Cari

Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Selasa, Juli 28, 2015

Indonesia ... My Indonesia :)




Barangkali, satu hal yang membuat masyarakat Indonesia – kebanyakan – tidak bisa memahami situasi di propinsi-propinsi lain di negaranya adalah karena Indonesia adalah negara kepulauan. Propinsi-propinsi tersebut terletak di pulau-pulau yang berbeda, ditambah dengan pembangunan yang tidak (atau belum) merata plus biaya transportasi yang tidak bisa dibilang murah membuat banyak orang ogah-ogahan untuk mengenal propinsi-propinsi lain dengan tradisi masyarakat yang tinggal disana dengan cara berkunjung langsung kesana. Dan dikarenakan “silau” dengan segala hal yang berbau “luar negeri”, orang-orang Indonesia pun akan lebih memilih berwisata ke luar negeri ketimbang ke luar pulau (maksimal hanya ke Bali lah mereka berwisata.)


Kebetulan aku terlahir dari sepasang suami istri berdarah Gorontalo – Sulawesi Utara – yang telah hijrah ke Semarang beberapa hari setelah hari pernikahan mereka. Kebetulan (lagi) mereka berdua nampaknya bukan tipe orang yang suka traveling (no idea why in the very first place my dad moved to Semarang a few decades ago then), dan bukan tipe orang yang “mengagung-agungkan” mudik sehingga tiap lebaran tidak harus pulang kampung. Satu-satunya alasan yang dipakai untuk menjawab pertanyaan orang pas lebaran, “pulang kampung kah lebaran ini?” adalah “biaya untuk pulang kampung mahal sekali.” Seumur-umur kedua orang tuaku mengajak anak-anaknya ke Gorontalo hanya sekali, yakni sebelum adik bungsuku lahir. :)

Beberapa tahun yang lalu waktu aku mengajar di satu instansi pemerintah di Demak, salah satu siswaku memiliki suami yang berasal dari Sulawesi Selatan. Siswaku itu bercerita tiap lebaran sang suami bersikeras untuk selalu mengajak istri dan anak-anaknya untuk pulang kampung ke Sulawesi. Jika tidak, bisa jadi sang suami akan menangis. :) maka, kata siswaku itu, sepanjang tahun mereka akan menabung untuk kemudian mereka ‘belanjakan’ tabungan itu dalam hitungan hari รจ mudik ke kampung halaman sang suami.

Kisah ini cukup membuatku terperangah.

Aku pun menjadi bertanya-tanya, mengapa bagi kedua orang tuaku mudik bukanlah satu hal yang magis sehingga mereka tak merasa perlu harus mudik ke kampung halaman.

Beberapa bulan lalu seorang teman facebook menulis status tentang hal ini: negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuat masyarakat Indonesia enggan mengenal tradisi masyarakat di propinsi-propinsi lain. Mereka cenderung tidak mau tahu. Plus traveling masih dianggap sebagai satu “barang” mewah. Sehingga ya begitu lah, mereka bisa jadi mirip seperti katak dalam tempurung. Bahkan di era internet seperti ini, dimana kita bisa “berkunjung” ke propinsi-propinsi lain secara virtual, untuk lebih mengenal kondisi geografi maupun demografi pulau-pulau lain, masih banyak orang-orang yang “melek” internet hanya untuk bersosial-media saja. Well, tidak ada salahnya sih bersosial-media. Namun tanpa memaksimalkan penggunaan internet – yang merupakan a very huge library – sehingga tetap saja berpikir secara lokal, what’s the point?

Waktu itu aku komen, “Aku hanya pernah mengunjungi Bali, di luar pulau Jawa. Gimana lagi, mau ke pulau-pulau lain biayanya mahal je.” Oleh si pemilik TS, aku dikomentari, “Berarti Mbak Nana tetap kuanggap sebagai sangat kejawaan,” Hihihihi ... (Eh, aku lupa, aku sudah pernah ke Kalimantan dan Sulawesi, pada usia yang masih sangat muda. Waktu itu belum ada direct flight dari Semarang ke Gorontalo hingga kita harus lewat Banjarmasin – Balikpapan – Palu, mana perjalanan butuh 2 hari pula. LOL. Malah asik ya, bisa sekalian jalan-jalan ke Kalimantan.)

Maka, waktu akhirnya aku traveling ke pulau Lombok di akhir Juni 2015 yang lalu, aku anggap itu adalah awal yang bagus bagiku untuk lebih mengenal negara tercinta. :) (Aku berkunjung ke Gorontalo di usia yang masih sangat muda hingga tak ingat apa-apa. LOL.)

Hmmm ... what can I say about Lombok?

Seorang teman yang (awalnya) kukenal lewat facebook, dan kita berkesempatan kopdar waktu aku ke Lombok mengatakan satu hal yang sungguh tak pernah aku ketahui. “Jika terjadi peristiwa kecurian di pulau Bali, pelakunya pasti bukan orang Bali. Kalau bukan pendatang dari pulau Jawa (dia menyebut satu kota yang terletak paling dekat dengan Bali), pasti dari Lombok. Kau tahu? Ada daerah-daerah tertentu di Lombok dimana masyarakatnya menganggap kelihaian mencuri merupakan satu kualitas yang akan dilihat oleh calon mertua untuk mengangkat seseorang menjadi calon menantu.” WAH!

