Beberapa bulan lalu jagat permilisan dan blogging di Indonesia sempat riuh rendah (well, kayaknya sampai sekarang masih deh, only I don’t really follow the hubbub of it) tentang dikotomi sastra kanon dan sastra sampah. Dari beberapa messages yang masuk ke milis RumahKitaBesama kudapati semua bermula dari tuduhan Taufik Ismail terhadap Komunitas Utan Kayu—disingkat dengan KUK (Ayu Utami was once an active member of this community. The recent news I read several weeks ago stated that she no longer actively involved herself there) sebagai pangkal sastra yang beraliran Gerakan Syahwat Merdeka, yang bisa disingkat GSM, yang mengacu ke Goenawan Soesatyo Mohammad, salah satu pendiri majalah TEMPO, yang pernah digosipkan menuliskan beberapa bagian novel SAMAN, yang merupakan novel karya pertama Ayu Utami yang memenangkan sayembara penulisan novel tahun 1998.
You can guess, di mata seorang Taufik Ismail, karya Ayu Utami—yang merupakan salah satu anggota KUK—tentu dimasukkan kedalam kategori sastra sampah.
Aku menganggap diri sebagai seseorang yang berada di luar barisan sastrawan maupun kritikus sastra Indonesia, meskipun dulu aku kuliah di jurusan Sastra Inggris, dan kemudian kulanjutkan di program American Studies dan mengambil jurusan American Literature and Culture. Selain itu aku juga mengajar beberapa kelas sastra di tempat kerja. Aku hanya merupakan salah satu penikmat karya sastra Indonesia, walaupun jumlah karya yang kubaca masihlah sangat terbatas. I can mention some “qualified” works I have read, such as “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, salah satu karyanya yang sangat terkenal berhubungan dengan ‘takdir’ seorang perempuan; “Para Priyayi” karya Umar Kayam; “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangunwijaya, untuk karya yang kontemporer, “Saman” dan “Larung” karya Ayu Utami, “Cantik itu Luka” karya Eka Kurniawan, “Supernova – Petir” karya Dewi Lestari, “Lelaki Terindah” karya Andrei Aksana. Untuk karya ‘klasik’ such as “Salah Asuhan” karya Abdul Muis, “Atheis” karya siapa entah aku lupa L, kubaca sewaktu kuliah S1 dulu untuk kuliah “Kritik Sastra”. Selain itu, aku juga penikmat karya-karya Djenar Maesa Ayu, Agus Noor dan beberapa penulis lain.
Akan tetapi, meskipun aku merasa bukan merupakan barisan sastrawan maupun kritikus sastra, tentu tidak begitu saja aku suka dengan ide dikotomi sastra kanon dan sastra sampah. Seperti yang kutulis dalam salah satu post di blog yang kuberi judul “High Literature versus Popular Literature” yang lumayan menarik perhatian orang untuk berkomentar (you can check it in my two posts at
http://afeministblog.blogspot.com/2007/09/high-literature-vs-popular-literature.html). Siapa yang merasa berhak untuk ‘menghakimi’ bahwa satu karya itu hebat sekali sehingga bisa dikategorikan masuk ‘kanon’ dan yang lain tidak, bahkan cenderung dimasukkan ke dalam kategori sastra sampah? Banyak orang mengelu-elukan karya Pramoedya Ananta Toer; bahkan Professor Hugh Egan, salah satu dosen tamu sewaktu aku kuliah S2 dulu menyukainya, dan menyesal karena ketidakmampuannya dalam bahasa Indonesia memaksanya untuk ‘hanya’ membaca karya Pram yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Namun orang yang tidak bisa menikmati tulisan model Pram—contoh aku—tentu merasa heran, “Kok bisa karya seperti ini masuk kanon?” dan aku merasa sangat berhak untuk mempertanyakan hal itu, karena selera orang yang berbeda-beda.
Contoh lain, sebelum gerakan feminisme mengemuka di dunia Barat sana, tidak ada antologi yang memasukkan karya-karya penulis perempuan, seperti Charlotte Perkins Gilman, Anna Wickham, dll. Dan seperti yang kutulis dalam post “High Literature versus Popular Literature”, kanon itu tidak bersifat ‘mati’ namun terus berkembang. Hal ini berarti dikotomi sastra kanon versus sastra sampah tidak layak diimani, kita harus selalu menghormati selera orang untuk memilih membaca apa. Aku yakin karya yang ‘baik’ tentu akan senantiasa dibaca orang sepanjang zaman.
Waktu membaca message pertama tentang tuduhan Taufik Ismail “Gerakan Syahwat Merdeka” kepada KUK, aku sudah penasaran seperti apa sih pernyataan Taufik itu? Abangku yang pertama kali mendengar nama ‘Ayu Utami’ beberapa bulan lalu (better late than never, eh? LOL) dari emailku sempat heran dan bertanya kepadaku, “How did Ayu illustrate sexual scenes in her novel?” Untuk menjawabnya, aku sempat kepikiran untuk menulis artikel yang berupa rangkuman kritik-kritik atas “Saman” dan “Larung” di beberapa buku yang kumiliki untuk blog. Biasanya aku suka melakukan sesuatu ‘when the iron is hot’ alias kalau sedang hot-hotnya suatu masalah diperbincangkan. Nah, waktu itu, unfortunately, sedang bulan puasa (enak gila, punya scapegoat, LOL) dan aku sering merasa pusing kalau perut sedang lapar. Kalau pusing gitu, I cannot write anything, apalagi yang rada ‘berbobot’ begitu, kalau hanya sekedar chit-chat, tinggal nulis apa yang ada di benakku, tanpa harus ngeliat referensi ini itu, ya bisa sih. Waktu aku bilang ke Abang tentang ‘black sheep’ itu, LOL, dia menyarankan, “Puasamu berhenti sebentar dong Na, sejam dua jam gitu?” hahahaha ... “Buat nulis. Setelah itu, puasamu dilanjutkan lagi.” J katanya lagi. But of course I didn’t do it sampai “the iron was getting cooler ...” dan moodku nulis itu pun hilang.
Oh ya, polemik ‘hot’ itu dibuat tambah panas dengan puisi tulisan Saut Situmorang yang berjudul “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu”, padahal Saut sendiri berada di barisan penolak karya-karya dari KUK. Lah, vulgar banget kan judulnya? Berikut ini kusertakan satu puisi lain milik orang yang sama, yang dimuat di harian Republika dan sempat menyulut kemarahan publik, terutama orang Hindu Bali.
para pelacur pun
masih di kamarnya bergelut. dalam kabut
alkohol aku biarkan kata kata
menjebakku dalam birahi
rima metafora. kemulusan kulit
kupu kupumu dan garis payudaramu
yang remaja membuatku cemburu
pada para dewa yang, bisikmu,
menggilirmu di altar pura mereka.
to be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar