Cari

Senin, Agustus 27, 2007

Menikah?

Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak? (masih merunut ke artikel yang sama ‘Istri yang Ingin Independen’)


Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan masih lebih terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendiri—misal seseorang pun bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan hidup sendiri. Ayat Alquran yang mengatakan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup ini secara berpasangan diinterpretasikan secara ‘apa adanya’ tanpa melihat konteks mengapa ayat tersebut turun semakin mengukuhkan pandangan bahwa melalui perkawinan lah seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga mengartikannya secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua manusia diciptakan memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang yang keburu meninggal sebelum menikah?)


Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang lain, yang bisa dikategorikan ‘menikah dalam usia yang terlambat’, sekitar pertengahan tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun terprovokasi ‘anggapan’ bahwa perkawinan akan membawa mereka ke satu kehidupan yang paripurna. Keduanya mengenakan jilbab, yang biasanya berkonotasi bahwa mereka memahami ajaran agama lebih mendalam dibandingkan mereka yang telanjang kepala. :) 


Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah memiliki seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak putus itu, dia tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap berharap bahwa mantan pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia kukenal sebagai seseorang yang pro poligami. Mungkin dia benar-benar mencintai mantan pacarnya yang telah menikahi perempuan lain itu (cinta sejati ataukah cinta buta?) sehingga berkeyakinan bahwa dia tidak keberatan untuk menjadi istri kedua. Sayang, si laki-laki ini benar-benar menghilang dari kehidupannya.


Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir bahwa poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi. FYI, ini bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama Kristen namun menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab. Mungkin juga karena akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan pacar pujaan untuk kembali kepadanya, untuk menjadikannya sebagai istri kedua.


Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya) menikmati kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan pertanyaan-pertanyaan jail orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” ataupun gunjingan orang, “Kasihan deh dia belum laku di usianya yang telah lebih 30 tahun.” Namun mungkin anggapanku ini salah tatkala satu hari aku mendengarnya berbicara kepada seorang rekan kerja, “Eh, kenalin aja dia padaku.” Tatkala rekan kerjaku ini menawarkan seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.


Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia kepada laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan menikah. GUBRAK. Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit yang biasa menghinggapi para lajang perempuan di sekitarku—tidak pede dengan kesendiriannya, dan termakan omongan orang bahwa perkawinan akan membawanya ke gerbang kebahagiaan? Dia bilang setelah shalat istikharah dia serasa mendapatkan petunjuk dari Allah bahwa laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk menjadi pendamping hidupnya.


(FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa ‘petunjuk’ semacam itu merupakan refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah sadar. Dalam alam bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah. Dan keinginan ini muncul dalam mimpinya, ataupun menguasai kesadarannya yang kemudian dia baca sebagai petunjuk dari Allah.)


Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita schizophrenia yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu, Lia merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-nutupi keadaan itu. Namun tatkala dia ingin menceraikan suaminya, keluarga suami mengatakan, “Tolong jangan ceraikan dia saat ini, tunggu sampai dia sembuh.” Setelah Lia berkonsultasi dengan dokter yang pernah merawat suaminya, dia mengetahui bahwa kemungkinan sembuh itu sangatlah kecil.


Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur, (dia pindah kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan yang mapan disana) sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia telah mengubur impiannya bahwa perkawinan akan membawanya ke satu kehidupan yang penuh kebahagiaan.


Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang (dulu) nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin segera menikah. ‘Kacamata” patriarki bahwa perkawinan akan membawa seorang perempuan ke gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin segera dipinang oleh sang pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada seorang laki-laki yang melamarnya—meskipun berusia 9 tahun lebih muda, dan jenjang pendidikan yang berada di bawahnya—Uni segera menerimanya. Dia telah benar-benar gerah dengan pertanyaan usil orang-orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” Dengan menikah, dia berharap bahwa dia akan segera mengakhiri ‘penderitaannya’, tudingan sebagai seseorang yang tidak diinginkan. 


Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? “Aku tertipu. Kata orang menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak banget. Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan.” Di saat lain dia mengatakan, “Kata siapa pernikahan hanya membawa kebahagiaan?” beberapa waktu lalu dia mengatakan, “Masih mending tidak menikah, paling kita cuma merasa terganggu saja tatkala orang dengan usilnya menanyakan kapan kita menikah. It was not a big deal.

 Setelah menikah? Uh ... banyak sekali permasalahan yang timbul.” Hal ini lebih diperburuk lagi dengan ucapan misoginis adiknya yang laki-laki, “Udahlah mbak, diterima saja. Udah untung ada yang mau menikahimu!” ucapan yang bisa dikategorikan KDRT, kekerasan secara psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seseorang. 


Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus menyuruhnya segera menikah, ibunya mengatakan, “Masak dulu Ibu menyuruhmu begitu?” dia tidak mau mengakuinya. 


Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih menggunakan ‘kacamata’ publik yang patriarki bahwa ‘menikah itu harus dan perlu’. Tatkala dia mulai mencoba menggunakan ‘kacamata’nya sendiri untuk melihat dan memahami diri sendiri, dia pun menyesal. Namun tatkala aku bercerita tentang kasus Lia kepadanya, Uni mengatakan, “Aku masih lebih beruntung.” 


Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih sangat lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh lebih tinggi dari Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap mengidolakan perkawinan. 


PT56 17.20 260807

1 komentar:

  1. Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
    http://WWW.infogue.com
    http://18-thn.infogue.com
    http://18-thn.infogue.com/menikah_

    BalasHapus