Cari

Selasa, Mei 27, 2008

Bedah Buku Putri Cina

Bedah buku PUTRI CINA menghadirkan empat pembicara utama:
1. Widjajanti Dharmowijono, Ketua Jurusan Bahasa Belanda Akademi Bahasa “17” membawakan makalah “Quo Vadis, Romo? Pengukuhan Stereotip dalam Novel Putri Cina”
2. Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo Semarang, membawakan makalah “Belajar dari Kisah Kemanusiaan Putri Cina, Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional”
3. John A. Titaley, pengajar UKSW Salatiga, memaparkan makalah “Putri Cina: Jeritan Kemanusiaan si Kuning Manis”
4. Budi Widianarko, seorang Guru Besar di Unika Soegijapranata, memaparkan makalahnya yang berjudul “Sejarah Berulang, Tiadakah Penangkalnya? Melampaui “Teori” Kambing Hitam
Selain keempat orang yang diberi kehormatan untuk melakukan pembedahan atas novel PUTRI CINA, Sindhunata sebagai pengarang tentu saja dihadirkan dalam acara bedah buku ini. Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka bertindak sebagai moderator.
Berikut ini akan kubahas inti utama makalah masing-masing pembicara, yang kuserap dari acara bedah buku tersebut.

Widjajanti Dharmowijono
Dalam riset yang dia lakukan untuk disertasi doktoralnya, Widjajanti membaca lebih dari 250 novel karya pengarang Belanda zaman kolonial, yang mencakup periode 1880-1940, novel-novel yang sedikit banyak memberikan imaji maupun representasi orang-orang Cina yang ada di bumi Nusantara. Widjajanti menemukan ‘pola’ imaji dan representasi yang sama pada dekade-dekade tertentu. Sebelum memasuki abad ke 20, novel-novel tersebut memberikan stereotip orang-orang Cina yang sangat negatif sebagai tuan tanah maupun pengusaha yang kaya raya karena menghisap darah dan tenaga orang-orang ‘pribumi’ (baca => non Cina) sekaligus berkecimpung di bidang yang negatif, misal bandar judi maupun penyedia/distributor candu.
Setelah melampaui tahun 1900, imaji maupun representasi kaum Cina berangsur-angsur membaik. Memasuki tahun 1940, lima tahun menjelang Soekarno memproklamasikan negara yang diberi nama “Indonesia”, gambaran kaum Cina dalam beberapa novel sangatlah baik.
Dari judul makalah yang dia tulis, satu pertanyaan yang dikemukakan oleh Widjajanti kepada Sindhunata, akan dibawa kemana para pembaca PUTRI CINA? Jika novel-novel yang ditulis pada zaman kolonial tersebut (terutama setelah memasuki abad ke-20) telah menyajikan imaji dan representasi kaum Cina yang baik, mengapa Sindhunata memaparkan kembali stereotip yang amat negatif dalam novelnya yang ditulis di abad ke-21?
Ada satu pertanyaan yang mengusikku mendengarkan pemaparan Widjajanti ini (sayangnya waktu yang tidak bersahabat membuatku tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada saat bedah buku tersebut). Yang memberikan imaji serta presentasi negatif dan kemudian mengubahnya menjadi positif adalah para novelis Belanda. Seusai kemerdekaan bangsa Indonesia, bagaimanakah orang-orang Indonesia sendiri memandang orang-orang keturunan Cina ini?
Rezim Orde Baru kembali menegatifkan imaji tersebut?
Jika pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang kekuatan kaum Cina sebelum abad ke-20 itu sebagai suatu ancaman, sehingga mereka memberikan stigma negatif, agar kaum ‘pribumi’ membenci ‘kaum pendatang’ ini, (paling tidak melalui novel-novel yang terbit waktu itu), apa alasan rezim Orde Baru untuk melakukan hal yang sama? Agar para warga negara dari etnis yang berbeda ini saling membunuh, dan melupakan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu?

