Cari

Selasa, September 25, 2007

P R T



Merupakan suatu kebetulan belaka tatkala aku berkunjung ke Waroeng Semawis pada hari Sabtu 22 September 2007, di tenda utama di tempat tersebut diselenggarakan talkshow dengan topik “Pembantu adalah Bagian dari Keluarga Kita”. Tiga pembicara utama dari talkshow ini adalah Irwan Hidayat, Presdir PT Jamu Sido Muncul, Rieke Diah Pitaloka, artis dan aktivis Perempuan dan Romo Aloys Budi Purnomo, Pemred “Inspirasi dan Pastor Gereja Hati Kudus Tanah Mas. Donny Danardono, seorang dosen dari Unika Soegjijapranata berlaku sebagai moderator.
Acara dibuka dengan permainan saxophone oleh Romo Aloys, yang kemudian disusul dengan pembacaan puisi yang berjudul “Lelakon Rewang”.

Kemudian Donny selaku moderator memperkenalkan ketiga pembicara utama. Pembicara utama adalah Irwan Hidayat, yang menurutku pribadi kurang fokus dalam menyampaikan apa yang ingin dia kemukakan kepada hadirin. Mengingat di awal pembukaan Donny mengatakan bahwa pemilihan topik “Pembantu adalah Bagian dari Keluarga Kita” berhubungan erat dengan Hari Raya Idul Fitri yang akan segera tiba dimana banyak keluarga menjadi kelabakan karena “pembantu” mereka pulang kampung. Namun dalam pidato singkatnya, Irwan justru menyebut-nyebut para TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi di luar negeri. What is in fact the main point of the talkshow? Untuk menggugah kesadaran hadirin akan banyaknya jumlah para buruh migran yang mengalami perlakukan tidak semestinya atau mengajak hadirin untuk memperlakukan para “pembantu” mereka di rumah secara lebih manusiawi?
Orang cenderung lupa dengan apa yang terjadi di dalam rumah sendiri dan lebih memperhatikan perlakukan sewenang-wenang yang diterima oleh para buruh migran di luar negeri. Apakah mereka benar-benar telah “nguwongke” mereka yang bekerja untuk rumah tangga mereka?
Menurutku kalau memang kesempatan ini akan digunakan untuk berkampanye mencari perhatian publik agar lebih perhatian kepada nasib buruk kaum migran, pemilihan topik haruslah jelas. Kalau memang maksud talkshow untuk menggugah kesadaran orang-orang kita sendiri, ya porsi yang dikemukakan tentang nasib buruk para buruh migran di luar negeri seharusnya tidak mengaburkan pandangan hadirin—terutama aku. LOL.
Pembicara kedua, Romo Aloys berbicara tentang nasibnya yang merupakan anak seorang “pembantu” yang kemudian berhasil menjadi pastor.

