Alkisah satu hari Jumat beberapa siswiku ‘agak’ kehilangan kontrol, karena mereka bercanda melulu. Mungkin karena mereka senang karena kita telah menyelesaikan unit 2, sehingga mereka merasa telah mampu melepaskan beban. (Believe me, the material for English is damn difficult for average grade 7 students.) Kebetulan hanya ada seorang siswa laki-laki yang expat di kelas itu. Rupanya dia merasa heran dengan teman-teman sekelasnya yang banyak berhaha hihi, sehingga dia pun bertanya kepadaku,
“Miss … what’s wrong with my classmates? Why are they so hilariously crazy today?”
(“Ada apa dengan teman-teman sekelasku, Miss? Mengapa mereka nampak lepas kontrol?”)
Aku pun yang ‘ketularan’ happy mood menjawab sekenanya, menjawab dengan nada bercanda,
“What Friday is it? Is it Jumat Kliwon?” sambil mengecek kalender. Dan ternyata benar, hari itu adalah hari JUMAT KLIWON. Maka aku pun berseru, “Yes, this is JUMAT KLIWON!!!”
(nampaknya aku sedang terbawa tema modernisme+posmodernisme+mistisisme dalam BILANGAN FU, novel terbaru Ayu Utami.)
Sang siswa expat itu pun bertanya, “What is wrong with Jumat Kliwon Miss?”
“Well, you know in Javanese culture, Javanese must provide offerings for the spirit on the night of Jumat Kliwon. It seems to me that your classmates’ mothers forgot to provide offerings last night so that they turned to be crazy today!” jawabku sekenanya, sambil berusaha memasang mimik serius di wajahku.
(“Dalam budaya Jawa, orang-orang Jawa harus menyediakan sesajen pada malam Jumat Kliwon. Nampaknya orang tua teman-temanmu itu lupa menyediakan sesajen semalam sehingga mereka pun menjadi gila hari ini.”)
“What about me? I live in Java but I am not Javanese. Should my family follow that tradition too? To provide offerings every Jumat Kliwon eve? My mother didn’t provide any offering last night. Will I get crazy too?” he asked innocently.
(“Bagaimana denganku? Aku bukan orang Jawa meskipun aku tinggal di Jawa. Apakah keluargaku pun harus mematuhi tradisi untuk menyediakan sesajen tiap malam Jumat Kliwon? Apakah aku pun akan gila karena semalam Mamaku tidak menyediakan sesajen?” tanya siswaku itu dengan lugu.)
‘Don’t worry. You will not get affected.” Jawabku.
(“Jangan khawatir. Kamu ga akan terpengaruh.”)
“How long will they be crazy like that Miss?” he asked again.
(“Berapa lama mereka akan menjadi gila seperti itu Bu?” tanyanya.)
“Until next Jumat Kliwon,” jawabku.
(“Sampai sok Jumat Kliwon lagi.”
“What if their mother forgets to provide offerings again next Jumat Kliwon? Will their craziness become double?” tanyanya, agak ngeri. LOL.
(“Jika ibu mereka lupa menyediakan sesajen lagi sok Jumat Kliwon, apakah kegilaan mereka akan meningkat?)
“Absolutely!” jawabku, agak menakutinya. LOL.
Mendengar percakapanku dengan sang siswa expat itu, siswi-siswi yang lain pun ikut ‘bersekongkol’ denganku untuk menggodanya, sehingga dia nampak percaya.
Setelah kelas usai, tatkala aku akan meninggalkan kelas, sang siswa expat itu mendekatiku, “Miss … “I am scared!” (“Miss … aku takut!”)
“Why?” tanyaku.
“My friends are crazy …”
Meledaklah tawaku dan siswi-siswi yang lain.
“Don’t worry! We were just joking. We just wanted to tease you!”
Dan dia pun langsung ikut tertawa, dan mimik ketakutan hilang dari wajahnya. LOL.
PT56 21.17 260908
Hidup itu misteri, dan kemisteriusannya membuat sebagian orang optimis akan masa depannya, dan sebagian lagi mungkin pesimis. Yang paling penting memang, We've got to keep struggling.
Cari
Sabtu, September 27, 2008
Indoglish
Di tempatku bekerja, sebuah kursus Bahasa Inggris yang lumayan punya nama di Indonesia, kita semua guru berusaha untuk mematuhi ‘peraturan-peraturan’ English yang baku tatkala menggunakan bahasa yang diimport dari negeri Ratu Elizabeth ini. Termasuk penggunaan kata “Mr. …” yang seyogyanya diikuti oleh family name, sehingga kita sangat jarang menggunakan kata “Mr. …” ini untuk menyebut nama seorang guru laki-laki. Maklum, kebetulan di kantorku tidak ada satu guru laki-laki pun yang memiliki family name di belakang nama mereka. Beda dengan penggunaan “Ms. …” yang memang ada dalam kamus untuk menyebut nama guru perempuan sejak zaman baheula. Walhasil, “Ms. Nana” terdengar biasa-biasa saja, sedangkan “Mr. Agung …” jarang terdengar, kecuali siswa-siswi yang menyebutnya. Kita tetap menyapa rekan kerjaku itu sebagai, “Pak Agung …”.
Tatkala aku menghadiri seminar TEFLIN yang diselenggarakan di Surabaya tahun 2002, dan Jack C. Richards sebagai salah satu keynote speaker encouraged orang untuk menumbuhkembangkan localized English, aku hanya berpikir, mungkin dalam Indoglish (baca INDONESIAN ENGLISH) kita bisa menyisipkan kata-kata yang tak ada dalam Bahasa Inggris, misal “deh”, “sih”, “dong” dlsb. NOTE: kerangka dasar pemikiran Jack C. Richards adalah bahwa English is a universal language, sehingga di masa ini, orang-orang British, American, maupun Australian tak lagi bisa merasa ‘arogan’ sebagai pemilik bahasa ini. Yang paling penting adalah, asal para ‘interlocutor’ saling memahami tatkala mereka berkomunikasi.
Satu kenyataan lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kita tidak memiliki native speaker. Semua guru lokal dengan asumsi bahwa para guru dulu pun mengalami masa-masa awal mempelajari bahasa import ini, sehingga diharapkan mereka akan mampu mentransfer pengalaman mereka kepada para siswa.
Di kantorku yang baru ada beberapa guru expat. Banyak pula siswa yang mixed blood. Dan ternyata justru di sinilah aku menemukan gejala “Indoglish” yang sebenar-benarnya.
Contoh:
“Halaman berapa?” yang seharusnya diterjemahkan menjadi “What page?” ternyata di kantorku yang baru ini sangat biasa menemukan anak-anak yang bertanya, “Page how many?”
“Kamu bisa ga?” yang tatkala diterjemahkan kedalam English, kita seharusnya menyertakan kata kerja, misal, “Can you do that?” menjadi ‘hanya’, “Can you?” dan kemudian dijawab, “Can!” dengan nada yang sama persis tatkala kita mengucapkan bahasa Indonesia, “Bisa!” atau tatkala seorang siswa merayu seorang guru, misal agar bisa agak molor mengumpulkan tugas, “Can ya Miss? Can ya?” Satu penggalan kalimat yang TIDAK PERNAH KUAJARKAN di kursus Bahasa Inggris tempat aku bekerja sejak tahun 1996 itu.
Contoh berikut tidak hanya diucapkan oleh siswa-siswi, namun juga diucapkan oleh beberapa guru.
Misal, “Bisakah saya bertanya sesuatu Pak?” diterjemahkan menjadi, “Can I ask you something Mister?” “Bisa ya Pak?” menjadi, “Can ya Mister ya?”
Selain vocabulary dan word order yang ‘aneh’ itu, logat bicara yang sangat nJawani terdengar sangat kental.
Aku perhatikan, para expat itu pun akhirnya “tunduk” pada “word order” Indoglish ini sehingga mereka tak lagi menganggapnya aneh. Kupingku saja yang masih sering merasa ‘risih’ tatkala mendengarnya. Namun sebagai seseorang yang beradaptasi dengan mudah (terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk dialek dan logat), tak lama lagi aku pun “jangan-jangan’ akan ketularan. LOL. Selama ini rekan-rekan kerja di kantor lama menganggap logatku dalam berbicara bahasa Inggris lumayan ‘bisa melepaskan diri’ dari pengaruh nJawani maupun Semarangan, (meskipun di telinga Abangku yang lama tinggal di luar negeri aku masih terdengar Jowo banget), ‘jangan-jangan’ tak lama lagi aku akan ketularan logat berbicara siswa-siswi dan rekan kerja baruku. Maklum, lebih banyak guru lokal dari pada guru expat-nya.
Kembali ke apa yang dikatakan oleh Jack C. Richards, kita harus tetap bangga dengan our localized English. Nevertheless, I do hope, I WILL NOT GET CONTAMINATED. LOL.
PT56 20.4 260908
Tatkala aku menghadiri seminar TEFLIN yang diselenggarakan di Surabaya tahun 2002, dan Jack C. Richards sebagai salah satu keynote speaker encouraged orang untuk menumbuhkembangkan localized English, aku hanya berpikir, mungkin dalam Indoglish (baca INDONESIAN ENGLISH) kita bisa menyisipkan kata-kata yang tak ada dalam Bahasa Inggris, misal “deh”, “sih”, “dong” dlsb. NOTE: kerangka dasar pemikiran Jack C. Richards adalah bahwa English is a universal language, sehingga di masa ini, orang-orang British, American, maupun Australian tak lagi bisa merasa ‘arogan’ sebagai pemilik bahasa ini. Yang paling penting adalah, asal para ‘interlocutor’ saling memahami tatkala mereka berkomunikasi.
Satu kenyataan lain yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kita tidak memiliki native speaker. Semua guru lokal dengan asumsi bahwa para guru dulu pun mengalami masa-masa awal mempelajari bahasa import ini, sehingga diharapkan mereka akan mampu mentransfer pengalaman mereka kepada para siswa.
Di kantorku yang baru ada beberapa guru expat. Banyak pula siswa yang mixed blood. Dan ternyata justru di sinilah aku menemukan gejala “Indoglish” yang sebenar-benarnya.
Contoh:
“Halaman berapa?” yang seharusnya diterjemahkan menjadi “What page?” ternyata di kantorku yang baru ini sangat biasa menemukan anak-anak yang bertanya, “Page how many?”
“Kamu bisa ga?” yang tatkala diterjemahkan kedalam English, kita seharusnya menyertakan kata kerja, misal, “Can you do that?” menjadi ‘hanya’, “Can you?” dan kemudian dijawab, “Can!” dengan nada yang sama persis tatkala kita mengucapkan bahasa Indonesia, “Bisa!” atau tatkala seorang siswa merayu seorang guru, misal agar bisa agak molor mengumpulkan tugas, “Can ya Miss? Can ya?” Satu penggalan kalimat yang TIDAK PERNAH KUAJARKAN di kursus Bahasa Inggris tempat aku bekerja sejak tahun 1996 itu.
Contoh berikut tidak hanya diucapkan oleh siswa-siswi, namun juga diucapkan oleh beberapa guru.
Misal, “Bisakah saya bertanya sesuatu Pak?” diterjemahkan menjadi, “Can I ask you something Mister?” “Bisa ya Pak?” menjadi, “Can ya Mister ya?”
Selain vocabulary dan word order yang ‘aneh’ itu, logat bicara yang sangat nJawani terdengar sangat kental.
