Cari

Minggu, Januari 20, 2019

Good Look versus Brain




Sekian puluh tahun yang lalu (yup, saya sudah tua. Lol.) saya punya seorang rekan kerja laki-laki yang( menurut saya) cerdas. Saya bayangkan dia tentu akan memilih seorang perempuan yang cerdas untuk menjadi pasangan hidupnya. Waktu saya tahu dia mulai 'flirting' seorang kawan kerja lain, perempuan, cantik jelita, namun kecerdasannya pas-pasan, saya pikir dia hanya sekedar flirting, ga lebih dari itu. Apalagi setahu saya si perempuan sudah punya pacar. Maka betapa kaget saya waktu tahu bahwa si laki-laki serius.

Singkat cerita, kawan laki-laki saya ini berhasil memenangkan hati si perempuan yang cantik jelita itu. Satu kali saya mendapatkan undangan pernikahan mereka. Oh, betapa pilihan orang itu sering tak terduga ya?

Beberapa tahun kemudian, di satu tempat kerja lain, saya punya seorang kawan kerja perempuan yang cerdas. Di luar dugaan ternyata kawan kerja perempuan ini adalah adik laki-laki si laki-laki yang saya kisahkan di atas. Betapa dunia ini sempit. :) oh no, Semarang memang sempit. Lol. Saya dan dia lumayan sering ngobrol, mulai dari hal-hal serius tentang materi ajar (kita sama-sama mengampu mata kuliah yang berbau Sastra) sampai akhirnya saya tahu bahwa dia adik si laki-laki yang pernah menjadi rekan kerja saya di instansi lain, sekian tahun lalu.

Out of curiosity, saya bertanya tentang istri kakaknya itu. Di luar dugaan (lagi! Lol) ternyata dia dan adiknya pun menyayangkan pilihan kakaknya. "Memang dia cantik sih mbak, tapi ya gitu deh, seperti porselen, Cuma bisa dilihat, tapi kalau diajak bahas sesuatu, ga paham."

"Eh, saya ga sangka lho ternyata kakakmu yang cerdas itu memilih perempuan itu sebagai istrinya." kata saya.

"Mungkin kakakku tipe laki-laki yang berpikir bahwa istri itu kanca wingking, selain yang bisa dipamerkan pada dunia luar bahwa istrinya cantik."

"Kupikir laki-laki yang berpikir seperti itu adalah laki-laki yang tidak pede pada dirinya sendiri, tidak pede pada kecerdasannya di depan perempuan. Padahal kakakmu itu kan cerdas ya."

"entahlah mbak, sebagai adiknya aku juga ga tahu apa yang jadi pertimbangannya ketika memilih istri." kata kawan saya.

"Meski konon kecerdasan anak-anak itu menurun dari sang ibu, semoga keponakan-keponakanmu menuruni kecerdasan ayahnya," sahut saya.

Note:
  1. Obrolan ini terjadi hampir 20 tahun lalu.
  2. Mendadak saya pingin nyinyir hari ini. Lol. Saya nyinyir, maka saya eksis. Ini motto saya hari ini. Lol.
  3. Mendadak teringat kisah sekian puluh tahun lalu ini gegara melihat fenomena perempuan-perempuan cantik namun tidak kritis menganalisis apa yang sedang terjadi di tahun politik ini. Saya tidak (lagi merasa) cantik jadi bebas. Lol. Oh ya, saya lupa, ada pemahaman "beauty is in the eyes of the beholder" kok ya. Standar cantik ini pun hanya sekedar persepsi, seperti bego. Kekekekeke …

13.38 14/01/2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar