Cari

Rabu, Juni 25, 2008

Ilmu Pengetahuan

“Ilmu pengetahuan, kelihatannya, bukannya tak berjenis kelamin; dia laki-laki, seorang ayah, dan kena sifilis pula.” (Virginia Woolf, seorang penulis feminis berasal dari Inggris.)


Berapa abad dunia ini telah ‘dikuasai’ oleh kaum laki-laki? Uncountable centuries!!!
Tidaklah mengherankan jika ‘kemunculan’ ilmu-ilmu pengetahuan pun berasal dari pemikiran kaum laki-laki, perempuan hanya duduk di bangku penonton. Laki-laki yang menguasai dunia permainan ini menggunakan cara berpikirnya, berdasarkan pengalaman-pengalamannya kemudian membentuk atau menciptakan berbagai macam teori dalam berbagai ilmu, tanpa memasukkan cara berpikir maupun pengalaman kaum perempuan yang hanya menjadi penonton. Sayangnya kemudian para laki-laki ini menggeneralisasi bahwa cara berpikir mereka mewakili kaum laki-laki dan perempuan. Perempuan yang tidak dilibatkan dalam berbagai penemuan ilmu pengetahuan ini (karena mereka didomestikasi) diharuskan memandang segala macam persoalan/kasus dari sudut pandang laki-laki pula.
Contoh yang sangat ringan. Laki-laki selalu merasa bahwa mereka diciptakan lebih kuat dibanding perempuan karena mereka menciptakan parameter untuk kekuatan ini. Laki-laki mampu mengangkat beban seberat 100kg, misalnya, sedangkan bagi perempuan hal ini sulit dilakukan. Well, kalaupun ada, at least, tidak sembarang perempuan mampu melakukannya.
Gerakan perempuan mulai kelihatan taringnya di awal abad 19, terutama ketika ada KTT perempuan pertama pada tahun 1848 di Seneca Falls di Amerika, yang bisa dikatakan sebagai tonggak mulainya perjuangan panjang kaum perempuan untuk mensejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki. Munculnya generasi feminisme yang pertama—feminisme liberal—mengupayakan hak kaum perempuan untuk menikmati bangku sekolah, dan ikut berpolitik. Feminisme liberal ini kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan perempuan yang lain.
Kembali ke contoh yang sangat ringan di atas. Seandainya kaum perempuan menciptakan parameter untuk kekuatan, tentu mereka akan menggunakan tolok ukur yang berbeda. Mengapa Tuhan menciptakan kaum perempuan yang katanya lemah ini lengkap dengan rahim, yang kemudian dari rahim itu akan muncul generasi-generasi yang akan datang? Tentu karena kaum perempuan lebih kuat dibanding kaum laki-laki. Lebih banyak perempuan yang mampu hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan laki-laki yang berusia sama, karena perempuan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan. Lebih kuat kan?
Perempuan dengan pengalamannya sebagai pihak yang dimarjinalisasi dalam kultur patriarki ini, yang ingin bangkit untuk setara, mulai bersatu dan masuk ke ranah yang dianggap eksklusif milik kaum laki-laki; yakni dengan mulai menciptakan teori-teori baru, ditemukanlah cara-cara berpikir baru dengan mengedepankan pengalaman perempuan yang tentu sangat berbeda dengan pengalaman laki-laki.
Dalam bidang Sastra—karena aku berasal dari disiplin Sastra—gerakan perempuan ini berhasil menemukan tulisan-tulisan kaum perempuan yang telah lama terkubur dan dilupakan orang, sementara tulisan kaum laki-laki yang sezaman masih sering ditemukan sampai sekarang ini. sebelum ada gerakan perempuan, karya-karya milik penulis laki-laki merajai KANON. Seandainya orang menilik THE NORTON ANTHOLOGY OF AMERICAN LITERATURE, tentu mereka akan lebih banyak menemukan karya kaum laki-laki yang memberikan kesan seolah-olah kaum perempuan pada waktu itu hanya duduk manis di dapur, memasak untuk suami dan anak-anak. Kalaupun ada karya penulis perempuan yang masuk ke dalam antologi, tentu berkisar ke itu-itu saja, misalnya saja di Amerika, nama Emily Dickinson sangatlah terkenal atau Jane Austen dari Inggris. Tulisan-tulisan kaum perempuan lain dianggap tidak layak untuk masuk ke dalam KANON karena cara penilaiannya yang tentu masih sangat male-oriented.
Gerakan perempuan mampu menguak kembali banyak karya penulis perempuan yang telah lama dilupakan orang. Misalnya: Charlotte Perkins Gilman dari Amerika, dan Anna Wickham dari Inggris.
Sandra Gilbert dan Susan Gubar membukukan hasil risetnya dalam buku THE NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN. Dengan memasukkan female perspectives, dengan pengalamannya sebagai perempuan, banyak karya-karya penulis perempuan yang layak pula masuk KANON. Dari contoh di bidang Sastra ini kita mampu menarik kesimpulan betapa this male-dominated world telah berbuat tidak adil kepada kaum perempuan.
Aku mengawali artikel ini dengan meng-quote kata-kata Virginia Woolf, aku ingin mengakhirinya dengan meng-quote kata-kata Annie Leclerc:

“Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki”.

PT56 14.38 241206

Rabu, Juni 18, 2008

Ngepit menyang kantor :)