Aku perhatikan, para expat itu pun akhirnya “tunduk” pada “word order” Indoglish ini sehingga mereka tak lagi menganggapnya aneh. Kupingku saja yang masih sering merasa ‘risih’ tatkala mendengarnya. Namun sebagai seseorang yang beradaptasi dengan mudah (terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk dialek dan logat), tak lama lagi aku pun “jangan-jangan’ akan ketularan. LOL. Selama ini rekan-rekan kerja di kantor lama menganggap logatku dalam berbicara bahasa Inggris lumayan ‘bisa melepaskan diri’ dari pengaruh nJawani maupun Semarangan, (meskipun di telinga Abangku yang lama tinggal di luar negeri aku masih terdengar Jowo banget), ‘jangan-jangan’ tak lama lagi aku akan ketularan logat berbicara siswa-siswi dan rekan kerja baruku. Maklum, lebih banyak guru lokal dari pada guru expat-nya.
Kembali ke apa yang dikatakan oleh Jack C. Richards, kita harus tetap bangga dengan our localized English. Nevertheless, I do hope, I WILL NOT GET CONTAMINATED. LOL.
PT56 20.4 260908
Selasa, September 16, 2008
Shalat Jumat
Waktu membaca artikel Ulil Abshar Abdalla tentang pengalamannya shalat Jumat di Jakarta, (untuk artikelnya secara lengkap bisa dicari di http://superkoran.info atau klik blog http://themysteryinlife.blogspot.com) aku jadi ingat beberapa tahun yang lalu (mungkin lebih dari enam tahun lalu) waktu shalat Jumat di masjid Baiturrahman, di kawasan Simpanglima Semarang.
Di masjid Baiturrahman, tempat shalat jamaah perempuan berada di lantai tiga, sedangkan jamaah laki-laki berada di lantai dua. Di lantai satu, terutama di dekat pelataran parkir, ada sebuah toko kecil yang berjualan berbagai macam dagangan; mulai dari buku-buku, busana Muslim, makanan kecil, minuman, dll.
Hari itu adalah salah satu hari Jumat di bulan Ramadhan. Seusai shalat Jumat, aku turun ke bawah dan melihat ‘pemandangan’ yang digambarkan oleh Ulil, di halaman depan masjid, banyak pedagang tiban—selain yang memang berjualan di ‘toko’ yang disediakan oleh masjid Baiturrahman—yang menjajakan barang dagangannya masing-masing. Berhubung Idul Fitri akan menjelang, maka banyak jamaah yang merubungi pedagang yang berjualan pakaian. Setelah menginjak usia dewasa, aku super jarang shalat Jumat di masjid, sehingga pemandangan jual beli di halaman masjid ini pun menarik perhatianku. Sayangnya karena jamaah perempuan menempati lantai ketiga, aku tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Ulil, begitu usai shalat Jumat—terutama setelah melakukan salam—orang-orang langsung melanjutkan transaksi jual beli. Lupakan ‘tradisi’ membaca wirid dan doa yang panjang-panjang. J
Aku ingat tatkala duduk di bangku SD (aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah), aku sering sekali berangkat shalat Jumat di masjid Baiturrahman bersama-sama teman-teman sekolah, karena kebetulan kita libur pada hari Jumat. Dan tidak pernah aku melihat pemandangan orang-orang yang melakukan transaksi jual beli di halaman masjid tersebut. Zaman telah berubah?
Di sekitar MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) yang jauh lebih luas dari masjid Baiturrahman pun dibangun bangunan-bangunan permanen untuk melakukan transaksi jual beli seperti ini.
Setelah mengklaim diri sebagai seorang feminis, dan mengalami perjalanan spiritualitas sehingga menjadi seorang yang sekuler, sama seperti Ulil, aku pun mulai jengah dan bosan bila mendengar khotbah yang isinya sangat provokatif kepada pemeluk keyakinan lain, apalagi jika khotbahnya bersifat misoginis dan membodohi khalayak umum.
Aku jadi ingat Amina Wadud yang percaya bahwa seorang perempuan pun bisa mengisi khotbah Jumat dan menjadi imam shalat Jumat. Mungkin aku akan mau berangkat ke masjid untuk menghadiri shalat Jumat bersama perempuan-perempuan lain, dan mendengarkan khotbah yang tentu tidak misoginis, bahkan membangkitkan semangat kesetaraan. Meskipun bagi perempuan, shalat Jumat hukumnya sunnah, karena konon yang terkena fardhu kifayah hanya kaum laki-laki.
