Cari

Selasa, Mei 28, 2013

PERAYAAN TRISUCI WAISAK 2557 TAHUN 2013


jepretan Ranz dari dalam Taman Wisata Candi Borobudur
Semula kupikir Taman Wisata Candi Borobudur ditutup untuk umum pada hari perayaan Trisuci Waisak demi memberi kesempatan kaum Buddhis untuk merayakan hari perayaan ketika Siddharta Gautama dilahirkan, mencapai ‘enlightenment’ dan hari wafatya. Maka satu-satunya cara untuk bisa mengikuti upacara perayaan adalah dengan cara menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan yang membawa air dan api suci dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.

But in fact I was wrong. Maka tidak heran jika Taman Wisata Candi Borobudur sangat penuh, dipadati pengunjung pada hari Sabtu 25 Mei 2013 itu. Menurut perkiraan mungkin lebih dari 10000 orang memadati pelataran taman wisata maupun monumen candi.
beberapa orang dengan kamera di tangan


seseorang dengan tab/note di tangan
Kulihat banyak di tengah kerumunan orang yang menunggu datangnya arak-arakan dari Candi Mendut yang membawa kamera, entah mereka fotografer profesional atau fotografer hobbyist atau jurnalis. (Di zaman dimana kamera DSLR masih sangat mahal, jumlah para ‘fotografer’ ini tidak sebanyak sekarang sehingga kehadiran mereka tidak begitu terasa mengganggu jalannya arak-arakan.) Saat mobil yang membawa air suci lewat, seorang Bhikku menyipratkan air ke kerumunan pengunjung. Konon mereka yang terkena cipratan air ini akan mendapatkan berkah.


Aku dan Ranz tidak kesulitan menyusup ke dalam arak-arakan, meski kita tidak mengenakan ‘badge’ yang bertuliskan ‘peserta’ atau ‘fotografer’ atau ‘jurnalis’ atau apa pun juga. Dalam hati aku sempat geli – namun juga merasa ridiculous – ketika berjalan mengiringi arak-arakan, di pinggir jalan di antara kerumunan orang kulihat dua tiga orang yang sedang merekam jalannya arak-arakan, mengarahkan kameranya ke arahku dan Ranz. :(

Menjelang sampai ke pintu masuk Manohara, kulihat banyak orang yang tadi ikut berjalan di tengah-tengah arak-arakan di depanku jalan berbalik arah. Selintas kudengar selentingan orang yang mengatakan, “Tidak diperbolehkan masuk bagi mereka yang tidak memiliki tanda khusus – misal peserta atau apa pun juga. Jika ingin tetap masuk, harus beli tiket Rp. 30.000,00 per orang.” Aku juga mendengar seseorang mengatakan, “Tentulah mereka tidak akan membiarkan kita masuk gratis.” 



Ranz mulai khawatir apakah kita bisa masuk arena taman wisata Candi. Namun jika kita diperbolehkan masuk dengan membeli tiket, aku sudah berkeputusan untuk membelinya. Dan ... ternyata kita berdua mulus melewati pintu masuk Manohara! Tidak ada kesulitan berarti. It was our luck then! :) Setelah melewati pintu masuk, kita harus melewati sebuah ambang pintu dimana kita dan barang bawaan kita dipindai apakah kita membawa barang terlarang. Sebelum melewati, aku dengar orang-orang – sebelum melewati ambang pintu pemindai – yang ada di depanku berbicara, “Siapkan tanda pengenalmu!” Ranz kembali deg-degan. Tapi ... mungkin memang it was our luck sehingga kita pun melewatinya dengan mudah.

Setelah melalui detik-detik ‘deg-degan’ LOL kita pun memilih tempat untuk beristirahat, duduk-duduk. I was so exhausted! Banyak juga orang yang beristirahat di rerumputan sekitar kita duduk. Sementara itu, rombongan arak-arakan yang ada di belakang kita ternyata masih lah panjang. Sekitar setengah jam kemudian, kita mulai melanjutkan perjalanan menuju monumen Candi. Namun karena pada dasarnya aku masih lelah dan mengantuk, melihat banyak orang lain yang membaringkan tubuh, leyeh-leyeh, aku kembali mengajak Ranz istirahat lagi, padahal dari lokasi kita istirhat yang kedua kali ini monumen Candi Borobudur sudah terlihat. 

