Semula kupikir Taman
Wisata Candi Borobudur ditutup untuk umum pada hari perayaan Trisuci Waisak demi
memberi kesempatan kaum Buddhis untuk merayakan hari perayaan ketika Siddharta
Gautama dilahirkan, mencapai ‘enlightenment’ dan hari wafatya. Maka
satu-satunya cara untuk bisa mengikuti upacara perayaan adalah dengan cara
menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan yang membawa air dan api suci
dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.
But in fact I was
wrong. Maka tidak heran jika Taman Wisata Candi Borobudur sangat penuh,
dipadati pengunjung pada hari Sabtu 25 Mei 2013 itu. Menurut perkiraan mungkin
lebih dari 10000 orang memadati pelataran taman wisata maupun monumen candi.
Kulihat banyak di
tengah kerumunan orang yang menunggu datangnya arak-arakan dari Candi Mendut
yang membawa kamera, entah mereka fotografer profesional atau fotografer
hobbyist atau jurnalis. (Di zaman dimana kamera DSLR masih sangat mahal, jumlah
para ‘fotografer’ ini tidak sebanyak sekarang sehingga kehadiran mereka tidak
begitu terasa mengganggu jalannya arak-arakan.) Saat mobil yang membawa air
suci lewat, seorang Bhikku menyipratkan air ke kerumunan pengunjung. Konon
mereka yang terkena cipratan air ini akan mendapatkan berkah.
Aku dan Ranz tidak
kesulitan menyusup ke dalam arak-arakan, meski kita tidak mengenakan ‘badge’
yang bertuliskan ‘peserta’ atau ‘fotografer’ atau ‘jurnalis’ atau apa pun juga.
Dalam hati aku sempat geli – namun juga merasa ridiculous – ketika berjalan
mengiringi arak-arakan, di pinggir jalan di antara kerumunan orang kulihat dua
tiga orang yang sedang merekam jalannya arak-arakan, mengarahkan kameranya ke
arahku dan Ranz. :(
Menjelang sampai ke
pintu masuk Manohara, kulihat banyak orang yang tadi ikut berjalan di
tengah-tengah arak-arakan di depanku jalan berbalik arah. Selintas kudengar
selentingan orang yang mengatakan, “Tidak diperbolehkan masuk bagi mereka yang
tidak memiliki tanda khusus – misal peserta atau apa pun juga. Jika ingin tetap
masuk, harus beli tiket Rp. 30.000,00 per orang.” Aku juga mendengar seseorang
mengatakan, “Tentulah mereka tidak akan membiarkan kita masuk gratis.”
Ranz mulai khawatir
apakah kita bisa masuk arena taman wisata Candi. Namun jika kita diperbolehkan
masuk dengan membeli tiket, aku sudah berkeputusan untuk membelinya. Dan ...
ternyata kita berdua mulus melewati pintu masuk Manohara! Tidak ada kesulitan
berarti. It was our luck then! :) Setelah melewati pintu masuk, kita harus melewati sebuah ambang
pintu dimana kita dan barang bawaan kita dipindai apakah kita membawa barang
terlarang. Sebelum melewati, aku dengar orang-orang – sebelum melewati ambang
pintu pemindai – yang ada di depanku berbicara, “Siapkan tanda pengenalmu!”
Ranz kembali deg-degan. Tapi ... mungkin memang it was our luck sehingga kita
pun melewatinya dengan mudah.
Setelah istirahat
secukupnya, aku dan Ranz mencari toilet. Namun kita berdua tidak jadi melakukan
‘hajat’ yang kita butuhkan karena antrian di toilet sangat menggila, kata Ranz.
Akhirnya kita langsung berjalan ke arah monumen.
Setelah melalui
detik-detik ‘deg-degan’ LOL kita pun memilih tempat untuk beristirahat,
duduk-duduk. I was so exhausted! Banyak juga orang yang beristirahat di
rerumputan sekitar kita duduk. Sementara itu, rombongan arak-arakan yang ada di
belakang kita ternyata masih lah panjang. Sekitar setengah jam kemudian, kita
mulai melanjutkan perjalanan menuju monumen Candi. Namun karena pada dasarnya
aku masih lelah dan mengantuk, melihat banyak orang lain yang membaringkan
tubuh, leyeh-leyeh, aku kembali mengajak Ranz istirahat lagi, padahal dari
lokasi kita istirhat yang kedua kali ini monumen Candi Borobudur sudah
terlihat.