Sewaktu duduk di bangku S1 dulu (UGM – Jogja), ada seorang boarder di kos yang aku tinggali berasal dari Tasikmalaya. Tatkala aku bercerita kepadanya tentang pengalamanku shalat Jumat di masjid waktu pulang ke Semarang. Dia melengak keheranan, “Kamu shalat Jumat Na?” tanyanya heran.
“Iya. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Bukannya untuk perempuan shalat Jumat itu hukumnya haram? Di Tasikmalaya ga ada perempuan shalat Jumat.”
Pengalaman memang mahal harganya. Mengenal orang dari daerah lain tentu akan memperkaya pengalaman kita, sekaligus mengenal cara pandang/pikir orang lain, agar kita saling mengenal, kemudian saling menghormati. Sejak itu aku baru tahu bahwa di daerah Sunda, tidak ada sebuah masjid pun yang menyediakan tempat untuk perempuan untuk shalat Jumat, sedangkan di Semarang, banyak masjid yang dibanjiri kaum perempuan pada jam shalat Jumat.
Aku tidak tahu dengan kondisi sekarang. Aku lebih memilih shalat sendiri di rumah.
PT56 13.58 140908
Di masjid Baiturrahman, tempat shalat jamaah perempuan berada di lantai tiga, sedangkan jamaah laki-laki berada di lantai dua. Di lantai satu, terutama di dekat pelataran parkir, ada sebuah toko kecil yang berjualan berbagai macam dagangan; mulai dari buku-buku, busana Muslim, makanan kecil, minuman, dll.
Hari itu adalah salah satu hari Jumat di bulan Ramadhan. Seusai shalat Jumat, aku turun ke bawah dan melihat ‘pemandangan’ yang digambarkan oleh Ulil, di halaman depan masjid, banyak pedagang tiban—selain yang memang berjualan di ‘toko’ yang disediakan oleh masjid Baiturrahman—yang menjajakan barang dagangannya masing-masing. Berhubung Idul Fitri akan menjelang, maka banyak jamaah yang merubungi pedagang yang berjualan pakaian. Setelah menginjak usia dewasa, aku super jarang shalat Jumat di masjid, sehingga pemandangan jual beli di halaman masjid ini pun menarik perhatianku. Sayangnya karena jamaah perempuan menempati lantai ketiga, aku tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Ulil, begitu usai shalat Jumat—terutama setelah melakukan salam—orang-orang langsung melanjutkan transaksi jual beli. Lupakan ‘tradisi’ membaca wirid dan doa yang panjang-panjang. J
Aku ingat tatkala duduk di bangku SD (aku bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah), aku sering sekali berangkat shalat Jumat di masjid Baiturrahman bersama-sama teman-teman sekolah, karena kebetulan kita libur pada hari Jumat. Dan tidak pernah aku melihat pemandangan orang-orang yang melakukan transaksi jual beli di halaman masjid tersebut. Zaman telah berubah?
Di sekitar MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) yang jauh lebih luas dari masjid Baiturrahman pun dibangun bangunan-bangunan permanen untuk melakukan transaksi jual beli seperti ini.
Setelah mengklaim diri sebagai seorang feminis, dan mengalami perjalanan spiritualitas sehingga menjadi seorang yang sekuler, sama seperti Ulil, aku pun mulai jengah dan bosan bila mendengar khotbah yang isinya sangat provokatif kepada pemeluk keyakinan lain, apalagi jika khotbahnya bersifat misoginis dan membodohi khalayak umum.
