Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Sabtu, Desember 22, 2007
Ayu Utami
Senin 17 Desember 2007 aku menghadiri acara ‘talk show’ dengan pembicara utama Ayu Utami dengan moderator Triyanto Triwikromo dari Suara Merdeka. ‘Talk show’ diselenggarakan di sebuah event yang diberi tajuk KAMPOENG WEDANGAN bertempat di kampus BLPT Jalan Brotojoyo Pondok Indraprasta Semarang.
Menurut info yang kubaca di Suara Merdeka, acara dimulai pukul 19.00, sedangkan aku baru sampai ke tempat sekitar pukul 19.30. Untuk memberi alasan mengapa aku datang terlambat (coz I always insist I belong to the punctual type ) aku selesai mengajar pukul 19.00. I needed some time untuk berjalan dari classroom ke teachers’ room, mengembalikan attendance list ke tempatnya, minum, dll. Setelah itu, aku harus mengantar Angie pulang ke rumah dulu, karena dia harus belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi final semester di sekolah, sehingga dia ga bisa ngikut aku nongkrongin Ayu Utami. Sesampai di rumah, aku sempatin mengganti “baju kebesaranku” mengajar (rok panjang hitam, blus, plus blazer hitam), dengan celana jeans plus sweater (hawa di Semarang sedang cukup dingin karena hujan yang sedang “rajin” turun membasahi bumi yang memiliki landmark Tugumuda ini).
Meskipun datang terlambat, dengan pedenya aku langsung menempatkan diri duduk di salah satu kursi yang terletak di deretan paling depan. Aku tengarai karena hujan yang mengguyur sejak siang hari, sehingga tidak banyak masyarakat Semarang yang mengunjungi KAMPOENG WEDANGAN; tidak banyak juga orang yang menempati kursi yang disediakan oleh panitia untuk “menikmati” Ayu Utami. LOL. Begitu duduk, Triyanto bertanya kepada hadirin, “Ada pertanyaan?” Waduh ... jelas I had no question karena aku belum tahu sampai mana perbincangan antara Ayu dan Triyanto, dan aku juga lumayan kaget karena aku yakin acara belum lama dimulai (mengingat ‘budaya’ buruk jam karet yang nampaknya telah mendarah daging di orang-orang Jawa; sorry, bukan bermaksud menghakimi nih: AKU YAKIN TIDAK SEMUA ORANG JAWA MEMPRAKTEKKAN BUDAYA—if we can call it BUDAYA—JAM KARET.) kok tahu-tahu Triyanto sudah ‘menyeruduk’ hadirin dengan “Ada pertanyaan?”
Berhubung tidak, atau belum ada satu pun pengunjung yang mengacungkan tangan sebagai tanda ingin mengajukan pertanyaan, Triyanto turun dari panggung, menghampiri seorang pengunjung yang duduk di sebelah kananku, dan bertanya,
“Apa yang membuat anda menghadiri acara ini?”
Berhubung jawabannya terlalu berbelit-belit, atau memang aku yang sudah menjadi makhluk pelupa, LOL, aku pun lupa apa alasan yang dia kemukakan. Aku sudah mempersiapkan diri jika Triyanto menanyaiku pertanyaan yang sama: “I am one fan of Ayu Utami! That for sure made me come to this place.” But ternyata harapanku itu terlalu tinggi. Triyanto langsung balik ke panggung, tanpa melirikku sedetikpun. (kayaknya sih. LOL.)
Satu hal yang sangat menarik bagiku yang dikemukakan oleh Ayu adalah dia menegasikan teori Roland Barthes tentang “The author is dead” begitu seorang pengarang usai menulis buku, dan buku tersebut dipublikasikan dan disebar ke masyarakat. (You can read one post of mine, I entitled “The death of the author” or similar like that in my blog http://afeministblog.blogspot.com) di post ini, aku pun menuliskan ketidakpedeanku untuk menggunakan teori Barthes ini, karena aku lebih condong ke teori Genetic Structuralism milik Lucien Goldmann, yang melibatkan ketiga elemen penting dalam menelaah suatu karya sastra, world view, the author’s view, plus his/her background, as well as the work itself.)
