Cari

Jumat, Agustus 31, 2007

SPA = Semarang Pitulasan Agustus

Mumpung Agustus belum berlalu, dalam postingan ini, aku ingin memuat beberapa foto yang kuambil di sekitar tempat tinggalku, Pusponjolo. Di bawah ini ada foto empat gapura yang sengaja dihias untuk menyambut tujuhbelasan. Foto dijepret pada malam tujuhbelas Agustus dimana biasanya orang-orang mengadakan malam tirakatan. Aku yang waktu itu pulang mengambil arah Selatan (karena harus mengembalikan VCD ke sebuah rental yang terletak di jalan Kaligarang), gagal menemukan jalan langsung menuju rumah. Semua jalan yang kupilih telah ditutup oleh para warga dalam acara malam tirakatan. Aku harus menyusuri pinggir sungai Banjirkanal Barat untuk sampai di Jalan Jendral Sudirman, dan masuk dari arah Utara.




Gejala apakah ini?
Semenjak Indonesia merayakan kemerdekaan yang kelimapuluh tahun (1995) (NOTE: aku NGEH baru mulai tahun itu LOL), aku terkagum-kagum kepada my fellow citizens (bahasa Indonesianya apa ya? LOL) yang selalu dengan antusias mencurahkan tenaga, pikiran, dan hartanya untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Memang Hari Kemerdekaan merupakan saat untuk bersenang-senang bersama, mulai dari mengadakan lomba-lomba ‘khas’ pitulasan (makan krupuk, membawa kelereng di atas sendok, memukul air dalam plastik—zaman aku kecil dulu, kita menggunakan kendi, balap karung, sampai yang lebih ke arah edukatif, seperti membaca puisi, membaca/menghafalkan Pembukaan UUD 1945, cerdas cermat, dll) sampai kerja bakti membersihkan lingkungan, membuat gapura baru, menghias gapura dengan lampu-lampu warna warni, juga bendera warna warni, yang membuat suasana selalu semarak, sampai membuat panggung untuk pentas seni. Semua bersuka ria, bergotong royong di bulan Agustus. (Hal ini menunjukkan bahwa gotong royong tidak benar-benar telah sirna ditelan zaman individual seperti sekarang ini.) di bawah ini adalah foto panggung untuk merayakan pentas seni di RW tempat tinggalku, pada tanggal 19 Agustus 2007.

Merupakan suatu kebetulan jika pada tahun ini, warga Semarang merayakan Hari Kemerdekaan bertepatan dengan gawe spektakuler Pemerintah Kota—Semarang Pesona Asia. Tak pelak lagi, hiasan-hiasan di seluruh penjuru kota pun semakin semarak. Nah, tatkala di Tajuk Rencana surat kabar Suara Merdeka hari Jumat tanggal 31 Agust. 07 halaman 6 dikemukakan bahwa salah satu contoh keberhasilan SPA adalah mampu menggerakkan sebagian komponen masyarakat baik secara perseorangan maupun kelembagaan dengan mengambil contoh greget untuk menghias atau menjaga keberhasilan kota, aku menjadi sangsi. Bukankah sudah lama warga Semarang—dan aku yakin juga warga di sebagian besar pelosok negeri kita tercinta ini—senantiasa menyibukkan diri untuk menghias daerah tempat tinggalnya tatkala bulan Agustus menjelang? Seberapa yakin bahwa greget untuk menghias kota ini hanya dikarenakan SPA?
Sudah cukup banyak kritikan-kritikan yang tersebar di surat kabar lokal. Dalam postingan ini aku hanya ingin menunjukkan beberapa gambar yang kuambil di daerah tempat tinggalku, gambar yang menunjukkan antusiasme masyarakat dalam menyambut Hari kemerdekaan, bukan untuk menyambut SPA.
KPDE 17.27 310807

