Apa sih yang
tidak dihebohkan di media sosial? :D
Ketika
pertama kali berita virus corona alias covid 19 melumpuhkan Wuhan, China, kita
orang-orang Indonesia (ternyata) terbelah minimal menjadi dua. Pertama, yang
langsung 'ngeh' kemungkinan virus ini akan 'hijrah' ke Indonesia. Mungkin hanya
sedikit persentase kelompok pertama ini. Kedua, yang beranggapan bahwa virus
tidak akan sampai ke Indonesia, seperti kasus flu burung sekian tahun lalu,
misalnya. Honestly, aku termasuk yang lugu, jadi masuk kategori kedua ini.
Ketika
kemudian kasus covid mulai ditemukan di negara-negara lain, misal Malaysia,
Singapore, sebagian dari para pengguna medsos masih menganggapnya 'jauuuuh';
sebagian dari mereka -- aku termasuk, lol -- turut memviralkan gambar
orang-orang China yang melindungi diri mereka dengan berbagai jenis barang yang
menurut kita nampak lucu. Lol. (Sekarang, aku menulis ini di bulan Juni 2020,
tak lagi kupandang gambar-gambar itu lucu. Hadeeeh.)
Awal
Februari, aku menghadiri satu acara launching pabrik sepeda lipat Da*** di
Kendal, tak jauh dari Semarang. Semula, Dr. Hon sang pendiri direncanakan akan
datang. Namun rencana ini batal karena ternyata mulai awal Februari, Indonesia
tidak menerima penerbangan dari China; kebetulan saat itu Dr. Hon sedang berada
di China, meski katanya dia berwarga negara Amerika. Sebagian peserta
menyayangkan batalnya Dr. Hon untuk datang ini karena terpaksa acara
penandatanganan sepeda yang terpilih pun batal. Beberapa kawan membayangkan
akan memiliki memorabilia jika sepeda mereka terpilih untuk ditandatangani
langsung oleh Dr. Hon. Aku sendiri mulai berpikir, "Owh, ancaman virus
satu ini nyata adanya sampai pemerintah melarang penerbangan dari China masuk Indonesia."
Awal Maret
2020 Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkan adanya pasien pertama kedua dan
ketiga yang tertular virus corona; mereka 'mendapatkan' virus ini dari
seseorang dari Jepang yang mereka temui di satu acara. Tak lama kemudian,
pertengahan Maret, pemerintah menginstruksikan untuk 'stay at home' dengan
ditandai ditutupnya sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Anak-anak
sekolah mulai mempraktekkan 'study from home' dan pekerja 'work from home'.
Saat ini
masyarakat mulai terbelah menjadi dua
(1) mazhab
kesehatan: orang-orang yang memikirkan kesehatan lebih penting ketimbang yang
lain-lain. Biasanya yang termasuk 'mazhab' ini mereka yang bisa 'work from
home'; atau kalau pun terpaksa dirumahkan, mereka memiliki tabungan untuk hidup
beberapa bulan ke depan sampai kondisi dinyatakan kondusif oleh pemerintah.
(2) mazhab
ekonomi: orang-orang yang harus terus bekerja agar dapur tetap ngebul, mereka
tidak peduli dengan ancaman virus.
Jika
kuperhatikan, awal pemerintah mengumumkan 'stay at home' 'study from home' atau
pun 'work from home', jalanan benar-benar sepi, orang-orang lebih memilih
tinggal di rumah dari pada keluyuran di jalan; meski mereka yang berkiblat ke
mazhab ekonomi tentu tetaplah keluar rumah untuk mengupayakan agar mereka
menerima pendapatan, entah bagaimana caranya.
Jika di
pertengahan Maret, pemerintah menyatakan 'stay at home' ini 'hanya' akan
berjalan selama 2 minggu, kenyataannya pemerintah memperpanjangnya hingga akhir
Mei 2020. Anak-anak sekolah terus belajar di rumah; sebagian PNS/ASN bekerja
dari rumah.
Dan,
ternyata 2 bulan ini dirasa terlalu lama bagi sebagian orang. Sebagian media
massa pun mengompori bahwa sebenarnya covid 19 ini hanyalah konspirasi
pihak-pihak tertentu; WHO sering dituduh sebagai pihak yang mengadu domba
negara-negara. Selain itu, pemerintah negara China menuduh Amerika menciptakan
virus ini dan mengirim warganya ke Wuhan di bulan Oktober 2019 untuk menularkan
virus ke penduduk Wuhan, sementara negara Amerika pun menuduh China ingin
menghempaskan Amerika karena China ingin menjadi negara super power,
menggantikan Amerika.
Awal Juni
ketika pemerintah mulai mengumumkan kemungkinan pemberlakukan 'new normal' di
bulan Juni dibarengi dengan merebaknya 'mazhab halusinasi'; aku sempat
menemukan satu pernyataan seseorang (konon) mantan pasien covid 19 yang sempat
dirawat di Wisma Atlet Kemayoran (yang difungsikan sebagai RS rujukan pasien
covid 19) bahwa virus corona ini hanyalah halusinasi; kenyataannya tidak ada
pasien yang mati karena virus corona; mereka yang mati ya karena penyakit yang
telah 'menjangkiti' mereka sekian lama. Postingan ini ingin menyatakan bahwa
virus corona tidak semengerikan yang digembar-gemborkan media. Selain itu juga
ada maksud memojokkan pemerintah. Berhubungan dengan pemberlakukan 'new
normal', dimana untuk melakukan perjalanan luar propinsi/pulau seseorang wajib
menyertakan surat sehat bebas dari covid 19 dan untuk mendapatkan surat itu
seseorang harus membayar biaya yang cukup mahal.
Padahal
menurutku jika rakyat dipersulit untuk melakukan perjalanan -- karena mungkin
memang virus corona ini hanya konspirasi/halusinasi -- sedikit banyak akan
mempengaruhi sektor ekonomi juga. Daerah-daerah yang biasanya menggantungkan
pemasukan dari sektor wisata akan terkena dampak berkepanjangan. Jika ini
terjadi tentu akan kembali ke pemerintah yang susah. Bukankah dengan
pemberlakuan PSBB atau pun PKM pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat
banyak dalam pemberian BLT? Selain selama ini jika seorang pasien terbukti
positif covid, segala biaya rumah sakit ditanggung oleh pemerintah?
Well,
jikalau bisa hingga bulan Juni ini aku tetap memasukkan diri dalam mazhab
kesehatan. Akan tetapi tentu sebagian kita tidak bisa terus menerus tinggal di
rumah dengan jumlah tabungan yang terbatas; kita harus kembali bekerja, tentu
dengan melakukan protokol kesehatan dengan ketat.
Marilah
dukung pemerintah untuk terus menekan laju penyebaran covid 19.
LG 15.30
09-June-2020
bisa check tulisanku lain tentang
covid 19 disini ya gaes.