John A. Titaley
Titaley memulai presentasinya dengan mengemukakan pertanyaannya sendiri tentang mengapa dia dipilih oleh panitia untuk membedah novel PUTRI CINA padahal dia tidak memiliki latar belakang sastra. Dia memperkirakan apakah karena dia terlahir dari seorang perempuan yang berdarah Cina? Padahal orang lebih mengenalnya sebagai seorang keturunan Ambon.
Ibunya merupakan perempuan Cina dari Pulau Seram, dari keluarga Muslim. Meskipun ibunya kemudian berpindah agama tatkala menikahi ayahnya, semua Tante-tante Titaley tetap beragama Islam. Menurut pengamatannya, tidak pernah keluarga ibunya ini mengalami diskriminasi yang buruk, seperti yang dia temukan dalam novel PUTRI CINA. Itulah sebabnya dia mempertanyakan apakah masalah diskriminasi yang buruk, yang menimpa kaum Cina di Pulau Jawa lebih ke permasalahan perbedaan agama, dan bukan karena perbedaan etnis.
Titaley membandingkan masalah Jawa-Cina ini dengan apa yang dia amati di Filipina dan Thailand dimana para kaum keturunan Cina ini sama sekali tidak mengalami diskriminasi karena mayoritas kaum Cina di kedua negara ini memeluk agama mayoritas, yakni di Filipina Katolik, sedangkan di Thailand Buddha. Haruskah orang-orang keturunan Cina di Jawa ini memeluk agama mayoritas—Islam—untuk menghindari perlakuan yang diskriminatif dari masyarakat luas?
Satu hal yang sangat menarik dari presentasi Titaley adalah pernyataannya mengenai REDEFINING INDONESIA untuk mengikis habis dikotomi pribumi dan non-pribumi. Tatkala para ‘founding fathers’ kita membentuk negara Indonesia, mereka dengan jenius telah memberikan sebuah definisi INDONESIA. Indonesia bukan hanya terdiri dari orang Jawa/Melayu/Sunda/Batak/Cina/Ambon/Papua, dll. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, dimana semua orang itu berkumpul menjadi satu, dan membentuk sebuah negara baru, yakni INDONESIA. Tak satu suku bangsa pun berhak mengklaim diri sebagai pribumi dan memaksa suku bangsa lain untuk menjadi non-pribumi.
Keberadaan lima orang keturunan Cina dalam BPUPKI (Liem Koen Hian dari Banjarmasin, Oey Tiang Tjoei dari Jakarta, Oey Tjong Hauw dan Tan Eng Hoa dari Semarang, serta Yap Tjwan Bing dari Solo) yang ikut memiliki andil dalam menentukan konsep negara Indonesia, menunjukkan bahwa pada dekade tersebut, orang-orang keturunan Cina tidak diperlakukan secara diskriminatif, mereka juga adalah kaum pribumi bumi Nusantara.
Sebagai salah satu solusi Titaley mengajukan usul untuk membangun “nation and character building” melalui sistem pendidikan nasional. Titaley beranggapan bahwa pemberian mata pelajaran pendidikan agama terbatas pada satu agama yang dianut siswa saja merupakan proses pemiskinan wawasan anak Indonesia.

Abdul Djamil
Untuk menghindari kemungkinan terjadi (lagi) kerusuhan maupun kekerasan sosial yang berasal dari perbedaan etnis, Djamil menyitir sepenggal ayat suci Alquran yang berbunyi, “Sungguh pada kisah-kisah mereka itu ada pitutur bagi orang-orang yang berakal”.
PUTRI CINA, secara sekilas, hanyalah merupakan kisah cinta antara sepasang manusia yang berasal dari dua etnis yang berbeda, yakni Jawa dan Cina. Jikalau seseorang membacanya hanya sambil lalu, apalagi kalau hanya untuk menjadi pengantar tidur saja, seseorang tidak akan bisa mengambil ‘pitutur’ yang disampaikan oleh sang pengarang, Sindhunata. Demikianlah yang dikemukakan oleh Djamil. Hasilnya, akan terlewatlah apa yang sebenarnya bisa kita jadikan sebagai suatu pelajaran agar tak ada lagi di bumi pertiwi ini pembantaian yang hanya dikarenakan perbedaan etnis.
Dengan mengungkapkan secara gamblang latar belakang cinta antara tokoh Setyoko dan Giok Tien, nampak Djamil ingin mengemukakan keyakinannya pada apa yang dikemukakan oleh Slamet Mulyana dalam bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” bahwa beberapa dari wali songo merupakan orang-orang keturunan Cina. Banyak buku hasil tulisan ahli sejarah lain yang tidak mengemukakan hal yang sama. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai usaha untuk menyembunyikan fakta? Untuk apakah orang melakukan hal tersebut? Sisa-sisa policy divide et impera di zaman pemerintah kolonial Belanda yang masih dilakukan di zaman sekarang ini?

