Artikel yang berjudul “Sesama Indonesia” tulisan Adi Ekopriyono di Suara Merdeka hari Senin 20 Agustus 2007 mengingatkanku pada masa kecilku, terutama tatkala aku duduk di bangku SD. Pertama kali aku mengenal istilah BHINNEKA TUNGGAL IKA dan mengagumi negaraku sendiri sebagai satu negara yang tentram damai sentosa meskipun terdiri dari berbagai etnik grup dan agama. Bangsa Indonesia—menurut guru-guruku waktu SD—merupakan negara dimana para warga negaranya memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi dengan sesamanya. Kekaguman seorang bocah kecil yang masih polos kepada negaranya sendiri.
Pada saat yang bersamaan, aku yang bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah pun kenyang mendapatkan indoktrinasi tentang pentingnya fanatisme pada agama. Kita harus fanatik terhadap agama. Semua orang Muslim itu satu, laksana satu tubuh. Jika ada satu orang Islam yang sakit, orang Islam lain harus ikut serta membantu menyembuhkan. Hal ini bisa dianalogikan jika pipi kita ditampar orang dan merasa sakit, tidak hanya pipi saja yang merasakan sakit, namun seluruh tubuh akan merasakan hal yang sama. Jika satu orang Islam itu disakiti orang lain agama, kita tidak boleh diam saja, namun harus ikut merasakan. Dalam hal ini fanatisme agama akan mencuat.
Satu hal yang tidak terasa kontradiktif bagiku karena sempitnya lingkunganku. Semua temanku beragama sama, Islam. Hampir semua tetanggaku pun beragama sama. Praktis aku tidak sempat merasakan bagaimana kita harus mempraktekkan toleransi kepada orang yang beragama lain. Tanpa kusadari kata TOLERANSI hanyalah satu ide abstrak yang belum pernah kurasakan nyata.
Menginjak usia SMP—dengan membelot dari tradisi keluarga besarku—aku melanjutkan ke sebuah sekolah negeri yang tentu membuat lingkunganku lebih luas. Aku mulai mengenal teman beragama lain. Aku dipaksa keadaan untuk mempraktekkan kata indah yang kukenal sejak SD itu—toleransi. Di sisi lain fanatisme agamaku yang sangat kuat mendasar ternyata membuatku sulit mempraktekkan toleransi. Indoktrinasi bahwa orang beragama lain itu kafir, calon penghuni neraka, menghalangiku berakrab ria dengan teman beragama lain. Aku juga merasa tidak nyaman. Kata ‘toleransi’ memang indah, namun ternyata sangat sulit mempraktekkannya. Bisa jadi di depan teman yang beragama lain itu aku bisa bersikap baik, namun di belakang, aku tak sanggup berhenti bergunjing, “Eh, calon penghuni neraka! Kasihan deh lu!”
Semakin besar aku semakin menyadari indoktrinasi kuat yang kuterima semasa duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah itu serasa menghantui kemana pun aku pergi, menghalangiku untuk berpikir, “sesama itu adalah sesama Indonesia…” bukan semata “sesama agama” saja.
Dengan bertambahnya usia, pula dengan bertambah luasnya pergaulanku, akhirnya aku berhasil mempraktekkan kata ‘toleransi’ ini dengan baik.
Semula kukira hal ini hanya terjadi kepada orang-orang dari agamaku saja, Islam. Namun tatkala tahun lalu aku mendapatkan sebuah kelas yang berisikan anak-anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SD, berasal dari berbagai macam sekolah dengan latar belakang berbagai macam agama, aku menyadari fanatisme agama itu tidak hanya diajarkan di Madrasah Ibtidaiyah saja. Seorang siswa perempuan yang bertanya kepadaku, “Ms. Nana agamanya Islam atau Kristen atau Katolik?” membuatku terkesiap.
“Mengapa bertanya seperti itu?” tanyaku balik.
“Kata guruku di sekolah orang Islam hanya berteman dengan orang Islam, sedangkan yang beragama Kristen dan Katolik boleh berteman.”
Aku semakin shocked mendengarnya. (FYI, dia bersekolah di sebuah SD Kristen.)
“I am a Muslim, but I make friends with anybody from any religion. I love you. I love all of my students although not all of them are Muslim.” Kataku.
Mendengar perkataanku, anak perempuan itu nampak lega.
