Selalu ada cerita menarik yang kudengar dari teman-teman b2w Semarang.
Kebetulan sampai saat aku menulis ini, teman-teman b2w Semarang yang kukenal adalah mereka yang bersepeda ke kantor karena pilihan, dan bukan karena terpaksa. Alasan yang melatarbelakangi memang cukup bervariasi; mulai dari peduli lingkungan (aku sendiri, adikku, dan beberapa yang lain), untuk melangsingkan badan (ga usah menyebut nama yah? LOL), sampai memang seorang biking freak (yang merasa boleh ngacung! LOL), dll. Ngirit beli bensin adalah nilai tambah yang menyertai.
Tatkala naik sepeda, dan ikut merasakan ‘nelangsanya’ kaum yang termarjinalisasi, teman-teman pun ngomel-ngomel jika ada pengendara kendaraan bermotor memencet-mencet klakson karena para pengendara itu selalu tidak sabaran melihat laju sepeda yang tentu tidak secepat kendaraan bermotor. Ada yang kesal tatkala kondektur bus ngomel-ngomel, “Pit-pitan ning ndalan!!!” (“Naik sepeda kok di jalan raya!”) sehingga dia membalas ngomel, “Lha po ning kasur!!!” (“Masak naik sepeda di kasur!!!”). Cerita ini membuatku ketawa ngakak, karena langsung membayangkan naik sepeda di kasur. LOL. (Biasanya sih orang becanda ‘berenang di tempat tidur’ yah? LOL.)
Konon, sebelum mereka merasakan ‘termarjinalisasi’ karena naik sepeda, mereka pun merupakan pelaku ‘memarjinalkan’ pengendara sepeda. LOL. Sehingga setelah merasakan keangkuhan para pengendara kendaraan bermotor, mereka menjadi arif tatkala mereka mengendarai sepeda motor maupun mobil.
Aku sendiri tidak, atau belum, mengalami hal yang tidak menyenangkan itu, mungkin karena letak kantor yang tidak jauh dari rumah, kurang dari 2 kilometer, kurang dari 10 menit dengan mengayuh pedal sepeda santai. Sebaliknya, aku merasa tatkala akan menyeberang jalan, para pengendara mobil maupun sepeda motor dengan sengaja mengurangi laju kecepatan kendaraan mereka, untuk memberiku ruang dan waktu yang cukup untuk menyeberang. Terkadang kuamati mereka memang sengaja berada di belakangku sejenak, untuk membaca tag kuning di bawah sadelku yang berbunyi, “BIKE TO WORK, KOMUNITAS PEKERJA BERSEPEDA SEMARANG” kemudian tatkala melewatiku, mereka menoleh sejenak memandang si empunya sepeda, baru melaju dengan takzim.
“Serasa seperti selebriti,” kata seorang teman yang berdomisili di Tembalang (kawasan ‘atas’ Semarang), apalagi kalau dia sedang menaiki jalan yang menanjak, banyak orang menoleh ke arahnya. LOL. Maklum selebriti dadakan. LOL.
Seorang teman yang tinggal di Banyumanik memberikan trik yang unik. Tatkala pertama kali dia berusaha menaklukkan bukit Gombel, dia menelpon istrinya minta dijemput, ketika dia merasa sudah tidak kuat lagi melanjutkan mengayuh pedal sepedanya. LOL.
Seorang teman lain yang memiliki sepeda lipat (yang kita singkat menjadi SELI), yang tinggal di kawasan yang menanjak pula, Ngaliyan, cukup sering juga menelpon istrinya minta jemput, entah karena capek, atau sudah ga sabar ingin segera sampai rumah, untuk bertemu dengan jagoan kecilnya. Dia tinggal melipat sepedanya, menaruh di dalam mobil, dan melanjutkan perjalanan dalam mobil dengan nyaman.
Bagaimana dengan pengalaman pergi ke supermarket naik sepeda? Adikku mengalami disambut tukang pemberi tiket parkir dengan mimik wajah yang tidak ramah.
“Ditaruh di situ saja mbak!” katanya ketus, sambil menunjuk beberapa sepeda yang ‘teronggok’ termarjinalkan di satu tempat.
Namun dia tidak perlu membayar tiket parkir.
“Orang-orang memang belum bisa membedakan sepeda mahal dan sepeda murah.” Kata seorang teman lain yang tinggal di kawasan Sendang Mulyo. “Padahal banyak juga sepeda yang harganya lebih mahal dari sepeda motor, bahkan sama mahalnya dengan sebuah mobil.” Katanya lagi.
Well ... seperti teman-temanku, aku pun menyimpan mimpi indah agar lebih banyak orang yang meninggalkan kendaraan bermotor untuk kegiatan sehari-hari, dan beralih naik sepeda, yang lebih ramah lingkungan, plus lebih menyehatkan badan.
When will you follow us?
PT56 12.05 250708
jadi pengin punya SELI
BalasHapuskeliatannya keren juga fitur seperti begitu