita sudah sampai di Jalan Layur. 

2.      Masjid Agung Jawa Tengah

Masjid Agung Jawa Tengah – yang juga sering disingkat menjadi MAJT – merupakan satu masjid modern kebanggaan warga Semarang. Mulai dibangun pada tanggal 6 September 2002 dan diresmikan oleh Presiden SBY pada tanggal 14 November 2006. Dibangun dengan gaya arsitektur campuran Jawa, Arab, dan Romawi. Bangunan utama masjid beratap limas khas banguna Jawa namun di bagian ujungnya dilengkapi kubah besar ditambah lagi dengan empat menara masing-masing setinggi 62 meter di tiap penjuru atapnya. Gaya Romawi terlihat dari banguna 25 pilar di pelataran masjid. Pilar-pilar tersebut bergaya koloseum Athena Romawi dihiasi kaligrafi nan indah. Selain itu juga dibangun sebuah menara yang menara yang disebut Al-Husna setinggi 99 meter yang dibangun terpisah dari bangunan masjid dan pilar-pilar tersebut. Al-Husna Tower ini terdiri dari 19 lantai. Lantai 19 berupa gardu pandang dimana para turis bisa melihat kota Semarang, dengan teropong yang disediakan. (Untuk ini, sediakan uang receh Rp 1000,00, logam baru, atau bisa tukar dengan petugas yang jaga. Untuk satu logam uang seribu rupiah, kita bisa menggunakan teropong selama 90 detik.) Lantai 18 berupa rumah makan yang berputar 360 derajat. (Sayangnya waktu aku kesana, rumah makan ini sedang tutup.) Sedangkan lantai 2 dan 3 berupa museum perkembangan Islam di Jawa Tengah dan museum keterlibatan Islam dalam perkembangan negara Indonesia. Di lantai dasar ada studio radio Dakwah Islam.

Masjid Agung Jawa Tengah

pilar-pilar di MAJT

Untuk lebih meyakinkan bahwa MAJT ini dibangun tidak hanya untuk beribadah namun juga untuk tempat kunjungan wisata religi, di kawasan MAJT kita bisa menemukan deretan toko yang menjual pernak-pernik agama Islam, dan warung yang berjualan makanan dan minuman. Tak juga ketinggalan ada wisma penginapan untuk turis yang datang.


Untuk menuju MAJT, dari arah Simpanglima, kita ke arah timur Jalan Ahmad Yani, terus lurus hingga melewati 3 traffic light. Di traffic light keempat, kita belok kiri, kita akan sampai di Jalan Gajah. MAJT terletak di Jalan Gajah Raya, kurang lebih 1 kilometer dari traffic light keempat.

Gereja

1.      Gereja Blenduk
Gereja yang aslinya bernama GBIP Immanuel terletak di kawasan Kota Lama Semarang, yakni Jalan Letjend Suprapto no 32. Gereja Blenduk adalah gereja Kristen tertua di Jawa Tengah, dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1753 dengan bentuk heksagonal. Keistimewaan bangunan gereja ini adalah dibangun menyatu dengan bangunan-bangunan di sekitarnya, tanpa pagar yang memisahkan. 
 
Keistimewaan di dalam gereja adalah orgel Barok yang juga telah berusia ratusan tahun namun tetap bisa digunakan dengan sangat baik di tiap ibadah. 

Gereja Blenduk dari depan
Jika kita berkunjung ke Gereja Blenduk, kita bisa sekaligus berwisata di Kawasan Kota Lama yang masih sangat banyak menyimpan bangunan-bangunan kuno peninggalan pemerintah kolonial Belanda. 

2.      Kapel Susteran Gedangan

Kompleks Gereja Santo Yusuf – yang lebih dikenal sebagai Gereja Gedangan – terletak di Jalan Ronggowarsito; terdiri dari bangunan gereja, gedung pertemuan, hingga Susteran Fransiskus. Kebetulan waktu kesana, yang kumasuki adalah gedung Susteran Fransiskus, dimana Suster Silvana yang menjabat sebagai suster kepala menerimaku dan rombongan dengan ramah. Beliau langsung mengajak kita ke kapel yang meski kecil namun menakjubkan indahnya.

Kapel Susteran dari luar

dalam kapel Susteran
Kompleks Gereja Gedangan ini dibangun di awal abad 19, tepatnya sekitar tahun 1809. Meski telah berdiri lebih dari 200 tahun, bangunannya tetaplah kokoh tak termakan zaman. Bahkan lantainya tetap kinclong, meski berulang kali kawasan ini terserang banjir rob. Pintu-pintunya terbuat dari kayu pilihan yang sangat tebal. Dinding luar yang berwarna merah membuat kompleks ini juga dikenal sebagai Gereja Merah.