####
Hal inilah yang membuatku berdebat dengan seorang teman beragama Katolik yang ingin menyekolahkan anaknya ke sebuah sekolah Katolik dengan alasan untuk memberikan pendidikan agama yang kuat dan disiplin yang ketat kepada kedua anaknya. Dia bilang karena dia tidak disekolahkan di sebuah sekolah Katolik waktu masih kecil, dia merasa kurang memiliki bekal agama yang cukup. Sementara itu, aku hanya ingin memberinya wacana bahwa anaknya akan mengalami kesulitan untuk mempraktekkan toleransi kepada orang-orang yang beragama lain. Kenyataan bahwa dia tidak bersekolah di sekolah Katolik lah yang menurutku membuatnya mudah berteman dengan orang-orang beragama lain, mempraktekkan toleransi tanpa beban, tanpa fanatisme berlebihan terhadap agamanya.
Kita berdua memang berlatar belakang yang bertolak belakang. Aku menyekolahkan anakku di TK Islam. Namun lepas dari TK, dia kumasukkan ke sekolah negeri dengan pertimbangan dia harus berteman dengan teman-teman dari berbagai agama sejak kecil, mempraktekkan toleransi kepada orang yang beragama lain sejak kecil sebagai sesuatu yang nyata, dan bukan melulu satu ide abstrak semata.
Peran serta orang tua tentulah penting untuk membentuk kepribadian seorang anak. Dalam hal ini wawasan orang tua harus luas tentu saja, wawasan yang percaya bahwa ‘sesama’ tidak hanya berlaku kepada ‘sesama agama saja’, maupun ‘sesama etnik saja’, atau ‘sesama status sosial’, namun menghormati sesama manusia karena kemanusiaan mereka. Wawasan yang didukung dengan tidak bergunjing di belakang, maupun menjelek-jelekkan agama lain, hanya demi membenarkan agama sendiri.
N.B.: Bagi para pengunjung blogku, untuk membaca tulisanku mengenai FANATIK bisa mengunjungi alamat berikut ini:
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/fanatik.html
Untuk tulisan lain, dengan tema yang mirip, yang kuberi judul UTOPIA, bisa dilihat di alamat berikut ini:
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/utopia-1.html
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/utopia-2.html
Terima kasih.
PT56 21.55 200807
It's a good one Nana,
BalasHapusKamu bisa seperti itu karena dibantu oleh nalar yang kuat, rasio yang berputar tidak puas karena kenyataan tidak sesuai dengan doktrin, lalu mencari dimana kesalahannya.
Mungkin akan lain bagi 'Nana' lain yang rasionya tidur dan terkubur oleh doktrin-doktrin.
Gimana coba? Repot kan?
Salam,
a
Love to get this comment from you!!! :) Thanks :)
BalasHapusMemang tidak mudah bagi kebanyakan orang yg sdh terdoktrin oleh dogma maupun ajaran2 yg sering disampaikan oleh 'guru' nya dgn cara yg tidak tepat. Hal mana tanpa disadari oleh para murid bhw ajaran itu terekam dalm alam bwh sadarnya. Dibutuhkan kemauan yg kuat dan keberanian yg luar bisa itk keluar dari linkungan doktrin2 yg ada ini.
BalasHapusRatio juga hrs dipakai spy tidak menjadi fanatik. Saya sering mendengar kalimat: "Untukku agamaku, untukmu agamamu ....". Kalimat ini terdengar logis, namun mengandung unsur sublimasi yg mempengaruhi alam bwh
sadarnya yg sekaligus membangkitkan rasa ego manusianya utk membela agamanya kuat-kuat dan cenderung sulit 'open mind'.., yg juga berakibat pada pembenaran diri pada agamanya. Adalah jauh lebih bijaksana bila kita berkeyakinan kepada Sang Pencipta daripada yakin kepada agamanya.
Salam rahayu,
...bukan orang sehat yang membutuhkan tabib, melainkan orang sakit.
BalasHapusBukan nalar dan rasio yang bisa membuat kita sadar bahwa kita orang orang berdosa, melainkan Tuhan sendiri yang menyadarkan kita.
Mungkin kalau sudah merasa diri paling benar, cikal bakal "tuhan" (huruf kecil), nah lantas mulai menunjuk-nunjuk orang lain sebagai kafir. Kasihan dunia akhirat....
#1 Anonim,
BalasHapusSalam rahayu juga buatmu, terima kasih atas komennya yang mencerahkan :)
#2 Anonim,
Sayangnya orang-orang yang sakit itu tidak menyadari bahwa mereka sakit ya? malah justru merasa paling benar sendiri :-(
thank you for the comment