SPA oh SPA

Aku yakin aku hanyalah salah satu dari ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan jutaan penduduk Semarang.yang di awal mula ide SPA digulirkan merasa pesimis. Apanya yang bisa kita pamerkan ke dunia internasional dari kota kelahiranku ini untuk membuat orang memalingkan wajahnya dari Bali, maupun kota tetangga, Jogja? Penyebab utama tentu karena banjir yang senantiasa menjadi langganan Semarang, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Penyebab lain, aku selalu berpikir bahwa tak satupun objek wisata di Semarang yang akan mampu menggaet turis manca negara, kecuali mereka yang di zaman baheula pernah menetap di sini (baca => bekas penjajah Belanda) “for old time’s sake”. Bandingkan saja dengan Jogja yang memiliki pantai berpasir putih (Parangtritis, Samas), Malioboro yang eksotis, Kebun Binatang Gembira Loka yang dikelola dengan baik ketimbang Tinjomoyo, Kraton, dll.
Aku mulai berpikir bahwa mungkin saja membuat Semarang menjadi kota pesona Asia bukanlah hal yang muluk-muluk tatkala aku mulai membuat daftar tempat-tempat yang bisa kukunjungi bersama teman-teman milis seandainya mereka bertandang ke Semarang. (Well, harus kukatakan bahwa mereka mungkin berpikir untuk berkunjung ke Semarang bukan karena Semarang merupakan satu kota yang menarik bagi mereka, akan tetapi karena AKU tinggal di sini. Hal ini berarti AKU lah yang harus mampu meyakinkan teman-temanku bahwa di Semarang tidak hanya ada seorang NANA yang ingin mereka temui, namun memang Semarang is worth visiting.) Setelah mendapatkan daftar yang lumayan menarik (kunjungi saja postinganku di alamat berikut ini

http://themysteryinlife.blogspot.com/search/label/SPA

aku mulai berpikir bahwa ide SPA bukanlah ide yang terlalu tinggi untuk dicapai. apalagi setelah mendapatkan respons yang menyenangkan dari teman-teman milis, maupun pengunjung blog (bisa dikunjungi di

http://afemaleguest.blog.co.uk/2007/07/15/semarang_pesona_asia~2637365
http://afeministblog.blogspot.com/2007/07/semarang-pesona-asia.html
http://afemaleguest.multiply.com/photos/album/13/Semarang

, aku merasa ikut bersemangat untuk ikut serta mensukseskan SPA, meskipun tentu tidak banyak yang bisa kulakukan, selain promosi lewat blog dan milis. Selain itu, kepada siswa-siswaku yang masih saja berpikiran pesimis, aku menyuntikkan semangat kepada mereka, agar mereka pun ikut optimis bersamaku.
Namun apa yang terjadi?
Ucapan Wali Kota Semarang “Satu hal yang membanggakan dari pelaksanaan SPA 2007 adalah diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” pantas dipertanyakan, “rakyat yang mana?” Seperti yang telah dicatat di beberapa koran lokal bahwa dalam acara pembukaan, rakyat biasa-biasa saja (baca => bukan undangan) tidak boleh mendekat ke panggung. Katanya untuk rakyat? Kok ga boleh? Tatkala ada festival jajan pasar, aku dan adikku yang ingin menghadirinya (rasanya sudah ngiler membayangkan akan menemukan jajan-jajan pasar sewaktu kita kecil, seperti klepon, onde-onde, gethuk, senthiling, tiwul, dll) namun