Berbeda denganku yang tidak mengimani teori Barthes karena aku bukan seorang yang pede, Ayu menjelaskan bahwa dia baru saja kembali dari Prancis, dalam rangka menghadiri launching SAMAN dalam versi Francaise. Sebelum buku SAMAN berbahasa Prancis itu diluncurkan ke masyarakat Prancis, Ayu diminta untuk menjelaskan kepada publik, “What is Saman all about?” yang bermakna Ayu tidak dimatikan oleh masyarakat sastra disana, Ayu tetap dianggap hidup sehingga suaranya perlu didengar untuk menjelaskan apa sih yang dia kemukakan, maupun yang dia kritisi, lewat novel perdananya yang dianugerahi sebagai tonggak bangkitnya Sastrawan Angkatan tahun 2000.
Seorang pengunjung bertanya tentang polemik sastra yang heboh di internet beberapa waktu lalu, antara pihak Forum Lingkar Pena—yang dimotori oleh Taufik Ismail—dengan Komunitas Utan Kayu—tempat dimana SAMAN dulu dilahirkan, meskipun sekarang Ayu tidak lagi terlibat secara aktif di KUK. Aku ingat yang ‘heboh’ di internet, adalah pelaku polemik yang menurutku mengklasifikasikan diri mereka ke dalam dua ‘kubu’ yakni ‘penghujat’ dan ‘pembela’ KUK dengan alasan masing-masing, bersaing siapa yang mampu mengemukakan alasan yang lebih intelektual. Ayu sendiri yang dihujat adem ayem saja. “Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu” mungkin Ayu berpikir begitu.
Dan, ternyata setelah bertemu langsung, Ayu pun tetap memilih untuk tidak ‘menceburkan’ diri ke kelompok pembela KUK, ataupun pembela diri sendiri. Dengan kata lain Ayu tetap dengan arif membiarkan para ‘anjing’ itu menggonggong, dan dia tetap berlenggang.
Tatkala mendapatkan kesempatan, aku bertanya, “Bukankah itu berarti mbak Ayu ‘dimatikan’ oleh kelompok penghujat?”
Dari jawaban yang diberikan olehnya, aku mengambil kesimpulan bahwa dia memang memilih sikap, “I don’t give a damn.” Katanya lagi, dari sekian banyak kritik yang ditulis oleh para krittikus sastra, baik dalam maupun luar negeri, satu kritik yang dia soroti, ditulis oleh seorang feminis Australia yang mengatakan, bahwa sebenarnya SAMAN akhirnya kembali lagi ke dikotomi makhluk publik dan domestik, makhluk superior dan inferior, karena SAMAN, sang karakter laki-laki lah yang mendapatkan porsi sebagai ‘pahlawan’, makhluk publik dan superior, sedangkan karakter perempuan yang ada, tetaplah merupakan tokoh pelengkap, seperti biasa, kehadiran makhluk berpayudara dan bervagina ini hanya untuk menjadikan satu suasana, era, or whatever we call it, menjadi lebih colorful.
FYI, tujuan utama panitia KAMPOENG WEDANGAN mengundang Ayu Utami adalah untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat Semarang, bahwa menulis bisa dijadikan salah satu cara berwirausaha, mengingat tema utama KAMPOENG WEDANGAN adalah “Expo Kewirausahaan dan Budaya”.
Berbicara tentang menulis, Ayu Utami membagi profesi menulis ini menjadi dua
1.penulis yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai WRITER, sebagai tataran pemula
2.pengarang yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai AUTHOR, sebagai kelas yang lebih tinggi, lebih sesuai disejajarkan dengan SENIMAN
Untuk menjadi AUTHOR, seseorang seyogyanya memulai dari tataran pemula, sebagai WRITER. Tulislah apa saja, misal tentang “How to be a millionaire”, “How to say NO to your boyfriend when he asks you to have sex” (NOTE: ini ideku, bukan yang disampaikan oleh Ayu. LOL.) Dalam menggapai ke-AUTHOR-annya, Ayu memulainya dengan profesinya sebagai wartawan dan kolumnis. Setelah merasa capable, dia baru memulai menulis proyek idealis (plus ambisius)nya, yakni menulis novel yang dia beri judul SAMAN.
Masih banyak lagi yang dikemukakan oleh Ayu, kusimpan untukku sendiri. LOL. Atau, kalau mood nulis datang (lagi), akan kutulis di post yang lain.