Budi Widianarko
Seperti judul makalah yang dia tulis, Widianarko mengemukakan bahwa nampaknya “Teori Kambing Hitam” merupakan tesis utama novel PUTRI CINA. Teori ini secara gamblang dikemukakan oleh Benny G. Setiono dalam bukunya yang berjudul “Tionghoa dalam Pusaran Politik”. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, sampai kerusuhan Mei 1998, orang-orang yang disebut sebagai “berasal dari negara Bangau Putih” dalam PUTRI CINA, selalu menjadi ‘kambing hitam’. Setiap kerusuhan terjadi, selalu jatuh korban dari orang-orang keturunan Cina, sehingga seolah-olah menjadi suatu keniscayaan bahwa hal yang demikian ini akan selalu terjadi setiap beberapa tahun sekali (sehingga bisa dianggap sebagai sebuah ‘siklus’ kehidupan di Indonesia yang memang ‘nampaknya harus selalu terjadi seperti itu’).
Sebegitu burukkah mental orang-orang Indonesia sehingga kerusuhan sosial yang sering memakan korban orang-orang keturunan Cina dianggap sebagai suatu ‘siklus kehidupan’? Sebagai suatu keniscayaan? Karena kecenderungan manusia ‘mengidap’ penyakit xenophobia?
Meskipun begitu, Widianarko ingin mengemukakan opini yang lebih dari hanya sekedar pengambinghitaman. Adakah ‘akar’ yang lebih dalam yang melandasinya?
Dua teori dari Glaeser dan Caselli and Coleman dikemukakan oleh Widianarko sebagai kemungkinan lain, selain teori kambing hitam. Glaeser mengatakan informasi dan persepsi yang salah, yang biasanya dipropagasi oleh para politis untuk mendapatkan dukungan kebijakan, akan dengan mudah menyulut kebencian antar kelompok etnis. Sedangkan Caselli dan Coleman menekankan kompetisi untuk memperoleh sumberdaya yang menjadi penyebab ketegangan rasial.
Untuk itu Widianarko mengemukakan salah satu agenda yang bisa dilakukan untuk secara terus menerus mengurangi risiko kerusuhan yakni dengan perjuangan untuk memastikan tersedianya informasi dan persepsi yang utuh sehingga dapat mementahkan kebencian semuu. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperkaya interaksi antar etnis Cina dengan etnis-etnis lain di negeri ini. Selain itu mendukung dan memastikan adanya sistem pemerintahan yang demokratis—yang menjamin persamaan hak hidup dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia—tanpa peduli apapun latar belakang etnisnya.
LLT 20.03 270508

Harkitnas 2008 di Semarang

Dalam rangka memperingati perayaan Hari Kebangkitan Nasional yang keseratus tahun, sekaligus untuk ‘mengingat kembali’ peristiwa Mei hitam sepuluh tahun yang lalu (peristiwa yang kedua ini dikemukakan oleh ketua panitia Harjanto Halim), warga kota Semarang mengadakan tiga kegiatan sekaligus yang diselenggarakan pada hari Jumat 23 Mei dan Sabtu 24 Mei 2008. 


Pada hari Jumat pagi, sekitar pukul 08.00-12.00 diselenggarakan bedah buku PUTRI CINA, sebuah novel yang meramu antara mitos dan sejarah hasil karangan Sindhunata. Acara diselenggarakan di gedung Study World Jalan Kyai Saleh Semarang. 



