Cari

Sabtu, Juli 26, 2008

Bersepeda ... oh asiknya ...

Selalu ada cerita menarik yang kudengar dari teman-teman b2w Semarang.
Kebetulan sampai saat aku menulis ini, teman-teman b2w Semarang yang kukenal adalah mereka yang bersepeda ke kantor karena pilihan, dan bukan karena terpaksa. Alasan yang melatarbelakangi memang cukup bervariasi; mulai dari peduli lingkungan (aku sendiri, adikku, dan beberapa yang lain), untuk melangsingkan badan (ga usah menyebut nama yah? LOL), sampai memang seorang biking freak (yang merasa boleh ngacung! LOL), dll. Ngirit beli bensin adalah nilai tambah yang menyertai. 
Tatkala naik sepeda, dan ikut merasakan ‘nelangsanya’ kaum yang termarjinalisasi, teman-teman pun ngomel-ngomel jika ada pengendara kendaraan bermotor memencet-mencet klakson karena para pengendara itu selalu tidak sabaran melihat laju sepeda yang tentu tidak secepat kendaraan bermotor. Ada yang kesal tatkala kondektur bus ngomel-ngomel, “Pit-pitan ning ndalan!!!” (“Naik sepeda kok di jalan raya!”) sehingga dia membalas ngomel, “Lha po ning kasur!!!” (“Masak naik sepeda di kasur!!!”). Cerita ini membuatku ketawa ngakak, karena langsung membayangkan naik sepeda di kasur. LOL. (Biasanya sih orang becanda ‘berenang di tempat tidur’ yah? LOL.)
Konon, sebelum mereka merasakan ‘termarjinalisasi’ karena naik sepeda, mereka pun merupakan pelaku ‘memarjinalkan’ pengendara sepeda. LOL. Sehingga setelah merasakan keangkuhan para pengendara kendaraan bermotor, mereka menjadi arif tatkala mereka mengendarai sepeda motor maupun mobil.
Aku sendiri tidak, atau belum, mengalami hal yang tidak menyenangkan itu, mungkin karena letak kantor yang tidak jauh dari rumah, kurang dari 2 kilometer, kurang dari 10 menit dengan mengayuh pedal sepeda santai. Sebaliknya, aku merasa tatkala akan menyeberang jalan, para pengendara mobil maupun sepeda motor dengan sengaja mengurangi laju kecepatan kendaraan mereka, untuk memberiku ruang dan waktu yang cukup untuk menyeberang. Terkadang kuamati mereka memang sengaja berada di belakangku sejenak, untuk membaca tag kuning di bawah sadelku yang berbunyi, “BIKE TO WORK, KOMUNITAS PEKERJA BERSEPEDA SEMARANG” kemudian tatkala melewatiku, mereka menoleh sejenak memandang si empunya sepeda, baru melaju dengan takzim.
“Serasa seperti selebriti,” kata seorang teman yang berdomisili di Tembalang (kawasan ‘atas’ Semarang), apalagi kalau dia sedang menaiki jalan yang menanjak, banyak orang menoleh ke arahnya. LOL. Maklum selebriti dadakan. LOL.
Seorang teman yang tinggal di Banyumanik memberikan trik yang unik. Tatkala pertama kali dia berusaha menaklukkan bukit Gombel, dia menelpon istrinya minta dijemput, ketika dia merasa sudah tidak kuat lagi melanjutkan mengayuh pedal sepedanya. LOL.
Seorang teman lain yang memiliki sepeda lipat (yang kita singkat menjadi SELI), yang tinggal di kawasan yang menanjak pula, Ngaliyan, cukup sering juga menelpon istrinya minta jemput, entah karena capek, atau sudah ga sabar ingin segera sampai rumah, untuk bertemu dengan jagoan kecilnya. Dia tinggal melipat sepedanya, menaruh di dalam mobil, dan melanjutkan perjalanan dalam mobil dengan nyaman.
Bagaimana dengan pengalaman pergi ke supermarket naik sepeda? Adikku mengalami disambut tukang pemberi tiket parkir dengan mimik wajah yang tidak ramah.
“Ditaruh di situ saja mbak!” katanya ketus, sambil menunjuk beberapa sepeda yang ‘teronggok’ termarjinalkan di satu tempat.
Namun dia tidak perlu membayar tiket parkir.
“Orang-orang memang belum bisa membedakan sepeda mahal dan sepeda murah.” Kata seorang teman lain yang tinggal di kawasan Sendang Mulyo. “Padahal banyak juga sepeda yang harganya lebih mahal dari sepeda motor, bahkan sama mahalnya dengan sebuah mobil.” Katanya lagi.
Well ... seperti teman-temanku, aku pun menyimpan mimpi indah agar lebih banyak orang yang meninggalkan kendaraan bermotor untuk kegiatan sehari-hari, dan beralih naik sepeda, yang lebih ramah lingkungan, plus lebih menyehatkan badan.
When will you follow us?
PT56 12.05 250708

