Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Sabtu, November 17, 2007
Ngurus SIM
“Ngapain ke SATLANTAS Na?”
Ngurus SIM.
“Emang masa berlaku SIM-mu habis? Ini kan bulan November, sedangkan ulang tahunmu bulan Agustus. Harusnya kalau habis ya bulan Agustus kemarin diurus?”
Well, ceritanya begini. Aku kecopetan dompet satu hari bulan September 2002 (LIMA TAHUN LALU!!!) tatkala aku turun dari bus PATAS NUSANTARA di terminal Jombor. Selain sejumlah uang, yang ada di dalamnya SIM, KTP, dan kartu anggota JAMSOSTEK. Yang lain, aku sudah lupa. Maklum five years has gone.
Karena kesibukanku riwa riwi (atau wira wiri yah?) Semarang Jogja Semarang sampai aku lulus tahun 2005, aku males banget ngurus SIM baru lagi. Sedangkan KTP kan gampang, tinggal memberi sejumlah uang kepada karyawan Kelurahan, aku bisa mendapatkan KTP baru.
“Aku ga kuliah di luar kota aja males mbak kalo ngurus SIM, karena birokrasi yang complicated,” kata seorang teman, memberiku dukungan. LOL.
Tahun 2005 pertengahan aku sudah sering berada di Semarang sebenarnya, dan sibuk bekerja lagi, dan lumayan sering “mobile” menaiki sepeda motor, tapi dasar aku LELET, ngurus SIM pun males banget. Kebetulan juga aku bukan tipe orang yang suka kelayapan. Seperti yang pernah kutulis di post sebelum ini, kegiatanku hanya ngantar Angie sekolah, ke kantor, ke PC fitness center dan ke warnet yang kebetulan tempatnya berdekatan satu sama lain. Kadang ya was was juga ketika aku melakukan ‘perjalanan’ yang tidak biasa, misal, mengunjungi Julie yang tinggal di daerah Citarum ataupun Yulia yang tinggal di daerah Klipang (jauuuhhhhh banget dari tempat tinggalku!!!) ketika kebetulan mereka berdua pulang ke Semarang. But, semenjak pertengahan 2005 itu, aku “cuma” sekali “ketangkap” patroli polisi ketika satu hari Minggu aku lewat Kampung Kali (Jalan Mayjen Sutoyo) sekitar pukul 14.00, setelah membantu AFS Chapter Semarang untuk mengadakan seleksi di SMP N 3 yang terletak di kawasan tersebut. Sekitar bulan Juni/Juli 2007 yang lalu.
Kembali ke hari Selasa 6 November 2007. setelah muter-muter mencari jalan yang tidak banjir, akhirnya aku mengalah, harus melewati banjir. Aku tidak tahu nama jalannya, namun berlokasi setelah jalan Merak (yang direncanakan sebagai lokasi CITY WALK), belok kanan. Ini dia foto jalan yang dipenuhi dengan air banjir sebelum kulewati dengan nekad. :)
Masuk ke Jalan Letjen Soeprapto dari arah Timur (memang hanya satu arah), banjir masih menggenangi sebagian jalan itu. Untungnya di depan SATLANTAS, air sudah surut. Waktu memarkir motor, seseorang memakai seragam biru tua (blue black) yang berkeliaran di pelataran parkir menyapaku, “Mau ngurus apa mbak?”
“SIM Pak. SIM saya hilang.” Jawabku.
“Mau saya bantu?” tawarnya.
Aku diam saja. Aku ingin mencoba mengurus sendiri.
Loket pertama yang kudatangi adalah loket INFORMASI. Seorang pegawai menanyaiku, “Ada apa mbak?”
“Mau ngurus SIM Pak. SIM saya hilang.”
“KTP dan surat kehilangan dari Poltabes,” katanya.
Aku langsung menyerahkan kedua hal yang diminta itu kepadanya.
“Tunggu ya mbak? Silakan duduk dulu.” Katanya lagi.
Waktu duduk-duduk menunggu (di halaman, tidak di dalam sebuah gedung), aku melihat tulisan HINDARI PENGURUSAN SIM MELALUI CALO. “Just wait and see what will happen today,” kataku dalam hati.
Lihat gambar di bawah ini.
Sekitar 15 menit kemudian, aku dengar namaku disebut, lengkap dengan nama fam PODUNGGE. (orang itu tidak salah membacanya! :)) aku mendekati loket informasi itu lagi.
“Ngurus SIMnya terlambat ya mbak?” tanya orang yang sama.
“Terlambat?” tanyaku balik.
