Cari

Selasa, September 25, 2007

Free Sex (2)

Ketika melemparkan artikel yang berjudul “Free Sex: a ‘co-culture’ in Indonesia (already)?” ke milis RumahKitaBersama beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan sambutan hangat berupa beberapa komentar dari beberapa member milis. Berikut ini beberapa postingan yang sempat kudownload:

Icha Koraag:

Rasanya perkembangan free seks di Indonesia terutama di kalangan pelajar tak lepas dari kebebasan memperoleh informasi. Termasuk memperoleh informasi yang salah. Dalam sebuah penelitian study kualitatif yang aku lakukan di kalangan mahasiswa/i tahun 2006. Semua responden mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks. Baik sekedar pegangan sampai penetrasi.

Sebagian besar menjawab mulanya karena rasa ingin tahu kemudian diikuti perasaan enak/nyaman. Dari yang bermula sekedar sentuhan terus menjadi lebih jauh. Tidak ada perasaan takut karena semua menjawab tidak akan mati hanya dengan melakukan hubungan seks.

Ketika ditanyakan mengenai penyakit kelamin sampai HIV dengan tegas mereka menjawab, melakukannya dengan bersih. Artinya selain tidak terlalu sering berganti pasangan (Umumnya melakukannya denganpacar) dan tidak takut memeriksakan diri ke dokter.

Kehamilan? Kondom dan pil KB yang mudah di dapat, bisa jadi andalan. Ketika dipertanyakan soal moral atau arti keperawanan/keperjakaan. Semua tertawa dan berkomentar "Gini ari ngomongin soal perawan/perjaka? Langka deh!!!"

Aku menyimpulkan nilai-nilai sosial remaja Indonesia sudah bergeser jauh dari nilai-nilai sosial yang lama. Ketidak takutan mereka terhadap dampak dari hubungan seks sudah bisa diatasi karena tingkat kecerdasan mereka juga sudah meningkat seiring terbukanya
kesempatan memperoleh informasi.

Kita tidak bisa bicara soal moral karena moral bagi sebagain remaja khusunya remaja Jakarta hanya ada dalam buku-buku sekolah dan naseht orang tua. Tidak mematuhi aturan tersebut tidak membuat mereka berhadapan dengan neraka. Artinya mereka sadar benar dengan kehidupan nyata dan mereka berbicara berdasarkan pada kenyataan. Sesuatu yang absurd seperti pesan moral atau agama, dipahami lebih luas.

Bagi mereka masih lebih baik melakukan kehidupan seks bebas daripada menjadi koruptor atau pembunuh dan sejenisnya. melakukan seks sebelum menikah selama berdasarkan suka-sama suka, nikmati saja.

Memang penelitian ini memakai responden mahasiswa/i tapi usia mereka tak jauh berbeda dari anak-anak SMA. Bahkan mereka tidak malu menyebut berbagai istilah yang jujur membuat telinga dan wajahku merah.

Tidak ada motivasi apa-apa/ Dan lebih celaka lagi, sebagian besar melakukannya di rumah. Baik di rumah si cewek atau si cowok bukan di tempat lain. Sebagian mengatakan pada waktu melakukannya ada yang ortunya di rumah ada yang tidak.

Sehingga pada waktu itu (Aku menuliskan artikel) jadi mempertanyakan apa gunanya melarang penerbitan majalah Playboy Indonesia kalau kenyataannya free seks adalah hal biasa?

Salam
Icha


Angel:

Mbak Icha yang baik, apa kabar?
Topic menarik dari postingan mbak Nana mengenai "Free Sex" dihubungkan dengan penemuan penelitiannya mbak Icha mengenai kehidupan sex para remaja dan pemuda di Indonesia, tampaknya sangat relevan dengan kenyataan. Tampaknya, kita semua mengacu masalah sexual tersebut kepada berapa "ukuran moral" seseorang dari kelakuan sexualnya.
Dalam topic ini, mungkin memerlukan ulasan yang rumit dari para ahli ilmu sosial dan ahli moral (ahli agama dan philosophy). Siapa dari kita disini yang berada di bidang tersebut? yang bisa mengulasnya lebih detail? Salah satunya pasti mbak Icha dan mbak Nana. Mohon para saudara kita semua di RKB, jika tertarik, bisa turut serta untuk nimbrug mengulas topicnya mbak Nana mengenai "Free Sex", yang mungkin sebaiknya di ulas lebih detail kepada topis "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia"

Salam hangat mbak Icha
Angel


Icha Koraag:

Dear Angel!
Kabar saya baik.
Postiongan Nana dengan topic Free Sex memang menarik untuk didiskusikan. Apalagi Nana punya anak gadis, sehingga hal tersebut menjadi perhatian serius Nana.

Aku bukan pakar hanya punya sedikit pengalaman berhadapan dengan remaja dalam penelitian yang kebetulan menyangkut free sex. Akan menjadi lebih bermanfaat jika semua anggota RKB ambil bagian dalam diskusi ini.

Karena memang sulit sekali mecampurkan kehidupan nyata saat ini dengan pesan moral atau agama.

Salam
Icha


Roslina:

Mbak icha,
Anak-anak muda yg diajak utk menghormati/hargai nilai moral apalagi agama akan lebih cendrung utk menyepelekannya/melwan jika ajaran itu tdk disertai dgn perilaku yg benar-benar mencerminkan ajaran moral itu sendiri. Itulah yg jadi kunci.

Banyak orang sok relejious, misalnya orangtua suruh anak-anak sembahyang, tapi perilaku orangtua yg mereka saksikan sendiri tdk mencerminkan sesuatu yg istimewa.

Anak generasi sekarang selain mudah dapat info, mereka juga tahu kalau orangtua mereka melakukan penyelewengan seks, masak mereka diminta harus lebih baik dari orangtua mereka?

Menurut saya info dari luar, atau tepatnya pengaruh dari luar adalah faktor kesekian bukan faktor utama.

Salam
Roslina


Roslina:

40 thn. yl. salah seorang teman sekelas kakak saya tiba-tiba muntah-muntah di sekolah. Kakak saya sama sekali ngak mengerti apa yg terjadi dgn sahabatnya. Tapi karena dia sahabat, akhirnya si sahabat dgn rasa takut, bingung diiringi tangisan dan suara terpatah-patah ngaku, Ris (Damaris, panggilan pendek buat kakak saya), kali aku hamil???

Kakak saya yg mendengar kata itu lebih terkejut lagi, apa? kamu hamil?

Hanya beberapa minggu kemudian, teman kakak saya dikawinkan dengan pacarnya. Seluruh penduduk Padangsidempuan gemparrrrrrrrrrr. Setidaknya komunitas Kristen, sebab utk pertama kali (mungkin setelah saya lahir dan dapat mengingat) terjadi, hamil dulu baru dinikahkan dalam komunitas yg diatas ribuan KK. Itu 40 thn. yl.

Dua puluh tahun lalu keadaan semakin parah. Walau dalam agama Kristen hanya diijinkan seorang lelaki beristri satu, tapi kenyataan memaksa seorang lelaki kristen harus mengawini perempuan lain jika perempuan itu dapat membuktikan bahwa dia hamil oleh si suami perempuan lain.

Hal ini tidak dianggap normal, namun sudah terjadi, walau akhirnya, si perempuan teman selingkuh suami orang itu, lama-lama harus mengalah dan kawin lagi dengan lelaki lain.

Lama kelamaan, seorang wanita hamil, tanpa nikah sudah tidak apa-apa. Bahkan seorang wanita yg tidak menuntut lelaki yg menghamilinya utk menikahinya, juga tdk melakukan abortus melainkan mempertahankan janin yg dikandungnya, ditempatkan sebagai hero, artinya orang bertanggungjawab.

Demikianlah pergeseran moral itu berjalan terus, semakin jauh dan semakin jauh, sampai satu titik jenuh tertentu. Sekarang kita berada dalam zaman post modern. Sejarah telah melewati zaman kegelapan, renaisance, diikuti reformasi, menginjak pada demokrasi. Setiap orang berhak melalukan apa saja yg menyenangkan hatinya kan begitu? Asal jangan orang itu sampai meninju kita, kita harus toleran dan mengerti mereka. Apakah kita harus goyang kepala?

Kembali pada kata-kata Raja Salomo 2500 thn. lalu: Di dunia ini tdk ada sesuatu yg baru. Apa yg ada sekarang hanya pengulangan dari apa yg sudah ada dahulu.

Beidewe, saya baru dapat Majalah Femina, oleh-oleh dari teman yg baru kembali dari Indonesia. Salah satu artikel di dalamnya berjudul: Redam Seks bebas Rwmaja di Indramayu Sang Bupati instruksikan Tes Virginitas.

Salam Week End
Roslina


Audy:

Dear all,
Kita beruntung ada Icha yang berpengalaman dalam bidang survey, sehingga bisa membawa data dari lapangan ditahun 2006, yang relevan dengan topic ini.Melihat baru 1 tahun, untuk masalah sosial budaya harusnya masih valid.

Melihat topic yang sudah lebih diarahkan Angel menjadi "Hubungan Antara Gejala Pergeseran Kelakuan Sexual Para Remaja di Indonesia, Sehubungan Dengan Kriteria Moral Manusia", coba dilihat dulu apakah hubungan free sex dengan moral di jaman sekarang? Masih seerat seperti dulukah? Saya tidak yakin apakah free sex dapat diartikan a moral? Kelakuan tidak bermoral? Rasanya belum tentu semua orang yang free sex itu tidak bermoral.

Kalau waktu saya kecil, sepertinya begitu, orang yang menganut concept free sex dianggap bejat, tidak bermoral dsb dsb.
Tapi sekarang? Sepertinya mendapat pengertian dan tempat yang lebih luas dibanding dulu, tapi tentu masih dalam batas-batas tertentu.
Perkembangan yang sama seperti kaum homo (gay or lesbi), mereka semakin mendapat tempat dan dapat diterima orang.

Kalau melihat topic yang ada disini, lebih mengarah keanak-anak muda, anak sekolah dan mahasiswa/ siswi dan mungkin juga yang baru lulus tetapi belum mapan.
Yang ada didiskusi sebelumnya, apa penyebab utamanya? Menurut saya lain negara lain sebab atau faktor utamanya, karena kondisi sosial budaya yang berbeda.

Untuk Indonesia, negara yang berbudaya ketimuran, sekitar 20 tahun yang lalu
mungkin masih mentabukan yang namanya free sex (sex pranikah), tapi sekarang mengalami pergeseran yang cepat mengikuti yang ada di negara berbudaya kebaratan.
Untuk ini saya percaya informasi memegang peranan besar. Buku bacaan, tontonan dan internet berdampak banyak bagi remaja Indonesia.
Lalu yang sudah terpengaruh, mempengaruhi temannya lagi (karena pergaulan) sehingga penyebaran menjadi cepat. Apakah peran orang tua ada? Tentu bisa saja. Orang tua yang berkelakuan tidak benar otomatis memberi celah besar kepada anaknya kearah sana.
Juga orang tua yang kurang dekat dan kurang memperhatikan anak, ikut berperan membuka pintu bagi si anak.

Bagaimana dengan negara barat? Bagi yang tinggal dinegara maju, seperti Europe or US, tidak lagi meributkan ini seperti kita. Karena memang sudah lebih diterima oleh budaya setempat, informasi tidak lagi menjadi penyebab utama karena sudah dari dulunya ada.
Faktor pergaulan dan orang tua yang lebih besar disini. Karena sudah lebih diterima, maka yang perlu dilakukan adalah kontrol yang baik, sehingga si anak memahami dengan baik apa itu sex pranikah, bagaimana supaya aman dan dengan siapa mereka begitu.

Tahun1998, keponakan saya yang tinggal di Belgium datang ke Indonesia dengan pacarnya tinggal ditempat saya. Awalnya saya bingung, mau tidur bagaimana 2 orang yang belum menikah ini?
Saya telp kakak saya dan tanya 'Anak kamu ini bilang mereka tidur sekamar berdua, apa benar mereka boleh tidur berduaan?'
Kakak saya menjawab 'Ya betul, mereka sudah dewasa, dan tahu apa yang mereka lakukan. Kita tahu siapa pacarnya itu'
'Well..., ok then' saya bilang. Done!
Itu pertama saya mengerti bahwa di negara barat memang sudah sampai di titik 'mengontrol', bukan 'melarang'. Yang dikontrol adalah dengan siapa mereka berhubungan, dan bagaimana penggunaan contraceptive. Jadi yang diterima adalah mereka boleh melakuan sex pranikah, bukannya sex dengan sembarang orang yang bisa mengundang penyakit.

Lalu bagaimana pencegahan atau pengontrolan yang baik? Bagi saya yang masih berjiwa asia, pendekatan hubungan orang tua dengan anak, sangat penting.
Contoh mudahnya Nana, selama hubungannya dengan anaknya sangat dekat, jadi
bisa mengikuti perkembangan anaknya dengan baik, dan jadi tempat bertanya sang anak.
Monitor dengan baik kehidupan si anak, mengenal teman2 mereka, sering-sering berbicara dengan mereka. Tidak perlu menutup pengetahuan tentang sex, selama dilihat dari kacamata yang benar. Itu lebih baik bagi mereka dari pada tahu dibelakang orang tua, karena internet susah untuk di firewall 100%..

Gitu ajadeh, udah panjang bener.

Salam.
Audy
(belum bisa terima sex pranikah, dasar kolot!)


Hillyard Malik (1):

itu tv, majalah. radio, cd/dvd movie, buku, internet .... yang dibaca dan ditonton oleh anak muda sekarang adalah sumbernya. Media2 ini kebanyakan dikelola oleh anak2 muda yang pintar dan cerdas, tapi "miskin moral", "miskin agama", "miskin pertimbangan".

Sumbernya jelas bukan kompas atau tempo atau tvri atau rri , karena media2 ini dieditori oleh orang2 tua yang sensornya ketat.

Tapi cobalah lihat media2 yang digemari anak2 muda sekarang, yang plek menerjemahkan langsung dari luar-negeri. Semua budaya diterjemahkan plek tanpa ada yang menyensori. Bagaimana mau menyensori "free sex", wong editornya juga free sex kumpul kebo waktu kuliah di amerika. Wa ha ha ha.