Yang mengatakan hal ini tidak hanya satu orang, Mbak Ely. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Om Helmanus, waktu beliau tahu kisah kamera Ranz yang dicuri orang waktu kita mampir ke satu mini market di Bali. “Pencurinya pasti bukan orang Bali. Kalau bukan orang Jawa, pasti orang Lombok.” Wew.

I love Lombok, especially its lovely beaches. (Meski aku setuju dengan Abangku yang cintanya pada Bali tak tergoyahkan meski banyak tempat-tempat indah lain di Indonesia.) Namun dengan mengenal tradisi di tempat-tempat lain, kita bisa lebih ‘alert’ ketika kita berkunjung ke lokasi tersebut.

Aku dan Ranz tentu tidak kapok berkunjung ke Bali dan Lombok. Tak lama setelah kita balik dari bikepacking kita, kita berdua sama-sama mengaku telah merindukan Bali dan Gili Trawangan. :) Next time kita akan lebih alert tentu saja. 
 
Semoga usaha pemerintah saat ini untuk menjembatani pulau-pulau agar transportasi mudah dan murah segera terwujud. Semoga rakyat Indonesia kian mengenal negaranya dengan cara berkunjung ke pulau-pulau lain, megenal kondisi di tempat lain, hingga mereka tak mudah terbakar emosi ketika terjadi satu huru-hara di satu lokasi dan buru-buru mengatakan akan mengirim laskar jihad, tanpa tahu kondisi geografis maupun kultural lokasi tersebut.

PT56 15.31 20/07/2015

Kamis, Mei 08, 2014

Museum Sangiran nan Menawan

Museum situs purbakala Sangiran secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen, sekitar kurang lebih 20 kilometer dari terminal bus Tirtonadi Solo. 

Dari Tugu Selamat Datang di Sangiran, kita berbelok ke arah kanan. Kita masih harus gowes sekitar 3-4 kilometer. Jalanan beraspal sehingga tidak sulit dilewati. Daerah ini memang sudah lama dikhususkan untuk daerah kunjungan wisata maka bisa dipastikan semua layak dikunjungi, baik turis lokal maupun luar negeri. 

























Rabu, Februari 16, 2011

Kronika Kronis Anakronisme Anarkis

Kronika Kronis Anakronisme Anarkis


Sekedar ingin berbagi tulisan seorang online buddy di lapak sebelah. Betapa telah terjadi kesalahkaprahan tentang pemahaman kata ANARKIS. :) Untuk postingan yang asli, klik saja tautan di atas.

Pak Beye,

Membicarakan Anarkisme tak sesederhana mengolah dan menikmati mi instan, namun begitu janganlah enggan mempelajarinya apabila Anda merasa turut berkepentingan membawa kronika Anarkisme ke tengah masyarakat. Setidak(-tidak)nya, bukalah Wikipedia dan rajin-rajinlah merunut labirinnya hingga kenal para bijak penggagas Anarkisme dan jalan anarki di dalamnya. Ini demi Anda agar tak ditertawai dunia tatkala tanpa angin dan badai menghendaki pembubaran organisasi massa yang bersikap anarkis (Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu 9 Pebruari 2011). Sebab sekali lagi pak, Anarkisme bukanlah ideologi semacam mi instan rasa kepalsuan.

Demikian surat terbuka saya kepada Anda, semoga cukup mampu mengajak Anda kembali mempelajari ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Namun saya menyilakan Anda apabila ingin terus membaca tulisan ini. Oh ya pak, saya menulis ini dengan semangat Anarkisme dan diiringi lagu valentine berirama punk. Semoga suka.

Anarkisme

Pengertian paling sederhana dari Anarkisme adalah sebuah paham anti pemerintahan, namun awam cenderung berhenti di sini, dan atau melanjutkan pemahaman mereka pada salah satu pilihan gerakan anarki yang menyatakan perjuangan dengan jalan kekerasan, perusakan, dan pembunuhan. Sebagaimana yang disampaikan Buenaventura Durruti Dumange (1896 - 1936), seorang tokoh utama dalam gerakan Anarkisme di Spanyol;

"Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan".

Namun begitu, sesungguhnya Durruti hanya mengarahkan jalan kekerasan tersebut kepada negara dan Kapitalisme. Di beberapa bagian saya dapat menyepakati pemikiran Durruti dan memahami pilihan kekerasannya. Bukankah di sisi lain isu anti kekerasan juga dimanfaatkan penguasa untuk membatasi gerak para aktivis agar tak merusak hak milik mereka? Dipakai untuk memukul balik atas nama menjaga stabilitas? Dan memberi jarak aman antara penguasa dan yang dikuasai? Bagi saya kekerasan - ataupun penghujatan - yang ditujukan kepada kelompok yang lebih berkuasa adalah sikap perlawanan atau setidaknya upaya pembelaan, sedang kekerasan dan pelecehan penguasa kepada kaum lemah adalah bentuk sikap fasis. Kekerasan menemu nilai jihadnya ketika diarahkan untuk melawan penjajah Belanda oleh pejuang kemerdekaan, namun menemu nilai jahatnya ketika diarahkan untuk membunuh para Ahmadi oleh kaum Islam garis kekerasan. Kekerasan pejuang kemerdekaan adalah kekerasan yang diijinkan Anarkisme, sedang kuasa kekerasan kaum fundamentalis Islam kepada pihak yang lemah dalam kasus Ahmadiyah ditolak karena amat fasistik. Musuh utama Anarkisme adalah Fasisme, karenanya amatlah lucu - untuk tak menyebut "Dungu", membubarkan organisasi anarki karena perbuatan yang dilakukan oleh kaum fasis.

