Bahwa seorang Andrea Hirata adalah seseorang yang menjunjung tinggi sains merupakan sesuatu yang sangat jelas terlihat dalam keempat novelnya yang tergabung dalam tetralogi LASKAR PELANGI. Alasannya tentu sangat jelas: latar belakang pendidikan yang dia terima di Universitas Sorbonne Prancis, dimana dia bergaul dengan para ilmuwan tingkat tinggi dunia. Dalam tulisan ini, aku akan lebih fokus ke MARYAMAH KARPOV, novel keempat, karena buku inilah buku yang terakhir kubaca. (You can conclude that I am just lazy to browse the other three novels to prove my statement, to prepare this post of mine. LOL.)
Seorang anak pantai desa yang terpencil, yang mendapatkan pendidikan master dalam bidang ekonomi di sebuah universitas paling bergengsi di Eropa, bermimpi untuk membuat perahu dengan tangannya sendiri! Mimpi Ikal ini bisa menjadi nyata karena dorongan dan dukungan kuat dari sang super genius, sahabatnya di kala duduk di bangku SD dan SMP. Lintang—sang Isac Newton-nya Ikal—menjadikan impian itu menjadi nyata dengan perhitungan matematika yang njlimet. Ikal—yang mengaku selalu berada di bawah bayang-bayang kegeniusan Lintang di bangku sekolah—menggabungkannya dengan kerja keras yang tanpa ampun, dengan iming-iming akan menemukan BINTANG KEJORA dalam kehidupan cintanya, A LING.
Pertanyaan selanjutnya adalah: cukupkah ilmu membuat kita mampu memahami segala misteri dalam hidup ini?
Jawabannya ada pada mozaik 60 yang berjudul NAI. Mahar—sahabat Ikal yang lain—berada pada kutub yang berseberangan dengan Lintang yang memandang segala hal dari segi ilmiah. Kebalikannya, Mahar mengimani hal-hal mistis yang tidak akan pernah masuk akal para ilmuwan di Universitas bergengsi manapun di dunia ini. Hal-hal mistis yang bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan akan menceburkan seseorang menjadi musyrik, ahli neraka yang berada paling di keraknya. Dalam NAI, Mahar mementalkan keimanan Ikal kepada segala yang berbau ilmiah, sehinga terpaksa mempercayai hal-hal mistis yang tidak masuk akal. Ada hal-hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dijelaskan hanya dari sisi ilmu. Kebalikannya, ada hal-hal yang dengan mudah terpecahkan jika kita menyandarkan kepercayaan diri kepada ilmu.
Ketika membaca perpaduan dua hal ini—yang ilmiah dan masuk akal, konon ciri khas kehidupan orang-orang modern; berbanding lurus dengan yang mistis, konon ciri khas kehidupan orang-orang zaman dahulu kala—mengingatkanku pada BILANGAN FU, novel ketiga karya Ayu Utami. Ayu Utami menjelaskannya dengan sangat sederhana: POINT OF VIEW, alias cara pandang yang berbeda. Orang-orang modern memandang kemistisan—misal: seseorang bisa memelet orang yang mencuri hatinya hanya dengan menjampi-jampi air ludah yang dikeluarkan oleh orang tersebut; atau bahwa Nyi Roro Kidul tetap hidup dan berkuasa di pantai Selatan dan selalu mempersuami semua raja-raja di Keraton Kasultanan Ngayogyakarta, ataupun Keraton di Kasunanan Mangkunegaran—dengan keukeuh menggunakan kacamata orang modern yang bersandar pada keilmiahan.
Cara mudahnya bagaimana kita bisa menghasilkan ‘pemandangan’ yang berbeda tatkala kita memandang satu permasalahan yang sama tatkala kita memandang dari sisi yang berbeda: lihatlah Tugumuda—the landmark of Semarang—dari arah Wisma Perdamaian, dan dari lantai atas Lawangsewu. Atau contoh lain: dalam salah satu adegan dalam film DEAD POETS SOCIETY, John Keating, sang guru Bahasa dan Sastra Inggris yang baru, meminta siswanya untuk naik meja dan berdiri di atasnya, memandang suasana kelas dari arah yang berbeda. “You’ll find a very different view, that is very interesting.”
