Ternyata 'penyakit' fundamentalis tidak hanya menghinggapi para kaum agamis. Mereka yang mengaku diri sekuler --pen juga para spiritualis -- pun tidak bebas dari penyakit yang satu ini. Misal, tatkala terjadi kecelakaan penusukan seorang pendeta, tanpa ba bi bu, seseorang berkomentar, "Itulah orang yang tidak memiliki otak. Kalau kata Tuhannya 'tusuk' ya tusuk saja. Toh mereka yang non Islam dihalalkan darahnya?" => Contoh seorang sekuler yang fundamentalis. Komentar seseorang yang ~ menurut pengamatanku ~ agamis fundamentalis dengan sinis mengatakan, "Gampang toh membeli baju gamis warna putih, kopiah warna putih, apa pun agama seseorang itu, kemudian datanglah ke sebuah gereja, dan tusuklah jemaatnya. Dan ... Islam lah yang kena getahnya, karena baju gamis dan kopiah memang mewakili kaum Muslim."
Dan, aku yang keukeuh untuk selalu cuek pada segala 'hasutan' untuk saling membenci satu agama dengan agama lain, dengan SENGAJA tidak mau mengikuti berita. (Call me as an ignorant person!) Mengikuti 'hasutan-hasutan' yang demikian, justru menurutku akan mempertajam kebencian pada mereka yang memeluk agama yang berbeda. Mending saja kita bersikap, "oh, ada yang terluka? bantu! selamatkan!" tanpa harus memandang 'agama ini agama itu'. Dan ... akibatnya, aku pun BLANK what has been really going on.
Mengapa orang terus saja memendam benci kepada sesama umat manusia yang 'kebetulan' memeluk agama yang berbeda?
Mengapa orang terus saja bertingkah memancing di air keruh, mengadu domba antar pemeluk agama?
Mengapa orang terus saja serakah akan kekuasaan?
Dan aku tetaplah menjadi yang naive. :'(
Berikut ini adalah artikel yang kuberi judul SEKULER FUNDAMENTALIS, yang kupost di FB beberapa bulan lalu, menghilang tatkala aku 'kabur' dari FB selama empat hari. (Untung telah kupost di blog, sehingga bisa kumunculkan lagi di sini.)
SEKULER FUNDAMENTALIS
After all, the practical reason why, when the power is once in the hands of the people, a majority are permitted, and for a long period continue, to rule is not because they are most likely to be in the right, nor because this seems fairest to the minority, but because they are physically the strongest. But the government in which the majority rule in all cases cannot be based on justice, even as far as men understand it. Can there be a government in which the majorities do not virtually decide right or wrong, but conscience? (from Civil Disobedience by Thoreau)
Artikel ini bermula dari tulisan lamaku yang berjudul "My Spiritual Journey" yang ku repost di FB beberapa hari lalu. Seorang sahabat menulis komentar, "what a spiritual snob you are ..." Aku menjawab, "I am absolutely not a spiritual snob. An intellectual snob, well, yes you can say that again!" Dia menjawab, "Iyalah, bermula dari ranah cognitive kemudian menjalar ke ranah affective ..." Dengan bercanda aku bertanya kepadanya, "Spiritual snob beda kan dengan religious snob? Di Indonesia banyak kan religious snob yang percaya bahwa mereka itu calon masuk surga, sedangkan yang lain masuk neraka ..." Diskusi ini kita lanjutkan lewat INBOX, karena khawatir bakal kena UU -- you know what you it is. Dan, dia pun mengenalkanku pada istilah "fundamentalist secular". Istilah yang langsung membuatku penasaran, "apaan tuh fundamentalist secular? emang ada ya?"
Istilah 'fundamentalist secularism' berasal dari dua kata 'fundamentalism' dan 'secularism'. Wikipedia mendefinisikan 'fundamentalism' sebagai suatu keyakinan yang sangat kuat pada prinsip-prinsip dasar (paling utama agama), sebagai suatu reaksi terhadap kehidupan sosial yang modern. Atau dengan kata lain, fundamentalisme adalah kepercayaan yang kuat terhadap agama dalam menghadapi kritik-kritik yang ditujukan kepada agama tersebut.
Karen Armstrong, penulis buku "History of God" menyatakan gerakan fundamentalisme sebagai jenis spiritualitas yang muncul sebagai jawaban terhadap ketakutan bahwa kehidupan modern akan mematikan keyakinan atau agama mereka. Gerakan ini diikuti oleh para fundamentalis tiga agama samawi, Nasrani, Yahudi, dan Islam.
'Secularism'menurut Wikipedia adalah konsep dimana suatu negara seharusnya berdiri terlepas dari agama. Sekularisme memberi hak kepada warga negara untuk terbebas dari ajaran agama, dan kebebasan dari paksaan dalam memeluk agama -- maupun tidak memeluk agama -- dan tidak memberikan keuntungan khusus bagi satu agama tertentu. Hal ini berarti keputusan maupun undang-udang yang dihasilkan oleh negara haruslah terlepas dari pengaruh agama manapun.
Apakah 'fundamentalist secularism'?