Anarkisme Durruti sejatinya bukan berarti melulu kesalahan, namun kekerasan kekerasan tetaplah bukan isu eksklusif bagi sebagian besar penganut Anarkisme dan berbagai variannya. Coba simak apa yang ditulis Alexander Berkman (1870 - 1936), seorang pemikir Anarkisme ternama asal Rusia;

"Anarkisme berarti bahwa Anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak Anda, menjadi majikan Anda, merampok Anda, ataupun memaksa Anda. Itu berarti bahwa Anda harus bebas untuk melakukan apa yang Anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang Anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan"

Anakronisme

Tapi isu kebebasan, kebersamaan, dan kesetaraan dalam Anarkisme seperti ini tak mampu mengalahkan pamor kekerasan Anarkisme Durruti. Kata kunci 'Kekerasan' Durruti akhirnya menjadi bumerang dengan tenaga tambahan dari kaum kapitalis untuk menyerang Anarkisme. Sehingga wajah anarki dibuat luka menjelma seolah monster berbahaya bagi peradaban.

Wajah asli Anarkisme yang damai tiba-tiba sirna oleh anakronisme. Anakronisme adalah pemelintiran makna dan Anarkisme telah dipelintir 180 derajad. Ajaran Anarkisme Damai Pierre-Joseph Proudhon (1809 - 1865), seperti tak pernah ada, anjuran Mikhail Bakunin (1814 - 1876) atas penolakan eksploitasi seolah tak terdengar, gagasan akan kebebasan kemanusiaan dari Prince Peter Kropotkin (1842 - 1921) seakan sirna, pemikiran kesetaraan gender dari Emma Goldman (1869 - 1940) terabaikan, juga gerakan perlawanan melalui media oleh Errico Malatesta (1853 - 1932) terkalahkan oleh kisah kekerasan lapangannya, dan seterusnya. Anarkisme bukam sekadar hantu yang bergentayangan di langit Eropa, tapi mahluk luka yang merangsek ke segala penjuru dunia. Anarkisme adalah Zombie yang tak henti disambit dengan anakronisasi para musuh ideologisnya.

Di Indonesia Anarkisme disambut dengan baik karena memiliki banyak kesamaan dengan filosofi dan tradisi Nusantara.  Sebutlah misalnya moto 'Do It Yourself (DIY)' kaum anarki untuk menolak bantuan penguasa sejalan dengan semangat 'Swadesi' juga 'Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (Berdikari)', bentuk perlawanan 'Disobey' atau pembangkangan dapat disetarakan dengan aksi menolak bayar pajak oleh Kaum Samin pimpinan Suro Sentiko, semangat 'Kolektivo' tentu dapat disejajarkan dengan tradisi 'Gotong-royong', paham anarki dalam menjauhi teknologi perusak kemanusiaan yang penolakannya sudah lama dipraktikkan oleh Suku Badui, jalan damai anarki pun menemui padanan dengan 'Ahimsa', dan seterusnya. Maka tak pelak seorang Sukarno amat menyukai dan banyak terinspirasi semangat ini. Bersama tulisannya di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1923, Sukarno menyambut Anarkisme.

Namun bersama kekuasaannya, Orde Baru (Orba) menyambit Anarkisme. Sangat bisa dimaklumi karena Anarkisme adalah sistem sosial di wilayah kiri yang tegas berhadapan dengan tiga unsur utama pembangun Orba; Kapitalisme, Fasisme, dan Feodalisme. Tapi memang bagaimanapun ideologi tak pernah mati, terlebih ideologi yang tercipta dari semangat muda. Bara pembakar semangatnya bisa dari apa saja; musik, fesyen, bahasa, olah raga, seni rupa, dan seterusnya. Iming-iming bidadari surga tak ada dalam kamus bara bakar semangat mereka. Komunitas anarki ada di mana-mana di Nusantara. Saya membayangkan sebuah Anarchonesia.

Sampai waktunya tiba, revolusi ada di depan pintu istana dan mengetuknya dengan cinta.

Rabu, Juni 11, 2008

Jawa, Cina, Arab


 

Satu ide lagi yang dipertanyakan oleh Titaley—tentang pertentangan antara etnis Jawa dan Cina—adalah kemungkinan pertentangan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, daripada hanya sekedar dua etnis yang berbeda. Orang-orang keturunan Cina kebanyakan beragama Buddha/Kong Hu Chu/Kristen/Katolik; sedangkan orang-orang Jawa kebanyakan beragama Islam. Titaley mengemukakan pendapat ini berdasarkan pengalaman keluarga Ibunya yang keturunan Cina namun beragama Islam, yang tinggal di Pulau Serang. Mereka tidak pernah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari warga di sekitarnya. 


Para budayawan di Semarang mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah ini mencakup tiga etnis utama; yakni Jawa, Cina, dan Arab. Seandainya mengamini dikotomi antara pribumi dan non pribumi, maka ada dua etnis yang bisa dikategorikan non pribumi, yaitu orang-orang keturunan Cina dan Arab. Namun tatkala terjadi kerusuhan yang (mungkin) dikarenakan perbedaan etnis, maka hal itu berarti (hanya) antara Jawa dan Cina saja. Salah satu kerusuhan yang ‘sempat kualami’ sendiri yakni yang terjadi pada tahun 1980, dengan alasan yang tidak kuketahui. Dua hal yang kuingat dari kerusuhan tersebut: pertama, my Mom sangat khawatir dengan keselamatan my (late) Dad yang waktu itu berada di kantor, karena my (late) Dad looked like Chinese. Yang kedua: tiba-tiba orang-orang di sekitarku menjadi beringas dengan melemparkan batu-batu ke toko-toko milik orang-orang keturunan Cina. Aku tidak tahu alasannya, kecuali bahwa kata para tetangga mereka itu menumpuk harta sehingga mereka menjadi kaya.