Catatan tambahan untuk pengalaman pertama “ngepit menyang kantor”. 
Karena aku berangkat satu jam sebelum jam kerja mulai, bisa dipahami jika aku datang nomor satu. Sesampai di ruang guru, aku langsung menyalakan AC, ngadem sejenak di bawahnya, kemudian menyalakan “the cutie”. Dan mulailah aku scribble tulisan yang kuberi judul THE FIRST TIME ...
Tak lama kemudian seorang rekan kerja datang, menyapaku ramah, “Aih tumben, bu Nana datang duluan.” (NOTR: biasanya aku jarang datang duluan nih. LOL.)
Karena aku terkena demam b2w, aku langsung menyambut sapaannya dengan agak berteriak, “GUESS WHAT? I BIKE TO WORK TODAY!!!” sambil mengepal-ngepalkan tanganku ke udara. (ndeso poll yah? hahahaha ...)
“Wow ... you really did it, Ma’am?” (alias “Wah, beneran nih Bu Nana terprovokasi bike to work?”)
“Yup! Aku sedang nulis nih pengalamanku tadi.” Kataku.
“Aku mau liat sepeda Bu Nana dong,” katanya.
“Ada tuh di depan, keluar dari pintu, sebelah kanan, tempat biasa aku markir motor,” jawabku. (NOTE: “tempat biasa” ini telah kukontrak seumur hidup. Wakakakaka ...)
“Ah nanti aja...” komentarnya.
Aku melanjutkan ngetik.
Rekan kerjaku ini ternyata memperhatikan baju yang kukenakan. Katanya, “Oh, itu sebabnya you are wearing jeans and polo shirt now?”
“Iya, aku bawa baju ganti kok, biasa rok panjang hitam plus blus hitam.”
Seorang rekan kerja lain datang. Rekan kerja yang pertama pun berpromosi,
“Eh mbak, Bu Nana bike to work loh hari ini.”
“Oh ya? Is that true, Ma’am?” tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk-angguk, masih meneruskan ngetik.
“Wah ... Bagaimana kalau kita juga naik sepeda ke kantor?” ajak rekan kerja #2.
Rekan kerja #1 ga komentar.
“Oh, kamu ga bisa naik sepeda kok ya?” kata rekan kerja #2.
Rekan kerja #1 cuma mengangguk-angguk.
Aku sempat heran mendengarnya. Tapi aku ingat salah satu guruku waktu SMA juga mengaku ga bisa naik sepeda. Karena trauma waktu kecil jatuh dari sepeda. Beliau juga takut naik becak. Mungkin pernah jatuh dari becak juga? Entahlah. LOL.
Aku juga ingat seorang teman sekelas waktu kuliah S2 yang keman-mana diantar sang suami yang setia naik motor. Belakangan ketahuan ternyata temanku yang memiliki tubuh tinggi dan lumayan atletis ini tidak bisa naik motor maupun sepeda.
Seusai mengajar hari itu, beberapa rekan kerja ‘mengantarku’ keluar kantor. Tanya kenapa? Mereka pengen melihatku naik sepeda. LOL.
*****
Dari kantor aku sempat mampir ke warnet yang terletak di Jalan Imam Bonjol, ga jauh dari kantor. Aku ingin segera posting tulisan yang kubuat pada hari Minggu di blog.
Waktu memasuki areal parkir, pak Satpam yang berperan juga sebagai tukang parkir menyambutku begini,
“Wah, naik sepeda mbak? Tak kira tadi cowo. Ternyata mbak-e. Gara-gara harga bensin naik ya?”
“Betul Pak...” jawabku.  Setelah memarkir sepeda, aku langsung masuk gedung.
Setelah usai, kurang lebih 10 menit sebelum pukul 21.00, aku bingung mencari-cari dompet di tas kok ga ada? Tasku berisi the cutie and the cable, rok plus blus, handuk plus sabun mandi (yang ga jadi kupakai karena ternyata aku ga terlalu berkeringat, maklum cuma naik sepeda 6 menit doang!) dan beberapa buku. Berhubung isinya segala macam, LOL, kupikir dompet nyungsep di sebelah mana gitu.
Namun ternyata meskipun semua ‘benda’ itu telah kukeluarkan, aku ga juga menemukan dompetku.
“Goodness ... aku lupa memasukkan dompet ke tas,” keluhku.
Namun berhubung, wajahku ini sudah ‘tercemar’ alias semua pegawai warnet mengenaliku sebagai member yang cukup rajin datang, dengan ‘muka tembok’, LOL, aku bilang ke seorang laki-laki, kira-kira 15 tahun lebih tua dariku, yang duduk di kursi kasir,
’Waduh Pak, maaf Pak, lupa bawa dompet nih. Saya bayarnya besok ga papa kan?”
Dan, seperti yang telah kuperkirakan, si Bapak itu bilang,
“Oh, ga papa mbak, santai aja. Bayar besok juga boleh.”
Asik ...
(memang bermuka tembok kadang-kadang diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain. Hahahaha ...)
Sesampai di tempat parkir, aku mengatakan hal yang sama kepada yang jaga parkir.
Komentarnya, “Mbak lupa masukin dompet karena hari ini naik sepeda sih.” huehehehe ...
Aku selalu senang jika ada sesuatu yang bisa kujadikan ‘scapegoat’ alias kambing hitam. LOL. Selama aku ga merugikan orang lain ajalah. Dan yang kujadikan kambing hitam ga protes. LOL.
PT56 14.35 180608

Senin, Juni 16, 2008

The First Time ...


“I did it!!! I shouted inside my heart, talking to myself. :-D
This reminded me of one ‘motto’ I once joked to one loved ones of mine, “There will always be the first …”
The first in anything …
The first marriage …
The first divorce …
The first baby …
The first boyfriend/girlfriend …
The first book to buy …
The first book to read …
The first book to publish …
The first job …
You name it.
Including what I just did today: THE FIRST TIME BIKE TO WORK!!!
Today, Monday 16 June 2008 the electricity was off when I arrived home from Paradise Club, one fitness center in Semarang. I was very disappointed of course since I couldn’t do one dearest hobby of mine: SCRIBBLING SOMETHING while in fact when at PC I already planned what to write after taking a shower.
Since nothing I could do but reading, so after taking a shower I just lazed myself away on my comfortable bed although a bit hot since the fan was off (due to the blackout). After browsing one gossip tabloid (and feeling entertained when reading a movie review of SEX AND THE CITY movie, can’t wait to watch it! When will it come to my hometown? SATC is my favorite television serials, although I didn’t watch it on television.) and today’s (local) newspaper, I tried napping.
However I couldn’t fall asleep.
My mind was full of what I want to write.
I don’t know from where the idea came but I started to think of going to the office by bike today. Yesterday I wrote three short articles on ‘bike to work’ to post at my blog. Absolutely I support this healthy and environmentally-friendly habit. I started think of telling the members of b2w Semarang mailing list that I also have done it. (FYI, just a couple of days ago I joined the mailing list.)
Amused by the idea to tell the b2w gang, I became more sure.
Wanna know my experience during my ‘trip’ to the office, that in fact only took 6 minutes? (My dwelling place is in Pusponjolo, while my office is on Pierre Tendean street.) I was wearing blue jeans, a long-sleeved black polo shirt, sandals (or in Indonesia they are called ‘shoe sandals’), black socks and an old green hat of mine (I bought it in 1986!). When passing a garage in the next alley, a mechanic shouted, “Ayo mbak, ngetrek mbak!” (“Come on, sis, be fast!”) Nearing the roundabout before Banjir Kanal river bridge, a group of police inside a car passing by me looked at me, one of them said, “Ayo mbak, ngebut!” (“Come on, sis, ride it quickly!”)
I thought it must be caused by the yellow tagline under the saddle saying BIKE TO WORK.
I feel glad. Although a little, I have tried doing something to join the crowd to reduce the air pollution of our earth.