Bikers on the Street


Di Indonesia merupakan pemandangan yang jamak bahwa para pengendara sepeda di jalanan tidak mematuhi lampu abang ijo alias traffic light. Aku tidak pernah mempedulikan hal ini sampai aku pun bergabung dengan para pengendara sepeda. ...
Pertama kali aku naik sepeda ke kantor, tentu saja aku masih perlu beradaptasi sehingga ketika lampu merah menyala, aku pun layaknya pengendara sepeda motor berhenti. Dan setelah lampu hijau menyala, aku pun akan serasa berlomba-lomba meninggalkan ‘garis start’ dengan para pengguna jalan raya lain. Kadang kala mereka yang naik mobil di belakangku ‘ribut’ membunyikan klakson, sebagai tanda bahwa mungkin keberadaanku yang naik sepeda di depan mereka mengganggu kecepatan (ato kenyamanan yah?) kendaraan mereka.
Hari Rabu 25 Juni 2008 sepulang mengajar dari sebuah universitas swasta yang terletak di Jalan Pemuda sekitar pukul 20.00, aku bertemu beberapa orang yang naik sepeda pula sepertiku, di traffic light bundaran yang menghubungkan Jalan Pemuda, Jalan Depok, Jalan Thamrin, Jalan Pierre Tendean, dan Jalan Tanjung. Kami berada di Jalan Pemuda, di depan Bank Buana Indonesia, if I am not mistaken. Aku memandang mereka, yang lengkap berbusana bersepeda plus helm, mereka pun memandangku. Kami hanya berhenti pada tahap saling memandang. 
Traffic light menyala merah. Meskipun naik sepeda, aku biasa berhenti tatkala lampu lalu lintas menyala merah. Namun malam itu, entah mengapa aku terus melaju, karena lampu lalu lintas di Jalan Tanjung (sebelah kanan posisiku) pun merah, sehingga aku merasa cukup aman untuk terus mengayuh sepeda.
******
Sesampai di rumah, aku pun bercerita tentang apa yang baru saja terjadi ke adikku. Kebetulan memang kita berdua sedang terkena demam ‘bike to work’.
“Wah ... tatkala aku tetap melaju meskipun lampu merah, aku ingat omongan Pak Danar, salah satu teman yang kukenal di milis Sastra Pembebasan yang komplain, “Only God and tukang becak know when he will turn!! Itu sebab di Jakarta orang-orang selalu ngomelin keberadaan becak yang selalu membuat lalu lintas semakin kacau balau!” kataku berapi-api.
“I know I have done something wrong, tapi kukira ga ada yang kubuat kacau balau dengan apa yang kulakukan tadi, tetap melaju meskipun lampu merah menyala.” Kataku lagi, memberikan pembenaran pada diri sendiri. LOL.
“Mbak ... what if ... kalau orang-orang bike to work lain melihat apa yang kamu lakukan tadi? Bagaimana kalau mereka merasa apa yang kamu lakukan ‘mencoreng’ nama baik b2w Semarang karena tidak berhenti di lampu merah?” tanya adikku.
Aku melongo. Berharap ga ketahuan. LOL.
*****
Kamis 26 Juni 2008 adalah hari pertama diadakan rapat pembentukan pengurus bike to work Semarang. Aku dan adikku—yang waktu itu masih dua-duanya anggota cewe—datang karena di milis sudah ditunjuk dengan semena-mena akan diberi tanggung jawab sebagai sekretaris.