Mengapa demikian? Jawabannya tentu karena mayoritas orang Jawa memeluk agama Islam, sama dengan agama yang dipeluk oleh orang-orang keturunan Arab. Agama Islam menjadi satu ikatan yang sangat kuat mempertautkan orang Jawa dan orang-orang (keturunan) Arab. Bukankah banyak juga orang-orang keturunan Arab yang kaya?


Sehingga cukup masuk akal jika ada orang yang mengatakan bahwa mungkin untuk menghindari kerusuhan serupa untuk terjadi lagi, orang-orang keturunan Cina itu seyogyanya memeluk agama Islam, seperti Laksamana besar Cheng Ho yang konon pernah menginjakkan kakinya di pesisir Semarang, dan membangun sebuah masjid sebagai petilasan, namun di kemudian hari beralih fungsi menjadi kelenteng, yakni bangunan bersejarah Gedung Batu Sam Po Kong.


Namun sangatlah tidak bijaksana jika agama dijadikan sebuah senjata. Bukankah dalam agama Islam, orang-orang (seharusnya) meyakini bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama? 


Seperti apa yang dilakukan oleh Widjajanti Dharmowijono, yang mendapatkan tugas membedah novel PUTRI CINA, kita harus kembali ke beberapa abad lalu, bagaimana pemerintah Kolonial Belanda menanamkan policy divide et impera, sehingga para ‘kaum pendatang’ (baca => keturunan Arab dan Cina) itu saling membenci, untuk mencari akar permasalahan, untuk kemudian bersama kita mencari solusinya, demi membentuk negara dimana para warganya benar-benar saling menghormati dan melindungi.


PT56 23.00 100608

 

What is an Indonesian?

Tatkala mengikuti acara BEDAH BUKU novel PUTRI CINA karangan Sindhunata, aku terpikat pada ide John A. Titaley, salah satu pemakalah, mengenai REDEFINING INDONESIA. Tatkala Soekarno dan M. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa kita yang kemudian diberi nama INDONESIA, seharusnya sejak itulah kita tak lagi mengkotak-kotakkan diri sebagai “Orang Jawa”, “Orang Batak”, “Orang (keturunan) Cina”, “Orang Ambon”, dll. Karena kita semua adalah ‘orang baru’, bangsa baru, yakni bangsa Indonesia.
“What is an Indonesian?” tanya Titaley.
“Find the answer in our Constitution, UUD 1945. Para ‘founding fathers’ yang termasuk dalam lembaga BPUPKI pada waktu itu telah memberikan definisi bangsa Indonesia yang tertulis dalam UUD 1945. Mereka adalah orang-orang Nasionalis sejati, yang berpikir dalam kerangka nasional, bukan kedaerahan, golongan, apalagi berdasarkan agama tertentu. Namun sayangnya, para ‘cerdik cendikia’ setelah era ‘founding fathers” kita, yang kemudian menuliskan beberapa bagian di amandemen, justru malah bersifat ekslusif kedaerahan, ataupun keagamaan, membuat masalah perbedaan menjadi runcing. Akibatnya, kerusuhan akibat SARA pun terjadi dimana-mana.”
“Seandainya kita benar-benar mendirikan bangsa INDONESIA, sesuai seperti yang didefinisikan oleh para pendiri bangsa kita itu, tidaklah mustahil kalau kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh SARA tidak akan terjadi lagi. Juga seperti yang digambarkan di dalam novel PUTRI CINA.”
Saat mendengarkan penjelasan Titaley, aku teringat apa yang ditulis oleh St. Jean de Crevecoeur (1735-1813) dalam eseinya yang berjudul “What is an American?” Berikut ini aku kutipkan sebagian kecil dari tulisan Crevecoeur:

What is the American, this new man? He is either a European, or the descendant of a European, hence that strange mixture of blood, which you will find in no other country. I could point out to you a family whose grandfather was an Englishman, whose wife was Dutch, whose son married a French woman, and whose recent four sons have now four wives of different nations. He is an American, who, leaving behind him all his ancient prejudices and manners, receives new ones from the new mode of life he has embraced, the new government he obeys, and the new rank he holds.
(The Norton Anthology of American Literature, 3rd edition, 1989, page 561)


Buku UUD 1945 yang kumiliki waktu aku sedang sekolah mungkin telah hilang dibawa banjir bandang yang melanda daerah tempat tinggalku pada bulan Januari 1990, sehingga aku tidak bisa mengecek apa yang dikatakan oleh Titaley, untuk mencari tahu definisi bangsa Indonesia menurut para pendiri bangsa kita.
Namun, seandainya ada seseorang yang menulis “What is an Indonesian?”, dengan mengambil ide yang ditulis oleh Crevecoeur, yang mengusung ide ‘nasionalisme’ dan bukan ‘kedaerahan’, that would be great.