Setelah istirahat secukupnya, aku dan Ranz mencari toilet. Namun kita berdua tidak jadi melakukan ‘hajat’ yang kita butuhkan karena antrian di toilet sangat menggila, kata Ranz. Akhirnya kita langsung berjalan ke arah monumen.
 
lautan pengunjung 1

lautan pengunjung 2
Melihat kerumunan orang di jalan setapak menuju monumen candi, kita berdua pun takjub. Wow! So crowded! so full of people! Saat itu aku baru ngeh, bahwa ternyata Taman Wisata Candi Borobudur tidak tertutup untuk umum pada hari Waisak! Karena upacara perayaan belum dimulai, para bhikku/bhiksu kulihat berbaur dengan pengunjung. Mungkin pada saat ini lah ‘insiden’ yang tercetak di satu foto yang beredar di media sosial terekam: ada seorang bhikku yang melakukan ibadah di tengah monumen candi difoto oleh para fotografer yang kurang menghargai pelaksanaan ibadah tersebut.
foto yang ramai diedarkan dan diperbincangkan di sosial media
Ranz hanya bersedia kuajak naik ke undakan yang pertama – Kamadhatu – mungkin karena begitu banyak pengunjung yang menginjakkan kakinya di monumen. Tumben Ranz tidak penasaran untuk naik ke stupa yang paling atas untuk mendapatkan foto pemandangan yang bagus. Setelah usai mengitari undakan Kamadhatu, Ranz langsung mengajak kita turun, menuju ke panggung utama dimana perayaan Waisak akan diselenggarakan. Sesampai disana, hamparan karpet yang ada di bawah panggung telah dipenuhi para pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya upacara seremonial Waisak. Orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi yang strategis untuk mendapatkan the best shots. But tentu saja siapa yang cepat dia yang mendapatkan posisi strategis tersebut.
 Sementara itu dari pembawa acara aku mendengar info bahwa terjadi desak-desakan orang yang rebutan untuk membeli lampion. Berulang kali pembawa acara mengingatkan agar para pengunjung berbaris rapi karena semua akan kebagian; panitia telah menyediakan lebih dari seribu lampion. Namun nampaknya para pengunjung itu tetap sulit diperingatkan karena sang pembawa acara perlu mengingatkan berulang kali. FYI, bagi mereka yang membeli lampion, saat menerbangkannya nanti mereka bisa ‘make a wish’ yang dipercaya akan terkabul.
 
panggung utama, difoto dari sisi kiri


para bhiksu/bhikku dan beberapa kaum muda Buddhis di atas panggung
Satu kali sang pembawa acara mengumumkan seorang ibu kehilangan anaknya yang berusia 7 tahun. Tak lama kemudian, seseorang mengantar si anak hilang itu naik ke panggung untuk berjalan menuju tenda panitia. Para pengunjung serta merta bertepuk tangan, berseru-seru gembira.
Jelang jam 18.00 para bhikku, bhiksu, maupun bhikkuni datang menuju panggung diikuti para pemuka agama Buddha dan beberapa undangan khusus. Gerimis mulai menyapa. Banyak pengunjung mulai mengembangkan payung yang mereka bawa. Para bhikku, bhiksu maupun bhikkuni duduk dengan tenang di panggung utama. Menurut jadual, upacara perayaan seremonial Waisak akan dimulai jam 19.00, setelah undangan istimewa – menteri agama Suryadharma Ali dan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo – datang.