Sebelum rapat dimulai, Pak Budi cerita tentang apa yang dia lihat malam sebelumnya. Tatkala berkeliling kota naik sepeda, menemani anggota bike to work Bandung yang sedang berkunjung di Semarang, di Jalan Pemuda melihat seorang perempuan naik sepeda, dimana di bawah sadel ada tag ‘BIKE TO WORK SEMARANG’, dengan nyamannya melenggang meskipun lampu merah menyala.
G-U-B-R-A-K!!!
It was me!!!
Dan seperti apa yang dikatakan oleh adikku, AKU DILIHAT oleh anggota b2w Semarang lainnya tatkala melanggar lampu merah.
Maluku ada dimana yah? Hahahahaha ...
(dan semenjak itu, aku pun sering dijadikan bahan olok-olokan gara-gara menjadi traffic regulation breaker!!!)
*****
Beberapa hari kemudian, seorang rekan kerja melihatku berhenti di traffic light karena lampu merah sedang menyala. Rekan kerja yang sedang membonceng suaminya ini geli melihatku berhenti. Suaminya yang kadang kala naik sepeda tatkala berangkat bekerja ini bilang, “Lihat tuh mbak Nana! Dia berhenti di lampu merah meskipun naik sepeda. Apa dia ga tahu bahwa bagi pengendara sepeda, kita ga perlu berhenti meskipun lampu merah?”
Keesokan hari tatkala rekan kerja ini mengatakan kepadaku apa yang dikatakan oleh suaminya, aku gantian bercerita kepadanya tentang aku yang menjadi bahan olok-olokan di komunitas b2w Semarang berhubung aku KETAHUAN melanggar lampu merah.
“Anggota b2w tetap mematuhi peraturan lalu lintas meskipun kita naik sepeda!” kataku pada rekan kerjaku itu, yang membuatnya tersenyum tersipu karena menyarankan aku ‘melanggar’ lampu merah.
Namun gara-gara itu pula setiap kali aku bertemu dengan lampu merah, aku jadi bingung, mau berhenti atau terus, terutama kalau aku melihat kemungkinan untuk terus. Jikalau itu terjadi di perempatan, aku lebih sering berhenti kalau lampu merah, meskipun dengan resiko para pengendara di belakangku sibuk membunyikan klakson karena mereka menganggap laju sepedaku lelet. Jikalau itu terjadi di bundaran (misal Tugumuda) dari arah Jalan Imam Bonjol, aku sering tetap melaju, terutama kalau aku lihat tidak ada kendaraan bermotor datang dari arah kanan (dari Jalan Sugiyopranoto, maupun yang berputar datang dari Jalan Dr. Sutomo). Sesampai di traffic light di depan Museum Bhakti Mandala (ndak bener jenenge iki? Sing ning sebelahe Pasar Bulu? Lali ik. LOL.), jika lampu merah menyala, aku selalu berhenti karena lalu lintas dari arah Jalan Pandanaran maupun Jalan Dr. Sutomo selalu ramai.
Should bikers stop at the red traffic light?
PT56 11.22 250708

Selasa, Juli 15, 2008

Sepedaku, sepedamu, sepedanya

“Pandanglah orang yang berada di ‘bawah’mu agar engkau mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadamu…”
penampakan Austin dan Karen, di pinggir 'taman air' Balekambang, Solo, 2011



Kalimat ini terus menerus bergaung di benakku tatkala aku membawa sepeda ‘lungsuran’ kakakku seorang ke bengkel sepeda yang terletak di Jalan Suyudono, tak jauh dari Pasar Bulu, pada hari Jumat 11 Juli 2008.

Lho kok?

Backgroundnya begini. 