P.S.: After arriving at the office, I 'changed' my clothes to my 'usual' so-called uniform, a long black dress, and a black blazer, but minus my lovely black boots. :)
LL 14.53 160608

Bike to work


“I am not sure if you will succeed in gathering many people to join that b2w community,” this was Angie’s pessimistic comment when seeing the flyer of ‘bike to work’.
I said nothing to hear that. I am more optimistic than she is, I assume.
However, Angie’s comment reminded me of one nineteenth-century American thinker, Henry David Thoreau with his experience living around a pond, all alone, away from ‘civilized society’, that he wrote in his book entitled WALDEN. He did that to criticize American government that he thought damaged the environment by building trans-continental railway during the decade of 1860s. Despite the fact that the railway would help improve the transportation so that it would also result in good business plus profit, smoke coming out of the train would absolutely damage the environment. Thoreau, the true environmentalist, extremely objected the railway building. But what could a Thoreau do to stop it? Even, his good friend as well as teacher, Emerson, only expressed his objection toward the then government’s so-called crazy idea. Emerson did not do any real action to show it.
Bike-to-work idea itself is great and easy to do. This is also obviously more possible to carry out rather than Thoreau’s idea to leave the city he lived to live in a forest, living like a hermit, away from other people, only consuming anything he found in the forest. I believe that it is an absurd thing to do what Thoreau did in this internet era. Do you agree?
So, why is it difficult to attract people’s attention to join b2w community? (This is the result of seeing some people’s reluctant reaction when getting the flyer of b2w during ‘fun bike’ held in Semarang on June 15, 2008) It is essential that we do care for our environment, isn’t it?
I think the answer is on Indonesian people’s way of life. We are ‘popular’ to have high-class lifestyle. Have you ever heard how Indonesian government officials went to a building where they would get debt from some debtor countries? While the officials from the debtor countries came by a simple car, Indonesian officials came by a luxurious car.
Japan that used to colonize Indonesia from 1942-1945 successfully rose from the crumble due to the bomb to Hiroshima and Nagasaki. It has become one giant country in Asia. But look at the people’s way of living. Although many of them have private cars, they would prefer to go by public transportation. In Indonesia, people would prefer to show off their ‘property’ by driving cars or riding motorcycles that probably they haven’t fully paid. They would rather expose their prestige. Likewise, other people would prefer to show their respect to people driving cars rather than people riding motorcycles. (Try going to a mall or supermarket close to your dwelling place by bike and see how the parking person will treat you!)
Last Saturday morning on my way to my workplace located 11 kilometers away from my dwelling place, when passing Gombel ‘hill’, suddenly I daydreamed to see other motorists riding a bike. No vehicles on the road but bikes and buses (as public transportation). I daydreamed not to breathe polluted air.
PT56 21.31 150608

B2w Semarang


“Bike to work” alias sering disingkat menjadi b2w mulai mendapatkan atensi yang lumayan serius di Semarang, dengan dibentuknya komunitas bike to work Indonesia Chapter Semarang. Salah satu anggota komunitas yang sangat gigih yakni Triyono (bisa dilihat profile-nya di http://aluizeus.multiply.com merintis komunitas ini dengan mengumpulkan beberapa orang yang berminat sama dengannya, dengan cara ‘bergerilya’ lewat jaringan dunia maya di www.multiply.com juga dengan membentuk mailing list b2w-semarang@yahoogroups.com.
Hari Minggu jam enam pagi dipilih sebagai saat untuk kopi darat anggota komunitas b2w Semarang di depan Gedung Telkom Jalan Pahlawan Semarang. Kebetulan pada tanggal 15 Juni 08 ada acara ‘fun bike’ di Balai Kota Semarang. Event ini digunakan oleh komunitas b2w Semarang untuk menjaring lebih banyak anggota, dengan menyebarkan flyer b2w. Itu sebab pada hari tersebut acara kopi darat dipindah ke Jalan Pemuda.
Inilah motto yang dicetak di flyer tersebut:

KURANGI DAMPAK GLOBAL WARMING.

KALAU BUKAN KITA LALU SIAPA?
KALAU TIDAK SEKARANG LALU KAPAN?
LET’S ACT BEYOND GREEN!
LET’S BIKE TO WORK!!

AYO BERSEPEDA KE TEMPAT KERJA!
CIPTAKAN GAYA HIDUP BARU YANG LEBIH SEHAT, HEMAT DAN RAMAH LINGKUNGAN. BERGABUNGLAH BERSAMA KAMI BIKE TO WORK INDONESIA CHAPTER SEMARANG

Kita lah yang telah membuat lingkungan tempat tinggal kita menjadi tidak bersahabat dengan kita, dengan menciptakan kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap, pabrik-pabrik yang menghasilkan limbah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup kita, menebang pohon semena-mena tanpa perhitungan yang matang. Kita sendiri pula yang harus menderita karena tindakan kita merusak alam. Sehingga kita juga yang harus melakukan tindakan preventif untuk mencegah perusakan alam menjadi lebih parah.
Gerakan menanam sejuta pohon telah mulai digalakkan di beberapa tempat.
Bagaimana kalau kita ikut serta dengan membiasakan diri naik sepeda untuk mengurangi kadar polusi di bumi yang kita tinggali?

Salam sejuta sepeda di Semarang.
PT56 20.10 150608

Di bawah ini, foto-foto event 15 Juni 2008



Bersepedaan Yuk?