Malam harinya diselenggarakan pertunjukan ACAPELLA MATARAMAN dari Jogja di panggung utama Waroeng Semawis, Gang Warung, kawasan Pecinan Semarang.

Sedangkan acara puncak adalah pementasan ketoprak PUTRI CINA yang ide utamanya diambil dari novel karangan Sindhunata. Ketoprak dipentaskan oleh kelompok ‘Ketoprak Ringkes Tjap Tjonthong Djogdjakarta pada hari Sabtu pukul 18.30 sampai menjelang tengah malam. 



Pada acara puncak ini hadir para petinggi Semarang/Jawa Tengah, seperti Gubernur Ali Mufiz beserta ibu, Wali Kota Sukawi Sutarip beserta ibu, bahkan hadir pula Bupati Kudus. Para budayawan yang hadir dalam acara ini Eko Budiharjo (mantan calon ‘calon gubernur’ Jawa Tengah yang tidak jadi), Djawahir Muhammad, Timur Sinar Suprabana, dll.


Apa hubungan antara hari Kebangkitan Nasional dengan etnis Cina? Mengapa acara yang diselenggarakan sangat berbau etnis yang satu ini?


Mungkin pertanyaan ini akan keluar dari benak para pembaca blog ini. 


Konon ide mementaskan ketoprak PUTRI CINA ini pertama kali dikemukakan oleh Anton Wahyu yang bekerja di TB Gramedia (Gramedia merupakan penerbit novel Sindhunata ini). Haryanto Halim, salah satu penggiat budaya di kota Semarang segera menyambutnya dengan antusias. Panitia yang terdiri dari beragam etnis, agama, profesi, dan kalangan pun terbentuk dan bekerja keras untuk mewujudkan pertunjukkan yang diharapkan merupakan benih untuk menggiatkan kegiatan kebudayaan di kota Semarang, terutama.


Masih ingat peristiwa ‘lampion Cina’ yang bertebaran di beberapa jalan protokol di kota Semarang bulan Agustus 2007 yang lalu? Seorang budayawan yang pada waktu itu menggugat digantungkannya lampion Cina karena mengkhawatirkan kecemburuan etnis lain (baca => etnis Jawa dan Arab) pun menyumbangkan sebuah puisinya dan membacakannya pada acara puncak.


Mengacu ke sebuah artikel yang dimuat The Jakarta Post yang berjudul “Another May Tragedy Possible” (bisa dicek di http://themysteryinlife.blogspot.com) kenaikan harga BBM beberapa hari yang lalu, yang dibarengi oleh demonstrasi massa, dimana aparat tak segan-segan menangkap para demonstran (layaknya yang terjadi di zaman rezim Orde Baru) yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, usaha panitia untuk lebih memasyarakatkan ide pluralisme/multikulturalisme lewat pertunjukan ketoprak PUTRI CINA tentu saja terasa sangat pas. Ide utama ketoprak ini—untuk merangkul semua etnis agar menjadi satu, tak ada lagi saling curiga yang tidak perlu—sangat perlu diketahui oleh masyarakat luas, terutama kalangan bawah, agar tak lagi mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang hanya bermaksud mengail di air yang keruh, agar tak lagi terjadi peristiwa hitam saling membunuh anak bangsa sendiri.


Agar Indonesia benar-benar bangkit.


PT56 16.11 250508

Rabu, Mei 21, 2008

Ketelanjangan

Berikut ini adalah cuplikan artikel Ayu Utami yang berjudul PAK MARTA yang dimuat dalam buku Ayu yang berjudul SIDANG SUSILA (diterbitkan oleh Spasi & VHR Book, tahun 2008).