LL TBL 10.52 221207
Rabu, Desember 19, 2007
Orgasm
“What is orgasm like?”
More than three years ago, a close friend of mine asked me such a question, after she got married. (FYI, she got married at a quite relatively “late” time, at her mid thirties.) I didn’t have exact words to illustrate what orgasm was like. LOL. I just said, “Well, it is very very wonderful feeling.” Then she said, “Since the first time I had sex with my hubby, I have always got that wonderful feeling.”
“Do you undergo the “rising feeling”, I mean the wonderful feeling rises, it is getting more and more wonderful until eventually you feel like you reach the top.” I tried explaining further.
“No, it is not like that. It is wonderful, yes, but there is no sort-of “journey” to the top.” She said. “It is the same wonderful feeling when we start making love, until we finish.“ J
“Well, I am sorry to say that you haven’t got your orgasm, then.” I said. J
“Ah, I understand now why I already got bored with it. In fact, it is because I haven’t got orgasm yet.” She commented.
“I suppose so,” was my response.
Several days later, or several weeks later, I don’t remember well, she came to me, “reported”, LOL, “I think eventually I have got my orgasms, so I thought.”
I smiled widely, and interrogated her, “Tell me what it is like, in your own words.”
“I suppose I agree with you that there is something like journey to the top, the wonderful feeling increases little by little until I feel like flying to the open air, very high. I feel like all of the muscles in my body go away from my body.” LOL.
My smile got wider. LOL. Then I commented, “That’s exactly right. I believe you have got your orgasm.”
“It is indeed very wonderful, much more wonderful than just the feeling I got before I underwent to reach the top.”
“Of course yes.” I assured her.
“But, mbak, I could reach orgasms only when my hubby did oral sex to me. It is somewhat difficult for me to get it when we have “conventional” position, he is on top of me, or on the way around, when I am on top of him.” She said further.
“It is not important anymore, I assume. Women can get orgasm not only because of penis, but also using other media, such as tongue, fingers, or any other things, such as vibrator. Similar to that, women also can get orgasm with any other position, as long as their most sensitive part of their bodies get stimulated well.”
“Is it normal?” she inquired, not sure.
“It is ABSOLUTELY normal.” I convinced her.
*****
I just watched BECAUSE I SAID SO, with Diane Keaton and Mandy Moore. (I just realized that Mandy Moore has played in some movies, she is not only a singer. The first song I really like from her is I WANNA BE WITH YOU; one song I love to sing when I want to be with someone I love. Her first movie I watched was AMERICAN DREAMZ where she became a singer, not far from her profession. WALK TO REMEMBER was the second movie I watched with her as one leading star, the third was SAVED! And BECAUSE I SAID SO was the fourth movie.) This is a movie about a single mother who has three daughters, and Mandy casts as Milly Wilder, the youngest. Diane Keaton casts as Daphne Wilder, the mother.
One scene that attracted me most is when Daphne and Milly talked about what orgasm was like. Milly told her mother about orgasm, using very different term I used to tell my close friend three years ago, but I couldn’t agree with her more. It is indeed difficult to explain what orgasm is like in verbal language. J
I was wondering why the mother asked the daughter about orgasm. Weren’t they supposed to exchange roles? The mother explained and the daughter listened. Then, Milly asked Daphne, “How about your own experience Mom? Didn’t you experience that with Dad?”
Daphne said that she seldom did that with her husband, moreover he was always busy working, because he also worked night that made him very tired. The conclusion was: Daphne never got orgasm yet.
The continuation of the story: Daphne dated Joe, Johnny’s father, while Johnny dated Milly. From Joe, eventually Daphne experienced orgasm, and she became sort-of addicted to it. J
*****
What I want to say in this writing is in fact many women don’t get orgasm in their life, including married women (In Indonesia, the hypocritical view is still very strong: ONLY MARRIED COUPLE HAVE RIGHTS TO HAVE SEX. It means only married people have rights to experience orgasm.) What a waste if those married women don’t experience this one wonderful moment in their life. They even think that their role in sex is only to satisfy their sex partners—their husbands. They get that “wonderful feeling”, yes, but not yet “reach the top”, just like what my close friend said to me at the beginning of her marriage. And since they never “reach the top” yet, they think that the pleasure of orgasm is similar to that usual “wonderful feeling” at the beginning of having sex. I suspect then this makes many women reluctant to have sex with their husbands, because of course that usual wonderful feeling easily makes them bored. Things get worse when the couple don’t communicate about it openly.