Kelenteng

Banyak kelenteng tersebar di kota Semarang, terutama di kawasan Pecinan Kota Lama. Untuk ini aku akan memperkenalkan dua kelenteng yang telah cukup kondang di dunia pariwisata di Semarang

1.      Kelenteng Sam Po Kong

Kelenteng Sam Po Kong – dulu lebih dikenal dengan nama ‘Gedung Batu’ – terletak di Desa Simongan. Cerita berawal dari mampirnya Laksamana Cheng Ho – pemimpin ekspedisi penjelajahan dari China – di awal abad 15. Untuk menandai bahwa dia pernah mampir, Cheng Ho – yang juga dikenal dengan nama Sam Po Tay Djien – membangun sebuah petilasan yakni berupa masjid karena dia adalah seorang Muslim. Namun karena bentuknya yang berarsitektur China, oleh penduduk sekitar sekian ratus tahun kemudian masjid ini berubah fungsi menjadi kelenteng. 

kelentang Sam Po Kong

patung Cheng Ho menghiasi

Sam Po Kong mengalami renovasi beberapa kali. Beberapa tahun terakhir nampaknya pemerintah merenovasinya dengan semangat besar untuk menjadikannya sebagai salah satu tujuan pariwisata religi. Banyak bangunan pendamping dibangun di kawasan ini, tidak hanya kelenteng utama yang digunakan beribadah kaum Kong Hu Chu. Jika dulu pengunjung tidak ditarik retribusi, sekarang kita diharuskan membeli tiket seharga Rp. 3000,00 untuk pengunjung namun tidak boleh memasuki bangunan kelenteng. Bagi yang ingin berziarah dan memasuki kelenteng, dipersilakan membeli tiket seharga Rp. 20.000,00.

2.      Kelenteng Tay Kak Sie

Kelenteng satu ini terletak di Jalan Gang Lombok no 62 Pecinan Semarang. Didirikan pada tahun 1746 (ada yang menyebut tahun 1772), semula hanya untuk memuja Dewi Kwan Sie Im Po Sat, Yang Mulia Dewi Welas Asih, namun kemudian berkembang menjadi kelenteng yang juga memuja Dewa Dewi Tao lainnya. 

replika kapal Cheng Ho yang konon ukurannya mendekati ukuran asli kapal terkecil dalam ekspedisi pelayaran Cheng Ho

kelenteng Tay Kak Sie dengan hiasan ular naga di atap yang berwarna biru

Beberapa tahun lalu oleh pemerintah kota Semarang, di sungai yang terletak di depan Kelenteng, ditempatkan sebuah kapal / perahu yang berukuran lumayan, yang konon merupakan replika kapal Laksamana Cheng Ho yang mendirikan Gedung Batu Sam Po Kong. Pemkot berpikir bahwa keberadaan kapal itu akan menambah nilai positif Kelenteng Tay Kak Sie dari segi pariwisata. Akan tetapi kondisi sungai yang penuh kotoran dan tidak pernah dikeruk/dibersihkan ini, justru keberadaan kapal membuat kondisi sungai semakin kotor dan kumuh hingga nampaknya Pemkot berencana untuk memindahkan (menyingkirkan) replika kapal tersebut. Tahun 2008 lalu, waktu kondisi kapal masih baru dan bersih + bagus, beberapa kali dipilih sebagai lokasi untuk menyelenggarakan beberapa event. Salah satunya – yang kuhadiri waktu itu – adalah puncak acara perayaan Hari Kebangkitan Nasional yang keseratus di Semarang tahun 2008: KETOPRAK PUTRI CINA.

Sejak kurang lebih satu tahun yang lalu, di depan Kelenteng, diletakkan sebuah patung besar Laksamana Cheng Ho, yang mendirikan Gedung Batu Sam Po Kong. Mungkin untuk ‘menemani’ replika kapal yang ada di sungai depan Kelenteng. :)
 
Berbeda dangan Kelenteng Sam Po Kong dimana orang harus membeli tiket untuk masuk, orang tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk masuk ke Kelenteng Tay Kak Sie. :)

Pagoda

Hanya ada satu pagoda di kota Semarang, meski tinggi bangunannya tercatat oleh MURI sebagai pagoda tertinggi di Indonesia pada tanggal 14 Juli 2006 ketika diresmikan oleh Bhikku Pannavaro Mahathera. Ada yang menyebutnya sebagai Vihara Buddhagaya Watu Gong namun juga ada yang menyebutnya dengan Pagoda Avalokitesvara

pagoda Avalokitesvara setinggi 7 tingkat

patung raksasa Buddha yang sedang berbaring

Pagoda Avalokitesvara terletak di kawasan atas Semarang, Pudakpayung, sekitar 17 kilometer ke arah Selatan, berseberangan dengan kompleks Kodam Diponegoro. Selain bangunan pagodanya yang tinggi menjulang, di halaman samping juga dibangun patung Buddha yang sedang berbaring di bawah pohon Boddhi. Sementara di halaman depan pagoda, ada patung Buddha duduk berukuran sedang yang juga diletakkan di bawah pohon Boddhi yang cukup rindang. 

Pagoda yang indah dan bersuasana damai ini boleh dikunjungi oleh siapa saja, baik untuk beribadah maupun untuk berwisata. Untuk masuk, pengunjung tidak perlu membeli tiket masuk.

Pura

Hanya ada sebuah pura untuk beribadah kaum Hindu yang tinggal di kawasan kota Semarang dan sekitarnya yakni Pura Giri Natha yang terletak di Jalan Sumbing. Tidak banyak informasi yang bisa didapat dari pura ini kecuali bahwa pura didirikan pada tahun 1970, dirintis bersama-sama oleh para pemuka agama Hindu yang berada di kota Semarang. 