Inilah reformasi yang kebablasan. Bangsa kita ini seperti anak2 yang dibiarkan berbuat apa saja tanpa ada yang mengontrol. Harusnya ada class action kepada para tokoh reformasi seperti amin rais, megawati, gus dur, yang menjadikan moral bangsa indonesia berantakan.


Ati Gustiati:

Freesex di Indonesia itu bukan new style saya pikir, saya mau buka kartu nih, waktu usia 17, se kali2 saya gabung sama temen2 cewe saya yg punya kenalan cowo2 dari luar daerah yg tidak saya kenal sebelum nya, mereka berpasangan, hanya saya yg tunggal, bukan krn saya tak suka cowo, cuman memang kondisi hidup saya memang lain, saya tidak tertarik sama cowo hingga usia saya mencapai 19, cowo pertama yg saya suka lelaki Indonesia (menado) mamih nya bikin saya marah, lalu saya tinggalkan dan sejak itu saya tak pernah lagi punya pacar sesama bangsa, saya kemudian bertemu lelaki german dan menikah, jadi experience sexual saya selama remaja memang tidak cukup ya....(ahhha rugi deh gue),

anyway, Jeep melaju ke daerah pantai, disana kami tinggal didalam cottages, mulai menyeruput ganja, dan mendengarkan lagu2 rollingstones, richie blackmore, pink floyd dll, temen2 saya itu gantian pasangan, mereka bersenggama didepan kita semua, ada memang cowo yg mencoba mendekati saya..saya tolak halus " gue gak suka sex dan gue gak tertarik sama cowo " gitu kalau gak salah kata saya..saya memang dulu tomboy dan paling ceplas ceplos kalau ngomong.
Setelah pengalaman itu, saya tau bahwa temen2 saya sudah tidak perawan lagi, mereka sudah mahir bercinta dan bersetubuh dengan lawan jenisnya, bukan itu saja temen2 saya inipun memang sudah sering gunta ganti pasangan tanpa rasa was2 lagi.
Lalu pengalaman berikutnya di Bandung, ada kenalan istrinya org indonesia, suaminya bule (Perancis), setiap hari Yeni pergi ke kursus kecantikan, tetapi sebelum pergi ke tempat kursus dia mampir disebuah rumah kontrakan yg dihuni oleh 2 pria idnonesia, mereka melakukan threeseome (persetubuhan antara 3 orang), saya dapatkan info itu dari supirnya, sekaligus dari Yeni sendiri, Yeni malah ajak saya utk foursome, gile ! pikir saya.

So, freesex is existed sejak duluuuuuuuuu sekali, kenpa tidak muncul ke permukaan ? karena kita munafik, kita tidak jujur utk mengungkapkan opini2 kita, kita mendidik anak2 kita utk membohong demi utk menyenangakan orang tua, guru dan lingkungan, dulu kalau mau tanya soal dari mana anak keluar aja si ibu jawabnya dari puser lah, dari keajaiban lah, tau2 gubrak kepala anak nongol dari dalam perut, lalu kalau kita tanya kenapa gak boleh berghubungan sex sebelum nikah, jawaban nya kayak dongeng zombie, dipanggang di api neraka lah, di coblos besi panas lah vagina kita, di nista lah, disiksa lah...aduuh edan, bikin observasi generasi remaja kita pada kabur jadinya, enggak ada structure yg terarah, dan akhirnya otak dan pengertian umum pun tentang freesex jadi kabur, jangankan di Jkt, di Aceh pun ada freesex, di amrik freesex di praktekan karena mereka umum nya sudah mengerti apa resiko nya, mereka tau preventing terhadap STD (penyakit kelamin) serta kehamilan dini dll, di Indonesia banyak kebodohan yg disembunyikan, ada yg msh tabu bicara soal sex, padahal kalau semua serba terbuka dan mendidik, sex bisa tertib dan dipertanggung jawabkan.
Anak saya umur 9 thn udah dididik basik sexual di sekolah, sekrang dia malah lebih pinter dari saya menerangkan bagaimana kehamilan dan penyakit kelamin ditularkan dll.., thats a good idea I think, kalau generasi muda dikasih landasan atau knowledge yg baik pasti tidak akan nyasar berat ke depan nya.
Anyway, freesex is everywhere, kalau di Indo majalah Playboy dilarang beredar karena dianggap bisa merusak moral generasi bangsa, that is a complete idiot !!!

that is my two cent opinion about freesex

omie


Angel:

Benar apa yang Hillyard Malik katakan bahwa definisi free sex itu yang mana? Apakah hubungan sex pranikah dengan pasangan resmi yang nantinya akan menikah, atau selingkuhan atau dengan siapapun? Yang jelas saat ini konotasi free sex dicampur adukkan, pokoknya sex pra nikah itu semua dianggap freesex. Jika konotasi itu yang dihindari, berarti semua pasangan yang akan menikah seharusnya VIRGIN? Apakah begitu?

Mbak Omie juga benar, free sex itu ada sejak dahulu kala...Contohnya, sewaktu saya usia 6 tahunan, sudah lebih dari 30-35 tahun lalu saya ingat tetangga saya di pulau Lombok ribut2.. masalahnya, anaknya yang masih gadis jelas 2 SMP hamil dan yang menghamili itu adalah termasuk omnya sendiri.
Kemudian sewaktu kami pindah ke pulau kalimantan, kira2 saya berumur 9-10 tahunan, kembali ada tetangga saya yang ribut2.. karena anak gadisnya yang masih SMA hamil dan laki2 yang menghamilinya adalah juga anak tetangga lainnya. Ribut2nya ramai sekali hampir terjadi perang saudara karena si laki2 menolak mengakui bahwa itu akibat perbuatannya, padahal kita semua tau jika mereka itu berdua diam2 berpacaran. Kami yang anak2 sering melihat mereka berdua sembunyi2 bertemu pojok2 rumah.
Sewaktu saya remaja, ada beberapa teman sekolah yang kedapatan hamil.. beberapa bahkan ada yang berasal dari keluarga fanatik agama. Yang parah, saya banyak menemukan banyak para suami yang menghamili para pembantunya atau pegawainya. Bahkan demi menghindari rasa malu bagi si suami dan keluarganya, si istri mengantarkan pembantunya ke klinik aborsi.
Dari pengetahuan saya tersebut, mereka ada yang menyelesaikannya dengan perkawinan, menggugurkan ataupun dibiarkan saja menjadi tanggung jawab si wanita dan keluarganya.

Setelah saya belajar di Australia saya menemukan banyak anak2 mahasiswa yang kumpul kebo atau punya pacar yang tidak serumah tetapi secara rutin mereka berhubungan sex.. tetapi ada juga teman saya yang orang Amerika keturunan Jewish, cantik dan ramah, tetapi mengaku kepada kami semua bahwa pada umurnya yang cukup dewasa itu dia masih gadis.. dan akan menjaga kegadisannya sampai dia menikah nanti. Di Universitas, ada juga gadis Iran yang sudah menikah sejak usia dini dan mempunyai satu anak, akhirnya mereka bercerai, anaknya dibawa suaminya. Setelah itu dia menjalin hubungan
Dengan orang Italia dan hidup bersama2 (kumpul kebo) dengan seorang peneliti orang Italia. Beberapa tahun kemudian, mereka menikah, mempunyai anak2 dan tampaknya hidup bahagia.

Sedangkan saya? Saya datang dari keluarga yang tidak religious, hanya sering dibekali nilai2 tanggung jawab dan sebab akibat yang cukup kuat untuk meghadapi hidup. Jika week end, kadang2 para mahasiswa mengadakan suatu pesta yang disebut "Animal party" Saya ikut saja berparty dengan mereka... tetapi tidak mau ikut drinking beer sampai mabuk.. dan pada akhirnya menjadi ajang sexual ria. Saya tidak sendirian, karena cukup banyak juga ahasiwa yang sama seperti saya, hanya ikut berparty, tetapi MEMILIH untuk
Membatasi diri dan MEMILIH untuk tidak mengikuti apa yang orang lain lakukan. Jelas sekali saya atau setiap orang boleh MEMILIH apa yang dilakukan orang lain.
Mengapa saya tidak mau minum beer sampai mabuk? Karena saya tidak suka beer, rasanya pahit dan tidak nyaman di lidah saya. Kalau saya paksakan, walaupun baru beberapa teguk, nanti pasti muntah. Saya suka wine dan setiap kali hanya minum 2-3 gelas wine, takut nanti kalau pulang tidak bisa menyetir atau takut kena alcohol test... Juga wine penelitian menunjukkan bahwa jika diminum dalam jumlah tertentu, akan cukup bagus untuk kesehatan, asal jangan terlalu banyak.
Mengapa saya tidak ikut sexual party? Jika mau kan bisa saja dan siapa yang mau protes? Saya tidak lakukan hal2 semacam itu bukan karena saya beragama atau tidak, tetapi karena saya punya pilihan untuk menghormati laki2 yang saya cintai dan MEMILIH menghormatinya dengan cara bersetia dengannya. Ada banyak orang, dengan alasan2nya pribadi juga melakukan cara yang sama dengan cara saya, dan mereka berasal dari berbagai latar belakang keluarga, baik yang fanatik maupun atheis.

Jadi saya menceriterakan pengalaman pribadi ini, untuk menjelaskan pendapat saya pribadi.. bahwa peran suatu agama di dalam menanamkan nilai2 kehidupan, dengan cara pembatasan gerak para manusia agar tidak melakukan apa yang dikatakan "Free Sex" itu tidaklah terlalu relevan. Seperti pengalaman mbak Omie, dia tidak melakukan hal2 yang dia tidak inginkan seperti threesome or foursome seperti yang dijelaskan di bawah ini, tampaknya tidak dipengaruhi oleh nilai2 yang diberikan oleh agamanya tetapi dari nilai2 yang dia peroleh sebagai manusia yang tidak ingin merugikan dirinya sendiri.
Dari pengalaman saya pribadi, terbukti, banyak di keluarga yang fanatik agama, hal2 kehamilan di luar nikah bisa terjadi juga.. Sedangkan di keluarga yang dianggap atheis kadang2 hal2 semacam itu bisa terjaga dengan baik.. Buktinya banyak yang saya temui termasuk orang Amerika itu yang ingin menikah virgin, padahal saya tidak pernah melihatnya pergi ke gereja.
Sedangkan pengalaman2 saya di tanah air, banyak melihat orang melakukan tindakan sexual yang tdk bertanggung jawab, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, menghamili keluarganya sendiri atau para pembantu, berselingkuh dan lain2 yang menghancurkan rumah tangganya sendiri. bahkan tetangga saya sendiri di kampung ini, seorang dokter specialist harus ribut2 dengan istrinya gara2 rumahnya kedatangan tamu wanita dari pulau seberang yang mengaku hamil akibat perbuatan selingkuh suaminya. Padahal keluarga dokter ini, terlihat sangat fanatik beragama.

Sering kita mendengar orang2 menyalahkan media, technology internet bahkan arus budaya bangsa lain atas kerusakan yang kita derita. Kita lupa, bahwa kerusakan yang kita sendiri rasakan sebenarnya adalah akibat pilihan perbuatan kita sendiri. Dunia semakin terbuka, adanya globalisasi dan tuntutan reformasi diri kita untuk mengikuti perkembangan dunia tidak bisa kita hindari. Terbukanya keran2 pembatas keterbelakangan dunia di berbagai bidang, termasuk technology dan budaya juga terbuka. Bagaimana bisa kita menutup keran arus budaya lain sementara kita inginkan technologynya?
Hal itu bisa terjadi jika kita sendiri memilih yang terbaik... mengajarkan anak2 kita untuk bisa mengikuti perkembangan dunia tetapi tetap mampu memilih apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Melalui agama? bukankan selama ini kita telah melakukannya? Bukankan bangsa2 lain juga melakukannya? Kita melihat bagaimana Arab saudia dan Malaysia gencar sekali menerapkan agama di dalam kehidupannya? Lalu apa yang telah dilakukannya terhadap bangsa Indonesia yang bekerja di negaranya? Belum lagi kasus2 yang ada di dalam komunitas mereka sendiri, yang jelas tidak akan bisa kita ketahui, karena mereka begitu tertutup.

Mohon maaf jika pendapat saya pribadi mungkin berbenturan dengan pendapat2 lainnya. Mohon petromaknya.

Salam hangat
Angel


Hillyard Malik (2):

mungkin definisi freesex harus sepakat dulu, supaya diskusi jangan melebar kemana-mana
- hubungan sex sebelum nikah
- hubungan sex dengan bukan pasangan resmi / selingkuh

penolakan atas freesex bisa dilihat dari segi agama, segi peraturan permerintah, etika bermasyarakat.

Jadi kalau anak dari kecil sudah dididik agama dengan baik, dikenal dengan peraturan pemerintah dan etika bermasyarakat disertai dengan kontrol dan arahan dari orang-tua, lingkungan, dan masyarakat, free-sex ini bisa ditekan.

Sekarang ini yang terjadi pendidikan agama kurang, pengajaran etika kurang, keluarga, lingkungan masyarakat serba cuek tidak ada kontrol, permisif, pemerintah dan polisi seperti salah tingkah untuk mengontrol apa yang katanya hak individu, dsb dsb dsb dsb.

Mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, lingkungan sendiri ..... ah jadi teringat Aa Gym ... :)


Well, mungkin memang sebaiknya aku memulai dengan menulis definisi ‘free sex’. Namun mengacu ke dua kategori yang ditulis oleh Hillyard, yang kumaksud free sex ya keduanya itu, sex yang dilakukan out of wedlock, baik yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah, maupun yang telah menikah namun melakukannya dengan bukan istri/suami. Sedangkan dalam postinganku sendiri, memang aku lebih menitikberatkan ke kategori yang pertama. Selain itu juga kategori usia yang menurutku masih sangat belia untuk mengenal seks (baca  intercourse), plus melakukannya di areal sekolah membangkitkan kekhawatiranku.
Pertama kali membaca komentar Icha Koraag tentang pengalamannya melakukan survey tentang perilaku remaja di Jakarta terhadap free sex cukup mengejutkanku karena ternyata perilaku remaja di Jakarta tidak begitu berbeda jauh dengan para remaja di kota metropolitan di negara-negara lain (paling tidak dari film-film yang kutonton, dan novel-novel ataupun berita yang kubaca). Jakarta sebagai satu kota metropolis di Indonesia, sumber berkumpulnya para produser media, baik elektronik maupun cetak, aku yakin akan mempengaruhi perilaku remaja-remaja di kota lain. (Aku masih percaya bahwa medialah pihak yang paling bertanggung-jawab dalam perembesan satu budaya ke dalam budaya lain.).
Namun membaca postingan Omie (Ati Gustiati), aku semakin shocked lagi, karena apa yang dia ceritakan terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu. Jikalau sekarang kita bisa menyalahkan media sebagai sumber ‘penyebaran budaya luar tanpa kontrol’ melalui internet (terutama) dan televisi/radio/majalah/surat kabar, media pulakah yang harus bertanggung-jawab bila hal tersebut terjadi sekitar tigapuluh tahun yang lalu? Apa yang diceritakan oleh Omie sangat jauh berbeda dengan apa yang ditulis oleh Roslina, karena jelas yang terjadi di depan mata Omie itu merupakan pilihan bagi para pelaku, yang ditulis oleh Roslina bisa jadi merupakan suatu ‘kecelakaan’ karena ketidaktahuan kedua pelaku bahwa apa yang mereka lakukan akan membuahkan kehamilan.
Namun menyalahkan begitu saja bahwa budaya free sex merupakan budaya adopsi dari Barat sangatlah tidak bijaksana. Seperti apa yang ditulis oleh Ayu Utami dalam artikelnya yang berjudul “Timur dan Barat” di dalam bukunya SI PARASIT LAJANG, (untuk lengkapnya klik saja alamat ini http://themysteryinlife.blogspot.com/2007/03/timur-dan-barat.html )
Sekarang kita orang Timur menuduh orang Barat tidak bermoral karena free sex, sedangkan beberapa abad lalu justru orang Belanda yang menuduh orang Indonesia tidak bermoral.
Jadi ingat omongan orang-orang tua yang kudengar beberapa dekade yang lalu. Kita sesungguhnya tidak membutuhkan pendidikan seks (baca  how to do sexual intercourse) karena kita semua bisa belajar secara otodidak. Toh meskipun orang-orang tua kita tidak pernah mendapatkan pendidikan yang semacam itu, mereka ‘berhasil’ memiliki keturunan. (Di zaman itu diyakini bahwa keberhasilan melakukan seks berupa kehamilan.) Hal ini berarti bahwa setiap orang diberi suatu ‘instink’ atau intuisi bagaimana memuaskan diri mereka sendiri secara seksual.
Kalaulah apa yang dikatakan oleh Hillyard bahwa perilaku seks bebas ini bisa dikontrol dengan pemberian pendidikan agama dengan baik, seharusnya apa yang diceritakan oleh Roslina dan Angel—beberapa perempuan yang hamil berasal dari kalangan keluarga yang terkenal peraturan agamanya sangat ketat alias relijius.
Dalam hal ini aku lebih setuju kepada Omie dan Angel bahwa kita justru bisa mengontrol perilaku seks bebas ini dengan baik bila terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dan anak-anak. Kita tidak bisa menghentikan keingintahuan para remaja tentang seks dengan, misalnya, menyensor film-film apa yang mereka tonton, karena toh mereka akan bisa menonton apa yang dilarang di rumah di luar rumah. Seks bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Apalagi mengingat kita semua dilahirkan dengan memiliki sexual desire yang tidak mudah dikontrol hanya dengan mengatakan, “Kamu akan dibakar panasnya api neraka jika melakukannya di luar institusi yang sah, yakni perkawinan.” Remaja-remaja sekarang lebih membutuhkan sesuatu yang nyata, yang langsung mengena, yakni seperti apa yang ditulis oleh Omie. Seandainya pendidikan seks diberikan kepada remaja-remaja kita sejak dini, mereka akan lebih bertanggung-jawab dengan apa yang mereka lakukan. Mereka diharapkan bisa melakukannya dengan terkontrol—seperti apa yang diceritakan oleh Audy—sekaligus menjaga kesehatan dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan—seperti apa yang ditulis oleh Omie.
Aku juga setuju dengan apa yang ditulis oleh Audy bahwa mereka yang melakukan hubungan seks di luar nikah tidak serta merta bisa kita tuduh sebagai orang yang tidak bermoral. Mereka melakukan hubungan seks dengan sadar, tanpa merugikan pihak lain. Berbeda dengan para koruptor yang merugikan rakyat banyak dan juga bangsa dan negara.
Satu hal yang sangat kusayangkan adalah bahwa kita orang Indonesia masih menutup mata dengan kenyataan bahwa seks bebas telah terjadi di masyarakat kita selama beberapa dekade—dan mungkin lebih lama lagi. Seperti apa yang dikatakan oleh Omie, karena kita munafik dan tidak mau mengakui bahwa free sex does exist in our society. Seharusnya kita segera mencari jalan keluar untuk mengurangi resiko free sex ini—bukannya mencari jalan keluar bagaimana mengurangi jumlah seks bebas, karena terbukti pendidikan agama tidak berhasil meredamnya. Memberikan pendidikan seks kepada anak-anak kita sejak dini adalah salah satu cara yang jitu menurutku sehingga diharapkan kita akan bisa mengurangi resiko menularnya penyakit kelamin dan kehamilan yang tidak diinginkan.
“Menghukum” para pelaku seks bebas dengan julukan “perek” dan sebaainya itu tidak memecahkan masalah. Bahkan justru menyebabkan masalah lain timbul, misal, karena sudah dicap sebagai ‘perek’ di lingkungannya, seorang remaja akan kehilangan harga dirinya, atau mungkin akan kehilangan rasa harus menjaga kesehatan reproduksinya karena sudah telanjur dicap ‘perek’ dengan melakukan seks bebas tanpa kontrol.
PT56 10.15 250907

Karaoke-an


Tujuan utamaku ke Waroeng Semawis pada hari Sabtu 22 September 2007 sebenarnya untuk menjemput Angie yang diajak tantenya—adikku paling kecil—untuk menemaninya menjaga stand karaoke Gaya FM. Dalam menyambut acara “Festival Kue Bulan” kelenteng Tay Kak Sie—yang terletak tidak jauh dari Gang Warung areal diselenggarakannya Waroeng Semawis tiap hari Jumat, Sabtu dan Minggu— menyelenggarakan beberapa acara, di antaranya pameran foto Chinatown di banyak negara di seluruh dunia—mulai dari Singapore, Hong Kong, Netherlands, USA, Canada, Australia dll; Rally Foto, dan Bazaar Kue Bulan. Di halaman kelenteng Tay Kak Sie didirikan beberapa stand, misal stand khusus berjualan Kue Bulan, stand Suara Merdeka, stand Yamaha Mataram Sakti, stand Monde Butter Cookies, dan beberapa lagi yang lain.
Setelah kabur dari tenda utama Waroeng Semawis tempat berjubelnya para pengunjung untuk melihat Rieke Dyah Pitaloka dari dekat, aku dan adikku, Nunuk berjalan menuju ke areal kelenteng Tay Kak Sie. Suasana tidak seramai pada waktu aku berkunjung kesana pertama kali, 12 Agustus yang bertepatan dengan Asian Culinary Festival di Waroeng Semawis. Saat itu replika kapal Cheng Ho juga menarik minat banyak pengunjung untuk naik ke geladaknya. 22 September kemarin tidak banyak yang tertarik melihat replika kapal Cheng Ho dari dekat. Atau mungkin orang-orang lebih tersedot untuk menonton Rieke Dyah Pitaloka. :)
Stand radio Gaya FM lumayan ramai karena menawarkan karaoke gratis dengan lagu-lagu Mandarin. Berikut ini foto-foto yang dijepret oleh adikku di sekitar halaman Tay Kak Sie.





PT56 16.25 230907

P R T



Merupakan suatu kebetulan belaka tatkala aku berkunjung ke Waroeng Semawis pada hari Sabtu 22 September 2007, di tenda utama di tempat tersebut diselenggarakan talkshow dengan topik “Pembantu adalah Bagian dari Keluarga Kita”. Tiga pembicara utama dari talkshow ini adalah Irwan Hidayat, Presdir PT Jamu Sido Muncul, Rieke Diah Pitaloka, artis dan aktivis Perempuan dan Romo Aloys Budi Purnomo, Pemred “Inspirasi dan Pastor Gereja Hati Kudus Tanah Mas. Donny Danardono, seorang dosen dari Unika Soegjijapranata berlaku sebagai moderator.
Acara dibuka dengan permainan saxophone oleh Romo Aloys, yang kemudian disusul dengan pembacaan puisi yang berjudul “Lelakon Rewang”.

Kemudian Donny selaku moderator memperkenalkan ketiga pembicara utama. Pembicara utama adalah Irwan Hidayat, yang menurutku pribadi kurang fokus dalam menyampaikan apa yang ingin dia kemukakan kepada hadirin. Mengingat di awal pembukaan Donny mengatakan bahwa pemilihan topik “Pembantu adalah Bagian dari Keluarga Kita” berhubungan erat dengan Hari Raya Idul Fitri yang akan segera tiba dimana banyak keluarga menjadi kelabakan karena “pembantu” mereka pulang kampung. Namun dalam pidato singkatnya, Irwan justru menyebut-nyebut para TKW yang diperlakukan secara tidak manusiawi di luar negeri. What is in fact the main point of the talkshow? Untuk menggugah kesadaran hadirin akan banyaknya jumlah para buruh migran yang mengalami perlakukan tidak semestinya atau mengajak hadirin untuk memperlakukan para “pembantu” mereka di rumah secara lebih manusiawi?
Orang cenderung lupa dengan apa yang terjadi di dalam rumah sendiri dan lebih memperhatikan perlakukan sewenang-wenang yang diterima oleh para buruh migran di luar negeri. Apakah mereka benar-benar telah “nguwongke” mereka yang bekerja untuk rumah tangga mereka?
Menurutku kalau memang kesempatan ini akan digunakan untuk berkampanye mencari perhatian publik agar lebih perhatian kepada nasib buruk kaum migran, pemilihan topik haruslah jelas. Kalau memang maksud talkshow untuk menggugah kesadaran orang-orang kita sendiri, ya porsi yang dikemukakan tentang nasib buruk para buruh migran di luar negeri seharusnya tidak mengaburkan pandangan hadirin—terutama aku. LOL.
Pembicara kedua, Romo Aloys berbicara tentang nasibnya yang merupakan anak seorang “pembantu” yang kemudian berhasil menjadi pastor.

Pembicara ketiga, Rieke Diah Pitaloka—aku yakin kehadiran Rieke lah yang menjadi magnet para pengunjung Waroeng Semawis pada hari Sabtu 22 September itu—lebih fokus kepada apa yang ingin disampaikan oleh pemrakarsa talkshow ini kepada hadirin yang membanjiri tenda utama. Di awal memang Rieke mengemukakan sejumlah angka buruh migran yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi di luar negeri. Berangkat dari itu Rieke mempertanyakan bagaimana orang-orang Indonesia sendiri memperlakukan “pembantu” mereka? Karena berdasarkan berita-berita yang dimuat di surat kabar, banyak juga “pembantu” rumah tangga di Indonesia yang diperlakukan tidak jauh beda dari budak.
Mengapa aku menggunakan tanda petik di antara kata “pembantu”? Jurnal Perempuan nomor 39 dengan tajuk “Pekerja Rumah Tangga” terbit Januari 2005 dalam kolom “Kta dan Makna” menuliskan penggunaan kata “Pekerja” untuk mengganti kata “Pembantu” yang mulai diadopsi oleh beberapa rancangan peraturan daerah Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta versi Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) misalnya, mendefinisikan PRT sebagai “Orang yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah”. (JP no 39 halaman 94).
Seberapa pentingkah penggantian kata “pembantu” menjadi “pekerja” dalam upaya memperbaiki perlakuan para majikan kepada orang yang mereka pekerjakan di rumah?
Kita tidak bisa melupakan peninggalan kaum feodal kolonial dengan budaya “ngenger” atau numpang hidup terutama dalam tradisi Jawa yang membuat PRT seolah-olah harus tahu diri dan rela berkorban lebih banyak kepada majikan. Contoh kehidupan para kawula alit yang ngenger kepada para kaum priyayi bisa dibaca dalam novel “Para Priyayi” tulisan Umar Kayam. Salah satu tokoh sentral dalam novel ini bernama Lantip alias Wage, seseorang yang berasal dari sebuah desa pelosok yang merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan ngenger di rumah keluarga Sastrodarsono, seorang priyayi. Keluarga Sastrodarsono ini menyekolahkan Lantip, sebagai “upah” Lantip mengabdikan diri kepada keluarga tersebut. Sedangkan novel yang berjudul “Pengakuan Pariyem” tulisan Linus Suryadi Ag menyampaikan rumitnya nasib seorang “pembantu” rumah tangga perempuan yang merasa tidak sepantasnya menolak manakala majikan laki-lakinya ingin mendapatkan “pengabdian yang lebih” dari Pariyem.
Kembali ke kata pembantu versus pekerja. Kata “pembantu” berasal dari kata “membantu”, kata “membantu” ini biasanya berkonotasi melakukannya secara suka rela sehingga tidak adanya upah yang dibayarkan merupakan sesuatu yang lumrah. Berbeda dengan kata “pekerja” yang mengacu ke kata “bekerja” yang tentu menyiratkan ada sejumlah uang yang harus dibayarkan setelah pekerjaan selesai dilakukan.
Sangat disayangkan, menurutku pribadi, talkshow yang bertujuan mulia ini melupakan bahwa kata PRT tak lagi merupakan kepanjangan dari pembantu rumah tangga melainkan pekerja rumah tangga. Sehingga sosialisasi kata PEKERJA sebagai ganti kata “pembantu” kurang masuk ke para pengunjung Waroeng Semawis.
Beberapa pertanyaan yang datang dari para pengunjung, salah satunya tidak setuju bahwa anak-anak yang memperlakukan PRT dengan tidak semestinya karena menirukan apa yang dilakukan oleh orang tuanya, melainkan karena anak-anak itu meniru adegan-adengan yang ada di sinetron televisi.
Rieke menjawabnya dengan mengatakan seharusnya kita tidak lupa bahwa anak-anak itu ada di bawah pengawasan orang tua dalam menonton acara televisi. Orang tua yang perhatian kepada apa yang ditonton oleh anak-anaknya, sesibuk apapun mereka dalam pekerjaan mereka, sebaiknya mengontrol tingkah laku anak-anaknya, terutama ketika mereka sudah mulai mniru apa yang mereka lihat dari televisi.
Menurutku sendiri seorang anak akan benar-benar “belajar” atau meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, apa yang ada di depan matanya, daripada apa yang ada di layar kaca. Seandainya orang tua memberi contoh yang baik bagaimana meperlakukan PRT, anak-anak akan mudah menirunya. Jika ternyata contoh yang baik ini “dikotori” oleh adegan dalam sinetron televisi yang tidak mendukung pendidikan yang baik kepada masyarakat, sekali lagi, merupakan tugas orang tua untuk mengingatkan anak-anaknya.
Pertanyaan lain yang datang lebih cenderung kepada kiprah televisi—terutama dengan sinetron-sinetron yang tidak memberikan pendidikan dengan semestinya—dalam membentuk pribadi masyarakat. Aku melihatnya sudah jauh melenceng dari topik utama talkshow. Seperti yang kutulis dalam postingan yang berjudul “media dan budaya”, program-program di televisi adalah produk para pemilik modal yang kebanyakan lebih mementingkan keuntungan bagi diri mereka sendiri, dengan dalih, “Memproduksi program yang diminati masyarakat” daripada “memproduksi program yang mendidik masyarakat dengan secara tidak langsung menggurui”.
Here is the picture of the crowd.