Beberapa minggu yang lalu, aku disapa oleh seseorang di Multiply page-ku yang beralamat di http://afemaleguest.multiply.com. Sapaan dari seseorang yang beralamat di http://aluizeus.multiply.com itu merupakan ajakan untuk ikut komunitas “b2w”.
“b2w” apaan yah?” tanyaku kepada seorang rekan kerja, sekeluarku dari warnet yang terletak di sebelah tempat kerjaku.
“No idea either, Ma’am,” jawabnya.
But then ketika di buku CV1 yang dia bawa dia temukan istilah ‘bike to work’, kontan dia langsung berkomentar, “Bike to work, kali Ma’am?”
“Aha ... probably,” jawabku.
Kontan aku ingat Abangku yang pernah bercerita tatkala dia masih tinggal di Kelapa Gading, Jakarta dia pernah memiliki kebiasaan ‘bike to work’, alias berangkat bekerja naik sepeda. Waktu itu dia memiliki kantor yang berlokasi di kompleks perumahan yang sama, Kelapa Gading, tahun 1998-2001, sehingga dia bisa mempraktekkan kebiasaan yang ramah lingkungan ini, tanpa harus menjadi ‘korban’ menghirup udara Jakarta yang penuh polusi (karena tidak perlu keluar dari kompleks.) itu. Kadang-kadang dia bersama komunitasnya melakukan off-road trip ke daerah Puncak dan sekitarnya dengan naik sepeda tentu saja. FYI, dia pindah ke OZ tahun 2002. Sejak itu hanya di musim summer saja dia bersepeda di akhir pekan.
Waktu aku bercerita kepadanya aku pernah naik sepeda untuk ‘napak tilas’ jalan-jalan yang kulalui sewaktu ikut karate LEMKARI di bangku SMP sejauh 10 kilometer (dalam kegiatan karate, kita melaluinya sambil berlari, campur berjalan kaki, tanpa memakai alas kaki), dia ketawa, “Ah, 10 kilometer sih kecil Na. Itu jarak yang kulahap setiap hari!” katanya. Lah, memang aku kecil, sedangkan dia besar! Hahaha ... But, aku lupa satu hal yang seharusnya kuceritakan kepadanya waktu itu. Waktu ‘napak tilas’ itu, aku sendirian, naik sepeda mini berwarna kuning milik kakakku (NOTE: bagi pengunjung baru blogku, yang kusebut ‘kakakku’ berbeda dengan ‘Abangku’), dengan kondisi rem blong. So? Tatkala melewati tanjakan, sepeda kutuntun, waktu di jalan menurun pun sama, sepeda juga kutuntun. LOL. (NOTE: bagi orang Semarang, route napak tilas ini dari Pusponjolo ke arah Selatan, ke daerah Gedung Batu Sam Po Kong, Phaphros (carane nulis piye? Aku lali! LOL), naik ke daerah Jalan Gedong Songo, jalanan menanjak, (kalau ga salah ingat nama jalannya), trus sampai di daerah Manyaran, belok kanan yang sekarang menuju ke Gedung Persaudaraan Haji, turun setelah melewati rumah dinas Walikota Semarang, sampailah di Jalan Abdul Rahman Saleh, sebelum sampai Museum Ronggowarsito, belok kanan ke daerah Jalan Soeratmo, trus belok kiri ke arah Pamularsih, dari depan SMA Kesatrian, terus lurus ke Timur, sampai ke daerah Pusponjolo kembali.)
Kembali ke sapaan di multiply page-ku.
Betapa senang aku mendengar mulai ada komunitas ‘b2w’ di kota kelahiranku ini, meskipun rada skeptis karena kontur geografis Semarang yang kurang mendukung untuk bike to work. Semarang memang terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi. Bagi Abangku yang telah memiliki ‘track record’ mengikuti off-road trips tentu dataran tinggi ini tidak menjadi masalah, namun bagi para pemula, wah ... ngos-ngosan pisan!!! Bayangkan aku yang tinggal di Pusponjolo, dataran rendah, berangkat kerja ke kantor yang terletak di daerah Tembalang, dataran tinggi. (melewati berapa ‘bukit’ tuh? Naik di Gajah Mungkur, kemudian di Jalan Sultan Agung, Jalan Teuku Umar, dan puncaknya, di Gombel.) Sampai kantor, pingsan. LOL.
Seminggu berikutnya, mas Triyono yang beralamat di http://aluizeus.multiply.com menyapaku lagi, “Kalau mbak Nana sempat ke Simpang Lima besok Minggu pagi, mampir ya ke komunitas b2w Semarang, kita kumpul di depan gedung Telkom Jalan Pahlawan. Kita memasang tagline bike to work berwarna kuning di bawah sadel.”
He is such a determined person, isn’t he? 
Melihat kegigihannya, aku menawarkan adikku yang mulai menyukai naik sepeda untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak jauh dari rumah, misal ke pasar. Ini berkat ‘komporan’ kakakku yang sudah mulai bike to work di tempat tinggalnya di Cirebon. Ternyata adikku senang dengan tawaran ikut komunitas b2w.
By the way ...
Meskipun aku sempat menawari Angie mengantarnya ke sekolah naik sepeda, tatkala harga bensin naik sampai Rp. 6000,00 per liter, (Angie langsung menolaknya mentah-mentah!!!) untuk benar-benar mempraktekkan kebiasaan bike to work, aku punya satu kendala yang sangat mengganjal. AKU BELUM PUNYA SEPEDA milik sendiri.
Di rumah saat ini ada dua buah sepeda. Yang pertama, sepeda federal, yang di’import’ dari Cirebon tahun 1991, sehingga dia seusia my Lovely Star. Sepeda ini sudah lumayan lama, bertahun-tahun, mangkrak tidak dipakai. Setelah adikku dikompori kakakku untuk bike to work, sewaktu dia ke Cirebon beberapa bulan lalu, dia akhirnya memperbaiki sepeda yang sudah seusia Angie ini, dan kemudian mulai menaikinya, untuk olah raga, beberapa kali seminggu di pagi hari.
Sepeda yang kedua, sepeda mini, yang bentuknya tidak mini alias cukup besar, baru saja di’impor’ dari Cirebon juga beberapa minggu yang lalu. Sepeda ini dikirim kakakku untuk sarana olah raga adik bungsuku yang di bulan Desember dan Januari kemarin sempat opname di rumah sakit karena terkena penyakit typhoid dan dengue fever. Banyak orang yang menyarankannya untuk mulai rajin berolah raga untuk meningkatkan daya immune tubuhnya. Ditengarai karena dia tidak pernah berolah raga, tubuhnya menjadi rentan penyakit. Itu sebab kakakku tidak keberatan mengirimkan sepeda yang biasanya dinaiki istrinya ke Semarang. Lah, trus kakak iparku itu naik sepeda apa dong? Kebetulan, selain sepeda yang biasa dia naiki untuk berangkat ke kantor, kakakku punya sepeda ‘tandem’ yang bisa dinaiki berdua, sehingga sepeda ‘tandem’ ini cukup menjadi sarana olah raga jika kakak iparku kepengen berolah raga bareng kakakku.
Aku belum ada rencana untuk membeli sepeda sendiri. Rencana dalam waktu dekat: naik sepeda—pinjam sepeda mini yang semula milik kakak iparku itu—untuk pergi ke Paradise Club, tempatku ber-erobik ria maupun fitness dan berenang, yang terletak di Pondok Indraprasta, selama Angie libur kenaikan kelas, yang katanya berlaku selama kurang lebih tiga minggu, mulai 22 Juni sampai 13 Juli 2008.
PT56 14.54 150608

Rabu, Juni 11, 2008

Jawa, Cina, Arab


 

Satu ide lagi yang dipertanyakan oleh Titaley—tentang pertentangan antara etnis Jawa dan Cina—adalah kemungkinan pertentangan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama, daripada hanya sekedar dua etnis yang berbeda. Orang-orang keturunan Cina kebanyakan beragama Buddha/Kong Hu Chu/Kristen/Katolik; sedangkan orang-orang Jawa kebanyakan beragama Islam. Titaley mengemukakan pendapat ini berdasarkan pengalaman keluarga Ibunya yang keturunan Cina namun beragama Islam, yang tinggal di Pulau Serang. Mereka tidak pernah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari warga di sekitarnya. 


Para budayawan di Semarang mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di Ibu Kota Propinsi Jawa Tengah ini mencakup tiga etnis utama; yakni Jawa, Cina, dan Arab. Seandainya mengamini dikotomi antara pribumi dan non pribumi, maka ada dua etnis yang bisa dikategorikan non pribumi, yaitu orang-orang keturunan Cina dan Arab. Namun tatkala terjadi kerusuhan yang (mungkin) dikarenakan perbedaan etnis, maka hal itu berarti (hanya) antara Jawa dan Cina saja. Salah satu kerusuhan yang ‘sempat kualami’ sendiri yakni yang terjadi pada tahun 1980, dengan alasan yang tidak kuketahui. Dua hal yang kuingat dari kerusuhan tersebut: pertama, my Mom sangat khawatir dengan keselamatan my (late) Dad yang waktu itu berada di kantor, karena my (late) Dad looked like Chinese. Yang kedua: tiba-tiba orang-orang di sekitarku menjadi beringas dengan melemparkan batu-batu ke toko-toko milik orang-orang keturunan Cina. Aku tidak tahu alasannya, kecuali bahwa kata para tetangga mereka itu menumpuk harta sehingga mereka menjadi kaya.