Hampir seperempat abad yang lampau, guru agama di SMP kami, Tarakanita 1, mengajukan pertanyaan di muka kelas yang takkan pernah saya lupakan. “Menurut kalian, apakah menonton film biru itu salah?” katanya. Ia juga bertanya, pertanyaan yang lebih lunak, apakah menurut kami ibu-ibu yang suka berdandan di salon melakukan sesuatu yang tidak benar. Dalam ingatan saya, semua murid menjawab bahwa keduanya bukan perbuatan yang baik.
Guru saya bernama Pak Marta (barangkali saya salah mengeja namanya). Pertanyaannya menjadi tak terlupakan terutama ketika ia menggugat jawaban kami yang sederhana. Katanya, kira-kira, “pernahkah kalian bayangkan, suami istri yang telah menikah bertahun-tahun? Film biru bisa baik bagi mereka.”
Kami masih kelas dua SMP, tapi jawaban itu amat masuk akal. Banyak hal tidak bersifat jahat pada dirinya, tetapi menjadi jahat pada tempat yang salah. Inilah pelajaran agama yang tidak mengajarkan larangan, melainkan mengajarkan murid menggunakan akal sehat. (hal. 109)

*****
Tatkala duduk di bangku SD, aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Seingatku aku lebih sering mendapatkan pelajaran larangan, daripada menggunakan akal sehat. Mungkin karena kita masih duduk di bangku sekolah dasar, dianggap masih terlalu muda sehingga diragukan apakah sudah bisa menggunakan akal sehat, kita dikondisikan hanya untuk menerima doktrin-doktrin belaka.
Seks selalu dianggap sebagai sesuatu yang sangat tabu untuk dibicarakan, mungkin karena takut jika kita justru akan menjadi ingin tahu lebih jauh. Demikian pula dengan ketelanjangan. Ketelanjangan adalah sesuatu yang tabu dan kotor, pun jika itu terjadi di antara suami dan istri. Aku masih ingat seorang guru mengatakan bahwa kita tidak boleh mandi telanjang. Kalau pun kita tidak memiliki kain yang bisa kita pakai untuk menutup tubuh kita tatkala kita mandi, kita dilarang keras untuk memandang tubuh kita sendiri; yang menurut RUU APP dianggap sensual dan bisa mengakibatkan kecabulan, yakni alat kelamin dan payudara (khusus untuk perempuan).
Bagi pasangan suami istri seks hanya boleh dilakukan di tempat yang gelap, karena kita tidak boleh memandang tubuh kita yang sedang telanjang, apalagi tubuh orang lain—dalam hal ini adalah suami/istri kita. Jika terpaksa melakukannya di tempat yang tidak gelap, kita HARUS menutupkan selimut ke seluruh tubuh agar tidak terlihat.
Aku membayangkan seandainya aku berada di kelas yang sama dengan Ayu Utami tatkala Pak Marta mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, aku tidak akan pernah bisa memahami mengapa Pak Marta mengatakan bahwa bagi suami istri menonton film biru diperbolehkan. Memandang tubuh kita sendiri yang sedang telanjang saja tidak boleh, juga tubuh pasangan ‘resmi’ kita, apalagi tubuh orang lain yang tidak kita kenal, yang ada di dalam film-film biru tersebut? Menonton film biru sama dengan memandang tubuh orang yang sedang telanjang, bukan?
Bisa dipahami jika aku tidak pernah nonton film biru di masa remajaku (otakku penuh dengan doktrin-doktrin kuat yang kuterima di bangku SD plus ketakutan-ketakutan bahwa Tuhan adalah suatu Dzat yang suka menghukum makhluk-Nya), pun juga setelah menikahi bokapnya Angie (1990). Aku selalu menolak permintaannya untuk menonton film biru. Pertama kali menonton film biru di tahun 2000, ketika ada seorang teman dekatku ‘memaksaku’ untuk mencoba suatu pengalaman baru. LOL. “Kamu tuh jadi orang janganlah terlalu ‘lurus’. Sekali-sekali perlu lah membelok,” katanya. LOL. “Lagi pula kamu sudah lama ga lihat penis kan?” rayunya lagi. Hal ini terjadi beberapa bulan setelah permohonan berceraiku dikabulkan oleh PA. (Goodness, she didn’t know that looking at penis was not attractive at all for me!!! LOL. Maklum hasil indoktrinasi yang kuat bahwa memandang tubuh telanjang adalah sesuatu yang tidak layak dilakukan, bahkan mungkin berdosa).
Aku yakin sampai sekarang masih banyak orang atau institusi yang mendoktrin anak-anaknya maupun siswa-siswinya seperti guru-guruku di Madrasah Ibtidaiyah, sekitar tiga dekade yang lalu. Lihat saja apa yang dituliskan oleh Habiburrahman tentang tokoh Aisha dalam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’.
PT56 20.20 200508