Hari Rabu 2 Juli, seperti yang kutulis di postingan beberapa waktu lalu, aku ngikut ‘city night riding’ yang diadakan oleh komunitas b2w Semarang. Di antara para partisipan yang ikut waktu itu, sepedaku jelas nampak paling perlu dikasihani. LOL. Usianya sama dengan Angie, 17 tahun!!! (Kalo ga salah ingat, kakakku mengirimkan sepeda merk WINNER ini ke Semarang tahun 1991, tahun anak semata wayangku itu lahir, sebelum kakakku menikahi sang pemberi sepeda tahun 1992.) Selain itu, selama beberapa tahun sepeda sempat mangkrak ga diurusin, apalagi dinaikin. LOL. 

Sepeda rekan-rekan b2w Semarang kebetulan kebanyakan merk POLYGON (aku tidak bermaksud promosi, tapi apa boleh buat? Aku ga bisa ga menyebut merek. LOL.) Aku belum tahu dengan jelas mengapa seolah-olah komunitas b2w Semarang ‘didukung’ oleh toko sepeda RODALINK yang berdomisili di kawasan Bangkong, karena beberapa rekan mempromosikan toko ini bagi member yang ingin membeli sepeda baru. Selain POLYGON, seorang member kulihat menaiki sepeda merek GIANT yang tentu jauh lebih keren dibanding milik kakakku yang berharga ‘cuma’ 3 jutaan karena harganya terpaut lima jutaan. (Gile bener!!! – ngeces mode ON. LOL. LOL.) 

Wes to poll, pit duwekku iku elik dewe. Wakakakaka ... But I love it a lot and feel proud of myself while riding it, karena selalu terngiang kata-kataku sendiri, “I have supported to reduce air pollution in my dearest hometown.” Mbombong awake dewe luwih becik tinimbang ora mbombong. Wakakakakaka ...
Hari Minggu 6 Juli tatkala berkumpul di Stadion Diponegoro untuk ikut meramaikan acara sepeda santai yang diselenggarakan oleh Polres Semarang Timur, tentu aku berkumpul dengan rekan-rekanku yang sangat membanggakan bagiku (karena semangat bike to work). And again, sepedaku jelas terlihat yang paling ‘tua’ di antara para member b2w Semarang. Nevertheless, karena acara tersebut diikuti oleh banyak klub-klub pecinta sepeda lain, seperti SOC alias ‘Semarang Onthel Club’, sepedaku ga begitu terlihat patut dikasihani. Wakakakaka ... Lah, yang onthel-onthel itu kan tentu usianya sudah lebih dari tiga dekade.


Hari Jumat 11 Juli. Aku bawa sepedaku ke bengkel sepeda yang kelasnya di bawah RODALINK , namun aku yakin kemampuan sang mekanik sepeda tentu ga kalah. Tatkala menunggu si Bapak mekanik membetulkan rem dan letak sadel, aku duduk-duduk di bangku depan bengkel yang sekaligus juga berjualan sepeda dan sparepartsnya. Di hadapanku kulihat berbagai macam sepeda yang dari ‘penampilannya’ jauh lebih mengenaskan dari sepeda yang akhir-akhir ini setia menemani kemana pun aku pergi. Ada seorang Bapak mengendarai sepeda onthel yang dia beli tahun 1976 yang roda depannya ringsek karena ditabrak sepeda motor. Ada beberapa orang lain yang naik sepeda tanpa rem (praktis dia harus ‘memanfaatkan’ kakinya untuk mengerem laju sepeda tatkala dia akan berhenti.) Masih ada beberapa sepeda lain yang kondisinya, bagiku, mengkhawatirkan si pengendaranya.

Dan tatkala kupandang sepeda WINNER ku, out of the blue, dia nampak begitu gagah perkasa, sehingga aku pun berbisik dalam hati, “Thank God, I have this bike to help reduce the air pollution as well as the negative impacts of global warming.”

P.S.: Tapi kalau ada yang mau menghadiahi aku sepeda gunung yang baru, tentu aku MAU ... MAU ... MAU!!! Huehehehehe ...