Pura Giri Natha
Untuk ke Jalan Sumbing, dari pertigaan RS Dr Kariadi Semarang, kita terus naik tanjakan S. Parman (yang juga dikenal sebagai tanjakan Gajahmungkur). Sampai atas tanjakan, kita akan menemukan SPBU, setelah SPBU ada jalan belok kiri, kita belok kiri. Setelah melewati hotel Rinjani, ada jalan belok kanan, nah itulah Jalan Sumbing. Pura Giri Natha terletak kurang lebih 200 meter dari pertigaan itu.

Semarang tidak kalah dengan kota-kota lain untuk tempat wisata religinya bukan? Ayo mampir ke kota Semarang.

GG 16.00 25092013

Kamis, April 28, 2011

Dugderan


"Jadilah orang Cina!" adalah judul sebuah cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen PETUALANGAN CELANA DALAM karangan Nugroho Suksmanto. Latar tempatnya ada di Semarang, terutama di daerah Pendrikan dan Magersari, dimana di perbatasan antara kedua daerah inilah sang pengarang lahir.


Cerpen diawali dengan paragraf berikut ini:

"Aku ingat betul pesan bapakku. Kalau ingin jadi pengusaha, aku harus jadi orang "Cina". Maksudnya tidak hanya bergaul dan memahami perilakunya, tetapi juga mendalami budayanya agar bisa sukses seperti mereka."

warak, icon kota Semarang
gambar diambil dari sini


Dalam kisah ini, Nugroho menceritakan pengalaman seorang anak laki-laki berusia awal belasan tahun sebelum bulan Ramadhan datang. Beberapa minggu sebelum Ramadhan, para penghuni Magersari sibuk melakukan berbagai macam kegiatan untuk mengumpulkan dalam rangka merayakan hari Lebaran, Hari Raya terbesar kaum Muslim. Telah menjadi tradisi dalam merayakan Lebaran dengan mengenakan baju baru, pergi keliling kota, makan dan minum sesuka hati. Untuk melakukan ini semua tentu orang butuh uang yang tidak sedikit.

Kegiatan apa sajakah yang dilakukan orang-orang Magersari untuk mengumpulkan uang? Mereka membuat mainan seperti warak ngendog, celengan (tabungan yang terbuat dari tanah liat dalam berbagai bentuk), membuat kue-kue, menjahit pakaian dan kemudian menjualnya pada event DUGDER. Sementara itu, bagi sebagian anak-anak nakal, mereka akan mencoba berjudi, misal main 'dadu kopyok', 'udar-bangkol, 'cap-sa'.

ZAMAN 'MODERN'

Sekarang, meski DUGDERAN masih diselenggarakan oleh pemerintah kota Semarang, 'grengseng'nya tak lagi seheboh seperti yang digambarkan oleh Nugroho Suksmanto dalam cerpennya ini. Orang-orang Semarang tak lagi melakukan hal yang sama dalam mengumpulkan uang untuk merayakan Lebaran -- misal membuat mainan, menerima jahitan pakaian -- mungkin karena sekarang para pegawai telah menerima THR dari tempat kerja mereka masing-masing. Mereka yang memang dalam kehidupan sehari-hari mencari uang dengan membuat mainan, menerima jahitan pakaian atau membuat kue-kue akan meneruskan 'pekerjaan' mereka ini meski tentu menjelang Lebaran omzet mereka akan meningkat pesat. Namun semua ini tak lagi langsung dihubungkan dengan tradisi DUGDERAN.

Anak-anak 'kota' dari kalangan menengah ke atas pun tak lagi tertarik untuk mengunjungi DUGDERAN ini. Konon kebanyakan para penjual yang 'mremo' berjualan berasal dari kota-kota lain di daerah Jawa Tengah. Tahun 2007 lalu terakhir kali aku menyambangi DUGDERAN yang waktu itu diselenggarakan di daerah POLDER Tawang, ada seorang penjual mainan mengaku datang dari Wonogiri. Setiap tahun dia memang khusus datang ke Semarang untuk ikutan mremo dalam tradisi DUGDERAN. Pada kesempatan lain mungkin dia akan berkunjung ke kota lain untuk berjualan mainan yang sama.

Btw, DUGDERAN datangnya masih lama yak? :)

GL7 14.14 270411

P.S.:
Sebagian merupakan terjemahan dari postinganku di Be a Chinaman!
Untuk mengetahui tentang tradisi 'dugderan' lebih dalam lagi, klik link ini.
Tulisanku tentang Jawa, Cina dan Arab klik link ini.

Rabu, Juni 11, 2008

Jawa, Cina, Arab


 

Satu ide lagi yang dipertanyakan oleh Titaley—tentang pertentangan antara etnis Jawa dan Cina—adalah kemungkinan pertentangan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, daripada hanya sekedar dua etnis yang berbeda. Orang-orang keturunan Cina kebanyakan beragama Buddha/Kong Hu Chu/Kristen/Katolik; sedangkan orang-orang Jawa kebanyakan beragama Islam. Titaley mengemukakan pendapat ini berdasarkan pengalaman keluarga Ibunya yang keturunan Cina namun beragama Islam, yang tinggal di Pulau Serang. Mereka tidak pernah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari warga di sekitarnya. 