For women who have undergone “to reach the top”, absolutely, they will enjoy it. Look at Daphne, she easily became addicted to Joe after he made her reach the top. J One more important thing: orgasm can be reached not only via “conventional one on one“ sex. Do you agree? You’d better. LOL.
PT56 15.25 161207
Selasa, Desember 04, 2007
Kaligawe banjir
“Emang kamu cuma punya sepatu satu pasang Na?”
Well, aku punya satu pasang sepatu boots lain yang berukuran 36, ukuran “asli” kakiku yang mengikuti standard kecantikan kaki perempuan China di zaman dahulu LOL. Aku juga masih punya dua pasang sepatu high-heeled lain, yang dengan alasan tidak jelas, aku malas memakainya. LOL. (Khawatir kalau “trade mark” si pemakai busana serba hitam plus sepatu boots hitam diserobot orang di kantor tempat aku bekerja LOL.) Satu-satunya sepatu yang paling suka kupakai ya sepatu boots-ku yang berukuran “tidak asli” yakni ukuran 37, yang sudah lecet di sana sini, terutama gara-gara aku jatuh dari motor, kaki kananku terseret beberapa meter, sekitar dua tahun yang lalu, plus sering kupakai untuk menstarter motor kalau “automatic starter” nya ngadat. Ukuran yang satu nomor lebih besar dari “ukuran asli” kakiku yang mungil ini membuatku leluasa memakai “kaos kaki bola” (LOL) yang rada tebal itu untuk melindungi kakiku. Kalau memakai sepatu boots yang berukuran 36, ga bisa lah aku memakai kaos kaki bola, karena bakal sempit.
Tatkala aku akhirnya meninggalkan kantor, hujan yang sudah agak mereda ternyata membuat sepatuku aman, alias tidak basah kuyup kemasukan air hujan.
****
Selasa 4 Desember aku sudah siap duduk di teras sekitar pukul 05.15, menunggu Pak Har menjemput. Kira-kira nanti kita lewat jalan mana ya untuk menghindari banjir di Kaligawe? FYI, mobil yang biasa dinaiki Pak Har itu saingan mungilnya dengan diriku (plus ukuran kakiku LOL). Kasihan kalau dipaksa melewati banjir di Kaligawe. (Dijamin, Abangku ga bakal muat naik mobil itu LOL, kepalanya bakal kejedot langit-langit mobil, plus kakinya harus menekuk dalam-dalam, yang tentu membuatnya ga bakal bisa melakukan salah satu hobbynya: menjadi pereli antar negara. LOL.)
Pak Har datang sekitar pukul 05.35. Seolah membaca pertanyaan “Mau lewat mana Pak?” yang tertulis di jidatku LOL, beliau bilang, “Kaligawe tentu banjir parah mbak. Nanti kita lewat jalan arteri saja.”
Aku yang cuma jadi penumpang tentu pasrah sajalah. LOL. And you can guess. Selama perjalanan menuju Sayung (daerah setelah Kaligawe), melewati arteri, Nana yang homebody type ini pun tiba-tiba menjadi turis lokal. LOL. Aku terbengong-benong memandang daerah di kotaku yang sangat asing di mataku. Dan ternyata Pak Har diam-diam memandangiku yang nampak begitu antusias melihat ke arah kanan kiri, bertanya kepadanya, “Itu gedung apa Pak ya?” tatkala aku melihat sebuah gedung yang lumayan mencolok bagiku.
Setelah melewati daerah pertigaan Terboyo—Tlogosari—Demak, seperti biasa aku memandangi sungai yang ada di pinggir sebelah kiri, yang airnya hanya sedikit, dan keruh, namun tetap saja dipakai orang-orang di daerah sekitar untuk mencuci, dll. Tiba-tiba Pak Har nyeletuk, “Masih suka memandangi sungai itu toh mbak?” LOL. LOL.
Seperti orang yang ketahuan nyolong mangga, LOL, aku menjawab, “Saya pengen lihat apakah sungai ini bakal penuh berisi air setelah hujan turun.”