Setelah hadirin melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan topik utama, aku dan adikku langsung kabur dari tenda utama Waroeng Semawis. Capek bo’ berdiri melulu. LOL.
PT56 16.16 230907

Sabtu, September 22, 2007

Mini Market Supermarket Hypermarket

Tatkala menulis artikel yang kuberi judul “hypermarket” di blog http://serbaserbikehidupan.blogspot.com aku ingat salah satu supermarket yang menurutku lumayan cepat perkembangannya semenjak pertama kali hadir di Semarang, tahun 1987 kalau tidak salah.
ADA Supermarket pertama kali didirikan oleh si pemilik di sebuah tanah yang tidak begitu luas, di Jalan Sugiyopranoto, sekitar 4 km ke arah Barat dari Simpang Lima, pusat keramaian di Semarang, sekitar 500-600 m dari pasar tradisional Bulu yang terletak tak jauh dari areal Tugumuda. Di belakang ADA Supermarket ada perkampungan kelas menengah ke bawah yang disebut Kampung Bulustalan.
Seperti kebanyakan orang yang memperkirakan bahwa DP Mall—hypermarket baru di Jalan Pemuda sekarang—akan mematikan para pedagang kecil di perkampungan di seputar daerah DP Mall, di awal beroperasinya ADA Supermarket, akupun berpikir sama. Kasihan para pedagang yang bermodal lemah, terutama yang berada di sekitar daerah Bulustalan. Orang-orang tentu akan lebih senang berbelanja di ADA Supermarket yang tentunya lebih nyaman karena AC, dan bergengsi (istilah ‘supermarket’ pada saat-saat itu merupakan satu tempat bergengsi untuk berbelanja, istilah ‘hypermarket’ masih di awang-awang.)
Namun seperti yang telah kutulis di postingan ‘hypermarket’, yang kukhawatirkan tidak menjadi nyata. Memang ADA Supermarket ramai dikunjungi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar—Bulustalan, Lemah Gempal, Penaton, Bulu Magersari, dsb—hal ini tidak serta merta mematikan warung-warung kecil yang ada di dalam areal perkampungan. Warung-warung kecil tersebut tetaplah memiliki pelanggan yang tidak dengan mudah pindah ke lain hati—ke ADA Supermarket yang notabene lebih terkesan modern. Yang terlihat adalah orang-orang dari daerah sekitar tatkala berkunjung ke ADA hanya sekedar untuk sightseeing, untuk sekedar ‘ngadem’ merasakan AC di tengah panasnya hawa udara Semarang. Namun untuk belanja, mereka tetap lebih suka ke warung-warung kecil di sekitar tempat tinggal mereka. Penyebabnya mungkin seperti yang kutulis di ‘hypermarket’, di warung-warung kecil itu mereka bisa membeli dalam jumlah terbatas, semisal beras satu kilogram, gula pasir setengah kilogram, dll, jumlah yang tidak tersedia di ADA, selain jarak yang memang bisa dijangkau hanya dalam hitungan langkah kaki.
Para pedagang yang berjualan di pasar Bulu juga terlihat adem ayem saja. Jikalau pun ada pedagang yang berkurang pelanggannya—misal Toko ‘Dewi’ yang berjualan buku-buku tulis, alat-alat tulis, dll tidak melulu ADA bisa dijadikan kambing hitam, karena di daerah sekitar banyak juga bermunculan toko-toko yang khusus berjualan stationery. Apalagi dengan berdirinya Universitas Dian Nuswantoro di dekat Tugumuda, banyak toko-toko sejenis yang sekaligus merupakan fotocopy center bermunculan.
Beberapa tahun terakhir—menjelang didirikannya hypermarket DP MALL, kuperhatikan mulai muncul mini market-mini market yang menawarkan cara belanja yang ‘swalayan’ (toko atau warung tradisional biasanya tidak menawarkan cara ‘swalayan’), misal INDOMARET DAN ALFAMART. Mini market ini yang mungkin lebih menyaingi warung-warung maupun toko-toko kecil yang ada di daerah perkampungan, karena mereka dibangun di daerah perkampungan. Mereka menggunakan cara ‘menjemput pelanggan’ daripada ‘menunggu pelanggan’. Jam operasi mereka pun lebih panjang dibandingkan supermarket maupun hypermarket, yakni pukul 07.00 sampai pukul 22.00. Di bawah ini adalah gambar INDOMARET yang terletak di perkampungan Pusponjolo.

Di bawah ini adalah gambar ALFAMART yang terletak di Jalan Suyudono, tak jauh dari Kampung Lemah Gempal dan Bulustalan, yang berarti tidak jauh dari ADA Supermarket.

Pengalamanku berbelanja di ADA Supermarket tanggal 2 September setelah DP Mall diresmikan tanggal 31 Agustus 2007 kemarin, tidak ada antri di depan kasir seperti yang biasa kualami jika berbelanja pada ‘tanggal muda’. Pada hari yang sama, di depan DP Mall terjadi tumpukan kendaraan yang repot mencari tempat parkir. Sekilas nampak ‘penyedotan’ konsumen dari supermarket-supermarket lain ke Carrefour yang terletak di DP Mall.
Kiat apa yang dilakukan oleh ADA untuk menghadapi ‘kaburnya’ para konsumen mereka? Di koran Suara Merdeka, ADA mulai gencar beriklan mempromosikan harga-harga barang tertentu yang selama ini jarang mereka lakukan. Selain itu, para kasir di ADA pun diwajibkan untuk selalu tersenyum kepada pelanggan dan mengucapkan terima kasih setelah pelanggan membayar. Di dekat kasir ada tulisan, “Satu gantungan kunci gratis untuk anda bila kasir kami lupa mengucapkan ‘terima kasih’”.
Di bawah ini gambar ADA Supermarket diambil 2 September 2007.

Beberapa minggu setelah DP Mall diresmikan, ternyata hypermarket ini menuai banyak protes, mulai dari Jalan Pemuda yang semakin padat dan mengakibatkan macet mulai dari masuk Jalan Pemuda sampai Ruko Pemuda Mas, yang terletak di sebelah utara DP Mall, tempat parkir yang kurang memadai untuk para pengunjung, juru parkir yang kurang membantu para pengunjung mencari tempat parkir, harga yang tidak sesuai dengan yang dituliskan dalam ‘katalog’, dll.
Hidup terus berjalan. Tidak ada yang tidak berubah dalam hidup ini. Kita sebagai orang awam, cukup memandang perang supermarket versus hypermarket ini, sembari menikmati kemudahan berbelanja yang ditawarkan oleh para pemilik modal, sekaligus mungkin ikut meratapi matinya beberapa supermarket. Di Semarang, supermarket ‘Micky Mouse’ yang di tahun 1980-an berjaya, sekarang hanya tinggal cerita.
PT56 20.13 210907

My Spiritual Journey



Berikut adalah salah satu point obrolan antara Ade Armando dan Ulil Abshar Abdalla yang beredar di milis JIL beberapa waktu lalu.

 

AA: Jadi semakin Anda di AS, Anda semakin sekuler

Ulil: Hmmm saya rasa saya semakin mengapresiasi.

 

Apapun istilah yang digunakan oleh Ulil ‘semakin mengapresiasi’ ataukah yang lain, namun pada prinsipnya aku setuju dengan kata yang digunakan oleh Ade Armando: ‘semakin sekuler’.

 

Perjalanan spiritual yang mungkin agak mirip terjadi padaku beberapa tahun lalu (bukannya aku ingin sok agar ikut terkenal seperti Ulil nih. LOL.) yakni tatkala aku mulai kuliah di American Studies UGM, mengambil jurusan ‘American Literature and Culture’. Satu hal yang bagiku menggelikan tatkala aku membaca tulisan William Bradford bahwa orang-orang Amerika adalah “the chosen people”, sedangkan John Winthrop dalam pidatonya “A Model of Christian Charity” mengatakan bahwa bangsa Amerika telah dipilih oleh Tuhan untuk membangun “the city upon a hill” yang akan memimpin dunia. Bradford dan Winthrop adalah dua imigran dari Inggris di awal abad ke 17.

 

Mengapa menggelikan bagiku? Aku ingat diskusi ‘panas’ antara aku dan Rick, my special Californian chat friend beberapa tahun sebelumnya. Rick menganggap keyakinanku sebagai ‘the chosen person’ karena aku adalah seorang Muslim menggelikan. “Would you be a Muslim if you had been born here, in America?” tanyanya. Bagaimana mungkin orang Amerika yang dikenal sebagai pemuja hedonisme adalah ‘the chosen people’ yang dipilih Tuhan untuk membangun satu negara untuk memimpin dunia?

 

Tepat tatkala aku merasa ‘geli’ dengan tulisan Bradford dan Winthrop, aku ingat Rick yang juga menganggap keyakinanku menggelikan. What is the difference? Pertama kali aku mendapatkan kesadaran bahwa agama yang kuyakini sejak lahir adalah agama yang paling sempurna, yang berarti tidak ada cacatnya sama sekali, yang harus pula diyakini oleh seluruh manusia di seluruh kolong langit adalah sesuatu yang berangkat dari cara berpikir yang sangat sempit.

 

Kesadaran awal ini menjadi pijakan bagiku untuk ‘membangun’ cara berpikir baru yang bagiku membuatku justru merasa lebih manusiawi, menghormati keyakinan yang berbeda dariku, dan mempraktekkan toleransi dengan sebagaimana mestinya.

 

Berkenalan dengan ideologi feminisme dan membaca buku-buku feminisme yang ditulis berangkat dari kerangka cara berpikir orang Islam semakin meyakinkanku bahwa tidak ada kebenaran absolut akan satu keyakinan. Membaca interpretasi-interpretasi ‘baru’ atas ayat-ayat Alquran menyadarkanku bahwa ajaran ‘Alquran tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat nanti karena akan selalu dijaga oleh Allah’ tidak berarti sama dengan ‘tafsir-tafsir Alquran yang telah dibuat oleh para mufassir selama ini tidak mungkin salah’.

 

Jika waktu aku kuliah, mendapati bagaimana orang-orang di zaman dulu yang tidak memahami bahasa Latin maupun Ibrani kemudian bertumpu kepada para pendeta maupun pastor untuk memahami Alkitab adalah sesuatu hal yang ‘menggelikan’ pula (waktu kuliah aku geli melulu nih? LOL), bukankah ternyata aku dan sebagian besar orang Islam di Indonesia ini melakukan hal yang sama? Bertumpu pada tafsir-tafsir yang telah dibuat oleh para mufassir untuk memahami ayat-ayat Alquran. Repot belajar bahasa Arab sendiri. Dan tatkala membaca terjemahan Alquran, berdasarkan teori THE ACT OF READING yang kupelajari, selalu ada kemungkinan terjemahan Alquran itu telah dimasuki oleh cara berpikir sang penerjemah. (Untuk ini, Fatima Mernissi dan Riffat Hassan telah menulis sebuah buku yang berjudul SETARA DI HADAPAN ALLAH (terjemahan) yang mengupas habis satu ayat (saja) untuk menyampaikan bahwa cara menafsirkan satu ayat yang dilatarbelakangi oleh misoginis akan menghasilkan tafsir perempuan sebagai the second sex. Lepas dari misoginis, ayat yang sama akan menghasilkan tafsir yang berbeda.)

 

Tatkala ada orang bertanya kepadaku, “How could your study change you radically?”

 

Untuk menjawab pertanyaan ini mungkin aku bisa menyitir apa yang dikatakan oleh Ulil yang berhubungan dengan Al Ghazali yang banyak orang kenal sebagai anti filsafat,

 

AA: Mengapa terjadi salah penafsiran terhadap orang-orang seperti Al Ghazali?

 

Ulil: Salah satu kendala adalah kita sendiri memblok pemahaman kita. 

 

Dulu saya juga begitu. Di semester awal, saya masih membawa sikap untuk memilih-milih. Kalau ada buku yang kira-kira tidak liberal, saya mau mempelajarinya. Misalnya saja, karena saya sudah begitu percaya bahwa Al Ghazali antifilasafat, saya jadi tidak mempelajarinya. Ada banyak buku yang semula saya nilai sudah pasti tidak mengajarkan apa-apa, ya tidak akan saya baca. Tapi kemudian saya bilang pada diri saya, saya tidak bisa terus begini kalau mau belajar secara benar. Saya harus singkirkan blok-blok itu. Baru kemudian saya bisa lebih santai membaca buku-buku klasik. Pada saat itulah saya menemukan bahwa ada banyak kemungkinan dalam membaca tradisi.