Melajang

Kemarin hari Selasa 20 Mei 2008 ada seorang teman adikku, perempuan, yang datang ke rumah, sekitar pukul 09.00. Aku tidak sempat bertegur sapa dengannya (kutengarai dia adalah seorang teman ‘baru’ adikku, sehingga aku belum mengenalnya) dan adikku pun tidak mengenalkanku dengannya. It is not a big deal anyway karena rumah Nyokap yang lumayan besar membuat kehadirannya tidak terlalu ‘terlihat’. Sejak datang, dia asik ngobrol dengan adikku di kamarnya.
Selasa 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional, yang kebetulan juga berbarengan dengan Hari Waisak, merupakan hari libur di Indonesia. Pagi hari sekitar pukul 06.00-09.00 aku dan Angie pergi berenang. Sesampai rumah, kita berdua sarapan. Aku mencuci baju setelah itu, dan Angie membantuku membilas dan menjemurnya. Setelah itu, kita berdua menyibukkan diri di dalam kamar, aku mengetik artikel di komputer sedangkan Angie bermain game di hapenya. Sekitar pukul 12.00, aku mengantuk sehingga aku pun leyeh-leyeh di atas tempat tidur sementara Angie gantian mengambil posisi di depan komputer, mengetik tugas dari sekolah.
Sekitar pukul 14.00-16.00 kita menonton I NOW PRONOUNCE YOU CHUCK AND LARRY. We were having fun karena film Adam Sandler yang satu ini lucu sekali.
Selepas Maghrib, ternyata teman adikku masih betah di rumah. Tatkala aku ke belakang untuk membuat cappuccino, aku mendengar suaranya yang sedang ngobrol dengan adikku.
Selepas jam 20.00, ternyata dia pun masih ada, sehingga Angie pun bertanya, “Temannya Tante Lala mau menginap di sini ya Ma?”
“I dunno, honey. Maybe yes.”
Hal ini mengingatkanku pada seorang teman SMA-ku yang pernah menginap di rumah, minggat dari rumah karena dia dilarang pacaran dengan seorang tetangga oleh orang tuanya. Orang tua si pacar pun konon kurang sreg anaknya berpacaran dengan temanku.
“Waktu itu malam-malam, loh Sayang, sekitar pukul 1 atau 2 dini hari, pacarnya datang, mengetuk-ngetuk jendela kamar paling depan, sambil mengucapkan ‘Assalamu ‘alaikum’. Ama yang terbangun karena mendengarnya, bertanya dari balik jendela, ‘Siapa ya?’ Ternyata pacar temannya Mama itu datang, menjemputnya untuk diajak pulang.”
“Wah, rame juga ya Ma? Terus, akhirnya mereka menikah ga?” tanya Angie, antusias.
“Iya, mereka menikah setahun setelah teman Mama lulus SMA.”
*****
Tadi pagi, sepulang aku dari erobik, Nyokap bercerita kepadaku tentang teman adikku yang ternyata ‘minggat’ dari rumah karena bosan dikejar-kejar melulu untuk segera menikah. She was born in 1974.
“Rumah kita memang jadi penampungan orang-orang minggat,” kataku, bercanda. Selain seorang teman yang kuceritakan di atas, masih ada dua orang temanku lain lagi yang minggat dan menginap di rumah selama beberapa hari, sampai orang tua mereka ‘menemukan’ mereka berada di rumahku.
Mendengar cerita itu, aku pun bercerita kepada Nyokap tentang seorang teman kuliah S2 yang juga sering dikejar-kejar untuk segera menikah. Tahun 2003 dia melanjutkan kuliah ke American Studies UGM karena ogah dikejar-kejar untuk segera menikah. Menjelang hari wisuda (kebetulan kita berdua wisuda pada tanggal yang sama, 25 Januari 2006), dia curhat, “Tiga tahun yang lalu aja aku dikejar-kejar untuk menikah melulu, apalagi sekarang ya? Alasan apa lagi yang bisa kukemukakan kepada orang tuaku?”
Untunglah dalam hal ‘menikah’ ini Nyokap, my only parent who is stil alive, tidak pernah membuat kedua adikku merasa tidak jenak di rumah, hanya gara-gara mereka berdua masih single.
“Mau gimana lagi? Mami lihat kedua adikmu itu enjoy-enjoy aja menjalani hidupnya. Ya biarkan sajalah. Mami ga mau kalau hanya gara-gara urusan menikah, adikmu malah minggat dari rumah karena merasa tidak nyaman Mami kejar-kejar untuk menikah. Yang namanya jodoh itu kan datangnya dari Allah. Ya yang sabar saja.”
*****
Masalah menikah ini memang selalu sensitif. Kebetulan di Indonesia, ‘menikah’ dianggap sebagai suatu keharusan, bahkan suatu ‘kodrat’ yang harus dijalani. Kalau seseorang tidak atau belum menikah, terutama bagi mereka yang usianya dianggap ‘terlambat’ untuk menikah (angka 30 selalu dipatok sebagai ‘ambang’) maka masyarakat pun akan ‘usil’ menanyakan. Untuk perempuan, ‘beban menikah’ ini lebih besar karena ada hal lain yang berhubungan dengan harga diri, yakni pandangan ‘tidak laku’ atau ‘belum laku’. Bagi orang tua, ‘tudingan’ masyarakat memiliki anak perempuan yang ‘tidak laku’ sangatlah menyakitkan sehingga mereka pun memaksa anak-anak gadisnya untuk segera menikah, untuk ‘menyelamatkan’ nama baik mereka. Mereka tidak sadar bahwa pemaksaan ini justru menyebabkan beban di pundak para lajang semakin besar. Para lajang ini justru membutuhkan perlindungan, ayoman, serta pengertian dari orang tua untuk terus menapaki hidup dengan percaya diri, bahwa ‘It is very okay to be single. Tidak ada yang salah untuk tetap melajang.’
PT56 11.43 210508

