Masih ingat kata ‘toleransi’ yang kusebut dalam artikelku sebelum ini yang kuberi judul “Sesama…”? Menurutku ‘toleransi’ merupakan satu kata indah yang bisa bermakna ‘damai’ antar sesama manusia (bukan melulu antar sesama jenis kelamin, sesama etnik, sesama agama, sesama strata sosial, maupun sesama bangsa dan negara). Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi toleransi sebagai “sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”
Tatkala membaca buku “Melampaui Pluralisme” tulisan Hendar Riyadi (RMBooks & PSAP: 2007), aku mendapati ternyata dalam tradisi agama Islam, istilah ‘toleransi’ ini baru muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi benturan antara ideologi Katolik dan Protestan. Menilik waktu pertama kali istilah ‘toleransi’ ini muncul hampir lebih sepuluh abad semenjak agama Islam pertama kali diwartakan oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan satu hal yang dimengerti jika istilah ‘toleransi’ ini tidak mendapatkan dukungan di sebagian besar masyarakat Islam. Dalam artikel “Akar Islam bagi Teologi Toleransi”, (dimuat dalam buku DEKONSTRUKSI SYARIAH) Abdullah Ahmed al-Naim mengemukakan bahwa masyarakat Islam menolak konsep toleransi ini karena mereka berpedoman bahwa ayat-ayat dalam Alquran yang mendukung konsep ini telah dihapus (dinaskh) oleh ayat Alquran tentang jihad.
Sebagai pengikut Jacques Derrida dengan teori Dekonstruksinya (teori Hermeneutik bisa digolongkan sebagai anak cabang Dekonstruksi, seperti Feminisme, Poskolonilisme, dll), aku setuju dengan Mohammad Arkoun bahwa dalam memahami aksioma-aksioma dasar Alquran, perlu kita tegaskan perlunya penggunaan teori hermeneutik dalam menginterpretasikan ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks yang mendukung dan kemungkinan menjalankan toleransi penuh.
Lebih lanjut Hendar Riyadi menjelaskan bahwa secara umum, akar-akar toleransi dalam teks kitab suci Alquran dapat dirumuskan seperti berikut ini:
Pertama, prinsip bahwa perbedaan (keragaman) keyakinan itu adalah sunnatullah (kehendak Allah) yang bersifat terus menerus. Alquran menyatakan “sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat saja, akan tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, oleh karena itu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Kedua, prinsip bahwa pengadilan dan hukuman bagi keyakinan yang salah harus diserahkan kepada Allah sendiri. Tuhan lebih tahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk. Alquran menyebutkan “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS> An-Nahl [16]: 125)
Ketiga, dalam “Akar-akar Teologi Toleransi” Roy P. Mottahedeh menyebutkan bahwa semua ummat manusia mempunyai “agama alamiah”, yakni agama yang melekat dengan “fitrah” spiritual dan moral yang ditiupkan Allah ke dalam jiwa mereka yang atas dasar fitrah itu kita harus mengasumsikan kebaikan fitrah sesama manusia. Untuk mendukung prinsip ketiga ini—keyakinan kepada sebuah agama fitrah—Mottahedeh menyitir satu hadits Nabi yang artinya “Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat keagamaan yang toleran” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).
Teks Alquran yang mendukung prinsip ini adalah surat Ar-Rum [30] yang berarti “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Menggunakan teori hermeneutik, kata ‘fitrah’ dalam ayat di atas bisa dimaknakan sebagai “agama asal mula ummat manusia yang melekat, dan dicapkan secara tak terhapuskan pada jiwa semua manusia.” Ini berarti bahwa setiap manusia terikat dalam suatu persaudaraan keagamaan universal. Masing-masing agama lahir dan didasarkan kepada suatu sumber yang sama, yakni agama Allah (baca Tuhan) yang tertanam dalam diri manusia. Dalam Tafsir Tematik Alquran, Ismail Raji al-Faruqi berpendapat bahwa keyakinan kepada agama fitrah ini merupakan suatu terobosan paling penting ke arah pembinaan hubungan antarummat beragama.
Ketiga prinsip di atas memiliki tujuan utama yakni untuk melakukan kompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat), yang merupakan prinsip penting Alquran dalam hubungan sosial antar kaum beriman.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku ingin menyitir apa yang dikatakan oleh Issa J. Boulata dalam Tafsir Bintu al-Syathi’: “perbedaan di antara ummat beragama haruslah merupakan suatu kesempatan untuk berkompetisi dalam amal salih, bukan kesempatan untuk perbuatan-perbuatan fanatik yang membawa kepada permusuhan di antara penganut iman dari agama yang berbeda.”
Mari dengan kesadaran penuh, kita hadirkan toleransi yang sesungguhnya (yang bukan merupakan ide abstrak semata) dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk membangun bangsa Indonesia bersama-sama, tanpa memandang beda etnik, agama, maupun strata sosial.
PT56 11.43 290807
Tidak ada komentar:
Posting Komentar