PT56 15.00 110708

P. S.:

Aku tidak punya foto sepeda WINNER  

Orenj, my mountain bike, on the side of Maron beach, 5 August 2011


Jumat, Juli 11, 2008

7 Juli 2008


Pengalaman pulang kerja hari Senin 7 Juli 2008

Setelah selesai mengajar jam 19.00, aku tidak langsung pulang karena tergoda membaca beberapa artikel di The Jakarta Post. Aku meninggalkan pelataran parkir kantor pukul 19.41 (menurut speedo meter yang terpasang di sepeda). Meskipun hari Minggu 6 Juli 08 aku baru saja ikut acara ‘sepeda santai’ yang diselenggarakan oleh POLRES SEMARANG TIMUR, aku sudah kepengen nggowes lagi. So, keluar dari kantor, aku berbelok ke Jalan Imam Bonjol menuju Tugumuda. Baru beberapa meter aku memasuki Jalan Pandanaran, seorang laki-laki yang naik sepeda motor membarengiku. FYI, aku biasa memasang wajah jutek kalau sedang naik motor dan digodain laki-laki. Namun berhubung aku naik sepeda dengan bike tag “BIKE TO WORK”, aku merasa ‘harus berkampanye’, aku pun tidak berwajah jutek ketika laki-laki itu menyapa, “Mau kemana mbak?”
“Mau pulang,” jawabku.
“Emang dari mana?” tanyanya.
“Dari kantor.”
“Dari tadi tak perhatiin kok asik sekali ya naik sepeda malam-malam,” katanya.
Aku cuma tersenyum.
“Emang rumahnya mana mbak?” tanyanya lagi.
Aku pikir tentu dia bakal ga percaya kalau aku bilang rumahku Pusponjolo karena aku sedang menuju ke arah Timur, menjauhi Pusponjolo. So, aku iseng aja menjawab, “Lamper ...” (FYI, dua cewe member b2w Semarang, Iput dan Maya, tinggal di Lamper)
“Tak temenin mau kan? Kebetulan aku menuju Pedurungan nih,” kata laki-laki itu.
Aku mulai merasa jengah dan berpikir ternyata aku salah beramah tamah dengan orang yang tidak jelas juntrungnya itu.  Namun toh aku masih tersenyum ke orang itu, merasa ‘terbebani’ tag BIKE TO WORK yang terpasang di bawah sadel sepeda, sehingga aku pun merasa memiliki tugas sebagai salah satu PR (alias public relation loh, bukan pekerjaan rumah) b2w Semarang.
“Boleh kenalan dong...” kata laki-laki itu lagi.
Waduh ... yo’opo rek iki? Tanyaku dalam hati. LOL.
“Boleh kan?” rajuknya.
Akhirnya, aku pun menjawab, “Oke. Namaku Nana. Nama Mas siapa?”
“Loh, masak kenalan kok sambil berjalan begini. Kita sebaiknya mampir beli minum aja di satu tempat, kemudian kita ngobrol.”
“Saya ga pengen minum kok,” aku berusaha menolak.