Gerimis datang dan pergi dan datang lagi. Setelah jam 19.00 berlalu, pengunjung mulai resah ketika belum terlihat tanda-tanda bahwa menag dan gubernur JaTeng datang. Mereka berharap upacara segera dimulai tanda menunggu kehadiran orang-orang ‘istimewa’ tersebut. Tapi tentu hal itu tidak bisa dilakukan.
 
foto ini juga kumbil dari sosial media
Gerimis mulai menderas menjadi hujan. Pengunjung tambah resah. Kulihat beberapa yang duduk di sekitarku meninggalkan lokasi. Karpet yang terletak di bawah panggung itu terasa lebih longgar. Baru jelang pukul 20.00 rombongan menag dan gubernur datang, yang disambut dengan teriakan kecewa ‘huuuuuuuuuuuu’ dari para pengunjung. Para panitia dan bhikku/bhiksu/bhiksuni panggung – juga para kaum Buddhis yang duduk di atas panggung – nampak tetap tenang.

Tidak menunggu lama, pembawa acara segera membuka upacara. Pengunjung duduk tenang mendengarkan sambutan dari ketua panitia dan ‘khotbah’ tentang Waisak. Namun pengunjung mengganggu sambutan menag dan gubernur dengan teriakan-teriakan kekecewaan.

Usai sambutan dan khotbah, acara dilanjutkan dengan pradaksina, yakni ritual para bhikku/bhiksu/bhikkuni mengelilingi monumen Candi Borobudur tiga kali, setelah para undangan istimewa dipersilakan meninggalkan panggung upacara. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba orang-orang yang semula duduk rapi mulai berdiri, bahkan ada dorongan dari belakang untuk maju ke atas panggung. Suasana di sekitarku mulai kacau balau. Sementara itu hujan menderas. 
Merasa pusing berdiri di tengah kerumunan orang di sekitarku – I could not see anything but people’s backs and umbrellas – aku mengajak Ranz meninggalkan panggung, menjauh, mencari lokasi yang lumayan jauh dari panggung.

Karena gelap – atau karena mataku yang belor – aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di atas panggung/belakang panggung. (Monumen Candi Borobudur terletak di belakang panggung utama.) Namun berulang kali aku mendengar peringatan seorang bhikkuni yang memimpin pradaksina memperingatkan pengunjung untuk tidak memenuhi area sekitar monumen yang sedang dipakai untuk melakukan ritual pradaksina. Peringatan bhikkuni berikutnya membuatku terpana, malu, terluka: “Bagi para pengunjung yang ingin mengikuti ritual pradaksina, silakan mengikuti dengan tertib dan tenang. Jangan sibuk foto-foto sendiri.” DUH! 
Hujan yang tak kunjng reda hingga akhir pelaksanaan pradaksina membuat panitia mengumumkan pembatalan pelepasan lampion. Ribuan pengunjung yang keukeuh memilih tetap tinggal di lokasi meski kehujanan karena menunggu detik-detik pelepasan lampion yang konon bakal menghasilkan pemandangan yang menakjubkan pun berteriak-teriak meluapkan kekesalannya. :( :( :(
Mungkin aku sendiri termasuk orang yang menganggap ritual keagamaan agama – yang termasuk minoritas di Indonesia – ini sebagai tontonan karena aku ikut berada di lokasi? Karena aku ikut foto-foto dengan latar belakang panggung upacara perayaan. Karena aku ikut menyusup di tengah-tengah peserta arak-arakan demi ikut menyaksikan (menonton?) suatu ritual keagamaan yang karena minoritas maka bisa dianggap eksotis? :( :( :(

Tulisan ini tidak untuk ikut mengeruhkan suasana dimana banyak orang berpolemik apakah ini salah panitia atau salah pengunjung yang tidak memiliki rasa tenggang rasa pada pemeluk agama lain. Tulisan ini hanya untuk memaparkan apa yang terjadi pada hari Sabtu 25 Mei 2013 dari kacamataku sebagai salah satu turis nusantara yang hadir.

GL7 12.32 280513

3 komentar:

  1. Terima kasih sharingnya di Milis Perempuan, Nana. Wish I were there too, tapi lebih baik lagi sepi ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama Mbak Nani ...
      iya, mungkin lebih baik sepi, kita menghormati upacara kaum Buddhis itu tanpa merecokinya ...

      Hapus
  2. Quality articles or reviews is the secret to be a focus for the people to pay a visit
    the web site, that's what this web page is providing.

    Feel free to visit my blog post - Air Max

    BalasHapus