FYI, meskipun Demak terletak tidak jauh dari Semarang, Demak ternyata terkenal sebagai daerah yang sulit air. Itu sebab di Demak tidak pernah ada berita kebanjiran.
****
Perjalanan pulang dari Demak, terutama tatkala melewati Kaligawe, dengan antusias aku menjepret pemandangan banjir di depan mataku, untuk menghindari kejenuhan macet. Seseorang yang duduk di sampingku memandangku dengan heran, perhaps he thought, “What the hell is this lady doing? Who the hell is she? Banjir begitu saja kok difoto.” LOL.
Ini dia foto-foto hasil jepretanku, menggunakan digital camera yang ada dalam hape Samsung SGH X640, diambil dari dalam bus. Kalau hasilnya seadanya, ya mohon dimaklumi. :) Aku salut pada mereka yang naik motor, dan nekad melewati kawasan Kaligawe yang sedang banjir, meskipun aku heran juga, ada jalan alternatif—jalan arteri—mengapa mereka tetap memilih jalan itu? Efisiensi waktu? Probably.
Yang di bawah ini banjir di daerah lain.
Semarang memang penuh air. :( Akankah ada walikota terpilih yang bakal bisa membebaskan Semarang dari “masalah klasik” ini? (Inget lagunya Waljinah “Semarang kaline banjir” ...)
PT56 11.33 041207
Wisata Bahari Lamongan
Minggu 4 November 2007 aku beserta beberapa rekan kerja plus keluarga berwisata ke Wisata Bahari Lamongan (WBL) yang juga disebut Tanjung Kodok, yang terletak di kota kecil Lamongan, Jawa Timur.
Rombonganku meninggalkan kantor kurang lebih pukul 05.00, waktu di dalam bus Sindoro Satria Mas. Sopir bus memilih jalur utara, melewati Kaligawe yang sedang dipenuhi air banjir pada waktu itu. Aku sempat melihat beberapa mobil yang memutar untuk memilih jalur yang lain, karena tidak bisa memperkirakan seberapa dalam genangan air yang disebabkan hujan tersebut. Rombongan berhenti di Kudus, di sebuah rumah makan untuk memberi kesempatan kepada para penumpang yang ingin mengeluarkan hajat kecilnya. Kali kedua rombongan berhenti di Tuban, dengan maksud yang sama.
Kami sampai di Wisata Bahari Lamongan pukul 11.30. Setelah makan siang berupa nasi kotak di dalam bus, kami memasuki daerah wisata.
I myself was completely in the dark what kind of place is WBL Hanya satu petunjuk yang diberikan oleh guide, “Semua wahana bisa dinaiki karena panjenengan saya belikan karcis terusan yang memungkinkan panjenengan melakukan itu, kecuali dua tempat: arena permainan go kart, dan banana boat. Panjenengan harus membayar jika ingin naik go kart dan banana boat.”
“Is it something like Dufan in Jakarta Mama?” Angie asked me.
“Perhaps honey.” Jawabku.
Aku dan Angie masuk area WBL terlambat karena Angie menyempatkan diri mengganti celana jeans panjangnya dengan celana jeans selutut. Pesan dari guide yang disampaikan kepada koordinator wisata dari kantor, “Jangan lupa bawa baju ganti.”
****
Bangunan pertama yang kumasuki bersama Angie adalah “Rumah Kucing”. Di dalamnya banyak terdapat berbagai macam kucing dari seluruh penjuru dunia. Bagi pecinta kucing, mungkin di sinilah tempat yang paling mengasyikkan, karena bisa melihat berbagai varian kucing yang imut-imut, sekaligus merasa kasihan, karena biasanya kucing yang lebih dikenal sebagai domestic pet, dibiarkan berkeliaran bebas di dalam rumah, di “Rumah Kucing” ini kucing-kucing tersebut “dikerangkeng” di sebuah kotak berukuran kurang lebih 2 x 2 m, seperti binatang-binatang buas di kebun binatang. Anyway, kucing memang satu keturunan dengan singa, harimau, maupun leopard dan panther (World Book 2005), yang bisa dikategorikan binatang buas.
Lihat gambar beberapa kucing-kucing koleksi WBL di bawah ini:
Keluar dari “Rumah Kucing”, Angie dan aku melanjutkan perjalanan ke gedung selanjutnya: Bioskop 3 dimensi.