Para budayawan di Semarang mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah ini mencakup tiga etnis utama; yakni Jawa, Cina, dan Arab. Seandainya mengamini dikotomi antara pribumi dan non pribumi, maka ada dua etnis yang bisa dikategorikan non pribumi, yaitu orang-orang keturunan Cina dan Arab. Namun tatkala terjadi kerusuhan yang (mungkin) dikarenakan perbedaan etnis, maka hal itu berarti (hanya) antara Jawa dan Cina saja. Salah satu kerusuhan yang ‘sempat kualami’ sendiri yakni yang terjadi pada tahun 1980, dengan alasan yang tidak kuketahui. Dua hal yang kuingat dari kerusuhan tersebut: pertama, my Mom sangat khawatir dengan keselamatan my (late) Dad yang waktu itu berada di kantor, karena my (late) Dad looked like Chinese. Yang kedua: tiba-tiba orang-orang di sekitarku menjadi beringas dengan melemparkan batu-batu ke toko-toko milik orang-orang keturunan Cina. Aku tidak tahu alasannya, kecuali bahwa kata para tetangga mereka itu menumpuk harta sehingga mereka menjadi kaya.


Mengapa demikian? Jawabannya tentu karena mayoritas orang Jawa memeluk agama Islam, sama dengan agama yang dipeluk oleh orang-orang keturunan Arab. Agama Islam menjadi satu ikatan yang sangat kuat mempertautkan orang Jawa dan orang-orang (keturunan) Arab. Bukankah banyak juga orang-orang keturunan Arab yang kaya?


Sehingga cukup masuk akal jika ada orang yang mengatakan bahwa mungkin untuk menghindari kerusuhan serupa untuk terjadi lagi, orang-orang keturunan Cina itu seyogyanya memeluk agama Islam, seperti Laksamana besar Cheng Ho yang konon pernah menginjakkan kakinya di pesisir Semarang, dan membangun sebuah masjid sebagai petilasan, namun di kemudian hari beralih fungsi menjadi kelenteng, yakni bangunan bersejarah Gedung Batu Sam Po Kong.


Namun sangatlah tidak bijaksana jika agama dijadikan sebuah senjata. Bukankah dalam agama Islam, orang-orang (seharusnya) meyakini bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama? 


Seperti apa yang dilakukan oleh Widjajanti Dharmowijono, yang mendapatkan tugas membedah novel PUTRI CINA, kita harus kembali ke beberapa abad lalu, bagaimana pemerintah Kolonial Belanda menanamkan policy divide et impera, sehingga para ‘kaum pendatang’ (baca => keturunan Arab dan Cina) itu saling membenci, untuk mencari akar permasalahan, untuk kemudian bersama kita mencari solusinya, demi membentuk negara dimana para warganya benar-benar saling menghormati dan melindungi.


PT56 23.00 100608

 

Senin, Juni 02, 2008

Ketoprak Putri Cina



Acara puncak untuk merayakan Hari Kebangkitan Nasional yang keseratus tahun di Semarang adalah pertujukan KETOPRAK PUTRI CINA, yang diselenggarakan di tempat terbuka, di atas replika kapal Cheng Ho, yang terletak di seberang Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang. Gang Lombok terletak tidak jauh dari Gang Warung, lokasi penyelenggaraan WAROENG SEMAWIS tiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Gang Lombok dan Gang Warung terletak di kawasan Pecinan kota Semarang.


Acara pertunjukan KETOPRAK PUTRI CINA dibuka oleh dua orang MC, yakni Bayu Krisna dan Citra, sekitar pukul 19.00 setelah walikota Sukawi Sutarip beserta istrinya datang ke lokasi, dibarengi dengan beberapa pejabat lain, seperti Bupati Kudus, HM Tamzil, mantan rektor UNDIP, Eko Budiharjo, dan beberapa budayawan lokal, seperti Djawahir Muhammad, Timur Sinar Suprabana, dll.


Acara dibuka dengan penampilan paduan suara dan tari RAMPAK oleh para siswa SD dan SMP dari TPA (Tempat Pendidikan Anak) Khong Kauw Hwee “Kuncup Melati”, sebuah yayasan yang menawarkan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. 


Acara berikutnya adalah pembacaan puisi oleh Sinto Sukawi. Sinto membacakan puisi yang dia tulis sendiri, tentang kecintaannya pada kota kelahirannya, Semarang. Kemudian sambutan oleh ketua panitia Harjanto Halim, dua sambutan yang lain, yakni Wali Kota Semarang, dan Gubernur Jawa Tengah, yang dibacakan oleh seseorang yang mewakili Ali Mufiz karena pada waktu itu, beliau belum hadir. 


Acara selanjutnya adalah pembacaan puisi. Pertama Beno Siang Pamungkas. Penampilan Beno diikuti dengan penampilan Eko Budiharjo, membawakan puisi yang dia beri judul PESAN NENEK MOYANG.