Aku jadi ingat Amina Wadud yang percaya bahwa seorang perempuan pun bisa mengisi khotbah Jumat dan menjadi imam shalat Jumat. Mungkin aku akan mau berangkat ke masjid untuk menghadiri shalat Jumat bersama perempuan-perempuan lain, dan mendengarkan khotbah yang tentu tidak misoginis, bahkan membangkitkan semangat kesetaraan. Meskipun bagi perempuan, shalat Jumat hukumnya sunnah, karena konon yang terkena fardhu kifayah hanya kaum laki-laki.
Sewaktu duduk di bangku S1 dulu (UGM – Jogja), ada seorang boarder di kos yang aku tinggali berasal dari Tasikmalaya. Tatkala aku bercerita kepadanya tentang pengalamanku shalat Jumat di masjid waktu pulang ke Semarang. Dia melengak keheranan, “Kamu shalat Jumat Na?” tanyanya heran.
“Iya. Memangnya kenapa?” tanyaku.
“Bukannya untuk perempuan shalat Jumat itu hukumnya haram? Di Tasikmalaya ga ada perempuan shalat Jumat.”
Pengalaman memang mahal harganya. Mengenal orang dari daerah lain tentu akan memperkaya pengalaman kita, sekaligus mengenal cara pandang/pikir orang lain, agar kita saling mengenal, kemudian saling menghormati. Sejak itu aku baru tahu bahwa di daerah Sunda, tidak ada sebuah masjid pun yang menyediakan tempat untuk perempuan untuk shalat Jumat, sedangkan di Semarang, banyak masjid yang dibanjiri kaum perempuan pada jam shalat Jumat.
Aku tidak tahu dengan kondisi sekarang. Aku lebih memilih shalat sendiri di rumah.
PT56 13.58 140908
Rabu, September 10, 2008
Setelah bike to work
Bike to work alias bersepeda ke tempat kerja telah kulakoni selama kurang lebih 2 bulan, sejak awal Juli 2008. Apa manfaat yang telah kudapatkan selama ini? Yang paling langsung ‘terasa’ memang adalah mengirit uang untuk membeli BBM, terutama pada saat Angie libur sekolah (awal bulan Juli lalu sampai Angie masuk sekolah di pertengahan bulan), aku sama sekali tidak menaiki sepeda motorku, kecuali berbelanja ke ADA bareng anak semata wayangku. Agar motor tidak ‘bermasalah’ karena jarang kunaiki, yang kulakukan hanyalah memanasi mesin motor, cukup di rumah saja.
“Don’t you feel exhausted at the very beginning you biked to work?” tanya salah seorang rekan kerja. Well, tentu saja tidak, karena sebelum membiasakan diri bersepeda ke tempat kerja, seminggu minimal lima kali aku menyempatkan diri berolahraga di PARADISE CLUB, sebuah pusat kebugaran yang menyediakan fasilitas untuk erobik, fitness, berenang, dan tennis, yang terletak di Pondok Indraprasta Semarang. Namun, semenjak bike to work, dan merasa mulai jatuh cinta pula pada olahraga yang satu ini (maklum, teman-teman b2w Semarang suka ngomporin orang untuk bersepeda setiap hari, to be crazily in love in cycling), aku pun absent dari PC semenjak Juli. Aku mulai memuaskan diri untuk memandang pemandangan alam/kota di sekitar tatkala aku bersepeda; sementara sebelum ini tatkala bersepeda ‘stationed’ di PC, aku terbiasa melakukannya sembari membaca buku, dan bukannya memuaskan mata memandang tubuh-tubuh liat para laki-laki yang banyak berseliweran di hadapanku, yang mungkin bermimpi membentuk tubuh mereka seperti tubuh Ade Rai. LOL.
Mendengar jawabanku, “Aku tidak capek sama sekali,” ternyata mengecewakan rekan-rekan kerjaku, karena mereka ingin tahu bagaimana efek bersepeda ke tempat kerja terhadap mereka yang sebelum ini sekali tidak pernah berolahraga sama sekali.
Meskipun belum terlalu signifikan, aku yakin, penguranganku mengeluarkan zat beracun dari knalpot sepeda motor, telah sedikit mengurangi polusi udara di kota kelahiranku.