“Orang Indonesia mencakup segala etnis dan agama yang ada di bumi Nusantara. Sang ayah mungkin adalah seseorang yang berdarah Manado (yang mungkin saja memiliki darah Belanda di tubuhnya) beragama Kristen, yang menikah dengan seorang perempuan Jawa (Islam Kejawen). Mereka memiliki tujuh orang anak yang menikah dengan orang Batak (Katolik), Sunda (Islam), Papua (Kristen), Bali (Hindu), keturunan Cina yang tinggal di Kalimantan (Buddha/Kong Hu Chu), keturunan Arab (Islam), dan Ambon (Kristen/Katolik).”


Ketika semua perbedaan itu hadir menjadi satu, dalam sebuah keluarga besar yang harmonis, saling menghormati, menyayangi, menerima apa adanya, maka kita tak perlu lagi dihantui akan terjadi kerusuhan atau tindakan sewenang-wenang karena merasa lebih baik, apalagi hanya karena merasa diri merupakan bagian dari mayoritas.
PT56 22.30 100608

Selasa, Juni 03, 2008

What is in a name?

 


Referring to the previous post I entitled “Sepuluh Tahun Reformasi”, frankly speaking when rereading it I felt a bit worried if my blog visitors (particularly those who do not have time to read my thorough posts in some blogs I have) think that I am a racist,. Especially the last part: the moral lesson of Sugiharti Halim’s experience. Just like what this particular character expected to have “Julianne” as her name, perhaps Chinese Indonesian would find less offensive experiences if they had ‘western’ names.


Of course everyone is free to pick any name they like most, not limited to what ethnic group they come from. I do appreciate any name and I usually call my friends/students their nicks they feel most comfortable. For example: this semester I have a female student who introduced herself as ‘Ninik Wijayanti’ at the beginning of our class. However, in the attendance list of the mid-term test several weeks ago, her name was written “Liem Kiong Nio”. I directly recognized it was her name since I found the names of the other Chinese Indonesian students in my class but hers. I didn’t ask her about that though. I was afraid if that would make her feel uncomfortable. Besides, it was not a crucial case anyway. (FYI, it is a small class, only consists of 10 students.)


I myself have a nick that is absolutely more popular than my real name printed in the birth certificate. When I was at school, I really did not like this name taken from Arabic. I thought I wouldn’t mind at all if my name were just NANA. In my childhood, I was embarrassed too if my schoolmates knew my family name PODUNGGE. To Javanese, PODUNGGE is absolutely a weird name. Many of them misspelled and mispronounced it. I did not want to be weird. I wanted to be the same as the others who did not have any weird family name. 


In the reality, many of my classmates when I was at college didn’t know my real name. Neither do most of my workmates now. Until now I still feel uncomfortable when people call me my real name because it gives me an impression that they keep a distance from me. Or they are acting too formally that I don’t like.


However coming back to what was stated in the short movie SUGIHARTI HALIM, what is in a name? Whether my name is NANA PODUNGGE or anything else, I am still me, my identity is still the same: a woman who claims herself as a feminist, secular, a single parent of my only daughter, loves reading, writing, blogging, swimming, listening to music. Nothing changes.


I am of opinion that it is high time for people to appreciate other people’s rights to choose any name they want so that there will be no more offensive and nosy questions experienced by Sugiharti Halim, “What is your real name?” or “What is your Chinese name?”


PT56 22.30 020608

Senin, Juni 02, 2008

Sepuluh Tahun Reformasi

Untuk memperingati sepuluh tahun reformasi, RUMAH SENI Semarang yang berlokasi di Kampung Jambe nomor 280 mengadakan pemutaran sepuluh film pendek yang berhubungan dengan tragedi Mei 1998, pada tanggal 25-27 Mei 2008 yang lalu.
Kesepuluh film pendek itu yakni:
1. Dimana Saya? Karya Anggun Priambodo
2. Sugiharti Halim, Karya Ariani Darmawan
3. Trip to the Wound, Karya Edwin
4. Bertemu Jen, Karya Hafiz
5. Huan Chen Guang, Karya Ifa Isfansyah
6. A Letter of Unprotected Memories, Karya Lucky Kuswandi
7. Kemarin, Karya Otty Widasari
8. Yang Belum Usai, Ucu Agustin
9. Sekolah Kami, Hidup Kami, Karya Steven Pillar Setiabudi
10. Kucing 9808, Catatan Seorang (Mantan) Demonstran, Karya Wisnu Suryapratama

Untuk mengetahui lebih lanjut dari proyek ini, para pembaca blog bisa mengunjungi blog http://9808films.wordpress.com atau hubungi proyek.payung@gmail.com