Kalau kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa pentingnya memahami segala sesuatu dari kacamata yang berbeda, untuk menuju kehidupan yang lebih damai di antara kita semua, makhluk penghuni planet Bumi ini. Yang selalu menggunakan kacamata kuda yang bernama “patriarki”, pandanglah—misal, permasalahan poligami—dari kacamata feminis. Contoh lain: para religious snob—from any celestial religion—memandang bahwa Tuhan itu mencintai semua umat-Nya tidak pandang bulu, gunakanlah kacamata para kaum sekuler. Para kaum heteroseksual yang merasa diri ‘normal’, cobalah menggunakan kacamata kaum homoseksual. Dalam hal ini, para religious snob pun bisa mengaplikasikannya, sehingga tidak selalu menyerang kaum homoseksual dari satu kacamata saja, dari satu interpretasi ayat kitab Suci saja.
Jika para pengunjung dan pembaca blogku ‘membalikkannya’ dengan mengatakan, “Na, cobalah kamu pahami kasus poligami bukan dari interpretasi Alquran yang feminis, namun dari interpretasi yang patriarkal...” oh well, aku telah hidup menggunakan kacamata TUNGGAL interpretasi Alquran yang patriarki selama 35 tahun takala aku mendapatkan pencerahan dari ideologi feminisme, so, I do understand it very well.
Kembali ke cara pandang yang ilmiah dan mistis (baik dalam MARYAMAH KARPOV maupun BILANGAN FU), well, hidup ini memang sangatlah kaya dan kompleks. Mari kita menikmatinya dengan cara saling toleran satu sama lain, untuk menciptakan kehidupan yang lebih indah dan damai.
LL Tbl 11.34 100109
Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Tampilkan postingan dengan label Mistisisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mistisisme. Tampilkan semua postingan
Sabtu, Januari 10, 2009
Sabtu, September 27, 2008
Jumat Kliwon
Alkisah satu hari Jumat beberapa siswiku ‘agak’ kehilangan kontrol, karena mereka bercanda melulu. Mungkin karena mereka senang karena kita telah menyelesaikan unit 2, sehingga mereka merasa telah mampu melepaskan beban. (Believe me, the material for English is damn difficult for average grade 7 students.) Kebetulan hanya ada seorang siswa laki-laki yang expat di kelas itu. Rupanya dia merasa heran dengan teman-teman sekelasnya yang banyak berhaha hihi, sehingga dia pun bertanya kepadaku,
“Miss … what’s wrong with my classmates? Why are they so hilariously crazy today?”
(“Ada apa dengan teman-teman sekelasku, Miss? Mengapa mereka nampak lepas kontrol?”)
Aku pun yang ‘ketularan’ happy mood menjawab sekenanya, menjawab dengan nada bercanda,
“What Friday is it? Is it Jumat Kliwon?” sambil mengecek kalender. Dan ternyata benar, hari itu adalah hari JUMAT KLIWON. Maka aku pun berseru, “Yes, this is JUMAT KLIWON!!!”
(nampaknya aku sedang terbawa tema modernisme+posmodernisme+mistisisme dalam BILANGAN FU, novel terbaru Ayu Utami.)
Sang siswa expat itu pun bertanya, “What is wrong with Jumat Kliwon Miss?”
“Well, you know in Javanese culture, Javanese must provide offerings for the spirit on the night of Jumat Kliwon. It seems to me that your classmates’ mothers forgot to provide offerings last night so that they turned to be crazy today!” jawabku sekenanya, sambil berusaha memasang mimik serius di wajahku.
(“Dalam budaya Jawa, orang-orang Jawa harus menyediakan sesajen pada malam Jumat Kliwon. Nampaknya orang tua teman-temanmu itu lupa menyediakan sesajen semalam sehingga mereka pun menjadi gila hari ini.”)
“What about me? I live in Java but I am not Javanese. Should my family follow that tradition too? To provide offerings every Jumat Kliwon eve? My mother didn’t provide any offering last night. Will I get crazy too?” he asked innocently.
(“Bagaimana denganku? Aku bukan orang Jawa meskipun aku tinggal di Jawa. Apakah keluargaku pun harus mematuhi tradisi untuk menyediakan sesajen tiap malam Jumat Kliwon? Apakah aku pun akan gila karena semalam Mamaku tidak menyediakan sesajen?” tanya siswaku itu dengan lugu.)
‘Don’t worry. You will not get affected.” Jawabku.
(“Jangan khawatir. Kamu ga akan terpengaruh.”)
“How long will they be crazy like that Miss?” he asked again.
(“Berapa lama mereka akan menjadi gila seperti itu Bu?” tanyanya.)
“Until next Jumat Kliwon,” jawabku.
