Cari

Senin, Agustus 27, 2007

Perempuan Modern?

Setelah menulis artikel yang ku-post sebelum ini, aku membaca sebuah artikel yang cukup menggelitik bagiku di surat kabar Suara Merdeka terbit hari Minggu 26 Agust. 07 halaman 25 yang berjudul “Istri yang Ingin Independen”. Apakah benar bahwa kedua tokoh yang dipilih oleh si penulis—yang disebut dengan menggunakan nama Dian dan Fitri—merupakan gejala PEREMPUAN MODERN?
Aku ingat salah satu penulis kesukaanku—Charlotte Perkins Gilman yang hidup di Amerika tahun 1860-1935—yang telah memiliki cara berpikir seperti Dian dan Fitri, sedangkan Gilman hidup di akhir abad 19 maupun awal abad 20. Perkawinan kedua orang tuanya yang kandas dan menjadikan ibunya plus dia dan adiknya menjadi korban membuatnya ragu-ragu untuk menikah. Sang ibu yang dididik secara patriarki—bahwa seorang perempuan itu tempatnya di rumah, bertugas melayani suami, dan bukannya bekerja untuk mencari sesuap nasi—tetap berpikir seperti itu meskipun sang suami telah meninggalkannya. Akibatnya, Gilman beserta adiknya dan ibunya harus hidup dengan cara meminta-minta kepada anggota keluarga—kakek, nenek, paman, bibi, dll—untuk terus menyambung hidup.
Masa kecil yang pahit inilah membuat Gilman berkesimpulan bahwa seorang perempuan harus mampu mandiri secara finansial. Secara psikologis—tempat curhat, dll—bisa dia dapatkan dari seorang sahabat, seorang perempuan. Seks? Gilman adalah seseorang yang melakukan olah raga dengan keras sehingga dia yakin bahwa keinginan untuk seks ini bisa tertimbun. Namun tatkala sahabatnya menikah, dan banyak dorongan dari lingkungan sekitar untuk menikah ketika seorang laki-laki, Charles Walter Stetson, melamarnya, akhirnya Gilman pun menikah tahun 1883. Sayangnya, pernikahan ini justru membuat penyakit Gilman, nervous breakdown, semakin memburuk, ditambah lagi baby blue setelah dia melahirkan anak pertama. Hasil Gilman membaca ‘diri’ menggunakan kacamata patriarki—bahwa untuk bahagia seseorang harus menikah—dan melupakan ‘kacamata’nya sendiri, untuk menentukan apa yang akan membuatnya bahagia: untuk hidup bahagia, Gilman tidak perlu menikah, lakukan saja apa yang ingin dia lakukan: menulis, mengekspreksikan semua ide yang dia miliki dalam bentuk tulisan, melakukan perjalanan ke seluruh Amerika untuk menyadarkan kaum perempuan untuk lebih mandiri secara finansial, karena hal inilah yang akan membuat seorang perempuan setara dengan laki-laki.
Pernikahan pertama ini berakhir dengan perceraian tahun 1894, karena Stetson merupakan tipe laki-laki old-fashioned yang menganggap Gilman aneh hanya karena karena Gilman ingin membentuk jati dirinya sebagai seorang Charlotte Anna Perkins, dan bukan seorang Mrs. Charles Walter Stetson.
Gilman menikah lagi tahun 1900. Suami keduanya, George Houghton Gilman, merupakan tipe laki-laki yang selalu mendorong Gilman untuk melakukan apa saja yang ingin dia lakukan. Pernikahan ini berlangsung sampai tahun 1934 tatkala George meninggal.
Aku juga ingat RA Kartini yang sebenarnya tidak ingin menikah karena cita-citanya untuk mencerdaskan kaumnya yang hidup di sekitarnya di sekolah yang dia dirikan. Namun karena dia ‘hanyalah’ seorang perempuan Jawa yang tidak punya hak untuk berkata TIDAK kepada orang tuanya, akhirnya Kartini pun bersedia menjadi istri kedua. ‘Kacamata’ patriarki yang dimiliki oleh orang tuanya—bahwa tugas mulia seorang perempuan adalah mengabdi kepada suaminya—jelas bertentangan dengan ‘kacamata’ kesetaraan yang dimiliki oleh Kartini. Kultur patriarki pun dituding telah membunuh seorang Kartini.
Dian dan Fitri hanyalah dua contoh perempuan yang memiliki kacamata sendiri untuk mengukur kebahagiaan dalam hidup ini. Mungkin di dua dekade lalu mereka pun sama seperti perempuan-perempuan lain yang berpikir bahwa pernikahan adalah ‘gerbang’ menuju kebahagiaan yang hakiki, bahwa perkawinan adalah segalanya, dimana seorang perempuan diciptakan untuk mengabdikan diri kepada suami. Namun tatkala pengalaman hidup mereka membawa mereka ke suatu keadaan yang membuat mereka menimbang kembali apa arti kebahagiaan, ini berarti bahwa mereka telah menemukan ‘kacamata’ baru.
Akankah perempuan tipe Dian&Fitri ini akan merusak tatanan pranata keluarga? TIDAK. ‘Kacamata’ baru yang mereka miliki akan membuat kaum muda—khususnya perempuan—untuk tidak terlalu dininabobokkan oleh Cinderella Complex, sehingga mereka justru akan lebih hati-hati dalam memilih calon suami yang akan selalu mendorong mereka untuk mengaktualisasikan diri. Perceraian yang akhir-akhir ini menunjukkan jumlah yang meningkat setiap tahun adalah hasil dari pasangan suami istri yang tidak saling mengenal dengan baik, terutama di strata sosial menengah keatas. Kebutuhan mengaktualisasikan diri bukan hanya milik seorang laki-laki, perempuan juga berhak untuk melakukannya.
Dian&Fitri bisa melakukan perbincangan terbuka dari hati ke hati dengan suami masing-masing, untuk mengkomunikasikan apa yang mereka inginkan. Ide utama—bahwa perempuan bukanlah makhluk yang diciptakan untuk melulu mengabdikan diri kepada suami—harus disampaikan kepada para suami. Selain itu bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kesendirian untuk beberapa waktu (mengacu ke buku Virginia Woolf A ROOM OF ONE’S OWN) harus dipahami. Hal ini akan mengurangi beban Dian yang merasa bersalah tatkala dia ingin melakukan aktifitas yang butuh dia lakukan tatkala sang suami pulang. Jika ternyata komunikasi ini berjalan dengan baik, para suami memahami apa yang dibutuhkan oleh Dian&Fitri, dan bukannya merasa terluka keegoannya (karena menjadi merasa tidak dibutuhkan, ataupun dijadikan pihak yang kedua) bukankah ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba?
Mengacu ke definisi ‘gender’ yang diberikan oleh Claudette Baldacchino (lihat posting yang berjudul GENDER DAN MEDIA), perempuan harus berani menemukan cara untuk melihat dan memahami diri sendiri dan tidak membebek melulu dengan apa yang dikemukakan oleh kultur patriarki.
PT56 16.07 260807

Tidak ada komentar:

Posting Komentar