Dari kesepuluh film pendek tersebut, satu film yang paling menarik perhatianku adalah film yang berjudul SUGIHARTI HALIM. Sebelum film mulai, ada catatan seperti berikut ini:
Keppress nomor 127/U/Kep/12/1966 mewajibkan WNI etnis Cina untuk mengadopsi nama bernada Indonesia. (Contoh: Liem menjadi Halim, Lo/Loe/Liok menjadi Lukito, dll.)
Tatkala menonton film ini, aku ingat seorang rekan kerja yang kukenal di tahun 1995. Dia menikah dengan seorang laki-laki Cina Muslim. Tatkala anak pertamanya lahir, mertuanya memberi nama Cina untuk cucu pertama mereka, meskipun temanku dan suaminya ini telah memberikan sebuah nama. Dia merasa aneh, namun suaminya memintanya untuk menerima nama Cina itu, meskipun di akta kelahiran yang tertulis adalah ‘nama Indonesia’ si anak.
Aku pun yang mendengar cerita tersebut merasa hal itu aneh. Mengapa seseorang harus memiliki dua nama? Mengapa mertua temanku itu perlu memberi ‘nama Cina’ kepada sang cucu? Apakah ‘nama Indonesia’ yang diberikan oleh sang orang tua tidak cukup?
Konon, kata orang tuaku, orang-orang di Gorontalo, tanah kelahiran mereka, biasa memberikan ‘nick’ kepada anak-anak mereka, maupun sanak saudara. Namun ‘nick’ hanyalah sekedar nama panggilan, dan bukan ‘nama resmi’. Ada seorang Om yang kukenal di masa kecilku yang disebut oleh orang tuaku sebagai “Pahaya” alias “Papa Haya” yang artinya “Papa Tinggi” karena orangnya tinggi. Walhasil, aku pun mengira ‘Pahaya’ adalah namanya. Ketika seorang teman SD mengenali ‘Pahaya’ di album foto keluarga, dan bertanya kepadaku, “Eh, Na, orang ini kan suami bulikku? Namanya Abdurrahman kan? Wah, ternyata kita bersaudara ya?” Dengan lugu, aku mengatakan kepadanya, “Bukan. Namanya PAHAYA.” My Mom yang kemudian menjelaskan kepadaku bahwa nama Om-ku itu adalah Abdurrahman Podungge, sedangkan PAHAYA hanyalah nama panggilan belaka. LOL.
Kembali ke ‘nama Cina’. Mungkin aku adalah salah satu korban kolonialisasi yang parah, sehingga beranggapan bahwa nama yang berbau Barat lebih enak terdengar di telinga, daripada nama Cina. Aku lebih menyukai nama ‘Andy Lau’ daripada ‘Liu Te Hua’, atau ‘Aaron Kwok’ daripada ‘Kwok Fu Shing’ alias ‘Kuo Fu Cheng’. Bukankah ‘Andy’ ataupun ‘Aaron’ jauh lebih indah didengar (menurut kupingku, sang korban kolonialisasi) dan lebih mudah diucapkan daripada ‘Te Hua’ maupun ‘Fu Shing’ alias ‘Fu Cheng’? (FYI, I loved Andy Lau in his legendary series ‘Return of the Condor Heroes’, while my youngest sister adored Aaron Kwok.) Lidahku tidak terbiasa mengucapkan nama Cina, nampaknya.
Mungkin aku terlalu menyederhanakan persoalan. Mungkin ‘nama Cina’ bagi orang-orang keturunan Cina memiliki makna yang lebih mendalam bagi mereka, atau, menunjukkan identitas mereka, bahwa mereka diakui.
Kembali ke film SUGIHARTI HALIM. Nampaknya perempuan ini dilahirkan tatkala Keppres nomor 127/U/Kep/12/1966 baru saja dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga orang tuanya—yang mungkin memiliki pengalaman buruk berkenaan dengan ‘nama Cina’—hanya memberi satu nama saja kepada si bayi, nama yang sangat berbau Jawa. (SUGIH berarti kaya, ARTI mungkin dari kata ARTO alias HARTA. Namun karena ARTO memiliki gender laki-laki, maka ARTO pun diganti menjadi ARTI agar berjenis kelamin perempuan. Orang tua Sugiharti mengharapkan agar dia tumbuh menjadi seseorang yang memiliki harta yang banyak.) Sugiharti Halim pun tidak memiliki memiliki nick khusus.
Walhasil, dia pun sering mendapati ekspresi wajah heran dari orang-orang yang baru saja dia temui, dan mendengarnya menyebut namanya, “Sugiharti Halim”. Dia juga bosan ditanyai, “Nama aslimu siapa?” Di salah satu adegan yang bisa jadi lucu, namun juga menyedihkan, adalah tatkala dia sedang mengurus passport.
Petugas: “Nama?”
SH: “Sugiharti Halim.”
Sang petugas pun langsung mendongak, memandang wajah Cinanya dengan seksama, heran, sembari bertanya lagi.
Petugas: “Nama asli?”
SH: “Sugiharti Halim, pak.”
Petugas: “Siapa nama Cinamu?”
SH: “Tidak punya, pak.” Sambil takut-takut.
Sang petugas nampak tidak percaya, sedangkan Sugiharti Halim nampak tak berdaya.
Karena begitu seringnya dia mendapatkan ‘kasus’ yang baginya menyebalkan, berkenaan dengan namanya yang sangat berbau Jawa, Sugiharti Halim pun berangan-angan untuk memiliki nama lain. “Julianne” katanya, sambil menerawang.
Si lawan bicara yang mendengarkan Sugiharti Halim curhat pun berkata,
“Kata Shakespeare, ‘what’s in a name?’ Siapa pun namamu, kamu tetaplah kamu, dengan kepribadianmu yang sekarang, dengan identitas yang melekat padamu. Sugiharti ... Julianne ... apa bedanya?”
Namun mungkin paling tidak, seorang Sugiharti Halim tidak akan sesering itu memandang wajah-wajah heran tatkala orang-orang mendengar namanya.
Pesan moral: kalau tidak ingin membuat anak-anak mereka mengalami masalah seperti Sugiharti Halim dalam film ini, mungkin sebaiknya orang-orang berwajah Oriental memberi nama anak-anak mereka yang berbau ‘Barat’, seperti Andy, Rudy, Audy, atau Stephani, Irene, Catherine.
PT56 20.55 010608