(“Sampai sok Jumat Kliwon lagi.”
“What if their mother forgets to provide offerings again next Jumat Kliwon? Will their craziness become double?” tanyanya, agak ngeri. LOL.
(“Jika ibu mereka lupa menyediakan sesajen lagi sok Jumat Kliwon, apakah kegilaan mereka akan meningkat?)
“Absolutely!” jawabku, agak menakutinya. LOL.
Mendengar percakapanku dengan sang siswa expat itu, siswi-siswi yang lain pun ikut ‘bersekongkol’ denganku untuk menggodanya, sehingga dia nampak percaya.
Setelah kelas usai, tatkala aku akan meninggalkan kelas, sang siswa expat itu mendekatiku, “Miss … “I am scared!” (“Miss … aku takut!”)
“Why?” tanyaku.
“My friends are crazy …”
Meledaklah tawaku dan siswi-siswi yang lain.
“Don’t worry! We were just joking. We just wanted to tease you!”
Dan dia pun langsung ikut tertawa, dan mimik ketakutan hilang dari wajahnya. LOL.
PT56 21.17 260908
“Miss … what’s wrong with my classmates? Why are they so hilariously crazy today?”
(“Ada apa dengan teman-teman sekelasku, Miss? Mengapa mereka nampak lepas kontrol?”)
Aku pun yang ‘ketularan’ happy mood menjawab sekenanya, menjawab dengan nada bercanda,
“What Friday is it? Is it Jumat Kliwon?” sambil mengecek kalender. Dan ternyata benar, hari itu adalah hari JUMAT KLIWON. Maka aku pun berseru, “Yes, this is JUMAT KLIWON!!!”
(nampaknya aku sedang terbawa tema modernisme+posmodernisme+mistisisme dalam BILANGAN FU, novel terbaru Ayu Utami.)
Sang siswa expat itu pun bertanya, “What is wrong with Jumat Kliwon Miss?”
“Well, you know in Javanese culture, Javanese must provide offerings for the spirit on the night of Jumat Kliwon. It seems to me that your classmates’ mothers forgot to provide offerings last night so that they turned to be crazy today!” jawabku sekenanya, sambil berusaha memasang mimik serius di wajahku.
(“Dalam budaya Jawa, orang-orang Jawa harus menyediakan sesajen pada malam Jumat Kliwon. Nampaknya orang tua teman-temanmu itu lupa menyediakan sesajen semalam sehingga mereka pun menjadi gila hari ini.”)
“What about me? I live in Java but I am not Javanese. Should my family follow that tradition too? To provide offerings every Jumat Kliwon eve? My mother didn’t provide any offering last night. Will I get crazy too?” he asked innocently.
(“Bagaimana denganku? Aku bukan orang Jawa meskipun aku tinggal di Jawa. Apakah keluargaku pun harus mematuhi tradisi untuk menyediakan sesajen tiap malam Jumat Kliwon? Apakah aku pun akan gila karena semalam Mamaku tidak menyediakan sesajen?” tanya siswaku itu dengan lugu.)
‘Don’t worry. You will not get affected.” Jawabku.
(“Jangan khawatir. Kamu ga akan terpengaruh.”)
“How long will they be crazy like that Miss?” he asked again.
(“Berapa lama mereka akan menjadi gila seperti itu Bu?” tanyanya.)
“Until next Jumat Kliwon,” jawabku.
(“Sampai sok Jumat Kliwon lagi.”
“What if their mother forgets to provide offerings again next Jumat Kliwon? Will their craziness become double?” tanyanya, agak ngeri. LOL.
(“Jika ibu mereka lupa menyediakan sesajen lagi sok Jumat Kliwon, apakah kegilaan mereka akan meningkat?)
“Absolutely!” jawabku, agak menakutinya. LOL.
Mendengar percakapanku dengan sang siswa expat itu, siswi-siswi yang lain pun ikut ‘bersekongkol’ denganku untuk menggodanya, sehingga dia nampak percaya.
Setelah kelas usai, tatkala aku akan meninggalkan kelas, sang siswa expat itu mendekatiku, “Miss … “I am scared!” (“Miss … aku takut!”)
“Why?” tanyaku.
“My friends are crazy …”
Meledaklah tawaku dan siswi-siswi yang lain.
“Don’t worry! We were just joking. We just wanted to tease you!”
Dan dia pun langsung ikut tertawa, dan mimik ketakutan hilang dari wajahnya. LOL.
PT56 21.17 260908
Langganan:
Postingan (Atom)