Mengapa demikian? Jawabannya tentu karena mayoritas orang Jawa memeluk agama Islam, sama dengan agama yang dipeluk oleh orang-orang keturunan Arab. Agama Islam menjadi satu ikatan yang sangat kuat mempertautkan orang Jawa dan orang-orang (keturunan) Arab. Bukankah banyak juga orang-orang keturunan Arab yang kaya?


Sehingga cukup masuk akal jika ada orang yang mengatakan bahwa mungkin untuk menghindari kerusuhan serupa untuk terjadi lagi, orang-orang keturunan Cina itu seyogyanya memeluk agama Islam, seperti Laksamana besar Cheng Ho yang konon pernah menginjakkan kakinya di pesisir Semarang, dan membangun sebuah masjid sebagai petilasan, namun di kemudian hari beralih fungsi menjadi kelenteng, yakni bangunan bersejarah Gedung Batu Sam Po Kong.


Namun sangatlah tidak bijaksana jika agama dijadikan sebuah senjata. Bukankah dalam agama Islam, orang-orang (seharusnya) meyakini bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama? 


Seperti apa yang dilakukan oleh Widjajanti Dharmowijono, yang mendapatkan tugas membedah novel PUTRI CINA, kita harus kembali ke beberapa abad lalu, bagaimana pemerintah Kolonial Belanda menanamkan policy divide et impera, sehingga para ‘kaum pendatang’ (baca => keturunan Arab dan Cina) itu saling membenci, untuk mencari akar permasalahan, untuk kemudian bersama kita mencari solusinya, demi membentuk negara dimana para warganya benar-benar saling menghormati dan melindungi.


PT56 23.00 100608

 

What is an Indonesian?

Tatkala mengikuti acara BEDAH BUKU novel PUTRI CINA karangan Sindhunata, aku terpikat pada ide John A. Titaley, salah satu pemakalah, mengenai REDEFINING INDONESIA. Tatkala Soekarno dan M. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa kita yang kemudian diberi nama INDONESIA, seharusnya sejak itulah kita tak lagi mengkotak-kotakkan diri sebagai “Orang Jawa”, “Orang Batak”, “Orang (keturunan) Cina”, “Orang Ambon”, dll. Karena kita semua adalah ‘orang baru’, bangsa baru, yakni bangsa Indonesia.
“What is an Indonesian?” tanya Titaley.
“Find the answer in our Constitution, UUD 1945. Para ‘founding fathers’ yang termasuk dalam lembaga BPUPKI pada waktu itu telah memberikan definisi bangsa Indonesia yang tertulis dalam UUD 1945. Mereka adalah orang-orang Nasionalis sejati, yang berpikir dalam kerangka nasional, bukan kedaerahan, golongan, apalagi berdasarkan agama tertentu. Namun sayangnya, para ‘cerdik cendikia’ setelah era ‘founding fathers” kita, yang kemudian menuliskan beberapa bagian di amandemen, justru malah bersifat ekslusif kedaerahan, ataupun keagamaan, membuat masalah perbedaan menjadi runcing. Akibatnya, kerusuhan akibat SARA pun terjadi dimana-mana.”
“Seandainya kita benar-benar mendirikan bangsa INDONESIA, sesuai seperti yang didefinisikan oleh para pendiri bangsa kita itu, tidaklah mustahil kalau kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh SARA tidak akan terjadi lagi. Juga seperti yang digambarkan di dalam novel PUTRI CINA.”
Saat mendengarkan penjelasan Titaley, aku teringat apa yang ditulis oleh St. Jean de Crevecoeur (1735-1813) dalam eseinya yang berjudul “What is an American?” Berikut ini aku kutipkan sebagian kecil dari tulisan Crevecoeur:

What is the American, this new man? He is either a European, or the descendant of a European, hence that strange mixture of blood, which you will find in no other country. I could point out to you a family whose grandfather was an Englishman, whose wife was Dutch, whose son married a French woman, and whose recent four sons have now four wives of different nations. He is an American, who, leaving behind him all his ancient prejudices and manners, receives new ones from the new mode of life he has embraced, the new government he obeys, and the new rank he holds.
(The Norton Anthology of American Literature, 3rd edition, 1989, page 561)


Buku UUD 1945 yang kumiliki waktu aku sedang sekolah mungkin telah hilang dibawa banjir bandang yang melanda daerah tempat tinggalku pada bulan Januari 1990, sehingga aku tidak bisa mengecek apa yang dikatakan oleh Titaley, untuk mencari tahu definisi bangsa Indonesia menurut para pendiri bangsa kita.
Namun, seandainya ada seseorang yang menulis “What is an Indonesian?”, dengan mengambil ide yang ditulis oleh Crevecoeur, yang mengusung ide ‘nasionalisme’ dan bukan ‘kedaerahan’, that would be great.

“Orang Indonesia mencakup segala etnis dan agama yang ada di bumi Nusantara. Sang ayah mungkin adalah seseorang yang berdarah Manado (yang mungkin saja memiliki darah Belanda di tubuhnya) beragama Kristen, yang menikah dengan seorang perempuan Jawa (Islam Kejawen). Mereka memiliki tujuh orang anak yang menikah dengan orang Batak (Katolik), Sunda (Islam), Papua (Kristen), Bali (Hindu), keturunan Cina yang tinggal di Kalimantan (Buddha/Kong Hu Chu), keturunan Arab (Islam), dan Ambon (Kristen/Katolik).”


Ketika semua perbedaan itu hadir menjadi satu, dalam sebuah keluarga besar yang harmonis, saling menghormati, menyayangi, menerima apa adanya, maka kita tak perlu lagi dihantui akan terjadi kerusuhan atau tindakan sewenang-wenang karena merasa lebih baik, apalagi hanya karena merasa diri merupakan bagian dari mayoritas.
PT56 22.30 100608

Selasa, Juni 03, 2008

What is in a name?

 


Referring to the previous post I entitled “Sepuluh Tahun Reformasi”, frankly speaking when rereading it I felt a bit worried if my blog visitors (particularly those who do not have time to read my thorough posts in some blogs I have) think that I am a racist,. Especially the last part: the moral lesson of Sugiharti Halim’s experience. Just like what this particular character expected to have “Julianne” as her name, perhaps Chinese Indonesian would find less offensive experiences if they had ‘western’ names.


