Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Rabu, Mei 21, 2008
Melajang
Selasa 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional, yang kebetulan juga berbarengan dengan Hari Waisak, merupakan hari libur di Indonesia. Pagi hari sekitar pukul 06.00-09.00 aku dan Angie pergi berenang. Sesampai rumah, kita berdua sarapan. Aku mencuci baju setelah itu, dan Angie membantuku membilas dan menjemurnya. Setelah itu, kita berdua menyibukkan diri di dalam kamar, aku mengetik artikel di komputer sedangkan Angie bermain game di hapenya. Sekitar pukul 12.00, aku mengantuk sehingga aku pun leyeh-leyeh di atas tempat tidur sementara Angie gantian mengambil posisi di depan komputer, mengetik tugas dari sekolah.
Sekitar pukul 14.00-16.00 kita menonton I NOW PRONOUNCE YOU CHUCK AND LARRY. We were having fun karena film Adam Sandler yang satu ini lucu sekali.
Selepas Maghrib, ternyata teman adikku masih betah di rumah. Tatkala aku ke belakang untuk membuat cappuccino, aku mendengar suaranya yang sedang ngobrol dengan adikku.
Selepas jam 20.00, ternyata dia pun masih ada, sehingga Angie pun bertanya, “Temannya Tante Lala mau menginap di sini ya Ma?”
“I dunno, honey. Maybe yes.”
Hal ini mengingatkanku pada seorang teman SMA-ku yang pernah menginap di rumah, minggat dari rumah karena dia dilarang pacaran dengan seorang tetangga oleh orang tuanya. Orang tua si pacar pun konon kurang sreg anaknya berpacaran dengan temanku.
“Waktu itu malam-malam, loh Sayang, sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, pacarnya datang, mengetuk-ngetuk jendela kamar paling depan, sambil mengucapkan ‘Assalamu ‘alaikum’. Ama yang terbangun karena mendengarnya, bertanya dari balik jendela, ‘Siapa ya?’ Ternyata pacar temannya Mama itu datang, menjemputnya untuk diajak pulang.”
“Wah, rame juga ya Ma? Terus, akhirnya mereka menikah ga?” tanya Angie, antusias.
“Iya, mereka menikah setahun setelah teman Mama lulus SMA.”
*****
Tadi pagi, sepulang aku dari erobik, Nyokap bercerita kepadaku tentang teman adikku yang ternyata ‘minggat’ dari rumah karena bosan dikejar-kejar melulu untuk segera menikah. She was born in 1974.
“Rumah kita memang jadi penampungan orang-orang minggat,” kataku, bercanda. Selain seorang teman yang kuceritakan di atas, masih ada dua orang temanku lain lagi yang minggat dan menginap di rumah selama beberapa hari, sampai orang tua mereka ‘menemukan’ mereka berada di rumahku.
Mendengar cerita itu, aku pun bercerita kepada Nyokap tentang seorang teman kuliah S2 yang juga sering dikejar-kejar untuk segera menikah. Tahun 2003 dia melanjutkan kuliah ke American Studies UGM karena ogah dikejar-kejar untuk segera menikah. Menjelang hari wisuda (kebetulan kita berdua wisuda pada tanggal yang sama, 25 Januari 2006), dia curhat, “Tiga tahun yang lalu aja aku dikejar-kejar untuk menikah melulu, apalagi sekarang ya? Alasan apa lagi yang bisa kukemukakan kepada orang tuaku?”
Untunglah dalam hal ‘menikah’ ini Nyokap, my only parent who is stil alive, tidak pernah membuat kedua adikku merasa tidak jenak di rumah, hanya gara-gara mereka berdua masih single.
“Mau gimana lagi? Mami lihat kedua adikmu itu enjoy-enjoy aja menjalani hidupnya. Ya biarkan sajalah. Mami ga mau kalau hanya gara-gara urusan menikah, adikmu malah minggat dari rumah karena merasa tidak nyaman Mami kejar-kejar untuk menikah. Yang namanya jodoh itu kan datangnya dari Allah. Ya yang sabar saja.”
*****
Masalah menikah ini memang selalu sensitif. Kebetulan di Indonesia, ‘menikah’ dianggap sebagai suatu keharusan, bahkan suatu ‘kodrat’ yang harus dijalani. Kalau seseorang tidak atau belum menikah, terutama bagi mereka yang usianya dianggap ‘terlambat’ untuk menikah (angka 30 selalu dipatok sebagai ‘ambang’) maka masyarakat pun akan ‘usil’ menanyakan. Untuk perempuan, ‘beban menikah’ ini lebih besar karena ada hal lain yang berhubungan dengan harga diri, yakni pandangan ‘tidak laku’ atau ‘belum laku’. Bagi orang tua, ‘tudingan’ masyarakat memiliki anak perempuan yang ‘tidak laku’ sangatlah menyakitkan sehingga mereka pun memaksa anak-anak gadisnya untuk segera menikah, untuk ‘menyelamatkan’ nama baik mereka. Mereka tidak sadar bahwa pemaksaan ini justru menyebabkan beban di pundak para lajang semakin besar. Para lajang ini justru membutuhkan perlindungan, ayoman, serta pengertian dari orang tua untuk terus menapaki hidup dengan percaya diri, bahwa ‘It is very okay to be single. Tidak ada yang salah untuk tetap melajang.’