Melihat kerumunan
orang di jalan setapak menuju monumen candi, kita berdua pun takjub. Wow! So
crowded! so full of people! Saat itu aku baru ngeh, bahwa ternyata Taman Wisata
Candi Borobudur tidak tertutup untuk umum pada hari Waisak! Karena upacara perayaan
belum dimulai, para bhikku/bhiksu kulihat berbaur dengan pengunjung. Mungkin
pada saat ini lah ‘insiden’ yang tercetak di satu foto yang beredar di media
sosial terekam: ada seorang bhikku yang melakukan ibadah di tengah monumen
candi difoto oleh para fotografer yang kurang menghargai pelaksanaan ibadah
tersebut.
Ranz hanya bersedia
kuajak naik ke undakan yang pertama – Kamadhatu – mungkin karena begitu banyak
pengunjung yang menginjakkan kakinya di monumen. Tumben Ranz tidak penasaran
untuk naik ke stupa yang paling atas untuk mendapatkan foto pemandangan yang
bagus. Setelah usai mengitari undakan Kamadhatu, Ranz langsung mengajak kita
turun, menuju ke panggung utama dimana perayaan Waisak akan diselenggarakan.
Sesampai disana, hamparan karpet yang ada di bawah panggung telah dipenuhi para
pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya upacara seremonial Waisak.
Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi yang strategis untuk
mendapatkan the best shots. But tentu saja siapa yang cepat dia yang
mendapatkan posisi strategis tersebut.
Sementara itu dari pembawa acara aku mendengar info bahwa terjadi desak-desakan orang yang rebutan untuk membeli lampion. Berulang kali pembawa acara mengingatkan agar para pengunjung berbaris rapi karena semua akan kebagian; panitia telah menyediakan lebih dari seribu lampion. Namun nampaknya para pengunjung itu tetap sulit diperingatkan karena sang pembawa acara perlu mengingatkan berulang kali. FYI, bagi mereka yang membeli lampion, saat menerbangkannya nanti mereka bisa ‘make a wish’ yang dipercaya akan terkabul.
Sementara itu dari pembawa acara aku mendengar info bahwa terjadi desak-desakan orang yang rebutan untuk membeli lampion. Berulang kali pembawa acara mengingatkan agar para pengunjung berbaris rapi karena semua akan kebagian; panitia telah menyediakan lebih dari seribu lampion. Namun nampaknya para pengunjung itu tetap sulit diperingatkan karena sang pembawa acara perlu mengingatkan berulang kali. FYI, bagi mereka yang membeli lampion, saat menerbangkannya nanti mereka bisa ‘make a wish’ yang dipercaya akan terkabul.
panggung utama, difoto dari sisi kiri |
para bhiksu/bhikku dan beberapa kaum muda Buddhis di atas panggung |
Satu kali sang
pembawa acara mengumumkan seorang ibu kehilangan anaknya yang berusia 7 tahun.
Tak lama kemudian, seseorang mengantar si anak hilang itu naik ke panggung
untuk berjalan menuju tenda panitia. Para pengunjung serta merta bertepuk
tangan, berseru-seru gembira.
Jelang jam 18.00
para bhikku, bhiksu, maupun bhikkuni datang menuju panggung diikuti para pemuka
agama Buddha dan beberapa undangan khusus. Gerimis mulai menyapa. Banyak
pengunjung mulai mengembangkan payung yang mereka bawa. Para bhikku, bhiksu
maupun bhikkuni duduk dengan tenang di panggung utama. Menurut jadual, upacara
perayaan seremonial Waisak akan dimulai jam 19.00, setelah undangan istimewa –
menteri agama Suryadharma Ali dan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo – datang.
Gerimis datang dan
pergi dan datang lagi. Setelah jam 19.00 berlalu, pengunjung mulai resah ketika
belum terlihat tanda-tanda bahwa menag dan gubernur JaTeng datang. Mereka
berharap upacara segera dimulai tanda menunggu kehadiran orang-orang ‘istimewa’
tersebut. Tapi tentu hal itu tidak bisa dilakukan.