 

Guru Al Ghazali, misalnya, Al-Haramain, memiliki sikap realistis mengenai pemisahaan kekuasaan antara otoritas politik dan agama. Dia sendiri hidup dalam sebuah masa di mana kekuasaan spiritual ada di tangan khalifah, yang misalnya diwujudkan dalam bentuk menjadi imam Shalat Jumat, tapi penyelenggaraan kekuasaan sehari-hari berada di tangan panglima perang. Al-Haramain menulis risalah berisikan teori politik tentang pemilahan tersebut. Saya semula skeptis mengenai dia. Tapi setelah membaca karyanya, saya melihat dia sangat realistis tentang isu pembagian kekuasaan ini. Jadi, bisa dikatakan gagasan tentang sekulerisme pun dikedepankan olehnya.

 

AA: Kenapa warisan tradisi yang kaya ini tidak sampai ke kelompok muslim saat ini.

 

Ulil: Karena mereka tidak baca. Kedua karena tidak punya kemampuan membaca. Untuk membaca karya-karya klasik ini, memang berat. Anda berhadapan dengan teks kuno yang mungkin nampak tidak nyambung dengan keadaan sekarang. Kalau orang tidak dibekali dengan alat untuk menganalisis, sulit sekali untuk memahami substansi teks tersebut. Perlu ketabahan sendiri untuk mempelajarinya. Kalau saya membacanya sebelum saya berangkat ke sana, mungkin teks-teks itu pun tidak akan berbunyi apa-apa. Tapi begitu kita membacanya dengan kerangka analisis tertentu, menarik sekali. Banyak peminat Islam di Indonesia ini tidak memiliki akses ke sumber-sumber klasik ini. Dan kalaupun punya, mereka tidak memiliki lensa yang dibutuhkan untuk membaca teks-teks tersebut sehingga memiliki makna.

 

 

Jika aku mengacu kepada apa yang dikatakan oleh Professor Chamamah, dosen ‘Teori Sastra’, tatkala seseorang menganalisis satu karya sastra, dia akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dan the knowledge he/she stores in his/her brain. Jika boleh kutambahkan lagi, ‘waktu yang tepat’.

 

Hasilnya? Nana yang sekuler. Atau seperti kata yang digunakan oleh Ulil, “Nana yang semakin mengapresiasi perbedaan yang ada di masyarakat”. Lebih lanjut tentang sekulerisme, Ulil mengatakan:

 

“Satu hal yang saya lihat adalah bahwa sekulerisme itu akan sangat dirasakan manfaatnya ketika Anda menjadi minoritas. Ketika Anda mayoritas, Anda tidak benar-benar menyadari manfaatnya. Orang2 Islam di AS saya rasa pelan-pelan mengakui betapa enaknya hidup dalam sebuah negara yang menganut sekulerisme, daripada kalau AS pelan-pelan menjadi negara Kristen sebagaimana yang diagendakan kaum Evangelical. Saya rasa kaum Islam akan mengapresiasi renaissance, persis karena mereka di sana. Sekulerisme di AS kan bukan hostile secularism melainkan religion-friendly secularism. Karena itu terpaan sekulerisme pada kaum Islam sebagai minoritas itu penting sekali.”

 

Saat aku terheran-heran dengan seorang dosen senior—non Muslim—di sebuah universitas negeri di Semarang yang di mataku terlihat betapa sempit dia memandang perbedaan agama di lingkungan dia bekerja, padahal dia mendapatkan gelar doktornya di luar negeri, “Bagaimana mungkin seseorang yang bright seperti dia terlihat begitu picik dalam menyikapi dosen-dosen lain yang berbeda agama?” akhirnya aku harus kembali ke tiga hal penting yang kutulis di atas, “pengalaman hidup, knowledge she keeps in her brain, dan waktu yang tepat” tidak menghampirinya untuk menjadi seseorang yang broad-minded dan open-minded dalam hal agama.

 

Semua orang memang menjalani pengalaman hidup yang berbeda. Semua orang pun mengalami proses ‘renaissance’ yang berbeda pula.

 

PT56 22.15 210907

Kamis, September 20, 2007

Women Writers

Dedication of the Cook
Anna Wickham
(1884-1947)
If any ask why there’s no great She-Poet,
Let him come live with me, and he will know it:
If I’d indite an ode or mend a sonnet,
I must go choose a dish or tie a bonnet,
For she who serves in forced virginity
Since I am wedded will not leave me free;
And those new flowers my garden is so rich in
Must die for clammy odors of my kitchen.


We all know that one good impact of the second wave of women’s movement in 1960s is the “awakening” of women writers. Many literary works written by women writers in the previous decades and centuries have been dug out again and republished so that they can be read again by the following generation of readers. Some names ‘resurrected’ by this women’s movement, for example, are Charlotte Perkins Gilman, Kate Chopin, Anna Wickham, etc. Those names, then, accompanied some other women writers who have been long acknowledged before, such as Jane Austen, George Eliot, Emily Dickinson, etc.
As one proof that women critics are serious to boost women’s works is the publication of The Norton Anthology of Literature by Women by Sandra Gilbert and Susan Gubar as the company of The Norton Anthology of American Literature, The Norton Anthology of English Literature, and some other anthologies published by W.W. Norton & Company, Inc.
It is indeed undeniable that the impact of women’s movement is more and more women have career outside home, not just become the angel of the house, or the doll of the house. More and more women are economically independent. They can choose any profession they are attracted to do, and not just be a homemaker, doing household chores, ranging from cooking, sewing, cleaning the house, doing the laundry, until serving the husband. They have more time to do anything they like.
If this is related to the first stanza of Wickham’s poem above, it is understandable why in the past women couldn’t become a great poet, such as William Wordsworth from England, or Walt Whitman from America; couldn’t become a great dramatist such as William Shakespeare. In the past, most women were busy doing the “burden” given to their shoulder, such taking care of their children to prepare them as the good following generation to lead the country, cooking the best food coz the children needed good nutrition, taking care of their husband who were busy doing their business outside home. How could they have time to write good poems or plays or novels? We know that great women writers such as George Eliot, the Bronte’s sisters, and Emily Dickinson were never married during their lifetime.
In this twenty first century, where writing is no longer exclusively “occupied” by men, I am pretty sure that there will be more and more women writers born. In her A Room of One’s Own, Virginia Woolf stated that “Books continue each other.” There will be no more “mainstream” literature defined by men only. No more women need to use male pseudonym (just like George Eliot or the Bronte’s sisters) only to make their writings accepted by society.
For myself, thanks to blog technology that has made me a writer. :)

KPDE 12.29 200907

Sastrawan vs Sastrawan

Beberapa bulan lalu, seorang teman—sebut saja namanya Celia—yang sekarang sedang menimba ilmu di Kansas University mengambil jurusan “English Literature” di tingkat Master’s Degree menelponku. Celia sebenarnya telah menyelesaikan studinya di jenjang Magister jurusan “Susastra” di Universitas Diponegoro. Untuk tesisnya waktu itu dia meneliti “Lady Chatterley’s Lover” karya D.H. Lawrence dengan berangkat dari teori feminisme dalam memandang konflik dalam diri Lady Chatterley. Di telpon dia bercerita tentang salah satu tesis yang dia baca dengan topik yang mirip dengan tesisnya di Kansas University. Yang membuat Celia sangat tertarik adalah penemuan si penulis tesis akan adanya anal sex yang dilakukan oleh Lady Chatterley dengan kekasih gelapnya.
“How brilliant the writer of the thesis is. She could come to that conclusion only from what the lady’s lover said, ‘I love and admire your ass.’ And when remembering again the whole story, i couldn’t agree more with her in this part.”
Kemudian aku bertanya kepadanya,
“If you had come to that conclusion too in your research, would you write that in your thesis?”
Celia terdiam beberapa saat dan akhirnya mengatakan,
“Maybe not. I am too shy to write such a thing in my thesis.”
I commented,
“You got my point there. You know it is all because of our eastern culture. Even in doing scientific research, we oftentimes have to consider which is taboo and which is appropriate to write. And I remember what you said about your thesis advisor who was a flirt. I related his being flirt to you with the topic of your thesis—a woman’s right to get her happiness by having a secret lover because she did not love her husband. With your viewing it from feministic perspective, your thesis advisor viewed you differently too. I was quite sure that he was just a patriarchal man who believed in the stereotyping of good women and bad women.”
And due to that, Celia gave me a compliment, “That’s why I always think that you deserve more to be here, to get this scholarship, than me. You are more alert than me.” LOL.
Di awal penerbitan Lady Chatterley’s Lover, publik pun mengecamnya sebagai karya sampah dari seorang novelis terkenal yang hanya memaparkan pornografi semata. Menghadapi tuduhan tersebut, Lawrence berargumen:

“The mind has an old grovelling fear of the body and the body’s potencies. It is the mind we have to liberate, to civilize on these points. ... I stick to my book and my position: Life is only bearable when the mind the body are in harmony, and there is a natural balance between them, and each has a natural respect for the other.”

Membaca debat kusir di milis tentang sastrawan versus sastrawan beberapa hari terakhir ini mengingatkanku pada perbincangan pendek antara aku dan Celia ini. Begitu mudah orang menjatuhkan ‘predikat’ yang biasanya ditujukan kepada satu kelompok penulis lain yang tidak ‘sealiran’—misal, sastra wangi, sastra lendir, atau mungkin karya murahan untuk menaikkan pamor. Orang-orang yang merasa lebih berhak untuk menyandang predikat ‘sastrawan’ dan mem-blacklist kelompok lain. Dan untuk berpolemik masalah seperti ini, emosi pun ikut berbicara. Mungkin memang benar apa kata Abang, keadaan Indonesia yang sedang ditimpa beragam masalah telah membuat orang-orang—termasuk para ‘sastrawan’—untuk membiarkan emosinya tersulut secara tak terkendali.
Mengacu ke tulisan yang kupost sebelum ini, biarlah masyarakat yang akan menjatuhkan pilihan, karya sastra macam mana yang akan mereka baca
PT56 11.11 200907

High Literature vs Popular Literature

In “Popular Literature” class—when I was a student at American Studies Gadjah Mada University majoring ‘American Literature and Culture’—my classmates and I used to have lively discussion on “dichotomy” of popular literature—often considered as low quality literature—versus high-brow literature. Why should this dichotomy exist? Who has privilege to decide which kind of literature is considered pop and which is high? And why should some people feel that they have that privilege?
Some literary critics said that when a work was produced only to follow what public wanted to read—just for fun or entertainment, no “deep meaning” under the surface of the story—then it would be categorized into “pop literature”. In addition to that, people also said the work was only for commercial’s need, because the writer needed money when writing. On the contrary, when a work was produced not only to follow public’s needs, it was written more to fulfill the writer’s ambition to communicate “something important” to readers, so that the work had “deep meaning”, then the work could be categorized into “high-brow literature”.
However, when talking about Jack London’s works, who would say that his works do not have deep meaning whereas London himself said that he wrote them only for money? Literary critics even classified London’s works into high-brow literature.
Besides that, critics said that the parameter of high-brow literature was when one work deserved to be included into canon. The canon here usually refers to “big anthologies” such as Norton Anthology, Heath Anthology, etc. Again, I want to ask, who has privilege to select which works to be included into those anthologies?
The publication of THE NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN can be considered one way of women’s struggle to include women’s works into high-brow literature. In the ‘preface’ of its first edition published in 1985, Sandra M. Gilbert and Susan Gubar wrote:

“… no single anthology has represented the exuberant variety yet strong continuity of the literature that English speaking women have produced between the fourteenth century and the present. In the NORTON ANTHOLOGY OF LITERATURE BY WOMEN, we are attempting to do just that.”

“Complementing and supplementing the standard Norton anthologies of English and American literature, NALW should help readers for the first time to appreciate fully the female literary tradition which, for several centuries, has coexisted with, revised, and influenced male literary models.”


Furthermore, in the sixth edition of The Norton Anthology of American Literature appearing in the beginning of the twenty first century, Nina Baym, the general editor, stated in the preface:

“That the “untraditional” authors listed above have now become part of the American literary canon shows that canons are not fixed, but emerge and change.”

It can be included that in the long run dichotomy of pop and high literature will disappear peacefully. It is up to public to value and to choose which works they will read. I am of opinion that in society where people are mature enough to choose which works to read, bad writings will be left behind.

P.S.: This article was written to ‘answer’ my Abang’s challenge, related to the hot topic on the polemic of two sides—the community of TUK versus the community that is against it.PT56 21.40 190907

Minggu, September 16, 2007

Debat Agama

Aku punya seorang teman yang cukup akrab yang kebetulan beragama Katolik (if I am not mistaken. Aku belum pernah bertanya kepadanya apakah dia seorang Kristen Protestan atau Kristen Katolik. Anyway, it is not really important for me. ) Persahabatan kita berlangsung selama beberapa tahun, tanpa kita pernah memperbincangkan tentang perbedaan agama yang kita anut. Dia pindah ke sebuah kota di Jawa Barat pada tahun 2003. Sebut saja namanya Dita.
Semenjak berpisah dengannya, aku mengalami perubahan dalam prinsip hidup yang sangat signifikan, yang tidak pernah dia kira sebelumnya: aku menjadi seorang feminis yang taat (instead of using the term ‘radical’, my Abang doesn’t really like it. And due to his coming into my life, our long and continuous discussion has made me realize that I am not a radical feminist.) dan seorang sekuler.
Di tahun 2005, aku iseng mengirimi Dita sebuah email yang berisikan kontemplasi, dimana aku menulis

“When I was a little, my elementary school teachers told me (and my classmates, of course), that Al-Quran will always be pure till the judgment day. Allah will keep it pure so that any effort to ‘change’ it will fail. It is contradictory from Bible that has undergone changes, from Old Testament to New Testament. There is Bible ‘written’ by Markus, Matthew, who else I don’t know. We deserve to question then whether Bible is really from God? Why is it ‘written’ by Markus and his friends? Why is not written by God? Not even by Jesus that Muslim people know as Isa?”