“Lah pengennya apa?” tanyanya.
“Pengen naik sepeda!” jawabku.
“Nanti sepedanya tak tarik ya biar cepet,” tawarnya.
“Oh, ga usah, orang aku pengen naik sepeda sendiri kok, tanpa ditarik,” tolakku.
“Beneran nih ga mau kuajak mampir beli minum?” tawarnya lagi.
“Engga.” Jawabanku mulai terdengar judes kali, LOL, sehingga dia menyerah dan berkata,
“Aku duluan ya mbak?”
“Oh ... silakan...” jawabku dengan senang hati. 
Aku melanjutkan perjalanan sembari berpikir, “Seandainya aku bisa menelpon seorang teman komunitas b2w Semarang untuk kuajak night riding bersama agar ga diisengin orang lagi...”
Sesampai di Simpang Lima, aku belok ke Jalan Pahlawan, naik sedikit, kemudian belok ke Jalan Veteran. Setelah melewati RSUP Dr. Kariadi, aku belok kiri ke Jalan Kaligarang, terus ke arah Gedung Batu, kemudian ancang-ancang belok kiri naik ke Jalan Pamularsih. Sempat hampir nabrak orang naik sepeda motor yang tanpa memberi aba-aba tahu-tahu belok kiri sekitar 5 meter di depanku. Aku ga sempat membunyikan bel sepeda, namun berteria-teriak a la Mulan Jameela “Au ... au ... au ...” LOL hingga orang itu menoleh ke arahku dan kembali ke arah tengah jalan raya. Aku bayangin kalau aku menabraknya, bakal aku yang mental. LOL. Setelah sempat menyumpahinya, “Shit!!!” aku melanjutkan perjalanan naik ‘gundukan’ Jalan Pamularsih. Bagi yang biasa naik “bukit” Gombel, tentu tanjakan Jalan Pamularsih hanyalah ‘gundukan’ belaka.
Setelah sampai atas, tatkala menuruni ‘gundukan’ itu, speedo meter menunjukkan kecepatan 27.5, wuaaahhhh ... rasanya aku hampir terbang (padahal aku pernah naik motor dengan kecepatan 100 km per jam di Jalan Arteri menuju Kaligawe dan merasa tidak seperti terbang!) ga terbayang dah menuruni Gombel!!!
Aku meneruskan perjalanan sampai di ujung Jalan Pamularsih tempat SMA Kesatrian terletak, kemudian aku langsung balik arah ke Timur. Hampir sampai ‘gundukan’ Jalan Pamularsih dari arah Barat, aku hampir tergoda naik lagi, namun kuurungkan niatku (bakal aku naik turun naik turun melulu dah, LOL) sehingga aku belok ke arah Puspowarno. Keluar dari kawasan Puspowarno, aku belok kanan menuju Gereja yang aku lupa namanya itu, kemudian belok kiri masuk ke kawasan Pusponjolo.
Sesampai PT 56 aku mengecek speedo meter. Aku melalui kurang lebih 6,5 kilometer dalam waktu 40 menit.
PT56 22.45 070708