Gerimis mulai
menderas menjadi hujan. Pengunjung tambah resah. Kulihat beberapa yang duduk di
sekitarku meninggalkan lokasi. Karpet yang terletak di bawah panggung itu
terasa lebih longgar. Baru jelang pukul 20.00 rombongan menag dan gubernur
datang, yang disambut dengan teriakan kecewa ‘huuuuuuuuuuuu’ dari para
pengunjung. Para panitia dan bhikku/bhiksu/bhiksuni panggung – juga para kaum
Buddhis yang duduk di atas panggung – nampak tetap tenang.
Tidak menunggu lama,
pembawa acara segera membuka upacara. Pengunjung duduk tenang mendengarkan
sambutan dari ketua panitia dan ‘khotbah’ tentang Waisak. Namun pengunjung
mengganggu sambutan menag dan gubernur dengan teriakan-teriakan kekecewaan.
Usai sambutan dan
khotbah, acara dilanjutkan dengan pradaksina, yakni ritual para
bhikku/bhiksu/bhikkuni mengelilingi monumen Candi Borobudur tiga kali, setelah
para undangan istimewa dipersilakan meninggalkan panggung upacara. Entah siapa
yang memulai, tiba-tiba orang-orang yang semula duduk rapi mulai berdiri,
bahkan ada dorongan dari belakang untuk maju ke atas panggung. Suasana di
sekitarku mulai kacau balau. Sementara itu hujan menderas.
Merasa pusing
berdiri di tengah kerumunan orang di sekitarku – I could not see anything but
people’s backs and umbrellas – aku mengajak Ranz meninggalkan panggung,
menjauh, mencari lokasi yang lumayan jauh dari panggung.
Karena gelap – atau karena
mataku yang belor – aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di atas
panggung/belakang panggung. (Monumen Candi Borobudur terletak di belakang
panggung utama.) Namun berulang kali aku mendengar peringatan seorang bhikkuni
yang memimpin pradaksina memperingatkan pengunjung untuk tidak memenuhi area
sekitar monumen yang sedang dipakai untuk melakukan ritual pradaksina.
Peringatan bhikkuni berikutnya membuatku terpana, malu, terluka: “Bagi para
pengunjung yang ingin mengikuti ritual pradaksina, silakan mengikuti dengan
tertib dan tenang. Jangan sibuk foto-foto sendiri.” DUH!
Hujan yang tak
kunjng reda hingga akhir pelaksanaan pradaksina membuat panitia mengumumkan
pembatalan pelepasan lampion. Ribuan pengunjung yang keukeuh memilih tetap
tinggal di lokasi meski kehujanan karena menunggu detik-detik pelepasan lampion
yang konon bakal menghasilkan pemandangan yang menakjubkan pun berteriak-teriak
meluapkan kekesalannya. :( :( :(
Mungkin aku sendiri
termasuk orang yang menganggap ritual keagamaan agama – yang termasuk minoritas
di Indonesia – ini sebagai tontonan karena aku ikut berada di lokasi? Karena
aku ikut foto-foto dengan latar belakang panggung upacara perayaan. Karena aku
ikut menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan demi ikut menyaksikan
(menonton?) suatu ritual keagamaan yang karena minoritas maka bisa dianggap
eksotis? :( :( :(
Tulisan ini tidak
untuk ikut mengeruhkan suasana dimana banyak orang berpolemik apakah ini salah
panitia atau salah pengunjung yang tidak memiliki rasa tenggang rasa pada
pemeluk agama lain. Tulisan ini hanya untuk memaparkan apa yang terjadi pada
hari Sabtu 25 Mei 2013 dari kacamataku sebagai salah satu turis nusantara yang
hadir.
GL7 12.32 280513
Terima kasih sharingnya di Milis Perempuan, Nana. Wish I were there too, tapi lebih baik lagi sepi ya :)
BalasHapussama-sama Mbak Nani ...
Hapusiya, mungkin lebih baik sepi, kita menghormati upacara kaum Buddhis itu tanpa merecokinya ...
Quality articles or reviews is the secret to be a focus for the people to pay a visit
BalasHapusthe web site, that's what this web page is providing.
Feel free to visit my blog post - Air Max