Of course everyone is free to pick any name they like most, not limited to what ethnic group they come from. I do appreciate any name and I usually call my friends/students their nicks they feel most comfortable. For example: this semester I have a female student who introduced herself as ‘Ninik Wijayanti’ at the beginning of our class. However, in the attendance list of the mid-term test several weeks ago, her name was written “Liem Kiong Nio”. I directly recognized it was her name since I found the names of the other Chinese Indonesian students in my class but hers. I didn’t ask her about that though. I was afraid if that would make her feel uncomfortable. Besides, it was not a crucial case anyway. (FYI, it is a small class, only consists of 10 students.)


I myself have a nick that is absolutely more popular than my real name printed in the birth certificate. When I was at school, I really did not like this name taken from Arabic. I thought I wouldn’t mind at all if my name were just NANA. In my childhood, I was embarrassed too if my schoolmates knew my family name PODUNGGE. To Javanese, PODUNGGE is absolutely a weird name. Many of them misspelled and mispronounced it. I did not want to be weird. I wanted to be the same as the others who did not have any weird family name. 


In the reality, many of my classmates when I was at college didn’t know my real name. Neither do most of my workmates now. Until now I still feel uncomfortable when people call me my real name because it gives me an impression that they keep a distance from me. Or they are acting too formally that I don’t like.


However coming back to what was stated in the short movie SUGIHARTI HALIM, what is in a name? Whether my name is NANA PODUNGGE or anything else, I am still me, my identity is still the same: a woman who claims herself as a feminist, secular, a single parent of my only daughter, loves reading, writing, blogging, swimming, listening to music. Nothing changes.


I am of opinion that it is high time for people to appreciate other people’s rights to choose any name they want so that there will be no more offensive and nosy questions experienced by Sugiharti Halim, “What is your real name?” or “What is your Chinese name?”


PT56 22.30 020608

Senin, Juni 02, 2008

Sepuluh Tahun Reformasi

Untuk memperingati sepuluh tahun reformasi, RUMAH SENI Semarang yang berlokasi di Kampung Jambe nomor 280 mengadakan pemutaran sepuluh film pendek yang berhubungan dengan tragedi Mei 1998, pada tanggal 25-27 Mei 2008 yang lalu.
Kesepuluh film pendek itu yakni:
1. Dimana Saya? Karya Anggun Priambodo
2. Sugiharti Halim, Karya Ariani Darmawan
3. Trip to the Wound, Karya Edwin
4. Bertemu Jen, Karya Hafiz
5. Huan Chen Guang, Karya Ifa Isfansyah
6. A Letter of Unprotected Memories, Karya Lucky Kuswandi
7. Kemarin, Karya Otty Widasari
8. Yang Belum Usai, Ucu Agustin
9. Sekolah Kami, Hidup Kami, Karya Steven Pillar Setiabudi
10. Kucing 9808, Catatan Seorang (Mantan) Demonstran, Karya Wisnu Suryapratama

Untuk mengetahui lebih lanjut dari proyek ini, para pembaca blog bisa mengunjungi blog http://9808films.wordpress.com atau hubungi proyek.payung@gmail.com

Dari kesepuluh film pendek tersebut, satu film yang paling menarik perhatianku adalah film yang berjudul SUGIHARTI HALIM. Sebelum film mulai, ada catatan seperti berikut ini:
Keppress nomor 127/U/Kep/12/1966 mewajibkan WNI etnis Cina untuk mengadopsi nama bernada Indonesia. (Contoh: Liem menjadi Halim, Lo/Loe/Liok menjadi Lukito, dll.)
Tatkala menonton film ini, aku ingat seorang rekan kerja yang kukenal di tahun 1995. Dia menikah dengan seorang laki-laki Cina Muslim. Tatkala anak pertamanya lahir, mertuanya memberi nama Cina untuk cucu pertama mereka, meskipun temanku dan suaminya ini telah memberikan sebuah nama. Dia merasa aneh, namun suaminya memintanya untuk menerima nama Cina itu, meskipun di akta kelahiran yang tertulis adalah ‘nama Indonesia’ si anak.
Aku pun yang mendengar cerita tersebut merasa hal itu aneh. Mengapa seseorang harus memiliki dua nama? Mengapa mertua temanku itu perlu memberi ‘nama Cina’ kepada sang cucu? Apakah ‘nama Indonesia’ yang diberikan oleh sang orang tua tidak cukup?
Konon, kata orang tuaku, orang-orang di Gorontalo, tanah kelahiran mereka, biasa memberikan ‘nick’ kepada anak-anak mereka, maupun sanak saudara. Namun ‘nick’ hanyalah sekedar nama panggilan, dan bukan ‘nama resmi’. Ada seorang Om yang kukenal di masa kecilku yang disebut oleh orang tuaku sebagai “Pahaya” alias “Papa Haya” yang artinya “Papa Tinggi” karena orangnya tinggi. Walhasil, aku pun mengira ‘Pahaya’ adalah namanya. Ketika seorang teman SD mengenali ‘Pahaya’ di album foto keluarga, dan bertanya kepadaku, “Eh, Na, orang ini kan suami bulikku? Namanya Abdurrahman kan? Wah, ternyata kita bersaudara ya?” Dengan lugu, aku mengatakan kepadanya, “Bukan. Namanya PAHAYA.” My Mom yang kemudian menjelaskan kepadaku bahwa nama Om-ku itu adalah Abdurrahman Podungge, sedangkan PAHAYA hanyalah nama panggilan belaka. LOL.
Kembali ke ‘nama Cina’. Mungkin aku adalah salah satu korban kolonialisasi yang parah, sehingga beranggapan bahwa nama yang berbau Barat lebih enak terdengar di telinga, daripada nama Cina. Aku lebih menyukai nama ‘Andy Lau’ daripada ‘Liu Te Hua’, atau ‘Aaron Kwok’ daripada ‘Kwok Fu Shing’ alias ‘Kuo Fu Cheng’. Bukankah ‘Andy’ ataupun ‘Aaron’ jauh lebih indah didengar (menurut kupingku, sang korban kolonialisasi) dan lebih mudah diucapkan daripada ‘Te Hua’ maupun ‘Fu Shing’ alias ‘Fu Cheng’? (FYI, I loved Andy Lau in his legendary series ‘Return of the Condor Heroes’, while my youngest sister adored Aaron Kwok.) Lidahku tidak terbiasa mengucapkan nama Cina, nampaknya.
Mungkin aku terlalu menyederhanakan persoalan. Mungkin ‘nama Cina’ bagi orang-orang keturunan Cina memiliki makna yang lebih mendalam bagi mereka, atau, menunjukkan identitas mereka, bahwa mereka diakui.
Kembali ke film SUGIHARTI HALIM. Nampaknya perempuan ini dilahirkan tatkala Keppres nomor 127/U/Kep/12/1966 baru saja dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga orang tuanya—yang mungkin memiliki pengalaman buruk berkenaan dengan ‘nama Cina’—hanya memberi satu nama saja kepada si bayi, nama yang sangat berbau Jawa. (SUGIH berarti kaya, ARTI mungkin dari kata ARTO alias HARTA. Namun karena ARTO memiliki gender laki-laki, maka ARTO pun diganti menjadi ARTI agar berjenis kelamin perempuan. Orang tua Sugiharti mengharapkan agar dia tumbuh menjadi seseorang yang memiliki harta yang banyak.) Sugiharti Halim pun tidak memiliki memiliki nick khusus.
Walhasil, dia pun sering mendapati ekspresi wajah heran dari orang-orang yang baru saja dia temui, dan mendengarnya menyebut namanya, “Sugiharti Halim”. Dia juga bosan ditanyai, “Nama aslimu siapa?” Di salah satu adegan yang bisa jadi lucu, namun juga menyedihkan, adalah tatkala dia sedang mengurus passport.
Petugas: “Nama?”
SH: “Sugiharti Halim.”
Sang petugas pun langsung mendongak, memandang wajah Cinanya dengan seksama, heran, sembari bertanya lagi.
Petugas: “Nama asli?”
SH: “Sugiharti Halim, pak.”
Petugas: “Siapa nama Cinamu?”
SH: “Tidak punya, pak.” Sambil takut-takut.
Sang petugas nampak tidak percaya, sedangkan Sugiharti Halim nampak tak berdaya.
Karena begitu seringnya dia mendapatkan ‘kasus’ yang baginya menyebalkan, berkenaan dengan namanya yang sangat berbau Jawa, Sugiharti Halim pun berangan-angan untuk memiliki nama lain. “Julianne” katanya, sambil menerawang.
Si lawan bicara yang mendengarkan Sugiharti Halim curhat pun berkata,
“Kata Shakespeare, ‘what’s in a name?’ Siapa pun namamu, kamu tetaplah kamu, dengan kepribadianmu yang sekarang, dengan identitas yang melekat padamu. Sugiharti ... Julianne ... apa bedanya?”
Namun mungkin paling tidak, seorang Sugiharti Halim tidak akan sesering itu memandang wajah-wajah heran tatkala orang-orang mendengar namanya.
Pesan moral: kalau tidak ingin membuat anak-anak mereka mengalami masalah seperti Sugiharti Halim dalam film ini, mungkin sebaiknya orang-orang berwajah Oriental memberi nama anak-anak mereka yang berbau ‘Barat’, seperti Andy, Rudy, Audy, atau Stephani, Irene, Catherine.
PT56 20.55 010608