Promosi b2w


Dengan semangat ’45, hari Selasa 1 Juli 08 aku meluncur ke masjid Baiturrahman naik sepeda, sekitar pukul 08.45. I had a date with one best friend of mine, yang baru sekitar sebulan lalu balik dari Kansas University, to pursue her Master’s Degree dengan beasiswa dari Fulbright.
Karena sinar matahari cukup terik, aku memilih duduk di balik menara di sebelah Selatan. Sepeda kuparkir tidak jauh dari tempat aku duduk.
Setelah temanku datang, kita ngobrol sangat ‘heboh’. Maklum kurang lebih selama dua tahun kita tidak bertemu. Meskipun kita sometimes still kept in touch via YM maupun email tatkala dia berada di Kansas, bertemu dan ngobrol langsung tentu terasa lebih lively, ketimbang chatting via YM.
Dua jam berlalu. Kemudian dia mengajak kita pindah tempat ngobrol di sebuah rumah makan di Jalan Hayamwuruk. Pada waktu itulah aku ‘promosi’ bersepeda untuk pergi kemana-mana, meskipun aku tahu agak sulit baginya untuk bike to work berhubung dia tinggal di perumahan Bukit Kencana Jaya. Kamu tahu apa yang dia bilang mendengarku berpromosi bike to work?
“Waktu di Kansas, aku juga naik sepeda ke kampus maupun ke perpustakaan kok mbak.”
Weleh, kampanye ke orang yang salah dah. Hahahaha ... Dan seperti yang telah kuperkirakan sebelumnya, dia merasa ga mungkin bersepeda dari Bukit Kencana Jaya untuk ke kantornya yang terletak di Jalan Hayamwuruk, atau kadang-kadang harus ke Tembalang.
*****
Hari Jumat 4 Juli 08 kebetulan ‘soulmate’ ku yang sejak tahun 2006 pindah kerja di Universitas Brawijaya Malang pulang ke Semarang sehingga sobatku yang barusan pulang dari Kansas kuajak menyambanginya. Dan seperti cerita yang di atas, aku ke masjid Baiturrahman naik sepeda, aku pun naik sepeda ke rumah Juli – my soulmate when we were pursuing our studies at American Studies Graduate Program of UGM – di kawasan Citarum.
Semula obrolan kita bertiga lumayan mengasikkan, berkisar dari budaya membaca orang Indonesia yang masih rendah sehingga Eta harus berusaha keras untuk menaklukkan budaya membaca yang masih rendah ini agar tidak kalah dari teman-teman kuliahnya di Kansas University, teori Semiotika milik Umberto Eco yang bagi Juli dan aku sulit dipahami (tanpa teori apa pun, aku suka saja sih berusaha membaca signs, for example: when someone sends you private pictures of his, I “read” them as he offers himself to me, asik ... LOL.), perbandingan kuliah S2 di jurusan Sastra UNDIP (Eta), S2 di American Studies UGM (aku dan Juli), dan S2 di Kansas University (Eta), teori Judith Butler yang terkenal dengan bukunya “Gender Trouble”, spesifikasi para professor di Amerika (misal: Professor Hugh Egan, salah satu dosen tamu waktu aku kuliah di American Studies, memiliki spesifikasi di “American Romantic Era”, dosen-dosen Eta pun begitu, hanya mahir di “Victorian Era” saja, namun kedalaman pemahamannya tentang “Victorian Era” itu benar-benar meyakinkan), cara mengajar beberapa dosen di Unibraw, dll. Tatkala Juli’s baby terbangun mendengar suara tiga perempuan yang berkicau riuh rendah, akhirnya Juli pun tidak bisa mengikuti obrolanku dengan Eta karena dia disibukkan si baby.
Seperti keinginanku semula, aku pun tak lupa berpromosi bike to work.
“Eh Juli, aku naik sepeda loh!”
Ternyata, sekali lagi, aku berpromosi ke orang yang salah, karena ternyata Juli menjawab, “Loh mbak, aku juga naik sepeda loh di Malang!”
Kacian deh gue ... LOL. LOL.
Namun aku lumayan senang tatkala ternyata Juli terheran-heran melihat sepedaku. “Loh mbak, kamu naik sepeda tadi ke sini? Yah ... kan Pusponjolo sini jauh???”
“Bukannya tadi aku bilang aku ke sini naik sepeda?” tanyaku, geli.
“Kirain kamu cuma cerita ke kantor naik sepeda. Ga nyangka kalau sampai sini kamu pun naik sepeda.”
Well, not bad eh? My intention to surprise Juli worked a little. LOL.
PT56 20.54 060708

Bike to work, yuk?