Waktu akan ngantri untuk masuk ke dalam bioskop, Angie komplain panjangnya antrian sehingga aku ikuti keinginannya untuk langsung melanjutkan perjalanan. Untung sorenya, sebelum keluar dari areal WBL, menjelang pukul 4, waktu kita berdua balik melewati bioskop, tidak ada antrian sama sekali, sehingga Angie pun mau masuk ke dalam. Film yang kita tonton adalah perjalanan masuk ke dalam terowongan yang gelap gulita, naik kereta api, penuh dengan pemandangan yang mengerikan. Waktu kita serasa tercebur ke dalam air sungai yang airnya menggelegak, tiba-tiba para penonton disembur air sungguhan entah berasal dari mana. Menurutku pribadi bioskop 3 dimensi di WBL ini lebih memberi kesan “sungguhan” daripada yang ada di Dufan.
Meninggalkan bioskop 3 dimensi, ada “Rumah Sakit Hantu” yang konon di dalamnya diset seperti bentuk rumah sakit yang dipenuhi oleh “hantu-hantu” yang meninggal karena sakit atau mati kecelakaan. Angie menolak masuk, sehingga aku hanya mendengar cerita mereka yang masuk ke dalamnya. FYI, Angie lumayan suka nonton film horror, namun ogah kuajak masuk ke areal permainan yang berhubungan dengan ‘setan’ dan ‘hantu’.
Setelah Rumah Sakit Hantu, ada areal permainan ketangkasan. Angie pun tidak mau mencoba seberapa tangkas dia bermain lempar melempar, atau tembak menembak. So, kita jalan terus aja.
Gedung di sebelahnya diberi judul “Istana Bawah Laut”. Setelah aku dan Angie masuk ke dalamnya, ah .. ternyata tempat bermain anak-anak kecil, seperti kereta api mainan, mobil-mobilan, robot yang bisa bergerak naik turun, dll. Hanya saja gedung itu diset seperti berada di bawah laut. Hiasan di dinding dan di langit-langit gedung yang menunjukkan kita seperti berada di bawah laut.
Dari sana aku dan Angie sempat memasuki areal go kart. Satu orang dikenai biaya Rp. 18.000,00 untuk mencoba naik go kart selama kurang lebih 5 menit, merasakan laksana racer. Angie and I didn’t try riding it.
Gedung berikutnya adalah “Taman Bajak Laut”. Angie yang semula menolak melulu kuajak ini itu, akhirnya kupaksa masuk ke dalam taman bajak laut. (Informasi tambahan: hari Senin 5 November, Angie harus menghadapi ujian harian terpadu di sekolah. Mungkin itu sebab dia kurang begitu menikmati suasana. Blame her mother yang memaksanya untuk ikut berdarmawisata. LOL.) “Taman Bajak Laut” diset seperti sebuah kapal yang karam setelah dibajak oleh para perompak di tengah laut. Pengunjung dibatasi hanya empat orang untuk sekali perjalanan masuk ke dalam. Di dalam suasana agak temaram, dengan pemandangan khas kapal yang karam, ada bajak laut yang menakut-nakuti di sana sini. Bersamaku dan Angie, ada seorang laki-laki yang mungkin berusia sekitar 30 tahun, bersama keponakannya. Mereka berdua ada di depanku. Angie yang merasa agak takut, memeluk lengan kananku dengan erat, dan aku memegangi kaos yang dipakai oleh anak kecil yang memeluk omnya dari belakang. LOL. Begitu “selamat” keluar dari “serangan para bajak laut” di dalam “kapal karam” itu, Angie pun berteriak lega. LOL. (felt like ikut pengalaman dalam Pirates of the Caribbean, kata Angie. LOL.)
Dari sana, Angie yang moodnya sudah bagus, mau ikut aku masuk ke “Planet Kaca” yang di dalamnya tak jauh beda dengan “rumah kaca”, or whatever it is called di Dufan.
Keluar dari “Planet Kaca”, aku melihat, wahana “Tagada” yang mirip seperti “kora-kora” di Dufan. Aku menolak diajak Angie naik, karena ogah pusing, plus perut mual setelah itu. LOL. Ada “planet insectarium” yang isinya (mungkin) berbagai macam insects, yang kurang menarik bagi Angie sehingga kita berdua pun tidak masuk ke dalamnya.