Ketoprak Putri Cina



Acara puncak untuk merayakan Hari Kebangkitan Nasional yang keseratus tahun di Semarang adalah pertujukan KETOPRAK PUTRI CINA, yang diselenggarakan di tempat terbuka, di atas replika kapal Cheng Ho, yang terletak di seberang Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang. Gang Lombok terletak tidak jauh dari Gang Warung, lokasi penyelenggaraan WAROENG SEMAWIS tiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Gang Lombok dan Gang Warung terletak di kawasan Pecinan kota Semarang.


Acara pertunjukan KETOPRAK PUTRI CINA dibuka oleh dua orang MC, yakni Bayu Krisna dan Citra, sekitar pukul 19.00 setelah walikota Sukawi Sutarip beserta istrinya datang ke lokasi, dibarengi dengan beberapa pejabat lain, seperti Bupati Kudus, HM Tamzil, mantan rektor UNDIP, Eko Budiharjo, dan beberapa budayawan lokal, seperti Djawahir Muhammad, Timur Sinar Suprabana, dll.


Acara dibuka dengan penampilan paduan suara dan tari RAMPAK oleh para siswa SD dan SMP dari TPA (Tempat Pendidikan Anak) Khong Kauw Hwee “Kuncup Melati”, sebuah yayasan yang menawarkan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. 


Acara berikutnya adalah pembacaan puisi oleh Sinto Sukawi. Sinto membacakan puisi yang dia tulis sendiri, tentang kecintaannya pada kota kelahirannya, Semarang. Kemudian sambutan oleh ketua panitia Harjanto Halim, dua sambutan yang lain, yakni Wali Kota Semarang, dan Gubernur Jawa Tengah, yang dibacakan oleh seseorang yang mewakili Ali Mufiz karena pada waktu itu, beliau belum hadir. 


Acara selanjutnya adalah pembacaan puisi. Pertama Beno Siang Pamungkas. Penampilan Beno diikuti dengan penampilan Eko Budiharjo, membawakan puisi yang dia beri judul PESAN NENEK MOYANG.

Tempoe doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti “Tiji Tibeh
Maksudnya, Mukti siji Mukti kabeh, Mati siji Mati kabeh,
La kok sekarang, kendati masih tetap Tiji Tibeh
Tapi maknyanya terpeleset jadi Mukti Siji Mati kabeh

Tempo doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti
Sama rata sama rasa
Maksudnya jelas, bersama-sama merasakan kesejahteraan
La kok sekarang sim sala bim
Disulap jadi sama ratap sama tangis

Tempo doeloe nenek moyang pesan wanti-wanti
Panca Sila
Yang kita semua sudah hafal mengucapkannya
La kok sekarang, mak jegagik
Dipeleset-tafsirkan oleh orang Jawa:
Siji, Gusti Allah ora ana kancane
Loro, Aja kejem-kejem aja galak-galak
Telu, Mangan ora mangan waton kumpul
Papat, Yen ana rembug mbok dirembug wae
Lima, Padha mlarate padha kerene


Sudah, sudah, sudah, yang sudah ya sudah
Kita bangkit-kembalikan saja Proklamasi
Dalam versi Millennium a la Hamid Jabbar:
“Hal-hal mengenai flu burung, sapi gila,
lumpuh layu, nasi aking, banjir, longsor,
gembpa, kekeringan, tsunami, lumpur panas
dan lain-lain yang tidak ada habis-habisnya
akan diselesaikan dengan cara seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Semarang 24 Mei 2008
Atas nama bangsa Indonesia
Boleh Siapa Saja


Djawahir Muhammad membawakan puisinya yang berjudul DUA BUAH JALAN, PADA HARI KEBANGKITAN. Berhubung begitu panjangnya puisi ini, di bawah ini akan kutuliskan di bawah ini tiga bait, yang terdapat pada bagian keempat. (Djawahir membagi puisinya ini menjadi lima bagian).

Sahabatku, kau sebut ini negeri yang pancasilais, multikultural dan demokratis,
Sedang kamu lihat mata manusia memerah saga,
Menyulutkan api permusuhan dimana-mana:
Bakuhantam polisi dan demonstran
saling pukul pkl, tibum dan satpol keamanan
Antar saudara berbunuhan, berebut remah, sesuap nasi, sepotong roti
Remaja putra putri yang mengidap narkoba, menggadaikan kesuciannya sendiri
Negarawan dan politisi yang terlibat korpusi, mengidap hipokrisi,
Bapak ibu guru mencuri-curi soal ujiannya sendiri?!