Tobias Jones, pengarang buku "The Dark Heart of Italy" dalam
http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2007/jan/06/comment.religion menyatakan "Secular fundamentalists are the new totalitarians*". -> "Fundamentalis sekuler merupakan 'totalitarian' baru." Sebagai contoh fundamentalis sekuler, dia menulis kasus pelarangan mengenakan jilbab bagi siswa-siswi sekolah di Prancis. Hal ini berarti pemerintah tidak memberi kesempatan bagi warga negara untuk mempraktikkan ajaran agamanya secara bebas. Sebagai contoh lain, Jones menulis tatkala pemerintah menganggap pemakaian kalung salib, jilbab, ataupun penutup kepala sebagai suatu hal yang tidak menghargai pemeluk agama lain.
Hal ini mengingatkanku pada sebuah topik klasik pada waktu aku kuliah di American Studies. Pada tahun 1620, sekelompok orang yang disebut 'the Pilgrims" bermigrasi dari Inggris ke Amerika Utara, dengan menaiki kapal "Mayflower". Di 'tanah yang baru' mereka mendirikan koloni Plymouth di Massachussetts. Mereka pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka karena disana mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk mempraktekkan ajaran agama yang mereka peluk. Namun, tatkala mereka berhasil membangun sebuah 'negara' (koloni) baru, mereka ternyata melakukan kekerasan yang sama kepada para pemeluk kepercayaan lain. Sekelompok orang yang kukuh memeluk agama yang lain dari sang penguasa harus pindah ke tempat lain, atau mereka akan dihukum gantung.
Apakah sekulerisme fundamentalis hanya ada di negara-negara barat?
Sekulerisme ini tumbuh pesat dimana-mana, seiring dengan kehidupan modern yang merambah banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia bukanlah negara sekuler. Indonesia juga bukan negara Islam meski memiliki MUI yang jelas-jelas mencampuri kehidupan beragama warga negaranya dengan mengeluarkan banyak fatwa yang sebenarnya tidak perlu. meski ada juga pemerintah propinsi yang telah mengeluarkan undang-undang yang berdasarkan agama Islam.
Aku tengarai banyak orang di Indonesia (yang kukenal lewat dunia maya) yang mengklaim diri sebagai sekuler, mereka meyakini bahwa negara seharusnya memisahkan urusan kenegaraan dengan ajaran agama, pemerintah seharusnya memberikan hak kepada warga negara untuk memeluk agama maupun untuk tidak memeluk agama. Para sekuler ini -- aku termasuk di dalamnya -- tidak mencampuradukkan ajaran agama dengan kehidupan sehari-hari mereka. Mereka juga percaya bahwa manusia seharusnya saling menghormati agama masing-masing, tidak menghakimi bahwa orang lain akan masuk neraka -- misalnya hanya karena mereka tidak shalat lima waktu sehari bagi Muslim atau karena mereka tidak ke gereja bagi Nasrani. Mengacu ke postinganku "My spiritual Journey", dimana topik utamanya adalah "tidak ada 'orang terpilih' begitu saja untuk masuk surga" akhir-akhir ini aku mulai melihat kecenderungan para sekuler itu -- dimana aku pun termasuk di dalamnya -- pun mulai berpikir bahwa mereka adalah 'orang-orang terpilih'. Mereka menertawakan orang lain yang memeluk agamanya secara teguh, yang melakukan ajaran agamanya secara tekun dan penuh keyakinan, mereka menganggap orang lain yang sangat mempercayai kekuatan doa untuk mengurangi penderitaaan mereka sebagai orang-orang yang menggelikan, Mereka telah kehilangan empati. Mereka tidak lagi menghormati keyakinan orang lain.
Dari contoh-contoh di atas, bisa disimpulkan bahwa fundamentalis sekuler berarti negara -- atau sekelompok orang -- yang memisahkan kehidupan mereka sehari-hari dari ajaran agama begitu kuatnya, sehingga mereka memiliki kecenderungan menihilkan adanya agama, bahkan dalam tataran yang lebih 'parah' lagi, mereka bisa jadi menganggap orang yang beragama sebagai orang jahat.
Sebagai seorang Muslim yang sekuler, aku ingin mengakhiri artikel ini dengan menyitir satu ayat Alquran "lakum dinukum waliyadin" => bagimu agamamu, bagiku agamaku. Atau yang lebih luas lagi, apa pun keyakinan yang kita miliki -- apakah kita adalah seseorang yang menganut satu agama, atau pun seorang agnostik, atau pun deist, nihilist, atau pun atheis, selalu lah kita menghormati orang lain, karena perbedaan itu indah, menghormati (kepercayaan) orang lain itu perlu, memiliki empati kepada orang lain itu 'awesome'.
Nana Podungge -- Muslim sekuler --
LL 18.38 190210
• (Totalitarianism = a form of government in which the state controls all phases of the people's lives. Totalitarianism allows only one party, headed by an absolute leader. He maintains his power over the party and the rest of the people by force and violence. Freedom of religion does not exist. => "The World Book Encyclopedia)