Sebagai salah satu “resiko”, atau well ... “tanggung jawab” sebagai salah satu member komunitas pekerja bersepeda di Semarang (alias bike to work community), maka setelah libur kenaikan kelas, memasuki term 3 tahun 2008, aku mulai berusaha kontinyu bersepeda ke kantor. Kebetulan rumahku terletak tak jauh dari kantor. Maksimal aku butuh waktu 10 menit dari rumah ke kantor dengan kecepatan sedang, yang berarti aku ga perlu sampai bernafas terengah-engah sesampai kantor. Senin sampai Jumat aku bisa naik sepeda ke kantor; sedangkan hari Sabtu kupilih sebagai hari ‘libur’ bersepeda ke kantor karena aku harus mengajar di cabang Tembalang. (aku belum tergoda untuk berusaha menaklukkan Gombel dengan naik sepeda!)
Hari Rabu 2 Juli kemarin, untuk pertama kali aku ngikut komunitas b2w Semarang keliling kota untuk kampanye. Acara yang kita sebut “city night riding” (utowo ‘night city riding’ yo? Aku kudu takon Jack C. Richards be’e. LOL) diikuti oleh sekitar 12 orang. Rute yang kita pilih dari Bank Mandiri Syariah Jalan Pemuda (thanks to the new member of b2w Semarang yang bekerja di situ, yang barusan pindah dari Jakarta, sehingga Bank Mandiri Syariah Pemuda bisa dipakai untuk menjadi ‘meeting point’.) ke Tugumuda, belok kiri masuk Jalan Pandanaran; lurus sampai Simpang Lima, terus sampai perempatan Bangkong, belok kiri masuk Jalan Mataram; lurus sampai bundaran Bubakan, masuk ke kawasan kota lama, dan kita berhenti di halaman Gereja Blenduk. Nongkrong sambil bernarsis ria di depan kamera. (Do you know that salah satu dampak ‘negatif’ site sebangsa multiply.com adalah menjadi ajang kenarsisan orang-orang ‘biasa’ alias bukan selebriti? LOL.) Dari Gereja Blenduk, kita muter ke Jalan Merak, trus balik ke Jalan Jendral Suprapto, belok kanan menuju jembatan kali Berok, masuk Jalan Pemuda, dan kembali ke starting point di depan Bank Mandiri Syariah.
Di antara 12 orang yang ngikut, satu tinggal di kawasan Sendang Mulyo, satu di Tembalang, satu di Ngaliyan, (bayangin aja geografis tiga tempat itu, yang paling ‘mudah’ di Ngaliyan, meskipun tetap menanjak juga). Waktu pulang, aku bareng yang tinggal di Ngaliyan. Dia sempat bercerita berhubung kantornya lumayan dekat dari tempat tinggalnya – Krapyak – dia merasa perlu muter-muter dulu, agar hobby pit-pitannya tersalurkan, yakni muter ke Simpang Lima! G-U-B-R-A-K!!! LOL.
Alhasil hari Kamis 3 Juli seusai mengajar jam 7, sebelum pulang aku pun ‘ikut-ikutan’ muter-muter dulu; dari Jalan Pierre Tendean ke Tugumuda, belok Jalan Pandanaran, lurus ke Simpang Lima, belok ke Jalan Gajahmada, lurus sampai ke Jalan Pemuda, Tugumuda, Jalan Sugiyopranoto, setelah jembatan sungai Banjir Kanal, lurus ke daerah Pasar Karangyu, belok kiri di Jalan Puspowarno Raya, lurus sampai Gereja (mboh jenenge opo rak reti, lali, LOL) belok kiri masuk kawasan Pusponjolo.
Kesimpulan: ternyata benar apa yang dikatakan Triyono yang pertama kali “menemukanku” di multiply untuk ngikut komunitas b2w: pit-pitan dewekan ora enak!!! LOL.
*****
Hari Jumat 4 Juli. Kebetulan tatkala aku memberikan kesempatan kepada siswa-siswi kelas baru untuk bertanya, salah satu dari mereka bertanya, “How do you go to the office, Miss?”
Aha ... pucuk dicinta ulam tiba. Dengan senang hati aku menjawab, “I go to work by bicycle.”
Siswa itu semula mengangguk-angguk, mimik wajahnya terlihat biasa saja, juga siswa siswi yang lain. But, setelah ‘ngeh’ apa itu arti kata ‘bicycle’, (mungkin semula dia mengira aku menyebut kata ‘motorcycle’) anak itu mendongakkan wajah ke aku, terlihat heran, kemudian bertanya, “By bicycle Miss?” dengan nada tidak percaya.
I caught him!!!
So, dengan senang hati aku bercerita – alias berpromosi – tentang komunitas b2w yang memiliki ‘impian’ indah untuk berperan aktif dalam mengurangi polusi udara plus dampak buruk global warming. Seperti kata Firman, ketua organisasi b2w Semarang tatkala diwawancarai oleh TVKU, “Semula mungkin hanya bersepeda ke kantor, lama-lama mengapa tidak menggunakan sarana sepeda untuk pergi kemana-mana.” Seandainya lebih banyak lagi kita mampu menjaring pemerhati dan peserta komunitas b2w (dan menjadi pelaku aktif), rasanya bukan harapan yang muluk-muluk kalau kita ingin menjadikan impian kita menjadi nyata: mengubah langit di kota Semarang menjadi biru, tanpa asap knalpot yang berlebihan.
PT56 20.12 060708