PT56 11.43 210508
Senin, Agustus 27, 2007
Menikah?
Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak? (masih merunut ke artikel yang sama ‘Istri yang Ingin Independen’)
Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan masih lebih terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendiri—misal seseorang pun bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan hidup sendiri. Ayat Alquran yang mengatakan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup ini secara berpasangan diinterpretasikan secara ‘apa adanya’ tanpa melihat konteks mengapa ayat tersebut turun semakin mengukuhkan pandangan bahwa melalui perkawinan lah seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga mengartikannya secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua manusia diciptakan memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang yang keburu meninggal sebelum menikah?)
Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang lain, yang bisa dikategorikan ‘menikah dalam usia yang terlambat’, sekitar pertengahan tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun terprovokasi ‘anggapan’ bahwa perkawinan akan membawa mereka ke satu kehidupan yang paripurna. Keduanya mengenakan jilbab, yang biasanya berkonotasi bahwa mereka memahami ajaran agama lebih mendalam dibandingkan mereka yang telanjang kepala. :)
Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah memiliki seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak putus itu, dia tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap berharap bahwa mantan pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia kukenal sebagai seseorang yang pro poligami. Mungkin dia benar-benar mencintai mantan pacarnya yang telah menikahi perempuan lain itu (cinta sejati ataukah cinta buta?) sehingga berkeyakinan bahwa dia tidak keberatan untuk menjadi istri kedua. Sayang, si laki-laki ini benar-benar menghilang dari kehidupannya.
Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir bahwa poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi. FYI, ini bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama Kristen namun menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab. Mungkin juga karena akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan pacar pujaan untuk kembali kepadanya, untuk menjadikannya sebagai istri kedua.
Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya) menikmati kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan pertanyaan-pertanyaan jail orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” ataupun gunjingan orang, “Kasihan deh dia belum laku di usianya yang telah lebih 30 tahun.” Namun mungkin anggapanku ini salah tatkala satu hari aku mendengarnya berbicara kepada seorang rekan kerja, “Eh, kenalin aja dia padaku.” Tatkala rekan kerjaku ini menawarkan seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.
Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia kepada laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan menikah. GUBRAK. Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit yang biasa menghinggapi para lajang perempuan di sekitarku—tidak pede dengan kesendiriannya, dan termakan omongan orang bahwa perkawinan akan membawanya ke gerbang kebahagiaan? Dia bilang setelah shalat istikharah dia serasa mendapatkan petunjuk dari Allah bahwa laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk menjadi pendamping hidupnya.
(FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa ‘petunjuk’ semacam itu merupakan refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah sadar. Dalam alam bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah. Dan keinginan ini muncul dalam mimpinya, ataupun menguasai kesadarannya yang kemudian dia baca sebagai petunjuk dari Allah.)
Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita schizophrenia yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu, Lia merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-nutupi keadaan itu. Namun tatkala dia ingin menceraikan suaminya, keluarga suami mengatakan, “Tolong jangan ceraikan dia saat ini, tunggu sampai dia sembuh.” Setelah Lia berkonsultasi dengan dokter yang pernah merawat suaminya, dia mengetahui bahwa kemungkinan sembuh itu sangatlah kecil.
Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur, (dia pindah kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan yang mapan disana) sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia telah mengubur impiannya bahwa perkawinan akan membawanya ke satu kehidupan yang penuh kebahagiaan.
Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang (dulu) nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin segera menikah. ‘Kacamata” patriarki bahwa perkawinan akan membawa seorang perempuan ke gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin segera dipinang oleh sang pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada seorang laki-laki yang melamarnya—meskipun berusia 9 tahun lebih muda, dan jenjang pendidikan yang berada di bawahnya—Uni segera menerimanya. Dia telah benar-benar gerah dengan pertanyaan usil orang-orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” Dengan menikah, dia berharap bahwa dia akan segera mengakhiri ‘penderitaannya’, tudingan sebagai seseorang yang tidak diinginkan.
Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? “Aku tertipu. Kata orang menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak banget. Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan.” Di saat lain dia mengatakan, “Kata siapa pernikahan hanya membawa kebahagiaan?” beberapa waktu lalu dia mengatakan, “Masih mending tidak menikah, paling kita cuma merasa terganggu saja tatkala orang dengan usilnya menanyakan kapan kita menikah. It was not a big deal.
Setelah menikah? Uh ... banyak sekali permasalahan yang timbul.” Hal ini lebih diperburuk lagi dengan ucapan misoginis adiknya yang laki-laki, “Udahlah mbak, diterima saja. Udah untung ada yang mau menikahimu!” ucapan yang bisa dikategorikan KDRT, kekerasan secara psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seseorang.
Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus menyuruhnya segera menikah, ibunya mengatakan, “Masak dulu Ibu menyuruhmu begitu?” dia tidak mau mengakuinya.
Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih menggunakan ‘kacamata’ publik yang patriarki bahwa ‘menikah itu harus dan perlu’. Tatkala dia mulai mencoba menggunakan ‘kacamata’nya sendiri untuk melihat dan memahami diri sendiri, dia pun menyesal. Namun tatkala aku bercerita tentang kasus Lia kepadanya, Uni mengatakan, “Aku masih lebih beruntung.”
Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih sangat lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh lebih tinggi dari Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap mengidolakan perkawinan.
PT56 17.20 260807