Pembicara ketiga, Rieke Diah Pitaloka—aku yakin kehadiran Rieke lah yang menjadi magnet para pengunjung Waroeng Semawis pada hari Sabtu 22 September itu—lebih fokus kepada apa yang ingin disampaikan oleh pemrakarsa talkshow ini kepada hadirin yang membanjiri tenda utama. Di awal memang Rieke mengemukakan sejumlah angka buruh migran yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di luar negeri. Berangkat dari itu Rieke mempertanyakan bagaimana orang-orang Indonesia sendiri memperlakukan “pembantu” mereka? Karena berdasarkan berita-berita yang dimuat di surat kabar, banyak juga “pembantu” rumah tangga di Indonesia yang diperlakukan tidak jauh beda dari budak.
Mengapa aku menggunakan tanda petik di antara kata “pembantu”? Jurnal Perempuan nomor 39 dengan tajuk “Pekerja Rumah Tangga” terbit Januari 2005 dalam kolom “Kta dan Makna” menuliskan penggunaan kata “Pekerja” untuk mengganti kata “Pembantu” yang mulai diadopsi oleh beberapa rancangan peraturan daerah Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta versi Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) misalnya, mendefinisikan PRT sebagai “Orang yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah”. (JP no 39 halaman 94).
Seberapa pentingkah penggantian kata “pembantu” menjadi “pekerja” dalam upaya memperbaiki perlakuan para majikan kepada orang yang mereka pekerjakan di rumah?
Kita tidak bisa melupakan peninggalan kaum feodal kolonial dengan budaya “ngenger” atau numpang hidup terutama dalam tradisi Jawa yang membuat PRT seolah-olah harus tahu diri dan rela berkorban lebih banyak kepada majikan. Contoh kehidupan para kawula alit yang ngenger kepada para kaum priyayi bisa dibaca dalam novel “Para Priyayi” tulisan Umar Kayam. Salah satu tokoh sentral dalam novel ini bernama Lantip alias Wage, seseorang yang berasal dari sebuah desa pelosok yang merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan ngenger di rumah keluarga Sastrodarsono, seorang priyayi. Keluarga Sastrodarsono ini menyekolahkan Lantip, sebagai “upah” Lantip mengabdikan diri kepada keluarga tersebut. Sedangkan novel yang berjudul “Pengakuan Pariyem” tulisan Linus Suryadi Ag menyampaikan rumitnya nasib seorang “pembantu” rumah tangga perempuan yang merasa tidak sepantasnya menolak manakala majikan laki-lakinya ingin mendapatkan “pengabdian yang lebih” dari Pariyem.
Kembali ke kata pembantu versus pekerja. Kata “pembantu” berasal dari kata “membantu”, kata “membantu” ini biasanya berkonotasi melakukannya secara suka rela sehingga tidak adanya upah yang dibayarkan merupakan sesuatu yang lumrah. Berbeda dengan kata “pekerja” yang mengacu ke kata “bekerja” yang tentu menyiratkan ada sejumlah uang yang harus dibayarkan setelah pekerjaan selesai dilakukan.
Sangat disayangkan, menurutku pribadi, talkshow yang bertujuan mulia ini melupakan bahwa kata PRT tak lagi merupakan kepanjangan dari pembantu rumah tangga melainkan pekerja rumah tangga. Sehingga sosialisasi kata PEKERJA sebagai ganti kata “pembantu” kurang masuk ke para pengunjung Waroeng Semawis.
Beberapa pertanyaan yang datang dari para pengunjung, salah satunya tidak setuju bahwa anak-anak yang memperlakukan PRT dengan tidak semestinya karena menirukan apa yang dilakukan oleh orang tuanya, melainkan karena anak-anak itu meniru adegan-adengan yang ada di sinetron televisi.
Rieke menjawabnya dengan mengatakan seharusnya kita tidak lupa bahwa anak-anak itu ada di bawah pengawasan orang tua dalam menonton acara televisi. Orang tua yang perhatian kepada apa yang ditonton oleh anak-anaknya, sesibuk apapun mereka dalam pekerjaan mereka, sebaiknya mengontrol tingkah laku anak-anaknya, terutama ketika mereka sudah mulai mniru apa yang mereka lihat dari televisi.
Menurutku sendiri seorang anak akan benar-benar “belajar” atau meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, apa yang ada di depan matanya, daripada apa yang ada di layar kaca. Seandainya orang tua memberi contoh yang baik bagaimana meperlakukan PRT, anak-anak akan mudah menirunya. Jika ternyata contoh yang baik ini “dikotori” oleh adegan dalam sinetron televisi yang tidak mendukung pendidikan yang baik kepada masyarakat, sekali lagi, merupakan tugas orang tua untuk mengingatkan anak-anaknya.
Pertanyaan lain yang datang lebih cenderung kepada kiprah televisi—terutama dengan sinetron-sinetron yang tidak memberikan pendidikan dengan semestinya—dalam membentuk pribadi masyarakat. Aku melihatnya sudah jauh melenceng dari topik utama talkshow. Seperti yang kutulis dalam postingan yang berjudul “media dan budaya”, program-program di televisi adalah produk para pemilik modal yang kebanyakan lebih mementingkan keuntungan bagi diri mereka sendiri, dengan dalih, “Memproduksi program yang diminati masyarakat” daripada “memproduksi program yang mendidik masyarakat dengan secara tidak langsung menggurui”.
Here is the picture of the crowd.

Setelah hadirin melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan topik utama, aku dan adikku langsung kabur dari tenda utama Waroeng Semawis. Capek bo’ berdiri melulu. LOL.
PT56 16.16 230907

Tidak ada komentar:

Posting Komentar