Jumat, Mei 09, 2008

Krisna Mukti

“Tuduhan” bahwa dirinya adalah seorang gay kembali ‘menyerang’ aktor Krisna Mukti seminggu terakhir ini. (Gile, foto-foto Krisna yang dimuat di salah satu tabloid lokal keren banget! huehehehe ... Pasti para ‘penggemar’ gay-nya bakal ga bisa berhenti melototin foto-foto itu. LOL.)
Aku bukanlah “tukang mengkonsumsi” infotainment sehingga selalu bisa mengikuti gosip terkini. Lah, darimana aku tahu gosip tentang Krisna Mukti?
Ceritanya begini. Kemarin, di salah satu kelas, aku meminta para mahasiswa untuk berpura-pura bekerja di salah satu majalah/tabloid yang akan memberi anugerah “the celebrity of the year”. Aku meminta mereka berdiskusi berkelompok untuk memilih seorang selebriti laki-laki dan seorang selebriti perempuan. Ada tiga kelompok, dan di setiap kelompok, ada tiga mahasiswa. (Mereka semua adalah mahasiswa sebuah universitas negeri yang terletak di kawasan Tembalang Semarang.)
Satu kelompok, yang anggotanya semuanya laki-laki, memilih Krisna Mukti, sebagai the male celebrity of the year.
“Why him?” tanyaku heran, mengingat akhir-akhir ini ‘bintang’ KM tidaklah secemerlang waktu dia menjadi lakon utama di sinetron AKU INGIN PULANG, sekitar delapan tahun yang lalu.
Ternyata alasan yang dikemukakan adalah KM ‘terpergok’ mengirim surat cinta kepada seorang laki-laki. KM sendiri menolak mengiyakan bahwa dirinya memang seorang gay.
“Why didn’t he just admit that he was a gay? I will support him anyway,” kataku, mengingat aku selalu mengambil ‘sikap politik’ untuk mendukung para homoseksual. (You can read my posts in my blogs about this.)
Di tabloid yang kubaca barusan, KM diceritakan bahwa dia menulis sebuah surat ‘mesra’ kepada seorang kliennya, karena menyapa sang klien, “honey”, dan kemudian mengakhiri surat itu dengan “love”.
Aku jadi ingat beberapa teman perempuan Angie yang selalu menyapanya “Cin ...” singkatan dari “Cinta”. Pertama mengetahuinya aku agak cemburu, karena aku mengharap hanya akulah yang akan menyapanya “love”, meskipun lama-lama aku biasa saja.
Aku sendiri juga sering mengakhiri email ke teman-teman perempuanku dengan “love”. Aku dan Angie, plus teman-temanku dan teman-teman Angie yang biasa mengakhiri menulis email dengan “love”, maupun menyapa dengan “honey” maupun “Cinta”, aku yakin semuanya heteroseksual. Dan mungkin karena kita bukanlah selebriti, ga bakal masuk infotainment sebagai lesbian. LOL. LOL.