Selasa, Mei 27, 2008

Bedah Buku Putri Cina

Bedah buku PUTRI CINA menghadirkan empat pembicara utama:
1. Widjajanti Dharmowijono, Ketua Jurusan Bahasa Belanda Akademi Bahasa “17” membawakan makalah “Quo Vadis, Romo? Pengukuhan Stereotip dalam Novel Putri Cina”
2. Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo Semarang, membawakan makalah “Belajar dari Kisah Kemanusiaan Putri Cina, Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional”
3. John A. Titaley, pengajar UKSW Salatiga, memaparkan makalah “Putri Cina: Jeritan Kemanusiaan si Kuning Manis”
4. Budi Widianarko, seorang Guru Besar di Unika Soegijapranata, memaparkan makalahnya yang berjudul “Sejarah Berulang, Tiadakah Penangkalnya? Melampaui “Teori” Kambing Hitam
Selain keempat orang yang diberi kehormatan untuk melakukan pembedahan atas novel PUTRI CINA, Sindhunata sebagai pengarang tentu saja dihadirkan dalam acara bedah buku ini. Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka bertindak sebagai moderator.
Berikut ini akan kubahas inti utama makalah masing-masing pembicara, yang kuserap dari acara bedah buku tersebut.

Widjajanti Dharmowijono
Dalam riset yang dia lakukan untuk disertasi doktoralnya, Widjajanti membaca lebih dari 250 novel karya pengarang Belanda zaman kolonial, yang mencakup periode 1880-1940, novel-novel yang sedikit banyak memberikan imaji maupun representasi orang-orang Cina yang ada di bumi Nusantara. Widjajanti menemukan ‘pola’ imaji dan representasi yang sama pada dekade-dekade tertentu. Sebelum memasuki abad ke 20, novel-novel tersebut memberikan stereotip orang-orang Cina yang sangat negatif sebagai tuan tanah maupun pengusaha yang kaya raya karena menghisap darah dan tenaga orang-orang ‘pribumi’ (baca => non Cina) sekaligus berkecimpung di bidang yang negatif, misal bandar judi maupun penyedia/distributor candu.
Setelah melampaui tahun 1900, imaji maupun representasi kaum Cina berangsur-angsur membaik. Memasuki tahun 1940, lima tahun menjelang Soekarno memproklamasikan negara yang diberi nama “Indonesia”, gambaran kaum Cina dalam beberapa novel sangatlah baik.
Dari judul makalah yang dia tulis, satu pertanyaan yang dikemukakan oleh Widjajanti kepada Sindhunata, akan dibawa kemana para pembaca PUTRI CINA? Jika novel-novel yang ditulis pada zaman kolonial tersebut (terutama setelah memasuki abad ke-20) telah menyajikan imaji dan representasi kaum Cina yang baik, mengapa Sindhunata memaparkan kembali stereotip yang amat negatif dalam novelnya yang ditulis di abad ke-21?
Ada satu pertanyaan yang mengusikku mendengarkan pemaparan Widjajanti ini (sayangnya waktu yang tidak bersahabat membuatku tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada saat bedah buku tersebut). Yang memberikan imaji serta presentasi negatif dan kemudian mengubahnya menjadi positif adalah para novelis Belanda. Seusai kemerdekaan bangsa Indonesia, bagaimanakah orang-orang Indonesia sendiri memandang orang-orang keturunan Cina ini?
Rezim Orde Baru kembali menegatifkan imaji tersebut?
Jika pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang kekuatan kaum Cina sebelum abad ke-20 itu sebagai suatu ancaman, sehingga mereka memberikan stigma negatif, agar kaum ‘pribumi’ membenci ‘kaum pendatang’ ini, (paling tidak melalui novel-novel yang terbit waktu itu), apa alasan rezim Orde Baru untuk melakukan hal yang sama? Agar para warga negara dari etnis yang berbeda ini saling membunuh, dan melupakan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu?

John A. Titaley
Titaley memulai presentasinya dengan mengemukakan pertanyaannya sendiri tentang mengapa dia dipilih oleh panitia untuk membedah novel PUTRI CINA padahal dia tidak memiliki latar belakang sastra. Dia memperkirakan apakah karena dia terlahir dari seorang perempuan yang berdarah Cina? Padahal orang lebih mengenalnya sebagai seorang keturunan Ambon.
Ibunya merupakan perempuan Cina dari Pulau Seram, dari keluarga Muslim. Meskipun ibunya kemudian berpindah agama tatkala menikahi ayahnya, semua Tante-tante Titaley tetap beragama Islam. Menurut pengamatannya, tidak pernah keluarga ibunya ini mengalami diskriminasi yang buruk, seperti yang dia temukan dalam novel PUTRI CINA. Itulah sebabnya dia mempertanyakan apakah masalah diskriminasi yang buruk, yang menimpa kaum Cina di Pulau Jawa lebih ke permasalahan perbedaan agama, dan bukan karena perbedaan etnis.
Titaley membandingkan masalah Jawa-Cina ini dengan apa yang dia amati di Filipina dan Thailand dimana para kaum keturunan Cina ini sama sekali tidak mengalami diskriminasi karena mayoritas kaum Cina di kedua negara ini memeluk agama mayoritas, yakni di Filipina Katolik, sedangkan di Thailand Buddha. Haruskah orang-orang keturunan Cina di Jawa ini memeluk agama mayoritas—Islam—untuk menghindari perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat luas?
Satu hal yang sangat menarik dari presentasi Titaley adalah pernyataannya mengenai REDEFINING INDONESIA untuk mengikis habis dikotomi pribumi dan non-pribumi. Tatkala para ‘founding fathers’ kita membentuk negara Indonesia, mereka dengan jenius telah memberikan sebuah definisi INDONESIA. Indonesia bukan hanya terdiri dari orang Jawa/Melayu/Sunda/Batak/Cina/Ambon/Papua, dll. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, dimana semua orang itu berkumpul menjadi satu, dan membentuk sebuah negara baru, yakni INDONESIA. Tak satu suku bangsa pun berhak mengklaim diri sebagai pribumi dan memaksa suku bangsa lain untuk menjadi non-pribumi.
Keberadaan lima orang keturunan Cina dalam BPUPKI (Liem Koen Hian dari Banjarmasin, Oey Tiang Tjoei dari Jakarta, Oey Tjong Hauw dan Tan Eng Hoa dari Semarang, serta Yap Tjwan Bing dari Solo) yang ikut memiliki andil dalam menentukan konsep negara Indonesia, menunjukkan bahwa pada dekade tersebut, orang-orang keturunan Cina tidak diperlakukan secara diskriminatif, mereka juga adalah kaum pribumi bumi Nusantara.
Sebagai salah satu solusi Titaley mengajukan usul untuk membangun “nation and character building” melalui sistem pendidikan nasional. Titaley beranggapan bahwa pemberian mata pelajaran pendidikan agama terbatas pada satu agama yang dianut siswa saja merupakan proses pemiskinan wawasan anak Indonesia.