Perjalanan selanjutnya kita masuk ke “Taman Berburu” yang antrinya jauh lebih lama dibanding waktu ‘berburu’nya sendiri. LOL. Aku dan Angie menaiki semacam mobil kecil terbuka, yang dilengkapi oleh “senapan” untuk menembak binatang buas yang “berkeliaran” di dalam taman tersebut.
Keluar dari “Taman Berburu”, aku dan Angie memasuki “playground remaja” yang di dalamnya ada banyak pasangan remaja yang duduk berdua-dua. Playground ini terletak tepat di pinggir laut. Lihat foto yang kujepret di daerah itu di bawah ini.
Aku dan Angie naik “jet coaster” yang terletak di tebing yang lumayan curam. Jet coasternya sendiri tidak begitu “mendebarkan hati” dibandingkan yang ada di Dufan, yang dulu “memaksaku” untuk berteriak ketakutan kalau sampai jatuh. LOL. Sorry, lupa njepret jet coaster plus tebingnya yang curam. LOL.
Berikutnya aku dan Angie naik “space shuttle” yang membuatku seperti sedang naik ayunan. Waktu kecil aku suka sekali naik ayunan seperti rasanya aku kepengen punya ayunan pribadi di halaman rumah. LOL. (Belum terkabulkan sampai sekarang. LOL.) Dari ‘space shuttle”, aku ajak Angie makan bakso, karena waktu melihat rumah makan tak jauh dari situ, rasanya aku nyidam makan bakso. LOL. FYI, I am NOT a bakso freak. Waktu makan sambil ngobrol inilah, aku baru kepikiran, “Sayang, tolong space shuttlenya ntar difoto yah?” begitu aku bilang ke Angie. Ini dia foto “space shuttle”nya.
Setelah itu, aku memaksa Angie ikut ngantri di areal “bumper car” alias bom bom car. “Di Semarang juga banyak Ma kalo cuma kayak gini,” Angie bersungut-sungut.
“Masalahnya adalah, kita yang ga pernah nyempatin diri ke mall untuk mainan bom bom car. Nah, sekalian aja sekarang, mumpung sudah ada di depan mata,” kataku merayu Angie. LOL. Bedanya adalah, kalau bom bom car di Semarang, mobil mainannya lumayan besar sehingga bisa dinaiki dua orang. Di WBL, satu mobil hanya cukup untuk satu orang.
Areal terakhir yang kumasuki bersama Angie adalah “permainan air” berupa taman biasa aja. Aku semula sempat terheran-heran mengapa taman yang biasa saja itu disebut “permainan air”, mana sebelum masuk ada peringatan, “Bagi mereka yang menderita sakit jantung dilarang masuk. Tempat ini merupakan tempat yang memiliki teknologi sensor tinggi.” What the hell? Ternyata tatkala enak-enak berjalan, tiba-tiba dari satu tempat yang tidak jelas, meluncurlah “serangan air” yang tidak mungkin bisa dihindari. Demikianlah kejadiannya sepanjang berjalan di taman itu. Walhasil keluar dari areal “permainan air” aku dan Angie sama-sama basah kuyup. Keluar dari taman itu, kita disambut dengan tulisan seperti di bawah ini:
Berikutnya aku dan Angie naik kano. Wah ... ternyata asik naik kano. Jika ada kano di pantai Marina Semarang, tentu aku bakal rajin main ke Marina. Sayangnya ga ada ... Aku dan Angie tidak naik banana boat (speed boat).
Berikutnya kita cuma ngobrol sambil berfoto-foto di pinggir pantai. Hampir sepanjang perjalanan di dalam WBL, aku dan Angie tidak berpapasan dengan anggota rombongan lain sehingga laksana kita hanya piknik berdua.
Berikut foto-foto yang sempat dijepret menggunakan hape Angie SonEr K510i yang kayaknya hasilnya sudah tidak sebagus beberapa bulan lalu.
Aku dan rombongan meninggalkan areal WBL sekitar pukul 18.30 waktu di dalam bus Sindoro. LOL. Mampir sebentar untuk makan malam di Tuban. Kita sampai di kantor Semarang, sekitar pukul 00.30.
PT56 07.42 021207