(untuk lebih lengkapnya, klik aja site berikut ini http://afeministblog.blogspot.com/2006/05/religious.html )
Email ini memang bukan kutulis untuk Dita, namun seseorang yang lain. Dan waktu aku mengirim email ini ke Dita, aku lupa untuk mengedit bagian yang ternyata cukup mengganggunya. Setelah membacanya, Dita mengirim sms ke aku, yang intinya ingin “meluruskan” apa yang kutulis di atas. Menyadari aku telah melakukan kesalahan—telah memasuki areal pribadinya—aku diam saja.
Tahun 2006, tatkala heboh masalah poligami seorang dai terkenal, Dita mengirim sms ke aku yang di mata seorang Muslim sekuler (namun ‘mantan’ seorang relijius taat) sepertiku cukup mengganggu. Aku lebih memilih untuk tidak membalas smsnya, meskipun dalam rangka “meluruskan” pendapatnya yang salah sebagai seseorang yang awam agama Islam.
Hal ini kemudian kuceritakan kepada Abang yang langsung memberikan ‘wejangan’, “Makanya Na, bersabahat dengan orang beragama lain, that’s fine, but you had better not touch religion, because possibly it can ruin the friendship. This is a very crucial sphere.” (FYI, aku dan Abang pun berbeda agama, berbeda etnik, yang membuat kita memiliki background yang berbeda pula.)
*****
Ketika membaca diskusi—atau debat—tentang ‘aurat’ di sebuah milis yang kuikuti (dan kutengarai membernya para scholar di bidang masing-masing), aku mendapati seseorang yang tersinggung—sort of—karena seseorang yang non Islam mempertanyakan apa pentingnya mempermasalahkan aurat, karena toh itu hanya bikin-bikinan kaum laki-laki saja (menurutku agama selalu dikonotasikan sebagai masculine sphere rather than feminine one, karena kebanyakan agama yang mampu menancapkan kukunya di tengah masyarakat lebih sering mengacu ke kepentingan kaum pemuja phallocentrism). Untuk itu, ada seorang member yang menawarkan ide

“hanya orang kristen yang boleh mengkritik agama kristen, hanya orang islam mengkritik islam, hanya ahmadiyyah mengkritik ahmadiyyah, hanya taliban mengkritik taliban, hanya orang jerman kuno yang boleh mengkritik thor, odin dan jord (dan agnostik serta atheis tidak bisa mengkritik karena mereka tidak beriman)”.

Hal ini mengingatkanku pada friksi yang sempat hadir antara aku dan Dita setahun yang lalu. Semenjak itu aku memang lebih memfokuskan diri untuk kritis hanya kepada agama yang kuanut, justru karena aku mengimaninya, dan bukan ke agama lain, karena toh aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu.
Nevertheless, aku sangat senang ketika mendapati seorang member milis beragama non Islam—yang kutengarai seorang expert dalam agamanya—menulis

“tidak seperti Alquran, Alkitab mengalami perubahan. bukan cuma sekali, sudah puluhan kali. di sebelah saya tergeletak the New American Bible, Saint Joseph edition. di kitab itu tersodor sejumlah perubahan, dan sederet tafsir baru. terlepas dari -apakah- saya setuju dengannya, saya memeluk Bible itu karena saya merasa bahwa Tuhan sungguh menghargai saya; bahwa Tuhan tak pernah menganggap saya batu; bahwa di mata Tuhan, manusia adalah perjalanan yang belum selesai.”

Perbincangan tentang agama yang dilakukan dengan kedewasaan penuh dan kelapangan dada memang selalu menarik bagiku. Namun bukan dalam bentuk debat kusir yang menjelek-jelekkan agama lain—tanpa memahami latar belakang mengapa satu peraturan hadir dalam satu agama, dan tidak ada di agama lainnya. Di mataku hal ini justru menunjukkan betapa dangkal pengetahuan seseorang tentang hal yang yang dia kritik.
PT56 12.38 160907

Aurat

Di beberapa milis yang kuikuti, orang-orang sedang hangat-hangatnya memperbincangkan tentang ‘aurat’. Apa sih ‘aurat’ itu?
Ketika aku masih duduk di bangku SD (alias madrasah ibtidaiyah), aku diajari bahwa ‘aurat’ seorang perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah; sedangkan untuk laki-laki, ‘aurat’ yang harus mereka tutupi hanya berkisar dari pusar sampai lutut. Hal ini berarti, perempuan hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangannya, dan untuk laki-laki, orang-orang bisa melihat kepala secara keseluruhan, leher, pundak, lengan, dada, sebagian perut bagian atas (yang di atas pusar), dan kaki, mulai dari lutut ke bawah.
Mengapa perempuan harus menutup hampir seluruh tubuhnya?
Konon, bagian tubuh perempuan yang lain, mulai dari rambut, leher, tengkuk, telinga, dan lain-lainnya akan mudah membangkitkan gairah laki-laki—yang heteroseksual tentu saja; seingatku dalam agama Islam, jenis kelamin yang di’akui’ hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga mungkin yang dimaksudkan adalah semua laki-laki dianggap akan bangkit gairahnya tatkala melihat tubuh perempuan. Bila seorang laki-laki bangkit gairahnya, dia dikhawatirkan akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak diharapkan, mulai dari bersiul, menatap dengan kurang ajar, sampai menyenggol, menyentuh, meremas, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, KONON, untuk ‘melindungi’ kaum perempuan dari tindakan-tindakan yang tidak diharapkan itu, perempuan harus menutupi (atau memenjarakan?) tubuh indahnya di balik balutan pakaian yang tentu saja tidak boleh ketat. Hal ini juga untuk ‘melindungi’ kaum laki-laki agar tidak ‘terjerumus’ ke tindakan-tindakan yang akan membawanya ke panasnya api neraka. ‘Melindungi’ di sini tentu berbeda dengan ‘memenjarakan’ seperti apa yang terjadi kepada kaum perempuan.

Aku berkeyakinan bahwa definisi ‘aurat’ ini berhubungan sangat erat dengan dimana agama Islam pertama kali ‘lahir’, yakni di negara Arab. Jika dihubungkan dengan dua agama sawami besar sebelumnya, yang diimani oleh para pemeluk agama Islam sebagai agama pendahulu mereka, Kristen dan Yahudi, dua agama inipun ‘lahir’ di jazirah Arab, yang tentu saja cara berpakaiannya tidak jauh berbeda, menutupi hampir seluruh tubuh.
Aku ingat beberapa tahun lalu pernah mendapatkan pertanyaan ‘iseng’ namun menggelitik dari seorang teman—a male, non believer, from California, “Seandainya agama Islam tidak lahir di Arab, namun di Indonesia, apalagi jika turun di daerah Papua dimana konon penduduk asli hanya mengenakan koteka, apakah menurutmu ‘aurat’ yang harus ditutupi tetap sama—yakni seluruh tubuh?”

Setelah semakin banyak membaca tentang kisah-kisah manusia yang hidup di zaman dahulu, untuk melepaskan diri dari indoktrinasi yang kuterima di waktu kecil dari guru-guru agama, zaman dimana konon laki-laki perempuan setara, tak ada pemisahan ranah publik dan ranah domestik, zaman yang mungkin belum mengenal adanya agama samawi, aku mendapati laki-laki perempuan konon memakai pakaian yang sama minimnya, tidak perlu adanya ‘pemenjaraan’ kepada kaum perempuan, maupun ‘perlindungan’ kepada kaum laki-laki agar terhindar dari hasrat-hasrat seksual, sehingga aku setuju saja bahwa ‘aurat’ ini sangatlah berbau kultural. Peraturan ‘aurat’ ini hanyalah untuk semakin memenjarakan kaum perempuan, dan pemanjaan kepada kaum laki-laki.

Itulah sebabnya aku setuju bahwa permasalahan ‘aurat’ ini hanyalah main-main belaka. Aku juga setuju jika seorang perempuan memprotes mengapa hanya kaum laki-laki yang ‘dilindungi’ dari letupan hasrat seksual manakala mereka melihat tubuh perempuan. Mengapa kaum perempuan tidak dilindungi pula dari hasrat seksual mereka? Bukankah banyak pula kaum perempuan yang menjadi berhasrat tatkala mereka melihat laki-laki bertelanjang dada? Melihat lengan yang berotot hasil olah tubuh?
LL 15.33 150907

Jumat, September 14, 2007

Beragama Secara Sosial

Beragama secara sosial, sebetulnya, menyalahi sejarah kelahiran agama itu sendiri. Hampir sebagian besar agama lahir karena sikap yang resisten terhadap praktek sosial yang ada. Dengan kata lain, sejarah kelahiran agama adalah sejarah penyimpangan dari norma yang berlaku. Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu. (Ulil Abshar-Abdalla)

Tatkala membaca kalimat di atas, di satu milis yang kuikuti (topik utama sebenarnya adalah “mempertanyakan puasa”), aku teringat dua hal. Yang pertama tentang seorang teman kos waktu aku kuliah S1 dulu. Aku tinggal di sebuah kos yang terletak di Jalan Kaliurang Km 5. Jumlah penghuni kos sekitar 18 perempuan, rata-rata seusia denganku, atau lebih tua 2-4 tahun. Seingatku hanya ada satu di antara kita yang beragama Katolik.
Di antara yang beragama Islam, ada satu yang dengan konsisten tidak menjalankan ibadah shalat lima waktu. Aku dan kebanyakan temanku yang waktu itu cara berpikirnya masih seperti Fahri Anwar, LOL, tentu merasa sangat prihatin karena kita yakin tentu dia akan berteman dengan setan di neraka setelah hari kiamat nanti. Oleh karena itu, beberapa hal kita lakukan bersama untuk ‘menyentilnya’ agar dia mau menjalankan shalat lima waktu.
Pertama, kita memberi ‘mandat’ kepada teman sekamarnya (kebetulan dia menyewa kamar berdua, beda denganku yang hanya sendirian saja menyewa satu kamar) untuk menyentilnya. Bagaimana caranya? Temanku—sebut saja namanya Jujuk—membaca Alquran dan terjemahannya keras-keras setelah shalat Maghrib di kamar agar teman yang tidak shalat itu—sebut saja namanya Eva—mendengarnya. Jujuk dengan sengaja memilih ayat-ayat Alquran (terjemahannya) dimana (konon, bagi yang mengimani) Allah berfirman agar manusia menjalankan shalat lima waktu dengan teratur. Kalau tidak nerakalah tempatnya, dibakar bersama segala bentuk jin dan setan, kekal di dalamnya. Tentu saja kita bermaksud agar Eva takut dengan siksaan api neraka itu jika tidak shalat, sehingga dia akan shalat.
Apa yang terjadi setelah itu? Eva memilih ngeluyur di ruang TV atau ruang tamu tatkala waktu shalat Maghrib tiba dan dirasanya Jujuk akan ‘menyindirnya’.
Tidak berhasil dengan cara tersebut, aku dan teman-teman menggunakan cara lain. Waktu Eva merayakan ulang tahun, kita mengumpulkan uang untuk membelikannya satu hadiah. Tepat di hari ulang tahunnya, kita ajak dia jalan-jalan ke Kaliurang, sambil membawa berbagai macam makanan dan minuman, kita mengadakan pesta kecil untuknya. Di tengah-tengah acara makan-makan dan nyanyi, tak lupa kita serahkan kado ultah untuk Eva. Eva nampak senang. Namun setelah dia buka kado itu, wajahnya nampak sedikit kesal dan kecewa. Isinya: mukena dan sajadah!
Setelah balik ke kos, dia sempat komplain ke Jujuk, “Kenapa sih teman-teman kok gitu? Sudah tahu aku tidak shalat aku diberi mukena dan sajadah? Mubazir kan? Mending juga aku ga usah diberi apa-apa aku ga bakal tersinggung.”
Aku sudah lupa apa yang dikatakan Jujuk kepadanya.
Beberapa bulan kemudian, tatkala bulan Ramadhan datang untuk pertama kali kita menjalani puasa bersama di kos, aku dan teman-teman terheran-heran melihat Eva begitu antusias menyambut bulan Ramadhan. “Dia ga shalat, ngapain juga dia heboh begitu menyambut puasa?” pikir kita.
Ternyata Eva ikut menjalankan ibadah puasa bersama. Dia mengaku meskipun dia tidak shalat secara teratur, dia selalu menjalankan ibadah puasa, dan bolong hanya waktu dia sedang menstruasi saja. Wah! Jujuk sempat menegurnya dengan mengatakan, “Sia-sia saja puasamu kalau tidak dibarengi dengan shalat. Ibadah itu harus dijalankan bersama-sama, tidak bisa kamu memilih yang mana yang ingin kamu lakukan.”
Malamnya, tatkala kita rame-rame mau menghadiri shalat tarawih bersama di Gelanggang Mahasiswa UGM (waktu itu UGM belum punya masjid kampus yang megah itu, yang sekarang terletak di daerah Kuningan, sebelah Tenggara Fakultas Ilmu Budaya), ternyata Eva dengan malu-malu bilang dia ingin ikut bersama kita. Akhirnya mukena dan sajadah yang kita berikan kepadanya, dia pakai juga. LOL.
Beragama secara sosial, eh? Melakukan ritual agama karena tekanan sosial?
Satu tahun lalu, dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan, aku menulis sebuah artikel untuk mengingat masa kecilku di bulan Ramadhan. Tatkala aku post tulisan itu di blog http://afemaleguest.blog.co.uk dimana kebanyakan pengunjung berasal dari Eropa, seorang teman blog bertanya, heran, “Why did you teach Angie to do such a foolish thing? To starve yourself/herself? What’s the point?” Jika aku menjawab, “Agar masuk surga, atau agar terhindar dari api neraka” tentu aku akan ditertawakan olehnya. LOL. Jawabanku adalah, “I live in Indonesia, where social pressures to do religious teachings are very big. Later after Angie grows up and can use her own common sense, I let her choose what she wants to do. I don’t want her to be judged irreligous or evil or ‘naughty’ by her friends. I am still worried if her mental is not strong yet with that. Let her follow the mainstream first.”
Temanku masih heran, namun dia tidak mendesakku untuk memberikan jawaban yang mauk akal buatnya. LOL.
Hal kedua yang kuingat berdasarkan kalimat “Sejarah agama adalah sejarah "kekafiran", yakni kekafiran terhadap kebiasaan yang ada pada suatu waktu.”
Aku teringat waktu kuliah di American Studies dan mempelajari sejarah awal ‘terbentuknya’ negara Amerika. Para imigran “pertama” adalah kaum yang konon disebut ‘The Pilgrim” yang menaiki kapal Mayflower di awal abad ke-17. Di antara kaum “The Pilgrim” itu ada sekolompok orang yang menamakan diri mereka kaum “Puritan” yang memegang peran sangat penting dalam pembentukan awal koloni-koloni yang berjumlah 13 itu. Kaum “Puritan” ini terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya karena mereka merasa tidak bisa menjalankan agama yang mereka yakini dikarenakan raja Inggris yang sangat memaksakan agama yang dia anut untuk seluruh rakyat Inggris. Sejarah kaum Puritan ini bisa dikatakan sebagai sejarah “kekafiran” mereka terhadap agama yang diyakini oleh para penguasa Inggris di sekitar abad 16-17. Kediktatoran raja Inggris yang menganggap mereka sebagai Kaum Pembangkang/Pembelot atau “The Dissenter” membawa mereka ke the New Land yang “ditemukan” oleh Columbus beberapa abad sebelumnya. Kaum Puritan ini beralasan ingin mendapatkan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang meraka yakini.
Setelah berimigrasi ke Amerika, sayangnya mereka pun melakukan hal yang sama dengan raja Inggris, yakni sewenang-wenang kepada mereka yang tidak meyakini agama yang sama dengan mereka. Tidak hanya kepada “penduduk asli” yang mereka sebut suku Indian, juga kepada para imigran lain yang tidak meingimani kepercayaan kaum Puritan, kaum Puritan ini bertindak persis dengan raja yang mereka benci.
Kembali ke topik utama tulisan ini “beragama secara sosial”, kapankah manusia akan bersikap dewasa terhadap agama yang mereka anut, tidak memaksakan kebenaran absolut yang mereka yakini kepada orang lain, dan menghormati agama orang lain, juga menghormati orang lain yang memilih untuk tidak melakukan ritual agama apapun.
-- Nana yang (pernah) relijius karena tekanan sosial, dan sekarang memilih menjadi sekuler karena ‘fatwa’ dari dalam hati sendiri –
PT56 22.12 130907

