Cari

Jumat, Agustus 31, 2007

Toleransi 2

Dua minggu yang lalu seorang teman bercerita kepadaku bahwa dia mendapatkan undangan pernikahan dari seorang tetangganya. Dari undangan itu, dia menyimpulkan bahwa si pengantin perempuan yang semula beragama Islam pindah agama mengikuti si pengantin laki-laki yang beragama Katolik. Temanku yang mengaku relijius ini pun mengajakku bergunjing, “Kasihan Bapak dan Ibu X karena anaknya murtad.”
Aku diam saja, tidak melayani gunjingannya.
Melihatku diam saja, rupanya temanku ini melihatnya sebagai ‘lampu hijau’ baginya untuk melanjutkan pergunjingan, dan bukannya melihatnya sebagai keengganan.
“Seminggu yang lalu aku menghadiri pengajian. Ustadz yang mengisi pengajian waktu itu mengatakan jika seorang orang tua sibuk beribadah sendiri, shalat, mengaji, berpuasa, dan lain-lain namun mengabaikan anaknya, dan anaknya tidak tumbuh sebagai seseorang yang relijius, nanti di akhirat tatkala orang tua ini akan masuk surga, langkahnya akan diberhentikan oleh anaknya. Si anak akan mengatakan, ‘Stop! Tuhan, orang itu tidak boleh masuk surga karena ketika di dunia dia asik beribadah sendiri, dan tidak mengajariku, anaknya, untuk beribadah. Aku bahkan dibiarkannya melakukan maksiat.’ “
Aku pun tetap diam. Aku telah mendengar ‘kisah’ seperti ini sejak kecil, jadi bukan merupakan barang baru bagiku, kisah yang dijadikan ‘senjata’ oleh para orang tuanya untuk melarang anaknya berpacaran dengan orang lain agama, bukan karena cintanya kepada sang anak yang mungkin di mata mereka akan ‘terjerumus’ kepada kemurtadan, melainkan karena ketakutan diri mereka sendiri yang tidak akan masuk surga, karena langkah mereka dihentikan oleh si anak yang sejak kecil tidak pernah diajari beribadah, seperti shalat, mengaji, berpuasa, dll.
“Padahal kakeknya si pengantin perempuan itu kan termasuk mubaligh. Mubaligh yang bisa berceramah di sana sini tapi tidak bisa menceramahi cucu sendiri. Dengar-dengar katanya ibu si pengantin putri menyesal sekali tatkala dia tahu anaknya berkeputusan untuk mengikuti agama calon suami. Penyesalan yang sangat terlambat karena seharusnya dia melarang anaknya membina hubungan dengan laki-laki yang beragama lain sejak awal. Apa sang kakek tidak pernah bercerita tentang anak kecil yang tidak diajari beribadah akan menyeret orang tuanya ke neraka?”
Setelah diam beberapa saat, dan akhirnya tak tahan lagi mendengarkan gunjingan ini, aku pun buka suara, “Kasus ini berbeda. Memang tugas orang tua mengajari anaknya untuk melakukan kebaikan dan kebajikan, termasuk melakukan ibadah agama. Kalau tidak, ya berarti orang tua itu salah. Tapi kalau kasus si calon pengantin ini kan berbeda? Dia sudah dewasa, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sudah bisa menggunakan akal sehatnya untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan berkenaan dengan masa depannya. Segala apa yang dia lakukan sekarang adalah tanggung jawabnya sendiri, dan bukan lagi tanggung jawab orang tuanya. Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa tatkala seorang anak mencapai akil balik, anak perempuan setelah mendapatkan menstruasi, anak lelaki setelah khitan, semua tingkah laku, ibadah, maupun dosa menjadi tanggung jawabnya sendiri?”
Temanku termangu mendengarkan jawabanku, dan dengan agak terbata berkomentar, “Oh, jadi kasusnya berbeda ya?”
“Iya.” Jawabku tegas. Kemudian aku mengalihkan perbincangan ke hal lain.
****
Beberapa hari yang lalu, tatkala menemani Angie belajar untuk persiapan tes di sekolah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh ‘pernyataan’ (atau pertanyaan?) Angie,
“Eh Ma, coba dengar ini. Di buku ini (note: buku Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI) dituliskan ‘... dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman yang artinya Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Ali ‘Imran, 3:85)”
Aku memang tidak banyak mengajari Angie tentang ayat-ayat Alquran, aku lebih suka mengajaknya diskusi tentang menghormati orang lain, termasuk kepercayaan mereka, agar dia jauh dari sikap fanatisme berlebihan yang akan membuatnya kesulitan menerapkan toleransi. Tentu dia terheran-heran membaca ayat tersebut di atas dalam buku pelajaran sekolahnya.
“Sayang, semenjak Mama melanjutkan kuliah dan mempelajari tentang teori-teori baru, yang akan menghasilkan interpretasi baru tentang segala hal, Mama yakin teori-teori itu pun bisa dipakai untuk menghasilkan interpretasi baru dalam pembacaan Alquran, termasuk ayat yang Angie baca terjemahannya itu. Lagipula untuk memahami Alquran benar-benar, kita tidak bisa memenggal satu ayat dari ayat-ayat lain. Kita tidak bisa membaca satu atau dua ayat saja, kemudian menginterpretasikannya, tanpa memandang keberadaan ayat-ayat lain, juga asbabun nuzulnya, konteks apa yang melatari satu ayat turun.” Bla bla bla ...
Angie yang sedang pusing menghafalkan ayat-ayat sebegitu banyak, mungkin tambah pusing dengan keteranganku itu. LOL. Karena aku melihatnya sebagai waktu yang kurang tepat untuk ‘berceramah’ lebih lanjut, aku kembali ke kegiatanku semula, menulis artikel untuk blog, dan Angie sendiri melanjutkan belajarnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Melampaui Pluralisme”, untuk membahas ayat di atas, Hendar Riyadi menjabarkannya di bab 5 yang berjudul “Paradigma Etika Alquran dalam Konteks Pluralisme Agama” halaman 113-163.
Lebih lanjut lagi, Alquran menegaskan bahwa “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 272) Hal ini berarti bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit pun untuk menilai serta menghukumi orang lain yang berbeda pemahaman, agama dan keyakinan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan. Prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semagat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda. Manusia sebagai ciptaan Allah sama sekali TIDAK PUNYA hak untuk menghakimi orang lain sebagai orang yang tersesat, berdosa, dan sebangsanya itu.
Menurutku sudah tiba saatnya untuk lebih memasyarakatkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang bersifat inklusif, dan menghentikan menginterpretasikan secara eksklusif, agar tercipta kedamaian dan saling menghormati antarumat beragama.
PT56 22.59 290807

Tidak ada komentar:

Posting Komentar