Abdul Djamil
Untuk menghindari kemungkinan terjadi (lagi) kerusuhan maupun kekerasan sosial yang berasal dari perbedaan etnis, Djamil menyitir sepenggal ayat suci Alquran yang berbunyi, “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu ada pitutur bagi orang-orang yang berakal”.
PUTRI CINA, secara sekilas, hanyalah merupakan kisah cinta antara sepasang manusia yang berasal dari dua etnis yang berbeda, yakni Jawa dan Cina. Jikalau seseorang membacanya hanya sambil lalu, apalagi kalau hanya untuk menjadi pengantar tidur saja, seseorang tidak akan bisa mengambil ‘pitutur’ yang disampaikan oleh sang pengarang, Sindhunata. Demikianlah yang dikemukakan oleh Djamil. Hasilnya, akan terlewatlah apa yang sebenarnya bisa kita jadikan sebagai suatu pelajaran agar tak ada lagi di bumi pertiwi ini pembantaian yang hanya dikarenakan perbedaan etnis.
Dengan mengungkapkan secara gamblang latar belakang cinta antara tokoh Setyoko dan Giok Tien, nampak Djamil ingin mengemukakan keyakinannya pada apa yang dikemukakan oleh Slamet Mulyana dalam bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” bahwa beberapa dari wali songo merupakan orang-orang keturunan Cina. Banyak buku hasil tulisan ahli sejarah lain yang tidak mengemukakan hal yang sama. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai usaha untuk menyembunyikan fakta? Untuk apakah orang melakukan hal tersebut? Sisa-sisa policy divide et impera di zaman pemerintah kolonial Belanda yang masih dilakukan di zaman sekarang ini?

Budi Widianarko
Seperti judul makalah yang dia tulis, Widianarko mengemukakan bahwa nampaknya “Teori Kambing Hitam” merupakan tesis utama novel PUTRI CINA. Teori ini secara gamblang dikemukakan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa dalam Pusaran Politik”. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, sampai kerusuhan Mei 1998, orang-orang yang disebut sebagai “berasal dari negara Bangau Putih” dalam PUTRI CINA, selalu menjadi ‘kambing hitam’. Setiap kerusuhan terjadi, selalu jatuh korban dari orang-orang keturunan Cina, sehingga seolah-olah menjadi suatu keniscayaan bahwa hal yang demikian ini akan selalu terjadi setiap beberapa tahun sekali (sehingga bisa dianggap sebagai sebuah ‘siklus’ kehidupan di Indonesia yang memang ‘nampaknya harus selalu terjadi seperti itu’).
Sebegitu burukkah mental orang-orang Indonesia sehingga kerusuhan sosial yang sering memakan korban orang-orang keturunan Cina dianggap sebagai suatu ‘siklus kehidupan’? Sebagai suatu keniscayaan? Karena kecenderungan manusia ‘mengidap’ penyakit xenophobia?
Meskipun begitu, Widianarko ingin mengemukakan opini yang lebih dari hanya sekedar pengambinghitaman. Adakah ‘akar’ yang lebih dalam yang melandasinya?
Dua teori dari Glaeser dan Caselli and Coleman dikemukakan oleh Widianarko sebagai kemungkinan lain, selain teori kambing hitam. Glaeser mengatakan informasi dan persepsi yang salah, yang biasanya dipropagasi oleh para politis untuk mendapatkan dukungan kebijakan, akan dengan mudah menyulut kebencian antar kelompok etnis. Sedangkan Caselli dan Coleman menekankan kompetisi untuk memperoleh sumberdaya yang menjadi penyebab ketegangan rasial.
Untuk itu Widianarko mengemukakan salah satu agenda yang bisa dilakukan untuk secara terus menerus mengurangi risiko kerusuhan yakni dengan perjuangan untuk memastikan tersedianya informasi dan persepsi yang utuh sehingga dapat mementahkan kebencian semuu. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperkaya interaksi antar etnis Cina dengan etnis-etnis lain di negeri ini. Selain itu mendukung dan memastikan adanya sistem pemerintahan yang demokratis—yang menjamin persamaan hak hidup dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia—tanpa peduli apapun latar belakang etnisnya.
LLT 20.03 270508