Selain itu aku pun baru menyadari betapa selama ini aku terlalu ‘ignorant’ alias terlalu acuh pada daerah sekelilingku, sementara tetangga-tetangga di sekitar Pusponjolo memperhatikanku. Hal ini terjadi manakala aku membawa sepeda ke tempat pompa ban, masih di jalan Pusponjolo Tengah, seorang laki-laki yang memiliki usaha tersebut memandangku dengan aneh, kemudian bertanya, “Motornya dikemanain mbak?”
Hah, ternyata dia memperhatikanku biasanya naik motor.
“Motor kuistirahatkan di rumah,” jawabku.
Namun ternyata di mata laki-laki itu, aku tetap menemukan sinar keheranan.
Di saat lain, tatkala berangkat bekerja, aku memilih jalur lain (masih di daerah Pusponjolo juga). Tiba-tiba seseorang yang tidak kukenal menyapaku, “Wah mbak, sekarang kendaraannya ganti ya?”
I’m quite popular, eh? LOL. Atau memang si Nana ini terlalu ignorant dikarenakan mata belornya. LOL.
PT56 11.52 070908
“Don’t you feel exhausted at the very beginning you biked to work?” tanya salah seorang rekan kerja. Well, tentu saja tidak, karena sebelum membiasakan diri bersepeda ke tempat kerja, seminggu minimal lima kali aku menyempatkan diri berolahraga di PARADISE CLUB, sebuah pusat kebugaran yang menyediakan fasilitas untuk erobik, fitness, berenang, dan tennis, yang terletak di Pondok Indraprasta Semarang. Namun, semenjak bike to work, dan merasa mulai jatuh cinta pula pada olahraga yang satu ini (maklum, teman-teman b2w Semarang suka ngomporin orang untuk bersepeda setiap hari, to be crazily in love in cycling), aku pun absent dari PC semenjak Juli. Aku mulai memuaskan diri untuk memandang pemandangan alam/kota di sekitar tatkala aku bersepeda; sementara sebelum ini tatkala bersepeda ‘stationed’ di PC, aku terbiasa melakukannya sembari membaca buku, dan bukannya memuaskan mata memandang tubuh-tubuh liat para laki-laki yang banyak berseliweran di hadapanku, yang mungkin bermimpi membentuk tubuh mereka seperti tubuh Ade Rai. LOL.
Mendengar jawabanku, “Aku tidak capek sama sekali,” ternyata mengecewakan rekan-rekan kerjaku, karena mereka ingin tahu bagaimana efek bersepeda ke tempat kerja terhadap mereka yang sebelum ini sekali tidak pernah berolahraga sama sekali.
Meskipun belum terlalu signifikan, aku yakin, penguranganku mengeluarkan zat beracun dari knalpot sepeda motor, telah sedikit mengurangi polusi udara di kota kelahiranku.
Selain itu aku pun baru menyadari betapa selama ini aku terlalu ‘ignorant’ alias terlalu acuh pada daerah sekelilingku, sementara tetangga-tetangga di sekitar Pusponjolo memperhatikanku. Hal ini terjadi manakala aku membawa sepeda ke tempat pompa ban, masih di jalan Pusponjolo Tengah, seorang laki-laki yang memiliki usaha tersebut memandangku dengan aneh, kemudian bertanya, “Motornya dikemanain mbak?”
Hah, ternyata dia memperhatikanku biasanya naik motor.
“Motor kuistirahatkan di rumah,” jawabku.
Namun ternyata di mata laki-laki itu, aku tetap menemukan sinar keheranan.
Di saat lain, tatkala berangkat bekerja, aku memilih jalur lain (masih di daerah Pusponjolo juga). Tiba-tiba seseorang yang tidak kukenal menyapaku, “Wah mbak, sekarang kendaraannya ganti ya?”
I’m quite popular, eh? LOL. Atau memang si Nana ini terlalu ignorant dikarenakan mata belornya. LOL.
PT56 11.52 070908
Langganan:
Postingan (Atom)