“Ilmu pengetahuan, kelihatannya, bukannya tak berjenis kelamin; dia laki-laki, seorang ayah, dan kena sifilis pula.” (Virginia Woolf, seorang penulis feminis berasal dari Inggris.)
Berapa abad dunia ini telah ‘dikuasai’ oleh kaum laki-laki? Uncountable centuries!!!
Tidaklah mengherankan jika ‘kemunculan’ ilmu-ilmu pengetahuan pun berasal dari pemikiran kaum laki-laki, perempuan hanya duduk di bangku penonton. Laki-laki yang menguasai dunia permainan ini menggunakan cara berpikirnya, berdasarkan pengalaman-pengalamannya kemudian membentuk atau menciptakan berbagai macam teori dalam berbagai ilmu, tanpa memasukkan cara berpikir maupun pengalaman kaum perempuan yang hanya menjadi penonton. Sayangnya kemudian para laki-laki ini menggeneralisasi bahwa cara berpikir mereka mewakili kaum laki-laki dan perempuan. Perempuan yang tidak dilibatkan dalam berbagai penemuan ilmu pengetahuan ini (karena mereka didomestikasi) diharuskan memandang segala macam persoalan/kasus dari sudut pandang laki-laki pula.
Contoh yang sangat ringan. Laki-laki selalu merasa bahwa mereka diciptakan lebih kuat dibanding perempuan karena mereka menciptakan parameter untuk kekuatan ini. Laki-laki mampu mengangkat beban seberat 100kg, misalnya, sedangkan bagi perempuan hal ini sulit dilakukan. Well, kalaupun ada, at least, tidak sembarang perempuan mampu melakukannya.
Gerakan perempuan mulai kelihatan taringnya di awal abad 19, terutama ketika ada KTT perempuan pertama pada tahun 1848 di Seneca Falls di Amerika, yang bisa dikatakan sebagai tonggak mulainya perjuangan panjang kaum perempuan untuk mensejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki. Munculnya generasi feminisme yang pertama—feminisme liberal—mengupayakan hak kaum perempuan untuk menikmati bangku sekolah, dan ikut berpolitik. Feminisme liberal ini kemudian diikuti oleh gerakan-gerakan perempuan yang lain.
Kembali ke contoh yang sangat ringan di atas. Seandainya kaum perempuan menciptakan parameter untuk kekuatan, tentu mereka akan menggunakan tolok ukur yang berbeda. Mengapa Tuhan menciptakan kaum perempuan yang katanya lemah ini lengkap dengan rahim, yang kemudian dari rahim itu akan muncul generasi-generasi yang akan datang? Tentu karena kaum perempuan lebih kuat dibanding kaum laki-laki. Lebih banyak perempuan yang mampu hidup sampai usia lanjut, dibandingkan dengan laki-laki yang berusia sama, karena perempuan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan. Lebih kuat kan?
Perempuan dengan pengalamannya sebagai pihak yang dimarjinalisasi dalam kultur patriarki ini, yang ingin bangkit untuk setara, mulai bersatu dan masuk ke ranah yang dianggap eksklusif milik kaum laki-laki; yakni dengan mulai menciptakan teori-teori baru, ditemukanlah cara-cara berpikir baru dengan mengedepankan pengalaman perempuan yang tentu sangat berbeda dengan pengalaman laki-laki.
Dalam bidang Sastra—karena aku berasal dari disiplin Sastra—gerakan perempuan ini berhasil menemukan tulisan-tulisan kaum perempuan yang telah lama terkubur dan dilupakan orang, sementara tulisan kaum laki-laki yang sezaman masih sering ditemukan sampai sekarang ini. sebelum ada gerakan perempuan, karya-karya milik penulis laki-laki merajai KANON. Seandainya orang menilik THE NORTON ANTHOLOGY OF AMERICAN LITERATURE, tentu mereka akan lebih banyak menemukan karya kaum laki-laki yang memberikan kesan seolah-olah kaum perempuan pada waktu itu hanya duduk manis di dapur, memasak untuk suami dan anak-anak. Kalaupun ada karya penulis perempuan yang masuk ke dalam antologi, tentu berkisar ke itu-itu saja, misalnya saja di Amerika, nama Emily Dickinson sangatlah terkenal atau Jane Austen dari Inggris. Tulisan-tulisan kaum perempuan lain dianggap tidak layak untuk masuk ke dalam KANON karena cara penilaiannya yang tentu masih sangat male-oriented.
Gerakan perempuan mampu menguak kembali banyak karya penulis perempuan yang telah lama dilupakan orang. Misalnya: Charlotte Perkins Gilman dari Amerika, dan Anna Wickham dari Inggris.
Sandra Gilbert dan Susan Gubar membukukan hasil risetnya dalam buku THE NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN. Dengan memasukkan female perspectives, dengan pengalamannya sebagai perempuan, banyak karya-karya penulis perempuan yang layak pula masuk KANON. Dari contoh di bidang Sastra ini kita mampu menarik kesimpulan betapa this male-dominated world telah berbuat tidak adil kepada kaum perempuan.
Aku mengawali artikel ini dengan meng-quote kata-kata Virginia Woolf, aku ingin mengakhirinya dengan meng-quote kata-kata Annie Leclerc:
“Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki”.
PT56 14.38 241206