Rabu, September 12, 2007

My Response on 'Dorce Show'

“Dorce Show” yang kukirim ke milis kesayanganku—RumahKitaBersama—telah menghasilkan beberapa sambutan hangat dari para member. Salah duanya dari mbak Icha dan mbak Angel. Dalam postingan ini, aku sertakan komentar dari mereka berdua, dan jawabanku.
Happy reading ...

Icha:
Dorce Show?
Aku suka menonton kalau gak ada kerjaan. Isi Dorce show yang kamu bahas aku setuju dengan kamu. Persoalannya media tv dalam hal Trans TV tidak punya misi apa-apa selain sekedar menjadikan acara konyol-konyolan saja. Rasanya hampir semua media tv
tidak peka. Tinggal kita yang menonton jadi sewot dan marah-marah. Rugi sendirilah kita.

Nana:
Seperti yang kutulis di postingan sebelum ini aku memang jarang nonton TV mbak, dan aku setuju dengan mbak Icha bahwa banyak program di televisi (mungkin tidak hanya Trans TV) yang acaranya tidak punya misi apa-apa, kecuali entertaining, giving fun, atau bahkan malah membodohi masyarakat (contoh sinetron-sinetron sampah). Namun untuk acara Dorce Show, aku tidak melihatnya hanya sekedar acara konyol-konyolan belaka. (Beda dengan “Empat Mata” yang menurutku lebih jelas terlihat sebagai acara konyol semata, yang dibalut dengan acara talkshow.) sebagai seorang feminis (yang mungkin saja karena terlalu sensitif), pada acara-acara tertentu, terlihat kekurangpekaan Dorce. Well, tentu saja terlalu jauh memang untuk membandingkan acara lokal satu ini dengan Oprah Winfrey Show (cuma persamaan penggunaan kata SHOW doang nih. LOL).
Temanku yang sama bercerita satu kali dalam tayangan Dorce Show dikisahkan tentang seorang perempuan—mungkin berusia sekitar 30-an—yang memiliki seorang ibu yang katanya genit dan doyan laki-laki. Bahkan menantu sendiri pun diembatnya. Sang cucu yang sering melihat sang ayah dengan sang nenek bepergian bersama, bertanya kepada ibunya, “Mama, kenapa Papa sering pergi bersama Nenek?” dan si perempuan ini tidak menjawab apa-apa.
Sama seperti kasus yang kuceritakan di postingan sebelum ini, Dorce pun bertanya kepada perempuan tersebut apakah dia akan menceraikan sang suami yang jelas-jelas mengkhianatinya di depan matanya. Si perempuan mengatakan “Tidak”. Acara tanya jawab berhenti di sini. Tidak ada kelanjutan pertanyaan (atau interogasi) mengapa si perempuan tidak bersedia menceraikan sang suami; misal apakah dia tergantung secara finansial kepada sang suami; atau apakah seperti yang biasa terjadi di kalangan kaum pemuja perkawinan bahwa lebih baik bobrok di dalam hati daripada menjadi seorang janda yang konotasinya masih sangat negatif di kultur negara kita; atau apakah karena dia cinta mati kepada sang suami; atau apakah karena doktrin agama yang dia terima bulat-bulat bahwa perempuan yang sengsara hidupnya di dunia ini—karena dizholimi—memiliki kunci surga.
Si perempuan tersebut juga tidak berani menegur sang Ibu, mungkin karena menelan begitu saja hadits yang mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keadaan seperti itu akan “belajar”. Misal: jika si perempuan memiliki anak laki-laki, dia akan meniru ayahnya, karena toh ibunya diam saja? Laki-laki memang dilahirkan untuk menjadi berkuasa, seperti apa yang dilakukan oleh ayahnya? Misal jika si perempuan memiliki anak perempuan, dia akan melihat ibunya sebagai role model dan kemungkinan dia akan mengadopsi apa yang dilihatnya; dia akan belajar, “A good woman is like my mom ...” tanpa mengetahui hak-haknya sebagai manusia.

Icha:
Status Dorce dianggap tak penitng karena dia seleb. Balutan seleb ini mengaburkan pandangan dan pemaham orang terhadap si Dorce. Apalagi Dorce selalu mengemukakan dalil-dalil agama dan bagi Dorce orang yang mempersoalkan statusnya akan memberi keuntungan bagi dirinya. Karena Dorce yakin jika dia dizolimi, Dorce akan mendapat banyak berkat.

Nana:
Betul banget mbak. Status Dorce yang seorang public figure, apalagi dia sering tampil dengan mengenakan penutup kepala dan mengemukakan segala hal yang berbau agama, orang-orang akan mudah jatuh simpati kepadanya.
Tak lama sebelum ini Dorce menunaikan ibadah Umroh. Setelah dia pulang, kadang-kadang terlihat dia “hanya” mengenakan gaun sepanjang lutut—tidak menutup sampai mata kaki—itu pun menjadi bahan gosip. Sama dengan celebrity perempuan lain yang setelah menunaikan ibadah Umroh maupun Haji, justru mengenakan baju yang “lebih terbuka”. Hal ini menunjukkan, ke’selebriti’an Dorce telah membuat orang “lupa” bahwa dia adalah seorang transseksual.

Icha:
Bukan karena percaya apa yang Dorce yakini, aku memilih tidak peduli dan tidak membicarakannya.

Nana:
Seorang rekan kerjaku—yang akhir-akhir ini terlihat begitu peduli dengan KDRT (karena dia justru dituding oleh beberapa kalangan bahwa dia telah melakukan “kekerasan” psikis kepada suaminya)—kadang-kadang mengajakku berdiskusi tentang hal ini. Kebetulan saja jika Dorce Show menjadi salah satu topik diskusi kita, yang kemudian kuolah menjadi tulisan untuk blog.

Icha:
Mengenai nasib para perempuan yang masih banyak mengalami kekerasan di lingkungannya terutama dari suami-suaminya. Itu menjadi salah satu agenda kita untuk terus urun rembuk dan mensuarakan protes pada kondisi tersebut.
Kita harus terus mensuarakan hak dasar setiap manusia terutama kaum perempuan yang sebenarnya memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam hal memilih dan menentukan kehidupannya (Kebahagiaannya) sendiri.

Nana:
Betul banget mbak. Thanks a lot for the comment. 

==================

Angel:
Wanita adalah manusia, sebagai manusia wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria di segala bidang, sesuai dengan peran dan kondisinya.

Nana:
Kadang-kadang mbak Angel, “peran” dan “kondisi” ini tidak sama di satu daerah dengan kultur tertentu dengan daerah lain yang memiliki kultur yang berbeda. Hal inilah yang sering dijadikan perhatian utama para feminis, atau para pejuang kesetaraan gender.

Angel:
Wanita dan pria, masing2 mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri2 yang seharusnya bisa saling memperbaiki dan saling mengisi.

Nana:
Iya, no matter what kondisi biologis laki-laki dan perempuan yang berbeda akan membuat mereka menjadi berbeda, sehingga memang bisa dikatakan bahwa mereka bisa saling mengisi.

Angel:
Sering kita lihat kemunafikan sesorang dalam hubungannya "Memperjuangkan hak2nya sebagi manusia". Dalam hal kasus Dorce, hak yang diperjuangkan sebagai manusia yang memilih jalan hidupnya dengan cara berganti kelamin, seharusnya Dorce sadar, sewaktu dia berganti kelamin, hal semacam itu di Indonesia belumlah umum. Harusnya Dorce sadar, jika dia akhirnya banyak dikecam orang, itu memang resikonya sendiri bukan? Jadi tidaklah tepat jika dia mengatakan bahwa dia di "Zalomi" oleh orang2. Jadi, jika ada banyak orang yang mengecamnya, itu adalah resiko atas keputusannya. Berani ambil
resiko ya berani menanggung resiko kan?

Nana:
Betul, dalam hal ini aku setuju, itu adalah resiko yang harus diterima oleh seorang Dorce, apalagi kebetulan dia adalah seorang celebrity. Seperti tatkala Dede Oetomo dengan berani menuliskan kata GAY dalam KTP untuk bagian jenis kelamin, aku yakin dia telah siap dengan segala resikonya. Namun tatkala seandainya dia mengeluh, orang-orang tak juga memahaminya, ya kita dengerin aja toh keluhannya itu? Atau tidak usah didengarkanlah. (Aku belum pernah membaca tulisan dia yang ‘mengeluh’ setelah dengan berani dan pede mengaku kepada publik tentang ke-GAY-annya. Yang sering dia tulis adalah perjalanan panjangnya untuk ‘berdamai’ dengan apa yang ada di dalam dirinya.

Angel:
Sebagai presenter, harusnya Dorce berdiri di tengah2, bukan memihak kepada apapun keputusan orang lain. Jika si ibu yang di interview tersebut tidak ingin "bercerai" itu adalah haknya untuk tidak bercerai dan menanggung sendiri akibat2nya. Kita tidak bisa menilai bahwa ibu itu HARUS bercerai, karena mungkin ibu tersebut mempunyai pemikiran sendiri yang membuatnya mengambil keputusan untuk "TIDAK BERCERAI" dan itu adalah haknya pribadi sesuai dengan kondisinya sendiri.

Nana:
Setuju. Karena terus terang yang menjadi masalah adalah applause yang dia berikan kepada perempuan-perempuan yang dia wawancarai, memberikan kesan bahwa “perempuan seharusnya begitu, agar mendapatkan applause dari masyarakat, agar mendapatkan predikat “perempuan baik-baik”, yang solehah, yang akan mendapakan kunci surga.
Kadang-kadang mbak Angel, sayangnya perempuan-perempuan yang memutuskan untuk TIDAK BERCERAI itu tidak semua sadar atas pilihannya itu. Indoktrinasi agama dan kultur yang mengatakan bahwa perempuan adalah warga kelas dua membuat banyak perempuan tidak sadar bahwa mereka punya hak untuk memilih jalan lain.
Seperti kisah dalam tabloid Cempaka yang juga kutulis sedikit tentang seorang Ibu yang bersikeras tidak menginginkan perceraian padahal anak-anaknya merasa begitu kasihan melihatnya menjadi bulan-bulanan kekerasan sang suami. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh sang Ibu adalah, “Anak yang keempat dan kelima belum menikah. Nanti kalau mereka menikah, mereka kan butuh wali? Butuh kehadiran ayahnya, sebagai wali nikah.” Ini jelas bahwa sang Ibu menjadi korban indoktrinasi agama, padahal dalam ajaran agama sendiri wali hakim boleh digunakan jika ada kasus-kasus tertentu. Namun mungkin dia tertutup cara berpikirnya.
Aku ingat salah satu adegan dalam film “Mona Lisa Smile” tatkala Betty Warren kembali ke rumah orang tuanya satu malam karena suaminya pergi keluar kota, dan sebelum itu mereka sempat bertengkar. Apa yang dikatakan oleh ibunya? “Tempat seorang perempuan adalah di rumah, di samping suaminya. Kamu tidak boleh di sini. Sana kamu pulang.” Bahkan saat ketahuan bahwa sang suami selingkuh, ibu si Betty masih mengatakan hal yang sama. Setting time film di tahun 1950-an menunjukkan masih kentalnya kebijakan “The Cult of True Womanhood” yang sangat menonjol di Amerika setelah pertengahan abad ke-19 dalam kehidupan di banyak keluarga Amerika.
Kisah ini mungkin hanya fiksi. Namun masalah ini sangat banyak terjadi di Indonesia ini. (Prof. Kenneth Hall salah satu dosen tamu waktu aku kuliah dulu mengatakan bahwa kultur di Indonesia ini ketinggalan 50 tahun dari Amerika.) Seorang perempuan yang memilih untuk tidak bercerai tidak selalu karena mereka telah memikirkannya secara matang-matang, dengan segala resikonya, namun bisa jadi karena mereka dididik untuk menjadi seperti itu, lupa bahwa mereka pun berhak untuk berbahagia dengan cara mereka sendiri.
Mengacu ke kisah pendek dalam tabloid Cempaka, apakah si Ibu dari anak lima ini berbahagia dengan pilihannya untuk tetap tidak menceraikan suaminya? Dari apa yang ditulis oleh salah satu anaknya dalam kisah itu, orang bisa menyimpulkan bahwa si Ibu ini tidak bahagia, karena kondisi fisiknya yang melemah, sinar mata yang kuyu, namun dia “dikalahkan” oleh kultur yang telah mendoktrinnya untuk tetap berada di samping suaminya (karena sang suami mengancam ini itu jika si Ibu ini menceraikannya, atau bahkan hanya meninggalkannya sehingga status pernikahan mereka “menggantung”, si Ibu tidak berani).