Tempoe doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti “Tiji Tibeh
Maksudnya, Mukti siji Mukti kabeh, Mati siji Mati kabeh,
La kok sekarang, kendati masih tetap Tiji Tibeh
Tapi maknyanya terpeleset jadi Mukti Siji Mati kabeh

Tempo doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti
Sama rata sama rasa
Maksudnya jelas, bersama-sama merasakan kesejahteraan
La kok sekarang sim sala bim
Disulap jadi sama ratap sama tangis

Tempo doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti
Panca Sila
Yang kita semua sudah hafal mengucapkannya
La kok sekarang, mak jegagik
Dipeleset-tafsirkan oleh orang Jawa:
Siji, Gusti Allah ora ana kancane
Loro, Aja kejem-kejem aja galak-galak
Telu, Mangan ora mangan waton kumpul
Papat, Yen ana rembug mbok dirembug wae
Lima, Padha mlarate padha kerene


Sudah, sudah, sudah, yang sudah ya sudah
Kita bangkit-kembalikan saja Proklamasi
Dalam versi Millennium a la Hamid Jabbar:
“Hal-hal mengenai flu burung, sapi gila,
lumpuh layu, nasi aking, banjir, longsor,
gembpa, kekeringan, tsunami, lumpur panas
dan lain-lain yang tidak ada habis-habisnya
akan diselesaikan dengan cara seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Semarang 24 Mei 2008
Atas nama bangsa Indonesia
Boleh Siapa Saja


Djawahir Muhammad membawakan puisinya yang berjudul DUA BUAH JALAN, PADA HARI KEBANGKITAN. Berhubung begitu panjangnya puisi ini, di bawah ini akan kutuliskan di bawah ini tiga bait, yang terdapat pada bagian keempat. (Djawahir membagi puisinya ini menjadi lima bagian).

Sahabatku, kau sebut ini negeri yang pancasilais, multikultural dan demokratis,
Sedang kamu lihat mata manusia memerah saga,
Menyulutkan api permusuhan dimana-mana:
Bakuhantam polisi dan demonstran
saling pukul pkl, tibum dan satpol keamanan
Antar saudara berbunuhan, berebut remah, sesuap nasi, sepotong roti
Remaja putra putri yang mengidap narkoba, menggadaikan kesuciannya sendiri
Negarawan dan politisi yang terlibat korpusi, mengidap hipokrisi,
Bapak ibu guru mencuri-curi soal ujiannya sendiri?!

Sahabatku, tidakkah kita malu kita menyebut negeri kita
Yang dibangkitkan oleh spirit Kebangkitan Nasional seratus tahun lamanya
Sebagai negara yang berpancasila,
Jika mulut kaum miskin masih juga menjerit, menguak angkasa,
Jika antarsuku masih saling mengasah kapak perangnya, jika antarpemuja tuhan
Menyebut diri paling beriman, menista umat berbeda keyakinan?

O, Sahabat, rasanya aku ingin percaya pada kredo Rendra
Bahwa bencana dan keberuntungan adalah sama saja.


Timur Sinar Suprabana membawakan puisinya yang berjudul “Sajak mengeja kahanan” yang tak kalah panjang dari puisi Djawahir. Di bawah ini aku tuliskan bait yang ketiga:

Negeri macam apa ini, Saudara?
Jelaskan padaku: negeri macam apa ini?
Jika presidennya menangis ketika menonton film ayat-ayat cinta
Tapi saat berkunjung ke lokasi super luberan lumpur lapindo
Ia, presiden kita itu,
Unjal ambegkanpun tidak!
Jelaskan kepadaku: negeri macam apa ini?
Jika ketika banjir, tanah longsor dan bahkan angin ribut bercampur petir menjadi gendruwo di tiap tlatah tumpah darah
Ia, presiden kita itu,
Ribet upyek nyanyi-nyanyi bikin album lagu
Sing ketika dirilis jebul ora payu.
Jelaskan padaku: negeri macam apa ini?
Ketika jumlah pengangguran terus bertambah
Dan jumlah keluarga miskin makin banyak,
Ketika harga-harga tak henti naik berlipat
Dan bahkan tahu serta tempe tak lagi bisa terbeli oleh rakyat
Wakil presiden dari presiden kita itu
Sembari cengengesan memapar angka-angka
Yang kita patut diyakini sebagai indikator
Bahwa keadaan rakyat, keadaan masyarakat dan bangsa ini
Dari waktu ke waktu terus membaik. “ke depan
Akan terus kita tingkatkan. Ya to.. , ya to...?” katanya
Melalui konperensi pers tiap seusai jum’atan.

Aku tak tahu.
Aku yang picek
Ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang buta?
Aku tak tahu
Aku yang terlanjur tak bisa percaya angka-angka
Ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang sedang menebar dusta?
Sebab angka-angka tak pernah membuktikan apa-apa



Menjelang pukul 21.00, tepat ketika Ali Mufiz beserta istri memasuki lokasi, acara utama, pertunjukan KETOPRAK PUTRI CINA dimulai. Untuk mengawalinya, kelompok tari PHOENIX dari kota Semarang membawakan tarian DEWI KUAN IM SERIBU TANGAN.