karena ternyata dilaksanakan di salah satu hotel berbintang lima, wah ... ga terbayang berapa jajan-jajan pasar itu dihargai? Akankah rakyat kecil sepertiku ini mampu menjangkaunya? :( (Sebagai perbandingan, di fitness center tempatku menjadi member, aku membeli secangkir nescafe cukup dengan harga Rp. 2000,00, Dua tahun yang lalu aku diajak ngopi di hotel berbintang lima itu dengan salah satu siswa privatku, harga kopi satu cangkir Rp. 20.000,00 itu belum termasuk PPN. Waduh ...)
Tatkala aku berkunjung ke salah satu toko buku yang terletak di Jalan Pandanaran, terlihat beberapa pernak-pernik berbau Semarang dijual, mulai dari gantungan kunci, miniatur Tugumuda, T-shirt bergambar Lawangsewu, Gereja Blenduk, aku ikut merasa senang merasakan ‘grengseng” SPA. Namun tatkala aku melihat-lihat buku “The Ancient Semarang Beyond Tomorrow” yang merupakan versi Bahasa Inggris dari “Meretas Masa Semarang Tempo Doeloe” terbitan TERANG Publishing, semakin terlihat ketidakseriusan Pemerintah Kota Semarang dalam mengemas ide spektakuler SPA. Aku yakin buku itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris bukan hanya untuk sok, namun untuk lebih promosi tentang Semarang kepada dunia internasional. Lha mbok yao menerjemahkannya ke dalam Bahasa Inggris itu menggunakan tenaga yang profesional di bidangnya sehingga tidak akan terjadi salah grammar maupun vocabulary yang malah justru memberikan arti yang berkebalikan.
Berikut contoh dua kalimat yang memberikan penjelasan gambar Lembaga Pemasyarakatan untuk Wanita yang terletak di Jalan Sugiyopranoto.
The prison is not factually an ancient building, because the government has been renovated.”
“But if we have seen them deeply and explored truly, the building factually has historical story
.”
Kesalahan penggunaan kalimat pasif atau aktif, kesalahan kata ganti plural untuk satu kata singular, kesalahan memilih diction, masihlah bisa dimaafkan jika itu terjadi dalam spoken English. Namun dalam bahasa tertulis? Apalagi dalam rangka mempromosikan satu daerah ke dunia internasional? Oh COME ON, MAN!!!
Dan masih banyak di lapisan masyarakat kita yang mencibir kepada orang-orang yang speak English in public dengan tuduhan tidak mencintai bahasa sendiri.
Konon tahun depan pemerintah kota Semarang akan mengadakan SPA PART II. Jikalau pemerintah tidak dengan lapang dada menerika kritikan dari rakyat, maupun dari pihak-pihak lain, dan dengan jumawa mengatakan bahwa program SPA kemarin berhasil dengan gemilang, niscaya tahun depan untuk pelaksanaan SPA PART II, lagi-lagi pemerintah hanya akan menghambur-hamburkan uang rakyat yang sudah semakin menderita ini. Kritikan yang disampaikan rakyat itu tentu sifatnya membangun, agar pemerintah melakukan persiapan yang jauh lebih matang, benar-benar melibatkan rakyat, benar-benar dari, oleh, dan untuk rakyat, sehingga tak ada lagi rakyat kota Semarang khususnya tetap saja mencibirkan bibir, “SPA? Semarang Pesona Air kali?” dan ogah menjadi jubir maupun promotor kota tercintanya sendiri.
PT56 23.07 300807