Angel:
Jika ada seorang wanita bersuami dan dianiaya dengan berbagai cara oleh sang suaminya, sedangkan si istri berusaha menanggulangi ketimpangan "human right tersebut tanpa mendapatkan jalan keluar, disanalah si ibu memerlukan bantuan untuk memperjuangkan hak2nya sebagai "MANUSIA" yang tidak pantas di aniaya oleh siapapun.

Nana:
Untuk inilah memang UU PKDRT no 23 tahun 2004 dikeluarkan.

Angel:
Tetapi jika kita lihat secara detail, penganiayaan apa yang diterima oleh si wanita tersebut? Jika physic, memang itu tidak boleh di tolerer oleh siapapun. Tetapi jika si suami marah2 terus karena si istri tidak mau menyediakan makanan di rumah, tidak mau mencuci pakaian, tidak mau beririt2 uang belanja, dan tidak becus mengurus anak, padahal si istri tidak mau bekerja membantu suami mencari nafkah... ya wajar saja jika si suami yang pontang panting mencari nafkah suka marah.

Nana:
Dalam UU PKDRT disebutkan bahwa ada empat macam kekerasan, selain kekerasan fisik, ada juga kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Waktu aku kuliah dulu, aku punya seorang teman yang suaminya sering melakukan kekerasan psikis dengan mengacu ke bentuk tubuhnya yang melar setelah melahirkan. Dia sering mengatai temanku (yang kebetulan berdarah Bali), “Kamu tuh malu-maluin aja. Jaga tubuhmu dong!” Karena pernyataan yang tidak selayaknya keluar dari seseorang yang berpendidikan ini berulang kali, hal tersebut akan bisa menyebabkan temanku kehilangan harga dan kepercayaan dirinya, hal ini sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan psikis. Jika yang terjadi adalah kekerasan fisik, membuktikannya akan sangat mudah dengan visum et repertum. Kalau kekerasan psikis yang terjadi secara berulang-ulang, selama bertahun-tahun, bagaimana cara membuktikannya?
Kembali ke komentar mbak Angel di atas. Jika memang si istri yang tidak becus melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, dll, dia bisa dikenai tuduhan penelantaran rumah tangga.

Angel:
Jangan lupa, banyak juga pria merasa teraniaya karena harus menjadi sapi perahan pontang panting mencari nafkah, tetapi si istri hanya enak2 saja di rumah, menghamburkan uang, bahkan kurang menghargai usaha si suami untuk mendapatkan nafkah yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Nana:
Jangan lupa dalam kasus KDRT yang telah dilaporkan, jumlah perempuan sebagai korban kekerasan mendekati 100%, sehingga jumlah laki-laki yang seperti mbak Angel sebutkan di sini jumlahnya tidak sepadan dengan kekerasan yang terjadi kepada kaum perempuan. Kalau tidak terima, bisa juga kasus seperti ini dilaporkan bahwa si istri telah melakukan penelantaran rumah tangga.
Masalahnya adalah, dalam UU Perkawinan tahun 1974 dijelaskan bahwa tugas suami adalah sebagai ‘breadwinner’ sedangkan istri adalah sebagai “ibu rumah tangga”. Si istri yang ‘nampak’ enak-enak saja tinggal di rumah ini sedang melakukan perannya sebagai “ibu rumah tangga” loh. Jangan lupa itu.
Well, berdasarkan dengan diskusi yang pernah kulakukan dengan teman kuliahku yang berdarah Bali, aku sedikit tahu bahwa perempuan Bali itu pekerja keras, yang tidak bisa hanya diam saja berpangku tangan tinggal di rumah. (Waktu itu kita membahas novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini, yang dibandingkan dengan satu novel tulisan orang Mexico, aku lupa judulnya dan nama penulisnya.) Namun di kultur di beberapa daerah lain di Indonesia berbeda mbak.

Angel:
Memang banyak suami yang sewenang2 terhadap si istri di rumah bahkan sampai mengarah kepada kekerasan di rumah tangga terhadap si istri dan anak2nya. Jangan lupa, banyak juga terjadi bahwa dengan cara lain, si istrilah yang bertindak sewenang2 terhadap si suami.

Nana:
Kita harus mencari tahu penyebab mengapa si istri bertindak sedemikian rupa. Beberapa tahun lalu ada seorang teman laki-laki mengeluh kepadaku tentang istrinya yang mata duitan (katanya). Dia akan disambut dengan hangat oleh istrinya jika saat pulang bekerja dia membawa sejumlah uang. Jika tidak, ya tidaklah. “Dia hanya mencintai uangku namun tidak mencintaiku,” keluhnya.
Sayangnya dalam kultur yang menentukan “peran suami adalah pencari nafkah dan peran istri adalah ibu rumah tangga” mendukung para perempuan untuk melakukan hal tersebut. Jika tidak, si suami telah menyalahi peran yang dibebankan kepadanya oleh UU Perkawinan tahun 1974. Selain itu, bisa jadi cara ‘mendidik’ kepada anak gadis, misal, “Pilihlah suami yang kaya...” telah menciptakan perempuan-perempuan seperti di atas.
Kasus lain dari salah satu rekan kerjaku. Sebelum menikah, memang sudah diketahui bahwa si laki-laki berada satu level di bawah temanku, dari latar belakang keluarga, pendidikan (temanku lulusan S1, suaminya SMA), sampai dalam hal income. Rekan kerjaku yang lumayan ‘melek’ masalah kesetaraan gender ini inginnya memberlakukan hal tersebut dalam relasinya dengan sang suami. Dan mungkin karena merasa dia lebih berpendidikan, dia mengaku kepadaku bahwa dia sering ‘mengajari’ tentang hak-hak suami istri. Misal: kalau di mata temanku suaminya melakukan kesalahan, dia akan menegurnya tanpa sungkan-sungkan. Tatkala temanku lelah pulang kerja, dia ingin istirahat, dia meminta sang suami mengurusi kedua anak mereka. Ternyata, di mata keluarga—baik dalam keluarga temanku itu maupun keluarga suami—temanku ini dianggap keterlaluan, tidak menghormati suami. Seorang istri harusnya mendengarkan apapun yang dikatakan oleh sang suami dan tunduk, kata keluarga. Apalagi adik laki-laki teman kerjaku ini yang bekerja sebagai muballigh (alias tukang ceramah agama) justru mengatakan hal yang menyakitkan telinga, “Mbak, kamu tuh harusnya merasa beruntung dia mau menikahimu. Kalau tidak, kamu akan tetap menjadi perawan tua.” (FYI, she got married when she was 35 years old.) Apa boleh buat? Si adik ini pun merupakan “korban doktrin agama” yang dia terima mentah-mentah begitu saja.
Di mata orang awam di Indonesia, bisa jadi temanku ini dianggap telah bertindak sewenang-wenang kepada suaminya.

Angel:
Bukannya saya tidka mau membela kaum saya sendiri yaitu kaum wanita tetapi say amelihat banyak ketimpangan di dalam hal perjuangan wanita itu sendiri. Contohnya, kita wanita ingin memperjuangkan hak2 kita dalam persamaan hak dibidang pekerjaan... di kantor, kita wanita ingin mempunyai hak yang sama dengan pria, dimana juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan yang sama dengan pria. Tetapi saya sering melihat, si wanita sering berdalih untuk menghindari pekerjaan di kantor yang menurut si wanita tersebut susah dikerjakan oleh wanita. Tidak mau mengangkat barang2 berat, menghindari pekerjaan physic yang berat sna selalu melimpahkannya kepada si pria. Bahkan jika duduk di kursi, selalu berkumpul bersama2 wanita agar bisa bergosip lebih nyaman, bahkan jika duduk di mobil, maunya duduk di tempat yang paling nyaman, bahkan jika di bus kantor, maunya ingin diberi tempat duduk
terdahulu, baru sisanya untuk si pria. Dalam hal semacam ini bagaimana bisa para pria disekitar wanita tersebut dapat memberikan hak2 persamaan kepada si wanita?

Nana:
Aku punya seorang teman laki-laki yang bekerja di pertambangan. Satu tahun yang lalu dia bercerita mempunyai bawahan seorang perempuan. Dia mengeluh, “Kalau perempuan mana aku tega memberinya tugas berat, misal, melakukan drilling di tengah hutan? Terpaksa aku melakukannya sendiri, atau menyuruh bawahan yang laki-laki.” Aku bilang ke dia, si perempuan itu seharusnya sudah tahu hak dan kewajibannya tatkala dia memilih bekerja di pertambangan. “Aku pikir kamu tidak perlu memberi dia privilege. Biar saja dia melakukan apa yang memang menjadi kewajibannya.” Ketika dia bilang, “Lah, aku ya ga tega,” aku jawab, “Salahmu sendiri tidak tega.”
Sebenarnya yang dimaksudkan dalam perjuangan kesetaraan gender—yang selama ini kuketahui—adalah pemberian hal-hal yang memang seharusnya perempuan pun berhak, dan janganlah dia dikurangi ataupun dihentikan haknya hanya karena dia perempuan. Akibatnya? Ya tentu perempuan harus menanggungnya. Misal: dalam bidang pendidikan. Masih banyak keluarga di sekitarku sini yang berpikir bahwa pendidikan untuk perempuan tidak begitu penting (hare gene??? Kata para muda. LOL) dibandingkan untuk laki-laki karena toh nantinya perempuan, setelah menikah, akan menjadi “Ibu rumah tangga” sedangkan laki-laki yang akan menjadi “pencari nafkah”. Padahal harusnya kan baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak untuk mendapatkan pendidikan? Jika para perempuan tersebut hanya dididik dan dipersiapkan menjadi ibu rumah tangga saja, kemudian ternyata si laki-laki bukan tipe yang bertanggung jawab, dan menelantarkannya begitu saja, gigit jarilah si perempuan.
Akibat apakah yang harus diterima oleh perempuan tatkala dia mengejar pendidikan? Dia harus belajar keras, tentu. (Dan tidak seperti yang ada dalam gambaran film “Mona Lisa Smile” bahwa para perempuan melanjutkan sekolah HANYA untuk menunggu sampai seorang pangeran datang untuk meminangnya, dan bukan untuk membekali diri untuk masa depannya.) Setelah mendapatkan pendidikan, then what? Bekerja dong. Aplikasikan ilmu untuk kemaslahatan bersama.
Aku juga tidak setuju dengan para perempuan yang cuma bisa bergosip ria. Bukan itu cara kita menunjukkan bahwa kita setara dengan laki-laki. Untuk waktu naik bus, aku pun tipe orang yang tidak keberatan jika memang tidak mendapatkan tempat duduk, dan harus berdiri. Namun khusus untuk para perempuan hamil, harus ada privilege, menurutku. Aku sudah kenyang melihat situasi dalam bus ekonomi yang berdesak-desakan, dari Jogja ke Semarang, maupun dari Semarang ke Jogja, banyak perempuan yang berdiri tegar—aku pernah menjadi salah satunya, berdiri full 3 jam—dan banyak laki-laki yang terkantuk-kantuk di kursinya. Para perempuan dari kalangan bawah begini ini menurutku justru lebih tegar. Apakah aku merasa maskulin tatkala berdiri selama 3 jam dalam bus? Iya. LOL.(Dalam tulisanku yang berjudul “Maskulinitas dan Femininitas” aku telah menulis bagaimana aku ‘membentuk’ kemaskulinanku, meskipun tetap juga ada sisi femininitas yang sangat kuat dalam diriku.)

Angel:
Wanita di dalam hubungannya dengan pasangan hidup pria memang agak berbeda hubungannya sebagai pencari nafkah. Jika si wanita adalah pencari nafkah dan sang suami hanya di rumah, sepantasnyalah sang istri tidka sempat membersihkan rumah atau mengasuh anak tetapi bukan berarti si istri melanggar hak2 si pria. Tetapi dalam hubungan emosianal tetaplah berlaku hukum wanita dan pria, diamana si pria mungkin
lebih logic cara berpikirnya dan memberikan solusi2 yang logic bagi persoalan2 di rumah.

Nana:
Waduh mbak, ga ada loh ‘hukum wanita dan pria’. Aku pernah sempat ‘gontok-gontokan’ dengan Bang Audy mengenai who is (more) logical between men and women. Yang ada (kesimpulan diskusi kita) adalah laki-laki maupun perempuan bisa sama-sama berpikir secara logis. Hal ini tergantung dari seberapa sering kita melatih diri untuk selalu berpikir secara logis. :)


Angel:
Sering kita mendengungkan kesetaraan gender. Harusnya kita bertanya kepada diri sendiri, kesetaraan apa yang kita inginkan? Tidak mungkin kita wanita bisa sama persis dengan pria, sebaliknya pria juga tidak akan mungkin bisa persis sama dengan wanita. Kita wanita tidak mungkin bisa menyamakan gender kita satu sama lain, melainkan kita bisa menyetarakan hak2 kita, sebagai sesama manusia. Mungkin maksud kita para wanita adalah mendapatkan hak kita mencapai sesuatu yang kita inginkan, seperti apa yang kita pikir dimiliki oleh pria yaitu tidak pantas dianiaya oleh siapapun, mendapat kesempatan
memilih sesuatu sesuai dengan kebaikan diri kita sendiri demi mencapai kehidupan layak yang sama dengan siapapun, baik pria maupun wanita manapun. Itulah yang kita perjuangkan, bukan hanya memperjuangkannya sebagai wanita melawan pria yang zalim, tetapi juga sebaliknya sebagai pria melawan wanita yang zalim, tentunya kita perjuangkan sebagai manusia sesama manusia dengan segala perbedaanya.

Nana:
Agree. Yang dimaksudkan dalam kesetaraan gender ya bahwa perempuan juga manusia, yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bukan sebagai the second sex. Kebetulan aku telah menuliskannya di atas.

Bagi para miliser, wah ... panjang banget nih tulisanku kali ini. yang bosen boleh ditinggalin aja diskusi ini.  Bagi Abangku seorang, GA BOLEH DILEWATKAN TULISANKU INI. OK? Huehehehe ... maksain nih. LOL.

Love,
Nana
(I needed three hours to write it. :) )
PT56 21.39 090907