Secara ringkas, ide utama ketoprak PUTRI CINA (yang mengambil ide utama dari novel PUTRI CINA karangan Sindhunata) adalah tentang keserakahan seorang penguasa kerajaan Pedang Kemulan (Prabu Amurco Sabdo) dan ketidakmampuannya memimpin kerajaannya tersebut. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tak lekang dari masa pemerintahannya, sehingga rakyat pun menderita, dan lama kelamaan menuntut Prabu Amurco Sabdo untuk menurunkan diri. 


Sebelum akhirnya memaksa Prabu Amurco Sabdo, Patih Wrehonegoro telah berhasil mempengaruhi sang Prabu untuk menjadikan kaum keturunan Cina sebagai kambing hitam.


“Mudah, Sinuwun. Sekali lagi mudah! Alihkan saja segala kekerasan yang mau pecah itukepada orang-orang Cina. Setelah itu, Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan lebih mudah.”


Senapati Gurdo Paksi yang beristrikan Giok Tien, seorang keturunan Cina, tentu saja tidak setuju.
“Ya ampun, Sinuwun. Jangan! ... Sinuwun, apa salah mereka, sampai Sinuwun tega mengorbankan mereka? Sementara ini tidakkah Sinuwun sendiri mengharapkan harta mereka untuk makin berkuasa. Sinuwun tidak memberi kesempatan pada rakyat untuk berusaha. Sinuwun malah membiarkan orang-orang Cina untuk makin mengembangkan usaha mereka. Apakah Sinuwun tidak punya hati lagi?”
Karena Senapati Gurdo Paksi tidak menyetujui usul itu, dia pun memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya, dan Prabu Amurco Sabdo memilih Tumenggung Joyo Sumengah, sang tukang suap, untuk mengisi jabatan tersebut.


Rakyat yang telah disulut kemarahannya, dan termakan hasutan Wrehonegoro dan Tumenggung Joyo Sumengah pun melakukan pembasmian ke seluruh orang-orang keturunan Cina, yang akhirnya pun juga memakan korban rakyat yang bukan keturunan Cina. Gurdo Paksi dan istrinya Giok Tien pun meninggal dalam huru hara tersebut.

Cerita memang berakhir tragis (seperti kata Sindhunata sang pengarang, banyak orang Cina yang menjadi korban pada kerusuhan bulan Mei 1998, sehingga dia tidak mengakhiri novelnya dengan happy ending). Namun skenario Ketoprak Putri Cina sendiri memadukan antara dagelan dan kesedihan sehingga penonton pun dibuat tertawa terpingkal-pingkal di paruh awal pertunjukan, sedangkan di paruh akhir larut dibawa kesedihan tragedi yang disuguhkan.


Kehadiran Sukawi Sutarip dan HM Tamzil sebagai calon gubernur Jawa Tengah pun dimanfaatkan oleh para pemain ketoprak untuk dikritik. “Zaman dahulu kala, orang-orang sering takut kalau berjalan melewati pohon-pohon besar, karena mereka percaya bahwa banyak ‘penunggu’ di pohon-pohon besar tersebut. Mereka sering mengucapkan ‘Nuwun sewu...” tatkala melewati pohon-pohon besar. Namun sekarang pohon-pohon kecil juga ada yang menunggu. Lihat saja, di sana banyak tertempel poster-poster para calon gubernur.” 


Di Semarang, mungkin juga di seluruh daerah Jawa Tengah, para calon gubernur memasang poster-poster mereka untuk kampanye di pohon-pohon, sehingga mereka pun dituding sebagai tidak mencintai lingkungan karena justru merusaknya.


Jika penampilan Ketoprak Putri Cina diawali pertunjukan tari DEWI KUAN IM SERIBU TANGAN, di akhir pertunjukan, kelompok tari PHOENIX membawakan tari KUPU KUPU sebagai lambang menyatunya Gurdo Paksi dan Giok Tien di ‘dunia sana’. Sindhunata ‘mengadopsi’ akhir cerita Sampek-Engtay, pasangan kekasih yang tidak bisa menyatukan cintanya di dunia yang fana ini karena perbedaan kelas sosial.


PT56 17.08 010608

Selasa, Mei 27, 2008

Bedah Buku Putri Cina

Bedah buku PUTRI CINA menghadirkan empat pembicara utama:
1. Widjajanti Dharmowijono, Ketua Jurusan Bahasa Belanda Akademi Bahasa “17” membawakan makalah “Quo Vadis, Romo? Pengukuhan Stereotip dalam Novel Putri Cina”
2. Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo Semarang, membawakan makalah “Belajar dari Kisah Kemanusiaan Putri Cina, Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional”
3. John A. Titaley, pengajar UKSW Salatiga, memaparkan makalah “Putri Cina: Jeritan Kemanusiaan si Kuning Manis”
4. Budi Widianarko, seorang Guru Besar di Unika Soegijapranata, memaparkan makalahnya yang berjudul “Sejarah Berulang, Tiadakah Penangkalnya? Melampaui “Teori” Kambing Hitam
Selain keempat orang yang diberi kehormatan untuk melakukan pembedahan atas novel PUTRI CINA, Sindhunata sebagai pengarang tentu saja dihadirkan dalam acara bedah buku ini. Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka bertindak sebagai moderator.
Berikut ini akan kubahas inti utama makalah masing-masing pembicara, yang kuserap dari acara bedah buku tersebut.

Widjajanti Dharmowijono
Dalam riset yang dia lakukan untuk disertasi doktoralnya, Widjajanti membaca lebih dari 250 novel karya pengarang Belanda zaman kolonial, yang mencakup periode 1880-1940, novel-novel yang sedikit banyak memberikan imaji maupun representasi orang-orang Cina yang ada di bumi Nusantara. Widjajanti menemukan ‘pola’ imaji dan representasi yang sama pada dekade-dekade tertentu. Sebelum memasuki abad ke 20, novel-novel tersebut memberikan stereotip orang-orang Cina yang sangat negatif sebagai tuan tanah maupun pengusaha yang kaya raya karena menghisap darah dan tenaga orang-orang ‘pribumi’ (baca => non Cina) sekaligus berkecimpung di bidang yang negatif, misal bandar judi maupun penyedia/distributor candu.
Setelah melampaui tahun 1900, imaji maupun representasi kaum Cina berangsur-angsur membaik. Memasuki tahun 1940, lima tahun menjelang Soekarno memproklamasikan negara yang diberi nama “Indonesia”, gambaran kaum Cina dalam beberapa novel sangatlah baik.
Dari judul makalah yang dia tulis, satu pertanyaan yang dikemukakan oleh Widjajanti kepada Sindhunata, akan dibawa kemana para pembaca PUTRI CINA? Jika novel-novel yang ditulis pada zaman kolonial tersebut (terutama setelah memasuki abad ke-20) telah menyajikan imaji dan representasi kaum Cina yang baik, mengapa Sindhunata memaparkan kembali stereotip yang amat negatif dalam novelnya yang ditulis di abad ke-21?
Ada satu pertanyaan yang mengusikku mendengarkan pemaparan Widjajanti ini (sayangnya waktu yang tidak bersahabat membuatku tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada saat bedah buku tersebut). Yang memberikan imaji serta presentasi negatif dan kemudian mengubahnya menjadi positif adalah para novelis Belanda. Seusai kemerdekaan bangsa Indonesia, bagaimanakah orang-orang Indonesia sendiri memandang orang-orang keturunan Cina ini?
Rezim Orde Baru kembali menegatifkan imaji tersebut?
Jika pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang kekuatan kaum Cina sebelum abad ke-20 itu sebagai suatu ancaman, sehingga mereka memberikan stigma negatif, agar kaum ‘pribumi’ membenci ‘kaum pendatang’ ini, (paling tidak melalui novel-novel yang terbit waktu itu), apa alasan rezim Orde Baru untuk melakukan hal yang sama? Agar para warga negara dari etnis yang berbeda ini saling membunuh, dan melupakan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu?

John A. Titaley
Titaley memulai presentasinya dengan mengemukakan pertanyaannya sendiri tentang mengapa dia dipilih oleh panitia untuk membedah novel PUTRI CINA padahal dia tidak memiliki latar belakang sastra. Dia memperkirakan apakah karena dia terlahir dari seorang perempuan yang berdarah Cina? Padahal orang lebih mengenalnya sebagai seorang keturunan Ambon.
Ibunya merupakan perempuan Cina dari Pulau Seram, dari keluarga Muslim. Meskipun ibunya kemudian berpindah agama tatkala menikahi ayahnya, semua Tante-tante Titaley tetap beragama Islam. Menurut pengamatannya, tidak pernah keluarga ibunya ini mengalami diskriminasi yang buruk, seperti yang dia temukan dalam novel PUTRI CINA. Itulah sebabnya dia mempertanyakan apakah masalah diskriminasi yang buruk, yang menimpa kaum Cina di Pulau Jawa lebih ke permasalahan perbedaan agama, dan bukan karena perbedaan etnis.
Titaley membandingkan masalah Jawa-Cina ini dengan apa yang dia amati di Filipina dan Thailand dimana para kaum keturunan Cina ini sama sekali tidak mengalami diskriminasi karena mayoritas kaum Cina di kedua negara ini memeluk agama mayoritas, yakni di Filipina Katolik, sedangkan di Thailand Buddha. Haruskah orang-orang keturunan Cina di Jawa ini memeluk agama mayoritas—Islam—untuk menghindari perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat luas?
Satu hal yang sangat menarik dari presentasi Titaley adalah pernyataannya mengenai REDEFINING INDONESIA untuk mengikis habis dikotomi pribumi dan non-pribumi. Tatkala para ‘founding fathers’ kita membentuk negara Indonesia, mereka dengan jenius telah memberikan sebuah definisi INDONESIA. Indonesia bukan hanya terdiri dari orang Jawa/Melayu/Sunda/Batak/Cina/Ambon/Papua, dll. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, dimana semua orang itu berkumpul menjadi satu, dan membentuk sebuah negara baru, yakni INDONESIA. Tak satu suku bangsa pun berhak mengklaim diri sebagai pribumi dan memaksa suku bangsa lain untuk menjadi non-pribumi.
Keberadaan lima orang keturunan Cina dalam BPUPKI (Liem Koen Hian dari Banjarmasin, Oey Tiang Tjoei dari Jakarta, Oey Tjong Hauw dan Tan Eng Hoa dari Semarang, serta Yap Tjwan Bing dari Solo) yang ikut memiliki andil dalam menentukan konsep negara Indonesia, menunjukkan bahwa pada dekade tersebut, orang-orang keturunan Cina tidak diperlakukan secara diskriminatif, mereka juga adalah kaum pribumi bumi Nusantara.
Sebagai salah satu solusi Titaley mengajukan usul untuk membangun “nation and character building” melalui sistem pendidikan nasional. Titaley beranggapan bahwa pemberian mata pelajaran pendidikan agama terbatas pada satu agama yang dianut siswa saja merupakan proses pemiskinan wawasan anak Indonesia.

