Post ini lanjutan dari ini.
Berikut ini
kukutipkan bagian akhir novel “Saman” yang berupa percakapan lewat email antara
Yasmin dan Saman.
New York, 11
Juni 1994
Yasmin,
Aku
masturbasi.
Jakarta, 12
Juni 1994
Saman,
Aku terkena
aloerotisme. Bersetubuh dengan Lukas tetapi membayangkan kamu. Ia
bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan.
Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu.
New York, 13
Juni 1994
Yasmin,
Aku cemburu.
Kamu bersetubuh, aku tidak. Bukankah Lukas lebih perkasa? Aku terlalu cepat.
Kalaupun aku bisa menghamili kamu, tentulah aku orang yang efisien, yang
membereskan suatu pekerjaan dalam waktu amat singkat.
Jakarta, 14
Juni 1994
Saman,
Lukas memang
terlatih. Dengan dia rasanya seperti olah raga. Setiap hitungan empat kali
delapan dia ganti gaya. Apa bedanya dengan exercise di gym yang melelahkan?
New York, 15
Juni 1994
Yasmin,
Tentu saja
bedaya adalah ada klimaks. Kalau kamu jujur, kamu tidak orgasme waktu dengan
aku, kan?
Jakarta, 16
Juni 1994
Saman,
Orgasme
dengan penis bukan sesuatu yang mutlak. Aku selalu orgasme jika membayangkan
kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.
New York, 19
1994
Yasmin,
Mungkin
persetubuhan kita memang harus hanya dalam khayalan. Persanggamaan maya. Aku
bahkan tidak tahu bagaimana memuaskan kamu.
Jakarta, 20
Juni 1994
Saman,
Tahukah
kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan
menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu.
Aku perkosa kamu.
New York, 21
Juni 1994
Yasmin,
Ajarilah
aku. perkosalah aku.
Membaca
judul puisi Saut “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu” membuatku tersedak,
jijik, dan malu pada diri sendiri. Demikian juga tatkala membaca puisi yang
dimuat di Republika itu, tanpa mengetahui konteksnya bagaimana, tiba-tiba ada
kata-kata “para pelacur bergelut di kamar” dan “garis payudaramu ...”. well,
mungkin karena berupa puisi, sehingga tidak ada ‘ancang-ancang’ untuk menuju
kesana, puisi biasanya memiliki keterbatasan jumlah kata, namun bila berada di
tangan seorang penyair yang piawai, puisi satu atau dua baris bisa bermakna
lebih dari seribu kata. Atau mungkin karena aku tidak memiliki copi puisi itu
yang utuh?
Sedangkan
akhir bagian novel “Saman” itu, maklum namanya juga novel yang kaya dengan
kata, banyak konteks dan teks yang mengawali dan akhirnya berujung ke
percakapan antara Saman dan Yasmin yang hot tersebut. Membaca novel ini sejak
awal, sampai bagian akhir halaman 197, dengan pilihan alur cerita yang maju
mundur, dengan beberapa tokoh sentral (Laila, Saman, Shakuntala, plus Yasmin),
emosi pembaca ikut terbangun, sehingga kesan ‘ujug-ujug vulgar’ tidak ada
menurutku. Semua ada alasan mengapa dituliskan. Tidak ada kesan dipaksakan,
tatkala beberapa kata yang mungkin bisa jadi berkonotasi vulgar muncul di satu
kalimat, tanpa konteks yang mendukung, seperti beberapa contoh di atas,
‘penis’, ‘persanggamaan’, ‘masturbasi’, dll. Orang tidak bisa memenggal hanya
beberapa bagian kalimat, atau lebih ekstrim lagi, penggunaan beberapa kosa kata
saja, tatkala melakukan kritik terhadap karya ini, dan kemudian dengan mudah
melabelinya “gerakan syahwat merdeka”. All words there were written for a
specific reason, karena berhubungan dengan alur cerita.
By the way,
baru malam ini aku ‘menemukan’ salah satu file dalam flash disk yang memuat
tulisan Taufik Ismail, aku lupa entah kapan aku mendownloadnya dari internet.
Membaca file itu ‘menyulut’ antusiasmeku untuk menulis ini, “the iron is hot
again”. LOL.
Berikut ini
kutulis tuduhan Taufik Ismail kepada KUK:
HH tidak
merasa peduli dengan destruksi sosial luar biasa raksasanya yang dilancarkan
sepuluh pelaku Gerakan Syahwat Merdeka itu:
1) praktisi
sehari-hari seks liar,
2) penerbit
majalah dan tabloid mesum,
3) produser
dan pengiklan acara televisi syahwat,
4) 4.200.000
situs internet porno dunia,
5) produsen
dan pengecer VCD-DVD biru,
6) penerbit
dan pengedar komik cabul,
7) penulis
cerpen dan novel syahwat,
8) produsen
dan pengedar narkoba, 40 orang mati sehari,
9) fabrikan
dan pengguna alkohol,
10) produsen
dan pengisap nikotin, 150 orang mati sehari.
FYI, HH di
atas adalah initial Hudan Hidayat, salah satu member KUK, yang sempat
‘menyambut’ polemik yang diawali oleh Taufik Ismail (kusingkat jadi TI aja
yah?), yang lain nampaknya adem ayem aja. Ayu Utami juga anteng-anteng aja.