“SIM mbak berlaku sampai tahun 2004. berarti mbak terlambat 3 tahun mengurusnya Harus diuji ulang lagi.” Katanya.
W A D U H...
“Emang hilangnya kapan?” tanyanya.
“Tahun 2002 Pak, dan saya lupa masa berlaku SIM saya itu sampai tahun berapa. Tapi memang baru kemarin saya mengurus surat hilangnya di Poltabes.”
“Berarti mbak harus diuji ulang. Seperti mengajukan SIM baru lagi.” Katanya.
Uji ulang? Aku ingat di tahun 1984 dulu waktu my dear late Dad menguruskan SIM buatku, setelah beliau membelikanku sebuah sepeda motor baru, hadiah diterima di SMA N 3 Semarang, sekolah negeri terfavorit, beliau mengantarku ke SATLANTAS, menungguiku yang sedang ujian teori di sebuah ruangan. Di luar hujan, dan beliau (dengan seorang teman yang “menjembatani” antara my dear Dad dengan pihak kepolisian) harus berdiri di “tritisan” (what is it called in Bahasa Indonesia? LOL) agar tidak terkena tetesan air hujan.
Setengah bengong aku menerima secarik kertas yang diulurkan oleh si Bapak di loket “Informasi” itu. Dia mengatakan, “Sepuluh ribu.”
Meskipun aku tidak jelas uang itu untuk apa, karena tidak ada kuitansi yang jelas, aku berikan juga uang sepuluh ribu kepadanya. Di sebuah lembaran kertas yang dia ulurkan, tertulis dataku sebagai pemilik SIM C, yang dikeluarkan pada tahun 1999. Aku berpikir apakah uang sepuluh ribu rupiah itu untuk membayar jasanya mencarikan dataku di komputer? Padahal dengan sistem komputeriasi, mencari data merupakan suatu hal yang sangat mudah, tinggal satu KLIK, keluarlah data yang kita butuhkan. (Seperti seseorang yang mencari dataku di internet, tinggal ketik NANA PODUNGGE di search engine, kemudian KLIK, voila ... akan keluarlah segala hal yang berhubungan dengan NANA PODUNGGE. Apa susahnya?”) Kemudian dia tinggal ngeprint. Apa sulitnya?
But ... yah ... orang bilang SATLANTAS merupakan gudang “uang-uang yang berpindah tangan tanpa keterangan yang jelas” so ... ya mohon dimaklumi.
Dari loket informasi, aku ke loket pembayaran, yang ternyata aku diminta untuk membayar Rp 20.000,00 untuk cek kesehatan. Ada kuitansi yang jelas untuk ini.
Dari situ, aku ke Poliklinik untuk cek kesehatan.
Apa yang terjadi di Poliklinik? Tekanan darahku dicek, kemudian juga mata, untuk mengecek apakah aku buta warna. Kemudian sedikit wawancara, apakah aku memakai kacamata, kalau iya apakah minus atau plus. That’s all. Kemudian aku diminta ke ruang I yang terletak di sebelah ruang II. LOL.
Sesampai di sana, kusodorkan berkas-berkas yang kubawa (surat kehilangan dari Poltabes, KTP, satu lembar data yang kudapatkan dari loket informasi, dan surat keterangan kesehatan dari poliklinik) kepada seorang polwan yang duduk di balik counter. Setelah sekilas melihat data yang menunjukkan aku terlambat mengurus SIM, polwan itu mengatakan, “Ini harus diuji ulang mbak.”
“Iya. Saya harus kemana?” tanyaku.
“Ke ruang ujian teori. Yang menguruskan siapa?” tanyanya.
“Saya urus sendiri,” jawabku pede. Sembari teringat tulisan HINDARI PENGURUSAN SIM MELALUI CALO, mengapa polwan itu bertanya, “Yang menguruskan siapa?”
Aku lupa memperhatikan rona wajah sang polwan mendengar jawabanku tadi. Kemudian dia menyerahkan selembar formulir yang harus kuisi, formulir permintaan SIM baru (satu halaman bolak balik), dan memintaku membayar seribu rupiah. Sebagai ganti fotocopy formulir? LOL. Kok mahal amat? LOL.
Setelah itu aku menuju ke ruang ujian teori. Well, meskipun fisik gedung telah mengalami perbaikan di sana sini, letak ruang ujian teori masih tetap di lokasi yang sama dengan waktu aku mengajukan SIM pertama kali tahun 1984. Aku masuk ke sebuah ruangan yang ada tulisan “Ujian teori”. Aku serahkan semua berkas yang kubawa (setelah aku mengisi formulir pendaftaran SIM) kepada seseorang yang duduk di balik sebuah meja.
“Yang ngurus siapa mbak?” tanyanya.
Nah lo! LAGI!!!
“Saya urus sendiri Pak, “ jawabku.
“Mau ikut ujian teori?”tanyanya.
“Lah, bukannya wajib?” tanyaku sendiri di dalam hati. Untuk menjawab pertanyaan orang itu, aku hanya menganggukkan kepala.
“Kalau tidak lulus, mbak harus ngulang lagi 14 hari sesudahnya.”
Weleh, repot amat? Komplainku dalam hati (lagi).
“Ya!” jawabku, sambil mengira-ira, soal-soalnya seperti apa ya? Traffic signs? Aku ga hafal semua dong ya. but aku penasaran, pengen lihat soal-soalnya seperti apa.
Kemudian orang itu mengantarku ke ruang sebelahnya, yang kutengarai sebagai tempat dilakukannya ujian teori (aku salah masuk berarti tadi!!!) Tidak banyak orang yang duduk di ruangan ber-AC itu. Sekitar lima atau enam orang. Sementara itu aku melihat beberapa orang berseliweran keluar masuk. Di antara orang-orang itu, aku sempat mendengar seseorang mengatakan, “Habis ini kamu bisa langsung ke tempat pas foto. Gampang kan? Ga perlu repot-repot.”
Aku ingat Mita, salah satu sobat Angie, yang ayahnya polisi. I should have asked his help? But aku pun penasaran untuk mengikuti “semua prosedur” yang harus kutempuh, ujian teori, ujian praktek, dll. Tahun 1984 dulu, untuk ujian praktek aku langsung GAGAL (LOL) karena baru belajar naik motor waktu itu. But karena ada yang menguruskan (a workmate of my dear Dad), ya ujian teori dan praktek itu hanya untuk “syarat” saja. Sekarang kan aku sudah jauh lebih lihai naik motor dibanding 23 tahun lalu itu? Masak aku ga lulus ujian praktek?
But ada satu pemikiran juga jangan-jangan sistem telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang memilih ikut ujian resmi (yang berarti tidak ‘nembak’) yang lulus, sehingga semua orang akhirnya (terpaksa) mengikuti aturan main yang di’baku’kan?
Setelah menunggu selama kurang lebih 30 menit, tanpa jelas apa yang kutunggu, seseorang dengan wajah yang lumayan cute (boleh ngelaba kan? Wakakakaka ...) memasuki ruangan, dan memanggil namaku.
“N Podungge?”
Aku acungkan tanganku. Dia memberi tanda agar aku mendekatinya ke sebuah meja panjang yang terletak di dekat sebuah tembok.
Bla bla bla ...
Aku setuju dengan pertimbangan:
Pertama, pemikiran (atau kekhawatiran) yang kutulis di atas.
Kedua, efisiensi waktu, agar aku bisa segera melakukan aktifitasku yang lain, misal nongkrong di depan desktop di rumah, nge-game maupun nulis buat blog, preparing material for teaching, dll.
Aku serahkan sejumlah uang yang tiga kali lipat “harga” yang ditulis besar-besar di loket pembayaran untuk mengurus SIM baru.
Setelah itu, the cute guy memintaku menunggu, sementara dia melakukan ‘prosedur’ yang aku yakin telah ‘dilegalkan’.
Aku harus menunggu lagi. Kukeluarkan Jurnal Perempuan nomor 50 dengan topik PENGARUSUTAMAAN GENDER, dan mulai membaca. Aku sempat membuka percakapan dengan seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk
“Mengurus SIM Bu?”
Dia menjawab menggunakan boso Jowo Kromo yang tidak begitu susah bagiku untuk memahaminya, namun sulit untuk meresponsnya karena keterbatasan kosa kata yang kumiliki. Dia mengurus SIM untuk adiknya. Dia bahkan harus mengeluarkan uang yang lebih besar daripada aku. namun dia nampak tidak keberatan sama sekali. “Daripada ngurus sendiri mbak, bingung, ga tahu kemana ngurus ini itu. Biar sajalah diurus orang, kebetulan tetangga.” Katanya.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, the cute guy appeared, memanggilku dan aku kembali mendekatinya, dan kita berbicara di tempat yang sama, ada meja panjang yang membatasi kita berdua. Dia melihat JP yang ada di genggamanku dan bertanya,
“Buku apa mbak?”
Aku sodorkan buku itu.
“Mbak aktivis ya?” tanyanya.
“Engga. Eh, belum. Saya cuma suka menulis,” jawabku.
Dan obrolan kita ternyata menjadi lumayan panjang, terutama tentang para perempuan yang tidak sadar haknya (di satu daerah yang dia sebut, terjadi kawin cerai dengan mudahnya, dan sang mantan suami tidak mempedulikan kesejahteraan anak-anak yang dilahirkan. Para perempuan di sana males mengurus itu, karena tidak tahu bagaimana mengurusnya, siapa yang akan membela mereka, karena mereka tidak punya uang, membuat anak-anak ditelantarkan), poligami, dll.
Seusai ngobrol, the cute guy menunjukiku ruangan tempat pas foto yang terletak tidak jauh dari loket informasi. After saying “thanks” kepadanya, aku ke ruangan pas foto.
Lima belas menit kemudian SIM ku jadi. Jauh lebih cepat dibanding 8 tahun yang lalu karena aku harus balik lagi ke SATLANTAS hanya untuk pas foto, karena tidak bisa dilakukan di hari sebelumnya. It took around two days to get a driving license at that time, meskipun hanya mengurus perpanjangan.
Sistem komputerisasi memang telah menyingkat banyak waktu yang tak perlu. Kapankah sistem yang “legal” benar-benar dijalankan?
“This is INDONESIA, Nana!!! Face the reality!!!”
PT56 12.35 071107
Sabtu, November 03, 2007
Al-Qiyadah
I have recently been wondering what America would be like now if it had not been ‘colonized’ (instead of ‘rediscovered’) by Columbus at the end of the fifteenth century; if the welfare of people in England had been good after that, if Puritans—and some other so-called ‘deviant’ religious sects—had been welcome well by the country so that they did not need to escape from their homeland.
Todd and Curti in their book “Rise of the American Nation” (1972: 24-25) mentioned five reasons for many English people—as well as other Europeans” to migrate to the New World:
Conflict over religion
Search for religion freedom
Search for political freedom
Widespread unemployment
Economic ferment
The first and second reasons can be categorized into one similar problem, and so can the fourth and fifth reasons; while the third reason shows the hostility of the citizens toward the government. King James I (1603-1625) and King Charles (1625-1640) ruled without Parliament because they believed in “the divine right of kings”. (1972:25)
The recent condition in Indonesia reminds me of the not conducive situation in England during the sixteenth and seventeenth century. The somewhat chaotic situation in adhering religion in Indonesia lately—due to the most contemporary so-called deviant Al Qiyadah Al Islamiyah and some other sects such as Ahmadiyah before—in fact is not far cry from the ugly condition in England several centuries ago. This is also accompanied by the rising poverty line due to widespread unemployment and the soaring prices of anything. The difference is it (still) happens in Indonesia in this “modern” time while “modern countries” are supposed to support tolerance and freedom to choose which religion to adhere. It shows that Indonesia fails to fulfill one of the tenets to be a modern country.
Lately, some newspapers (I read) have headlined Al Qiyadah—that is categorized deviant sect unfairly by the government. The way the newspapers write the news and even in the editorial—the dictions, the tone, etc—shows that they also take side to the government and Al Qiyadah becomes the culprit. That means the government is strongly supported by the media (forgive my limited reading because I don’t read a lot of newspapers published in Indonesia) to dictate the majority of Indonesian citizens’ attitude.
Coincidently not long ago one mailing list I join—RumahKitaBersama—talked about adhering a religion and practicing its teachings blindly—one of its longest thread if I am not mistaken. One of its discussion is about the arrogance of Muslims’ claim that Islam is the most perfect religion, the last one that complete its two ‘older siblings’—Jewish and Christian. I threw a question, “When Christian was believed by its adherents to complete Jewish, this upset the Jewish. When Islam is believed by its adherents to perfect Christian (and Jewish)’ teachings, this offended both religions. Will one day a new religion emerges, and it is said to complete the previous three Abrahamic faiths, will Muslim get angry?” The answer was: “the new religion perhaps will not have time to grow since it will easily and quickly be labeled ‘deviant’ and killed afterwards.”
And there it was: out of the blue Al Qiyadah emerged and its prophet Abussalam alias Ahmad Moshadded became a new celebrity.
When Professor Kenneth Hall—my guest lecturer when I was studying at American Studies Gadjah Mada University—said that the social life of Indonesia was left behind America around 50 years, can we say that Indonesia is left behind England several centuries in the not conducive situation in adhering religions?
PT56 11.11 021107