Toleransi 2

Dua minggu yang lalu seorang teman bercerita kepadaku bahwa dia mendapatkan undangan pernikahan dari seorang tetangganya. Dari undangan itu, dia menyimpulkan bahwa si pengantin perempuan yang semula beragama Islam pindah agama mengikuti si pengantin laki-laki yang beragama Katolik. Temanku yang mengaku relijius ini pun mengajakku bergunjing, “Kasihan Bapak dan Ibu X karena anaknya murtad.”
Aku diam saja, tidak melayani gunjingannya.
Melihatku diam saja, rupanya temanku ini melihatnya sebagai ‘lampu hijau’ baginya untuk melanjutkan pergunjingan, dan bukannya melihatnya sebagai keengganan.
“Seminggu yang lalu aku menghadiri pengajian. Ustadz yang mengisi pengajian waktu itu mengatakan jika seorang orang tua sibuk beribadah sendiri, shalat, mengaji, berpuasa, dan lain-lain namun mengabaikan anaknya, dan anaknya tidak tumbuh sebagai seseorang yang relijius, nanti di akhirat tatkala orang tua ini akan masuk surga, langkahnya akan diberhentikan oleh anaknya. Si anak akan mengatakan, ‘Stop! Tuhan, orang itu tidak boleh masuk surga karena ketika di dunia dia asik beribadah sendiri, dan tidak mengajariku, anaknya, untuk beribadah. Aku bahkan dibiarkannya melakukan maksiat.’ “
Aku pun tetap diam. Aku telah mendengar ‘kisah’ seperti ini sejak kecil, jadi bukan merupakan barang baru bagiku, kisah yang dijadikan ‘senjata’ oleh para orang tuanya untuk melarang anaknya berpacaran dengan orang lain agama, bukan karena cintanya kepada sang anak yang mungkin di mata mereka akan ‘terjerumus’ kepada kemurtadan, melainkan karena ketakutan diri mereka sendiri yang tidak akan masuk surga, karena langkah mereka dihentikan oleh si anak yang sejak kecil tidak pernah diajari beribadah, seperti shalat, mengaji, berpuasa, dll.
“Padahal kakeknya si pengantin perempuan itu kan termasuk mubaligh. Mubaligh yang bisa berceramah di sana sini tapi tidak bisa menceramahi cucu sendiri. Dengar-dengar katanya ibu si pengantin putri menyesal sekali tatkala dia tahu anaknya berkeputusan untuk mengikuti agama calon suami. Penyesalan yang sangat terlambat karena seharusnya dia melarang anaknya membina hubungan dengan laki-laki yang beragama lain sejak awal. Apa sang kakek tidak pernah bercerita tentang anak kecil yang tidak diajari beribadah akan menyeret orang tuanya ke neraka?”
Setelah diam beberapa saat, dan akhirnya tak tahan lagi mendengarkan gunjingan ini, aku pun buka suara, “Kasus ini berbeda. Memang tugas orang tua mengajari anaknya untuk melakukan kebaikan dan kebajikan, termasuk melakukan ibadah agama. Kalau tidak, ya berarti orang tua itu salah. Tapi kalau kasus si calon pengantin ini kan berbeda? Dia sudah dewasa, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia sudah bisa menggunakan akal sehatnya untuk memutuskan apa yang akan dia lakukan berkenaan dengan masa depannya. Segala apa yang dia lakukan sekarang adalah tanggung jawabnya sendiri, dan bukan lagi tanggung jawab orang tuanya. Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa tatkala seorang anak mencapai akil balik, anak perempuan setelah mendapatkan menstruasi, anak lelaki setelah khitan, semua tingkah laku, ibadah, maupun dosa menjadi tanggung jawabnya sendiri?”
Temanku termangu mendengarkan jawabanku, dan dengan agak terbata berkomentar, “Oh, jadi kasusnya berbeda ya?”
“Iya.” Jawabku tegas. Kemudian aku mengalihkan perbincangan ke hal lain.
****
Beberapa hari yang lalu, tatkala menemani Angie belajar untuk persiapan tes di sekolah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh ‘pernyataan’ (atau pertanyaan?) Angie,
“Eh Ma, coba dengar ini. Di buku ini (note: buku Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI) dituliskan ‘... dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman yang artinya Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. Ali ‘Imran, 3:85)”
Aku memang tidak banyak mengajari Angie tentang ayat-ayat Alquran, aku lebih suka mengajaknya diskusi tentang menghormati orang lain, termasuk kepercayaan mereka, agar dia jauh dari sikap fanatisme berlebihan yang akan membuatnya kesulitan menerapkan toleransi. Tentu dia terheran-heran membaca ayat tersebut di atas dalam buku pelajaran sekolahnya.
“Sayang, semenjak Mama melanjutkan kuliah dan mempelajari tentang teori-teori baru, yang akan menghasilkan interpretasi baru tentang segala hal, Mama yakin teori-teori itu pun bisa dipakai untuk menghasilkan interpretasi baru dalam pembacaan Alquran, termasuk ayat yang Angie baca terjemahannya itu. Lagipula untuk memahami Alquran benar-benar, kita tidak bisa memenggal satu ayat dari ayat-ayat lain. Kita tidak bisa membaca satu atau dua ayat saja, kemudian menginterpretasikannya, tanpa memandang keberadaan ayat-ayat lain, juga asbabun nuzulnya, konteks apa yang melatari satu ayat turun.” Bla bla bla ...
Angie yang sedang pusing menghafalkan ayat-ayat sebegitu banyak, mungkin tambah pusing dengan keteranganku itu. LOL. Karena aku melihatnya sebagai waktu yang kurang tepat untuk ‘berceramah’ lebih lanjut, aku kembali ke kegiatanku semula, menulis artikel untuk blog, dan Angie sendiri melanjutkan belajarnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Melampaui Pluralisme”, untuk membahas ayat di atas, Hendar Riyadi menjabarkannya di bab 5 yang berjudul “Paradigma Etika Alquran dalam Konteks Pluralisme Agama” halaman 113-163.
Lebih lanjut lagi, Alquran menegaskan bahwa “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 272) Hal ini berarti bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit pun untuk menilai serta menghukumi orang lain yang berbeda pemahaman, agama dan keyakinan, apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan. Prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semagat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda. Manusia sebagai ciptaan Allah sama sekali TIDAK PUNYA hak untuk menghakimi orang lain sebagai orang yang tersesat, berdosa, dan sebangsanya itu.
Menurutku sudah tiba saatnya untuk lebih memasyarakatkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang bersifat inklusif, dan menghentikan menginterpretasikan secara eksklusif, agar tercipta kedamaian dan saling menghormati antarumat beragama.
PT56 22.59 290807