Nampaknya, karena aku tidak mengikutinya langsung, hanya membaca beberapa
messages yang diforward ke milis RumahKitaBersama.
Aku heran
tatkala membaca kesepuluh tuduhan TI kepada KUK. Mengapa kesepuluh tuduhan itu
melulu ditujukan kepada KUK sehingga seolah-olah KUK harus bertanggung jawab
atas dekadensi moral yang terjadi di negeri ini? Banyak aspek atau pihak lain
di negara kita tercinta ini yang kupikir juga mengambil peran penting atas
kebobrokan moral—moral yang mana? “moral” yang dimaksud oleh orang-orang
fundamentalis, mungkin.
Aku akan
mencoba menulis pendapatku satu persatu atas kesepuluh tuduhan tersebut.
1) praktisi
sehari-hari seks liar,
Memangnya
sebelum KUK terbentuk, tidak ada seks liar (yang kuterjemahkan sebagai seks
yang bukan dilakukan oleh pasangan resmi menikah) di Indonesia? Dari artikel
“Free Sex: a ‘co-culture’ in Indonesia (already)?” yang kulempar ke milis
RumahKitaBersama, aku mendapatkan sambutan dari beberapa member yang membuat
mataku lebih melek bahwa praktek seks di luar menikah ini sudah lama dilakukan
di Indonesia, hanya saja orang-orang masih hipokrit, tidak mau mengakui bahwa
that has existed here, di negara yang sok suci, sehingga penerbitan majalah
‘Playboy’ menggegerkan seluruh negeri, namun tabloid-tabloid dan
majalah-majalah porno yang telah ada sekian lama dicueki saja.
2) penerbit
majalah dan tabloid mesum,
Aku tidak
yakin apakah keberadaan semua majalah dan tabloid mesum yang terbit di
Indonesia ini harus menjadi tanggung jawab KUK. Di kota Semarang, koran METEOR
yang senantiasa memasukkan unsur porno yang vulgar—terutama dalam bentuk
berita, atau cerita—apakah juga merupakan tanggung jawab KUK? Kalau dipaksakan
jawabnya, “IYA”, kok bisa? Bagaimana prosedurnya?
3) produser
dan pengiklan acara televisi syahwat,
Count me out
for watching television!!! Terkadang kalau aku sempat menonton televisi—ketika
makan bersama anakku misalnya—memang kadang aku mendapati iklan-iklan yang
merendahkan kaum perempuan. Misal ada iklan kopi dimana seorang tokoh laki-laki
berucap, “Pas susunya...” dan pada saat itu dia sedang menonton televisi yang
sedang menunjukkan bagian dada seorang perempuan. Jika Ayu Utami yang feminis
itu pernah berhome-based di KUK, masak orang-orang di komunitas tersebut tidak
‘tertulari’ semangat feminis Ayu Utami yang ingin memerangi pelecehan terhadap
perempuan? Iklan tersebut jelas-jelas melecehkan perempuan, masak—seandainya
KUK harus bertanggung jawab dengan iklan-iklan maupun program sejenis itu—Ayu
Utami akan diam saja? Atau orang-orang lain di KUK yang kubayangkan tentu
pernah terlibat diskusi tentang kesetaraan gender akan ikut menikmati acara
sejenis itu?
4) 4.200.000
situs internet porno dunia,
Again, apa
hubungannya dengan KUK keberaan jutaan situs internet porno ini? KUK
mendapatkan keuntungan dari sini kah? SEDUNIA BO’!!! sebegitu terkenalkah KUK
di dunia ini sehingga semua situs internet porno berkolaborasi dengannya?
5) produsen
dan pengecer VCD-DVD biru,
Well, di era
tiga atau empat dekade lalu mungkin belum berbentuk VCD maupun DVD, tapi
film-film biru tentu telah ada di Indonesia sejak tiga atau empat dekade atau
lebih. KUK ‘dibentuk’ atau ‘berdiri’ tahun berapa ya? Aku belum tahu, belum
ngecek di situs resmi KUK.
6) penerbit
dan pengedar komik cabul,
Sama dengan
yang di atas, ini kan udah lama juga beredar di Indonesia?
7) penulis
cerpen dan novel syahwat,
Dalam
artikel “Membaca [lagi] Seksualitas Perempuan” dalam bukunya yang berjudul
KAJIAN BUDAYA FEMINIS, Aquarini memprotes tulisan Sunaryono Basuki yang dimuat
di KOMPAS Minggu 4 April 2004, mengapa kalau penulis laki-laki—contoh Motinggo
Busye—sah-sah saja menuliskan tentang seksualitas di karyanya, namun penulis
perempuan tidak boleh? Untuk itu, Motinggo Busye tetap dianggap sebagai
“sastrawan yang layak dipuji” karena menghasilkan karya-karya sastra yang
“serius”, sedangkan penulis-penulis perempuan—such as Ayu Utami dan Djenar
Maesa Ayu—dikategorikan dalam “penulis yang tidak bermoral”.
Look,
anggapan yang tak jauh beda dengan apa yang kutulis dalam post “High Literature
versus Popular Literature” tentang dikotomi sastra kanon dan sastra non-kanon.