Namun aku ingat perlakuan yang memang selalu diskriminatif di masyarakat. Tatkala ada dua orang perempuan berjalan bersama di tempat umum, bergandengan tangan, bahkan mungkin berpelukan, orang-orang akan memandangnya dengan biasa saja. Namun jika yang melakukan hal itu adalah dua orang laki-laki, maka orang-orang yang memandangnya pun akan heboh, dan menganggap kedua laki-laki itu menjijikkan.
Jika yang melakukannya seorang laki-laki dan perempuan, berjalan bersama mesra, mungkin sampai berpelukan, orang pun akan memandangnya dengan agak jijik, sembari berujar, “Orang pacaran kok ga tahu tempat. Si perempuan kok ya mau-maunya. Apalagi kalau di tempat yang sepi, pasti sudah habis “diapa-apain”. LOL.
Yah, memang beginilah masyarakat Indonesia yang senantiasa dibuat ‘sakit’ oleh pemerintahnya.
Kembali ke topik utama tentang ke-gay-an Krisna Mukti. Sebagai seorang perempuan yang heteroseksual, sayang juga ya laki-laki sekeren KM gay? Aku ga bisa ikut ‘menikmati’ dong. Wakakakaka ... Tapi, tentu aku akan mendukungnya, juga para gay yang lain, untuk membuka diri dengan pede, sambil mengatakan, “Inilah kodratku!”
Semalam, di acara Empat Mata” yang kutonton secara sekilas, ada tamu yang mantan ratu waria, “namun dia telah bertobat dan kembali ke ‘kodrat’nya”, demikian kata Tukul. Aku tidak menonton kelanjutan acara itu.
Kodrat oh kodrat.
Aku ingat pernyataan beberapa antropolog yang mengemukakan bahwa mengkotakkan manusia hanya dua jenis kelamin tidaklah adil, meskipun secara biologis manusia hanya terbagi menjadi dua, memiliki penis, dan memiliki vagina. Ada antropolog yang mengatakan selain laki-laki dan perempuan, masih ada lagi jenis ‘gay’ dan ‘lesbian’ yang orientasi seksualnya ke sesama jenis kelamin. Gay dan lesbian di sini tetap mengakui bahwa diri mereka laki-laki dan perempuan. Jenis lain lagi yakni transseksual. Male-to-female transseksual adalah orang yang dilahirkan memiliki penis namun merasa diri mereka sebagai perempuan, sehingga mereka pun hanya tertarik kepada laki-laki. Dorce adalah contoh male-to-female transseksual yang terkenal, dan dia memiliki uang untuk operasi ganti kelamin. Female-to-male transseksual adalah orang yang dilahirkan memiliki vagina namun mereka merasa diri sebagai laki-laki sehingga secara seksual mereka hanya tertarik kepada perempuan. Belum ada contoh female-to-male transseksual yang cukup terkenal di Indonesia. Mereka ada namun lebih memilih ‘bersembunyi’ karena masyarakat menganggap mereka sakit secara psikologis.
Kapankah masalah kodrat/melawan kodrat (alias created versus constructed) ini benar-benar dipahami oleh masyarakat luas?
PT56 14.30 090508