Sahabatku, tidakkah kita malu kita menyebut negeri kita
Yang dibangkitkan oleh spirit Kebangkitan Nasional seratus tahun lamanya
Sebagai negara yang berpancasila,
Jika mulut kaum miskin masih juga menjerit, menguak angkasa,
Jika antarsuku masih saling mengasah kapak perangnya, jika antarpemuja tuhan
Menyebut diri paling beriman, menista umat berbeda keyakinan?

O, Sahabat, rasanya aku ingin percaya pada kredo Rendra
Bahwa bencana dan keberuntungan adalah sama saja.


Timur Sinar Suprabana membawakan puisinya yang berjudul “Sajak mengeja kahanan” yang tak kalah panjang dari puisi Djawahir. Di bawah ini aku tuliskan bait yang ketiga:

Negeri macam apa ini, Saudara?
Jelaskan padaku: negeri macam apa ini?
Jika presidennya menangis ketika menonton film ayat-ayat cinta
Tapi saat berkunjung ke lokasi super luberan lumpur lapindo
Ia, presiden kita itu,
Unjal ambegkanpun tidak!
Jelaskan kepadaku: negeri macam apa ini?
Jika ketika banjir, tanah longsor dan bahkan angin ribut bercampur petir menjadi gendruwo di tiap tlatah tumpah darah
Ia, presiden kita itu,
Ribet upyek nyanyi-nyanyi bikin album lagu
Sing ketika dirilis jebul ora payu.
Jelaskan padaku: negeri macam apa ini?
Ketika jumlah pengangguran terus bertambah
Dan jumlah keluarga miskin makin banyak,
Ketika harga-harga tak henti naik berlipat
Dan bahkan tahu serta tempe tak lagi bisa terbeli oleh rakyat
Wakil presiden dari presiden kita itu
Sembari cengengesan memapar angka-angka
Yang kita patut diyakini sebagai indikator
Bahwa keadaan rakyat, keadaan masyarakat dan bangsa ini
Dari waktu ke waktu terus membaik. “ke depan
Akan terus kita tingkatkan. Ya to.. , ya to...?” katanya
Melalui konperensi pers tiap seusai jum’atan.

Aku tak tahu.
Aku yang picek
Ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang buta?
Aku tak tahu
Aku yang terlanjur tak bisa percaya angka-angka
Ataukah wakil presiden dari presiden kita itu yang sedang menebar dusta?
Sebab angka-angka tak pernah membuktikan apa-apa



Menjelang pukul 21.00, tepat ketika Ali Mufiz beserta istri memasuki lokasi, acara utama, pertunjukan KETOPRAK PUTRI CINA dimulai. Untuk mengawalinya, kelompok tari PHOENIX dari kota Semarang membawakan tarian DEWI KUAN IM SERIBU TANGAN.

Secara ringkas, ide utama ketoprak PUTRI CINA (yang mengambil ide utama dari novel PUTRI CINA karangan Sindhunata) adalah tentang keserakahan seorang penguasa kerajaan Pedang Kemulan (Prabu Amurco Sabdo) dan ketidakmampuannya memimpin kerajaannya tersebut. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tak lekang dari masa pemerintahannya, sehingga rakyat pun menderita, dan lama kelamaan menuntut Prabu Amurco Sabdo untuk menurunkan diri. 


Sebelum akhirnya memaksa Prabu Amurco Sabdo, Patih Wrehonegoro telah berhasil mempengaruhi sang Prabu untuk menjadikan kaum keturunan Cina sebagai kambing hitam.


“Mudah, Sinuwun. Sekali lagi mudah! Alihkan saja segala kekerasan yang mau pecah itukepada orang-orang Cina. Setelah itu, Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan lebih mudah.”


Senapati Gurdo Paksi yang beristrikan Giok Tien, seorang keturunan Cina, tentu saja tidak setuju.
“Ya ampun, Sinuwun. Jangan! ... Sinuwun, apa salah mereka, sampai Sinuwun tega mengorbankan mereka? Sementara ini tidakkah Sinuwun sendiri mengharapkan harta mereka untuk makin berkuasa. Sinuwun tidak memberi kesempatan pada rakyat untuk berusaha. Sinuwun malah membiarkan orang-orang Cina untuk makin mengembangkan usaha mereka. Apakah Sinuwun tidak punya hati lagi?”
Karena Senapati Gurdo Paksi tidak menyetujui usul itu, dia pun memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya, dan Prabu Amurco Sabdo memilih Tumenggung Joyo Sumengah, sang tukang suap, untuk mengisi jabatan tersebut.


Rakyat yang telah disulut kemarahannya, dan termakan hasutan Wrehonegoro dan Tumenggung Joyo Sumengah pun melakukan pembasmian ke seluruh orang-orang keturunan Cina, yang akhirnya pun juga memakan korban rakyat yang bukan keturunan Cina. Gurdo Paksi dan istrinya Giok Tien pun meninggal dalam huru hara tersebut.

Cerita memang berakhir tragis (seperti kata Sindhunata sang pengarang, banyak orang Cina yang menjadi korban pada kerusuhan bulan Mei 1998, sehingga dia tidak mengakhiri novelnya dengan happy ending). Namun skenario Ketoprak Putri Cina sendiri memadukan antara dagelan dan kesedihan sehingga penonton pun dibuat tertawa terpingkal-pingkal di paruh awal pertunjukan, sedangkan di paruh akhir larut dibawa kesedihan tragedi yang disuguhkan.


Kehadiran Sukawi Sutarip dan HM Tamzil sebagai calon gubernur Jawa Tengah pun dimanfaatkan oleh para pemain ketoprak untuk dikritik. “Zaman dahulu kala, orang-orang sering takut kalau berjalan melewati pohon-pohon besar, karena mereka percaya bahwa banyak ‘penunggu’ di pohon-pohon besar tersebut. Mereka sering mengucapkan ‘Nuwun sewu...” tatkala melewati pohon-pohon besar. Namun sekarang pohon-pohon kecil juga ada yang menunggu. Lihat saja, di sana banyak tertempel poster-poster para calon gubernur.” 


Di Semarang, mungkin juga di seluruh daerah Jawa Tengah, para calon gubernur memasang poster-poster mereka untuk kampanye di pohon-pohon, sehingga mereka pun dituding sebagai tidak mencintai lingkungan karena justru merusaknya.


Jika penampilan Ketoprak Putri Cina diawali pertunjukan tari DEWI KUAN IM SERIBU TANGAN, di akhir pertunjukan, kelompok tari PHOENIX membawakan tari KUPU KUPU sebagai lambang menyatunya Gurdo Paksi dan Giok Tien di ‘dunia sana’. Sindhunata ‘mengadopsi’ akhir cerita Sampek-Engtay, pasangan kekasih yang tidak bisa menyatukan cintanya di dunia yang fana ini karena perbedaan kelas sosial.


PT56 17.08 010608