Abdul Djamil
Untuk menghindari kemungkinan terjadi (lagi) kerusuhan maupun kekerasan sosial yang berasal dari perbedaan etnis, Djamil menyitir sepenggal ayat suci Alquran yang berbunyi, “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu ada pitutur bagi orang-orang yang berakal”.
PUTRI CINA, secara sekilas, hanyalah merupakan kisah cinta antara sepasang manusia yang berasal dari dua etnis yang berbeda, yakni Jawa dan Cina. Jikalau seseorang membacanya hanya sambil lalu, apalagi kalau hanya untuk menjadi pengantar tidur saja, seseorang tidak akan bisa mengambil ‘pitutur’ yang disampaikan oleh sang pengarang, Sindhunata. Demikianlah yang dikemukakan oleh Djamil. Hasilnya, akan terlewatlah apa yang sebenarnya bisa kita jadikan sebagai suatu pelajaran agar tak ada lagi di bumi pertiwi ini pembantaian yang hanya dikarenakan perbedaan etnis.
Dengan mengungkapkan secara gamblang latar belakang cinta antara tokoh Setyoko dan Giok Tien, nampak Djamil ingin mengemukakan keyakinannya pada apa yang dikemukakan oleh Slamet Mulyana dalam bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” bahwa beberapa dari wali songo merupakan orang-orang keturunan Cina. Banyak buku hasil tulisan ahli sejarah lain yang tidak mengemukakan hal yang sama. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai usaha untuk menyembunyikan fakta? Untuk apakah orang melakukan hal tersebut? Sisa-sisa policy divide et impera di zaman pemerintah kolonial Belanda yang masih dilakukan di zaman sekarang ini?

Budi Widianarko
Seperti judul makalah yang dia tulis, Widianarko mengemukakan bahwa nampaknya “Teori Kambing Hitam” merupakan tesis utama novel PUTRI CINA. Teori ini secara gamblang dikemukakan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa dalam Pusaran Politik”. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, sampai kerusuhan Mei 1998, orang-orang yang disebut sebagai “berasal dari negara Bangau Putih” dalam PUTRI CINA, selalu menjadi ‘kambing hitam’. Setiap kerusuhan terjadi, selalu jatuh korban dari orang-orang keturunan Cina, sehingga seolah-olah menjadi suatu keniscayaan bahwa hal yang demikian ini akan selalu terjadi setiap beberapa tahun sekali (sehingga bisa dianggap sebagai sebuah ‘siklus’ kehidupan di Indonesia yang memang ‘nampaknya harus selalu terjadi seperti itu’).
Sebegitu burukkah mental orang-orang Indonesia sehingga kerusuhan sosial yang sering memakan korban orang-orang keturunan Cina dianggap sebagai suatu ‘siklus kehidupan’? Sebagai suatu keniscayaan? Karena kecenderungan manusia ‘mengidap’ penyakit xenophobia?
Meskipun begitu, Widianarko ingin mengemukakan opini yang lebih dari hanya sekedar pengambinghitaman. Adakah ‘akar’ yang lebih dalam yang melandasinya?
Dua teori dari Glaeser dan Caselli and Coleman dikemukakan oleh Widianarko sebagai kemungkinan lain, selain teori kambing hitam. Glaeser mengatakan informasi dan persepsi yang salah, yang biasanya dipropagasi oleh para politis untuk mendapatkan dukungan kebijakan, akan dengan mudah menyulut kebencian antar kelompok etnis. Sedangkan Caselli dan Coleman menekankan kompetisi untuk memperoleh sumberdaya yang menjadi penyebab ketegangan rasial.
Untuk itu Widianarko mengemukakan salah satu agenda yang bisa dilakukan untuk secara terus menerus mengurangi risiko kerusuhan yakni dengan perjuangan untuk memastikan tersedianya informasi dan persepsi yang utuh sehingga dapat mementahkan kebencian semuu. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperkaya interaksi antar etnis Cina dengan etnis-etnis lain di negeri ini. Selain itu mendukung dan memastikan adanya sistem pemerintahan yang demokratis—yang menjamin persamaan hak hidup dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia—tanpa peduli apapun latar belakang etnisnya.
LLT 20.03 270508