Rabu, Agustus 29, 2007

Toleransi

Masih ingat kata ‘toleransi’ yang kusebut dalam artikelku sebelum ini yang kuberi judul “Sesama…”? Menurutku ‘toleransi’ merupakan satu kata indah yang bisa bermakna ‘damai’ antar sesama manusia (bukan melulu antar sesama jenis kelamin, sesama etnik, sesama agama, sesama strata sosial, maupun sesama bangsa dan negara). Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi toleransi sebagai “sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”
Tatkala membaca buku “Melampaui Pluralisme” tulisan Hendar Riyadi (RMBooks & PSAP: 2007), aku mendapati ternyata dalam tradisi agama Islam, istilah ‘toleransi’ ini baru muncul pada abad ke-17 Masehi ketika terjadi benturan antara ideologi Katolik dan Protestan. Menilik waktu pertama kali istilah ‘toleransi’ ini muncul hampir lebih sepuluh abad semenjak agama Islam pertama kali diwartakan oleh Nabi Muhammad SAW, merupakan satu hal yang dimengerti jika istilah ‘toleransi’ ini tidak mendapatkan dukungan di sebagian besar masyarakat Islam. Dalam artikel “Akar Islam bagi Teologi Toleransi”, (dimuat dalam buku DEKONSTRUKSI SYARIAH) Abdullah Ahmed al-Naim mengemukakan bahwa masyarakat Islam menolak konsep toleransi ini karena mereka berpedoman bahwa ayat-ayat dalam Alquran yang mendukung konsep ini telah dihapus (dinaskh) oleh ayat Alquran tentang jihad.
Sebagai pengikut Jacques Derrida dengan teori Dekonstruksinya (teori Hermeneutik bisa digolongkan sebagai anak cabang Dekonstruksi, seperti Feminisme, Poskolonilisme, dll), aku setuju dengan Mohammad Arkoun bahwa dalam memahami aksioma-aksioma dasar Alquran, perlu kita tegaskan perlunya penggunaan teori hermeneutik dalam menginterpretasikan ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkaitan dengan teks-teks yang mendukung dan kemungkinan menjalankan toleransi penuh.
Lebih lanjut Hendar Riyadi menjelaskan bahwa secara umum, akar-akar toleransi dalam teks kitab suci Alquran dapat dirumuskan seperti berikut ini:
Pertama, prinsip bahwa perbedaan (keragaman) keyakinan itu adalah sunnatullah (kehendak Allah) yang bersifat terus menerus. Alquran menyatakan “sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat saja, akan tetapi Allah hendak menguji kamu tentang apa yang telah diberikan-Nya kepadamu, oleh karena itu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maidah [5]: 48)
Kedua, prinsip bahwa pengadilan dan hukuman bagi keyakinan yang salah harus diserahkan kepada Allah sendiri. Tuhan lebih tahu siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk. Alquran menyebutkan “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS> An-Nahl [16]: 125)
Ketiga, dalam “Akar-akar Teologi Toleransi” Roy P. Mottahedeh menyebutkan bahwa semua ummat manusia mempunyai “agama alamiah”, yakni agama yang melekat dengan “fitrah” spiritual dan moral yang ditiupkan Allah ke dalam jiwa mereka yang atas dasar fitrah itu kita harus mengasumsikan kebaikan fitrah sesama manusia. Untuk mendukung prinsip ketiga ini—keyakinan kepada sebuah agama fitrah—Mottahedeh menyitir satu hadits Nabi yang artinya “Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata, “Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat keagamaan yang toleran” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).
Teks Alquran yang mendukung prinsip ini adalah surat Ar-Rum [30] yang berarti “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada (agama) Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Menggunakan teori hermeneutik, kata ‘fitrah’ dalam ayat di atas bisa dimaknakan sebagai “agama asal mula ummat manusia yang melekat, dan dicapkan secara tak terhapuskan pada jiwa semua manusia.” Ini berarti bahwa setiap manusia terikat dalam suatu persaudaraan keagamaan universal. Masing-masing agama lahir dan didasarkan kepada suatu sumber yang sama, yakni agama Allah (baca  Tuhan) yang tertanam dalam diri manusia. Dalam Tafsir Tematik Alquran, Ismail Raji al-Faruqi berpendapat bahwa keyakinan kepada agama fitrah ini merupakan suatu terobosan paling penting ke arah pembinaan hubungan antarummat beragama.
Ketiga prinsip di atas memiliki tujuan utama yakni untuk melakukan kompetisi dalam kebaikan (fastabiq al-khairat), yang merupakan prinsip penting Alquran dalam hubungan sosial antar kaum beriman.
Untuk mengakhiri tulisan ini, aku ingin menyitir apa yang dikatakan oleh Issa J. Boulata dalam Tafsir Bintu al-Syathi’: “perbedaan di antara ummat beragama haruslah merupakan suatu kesempatan untuk berkompetisi dalam amal salih, bukan kesempatan untuk perbuatan-perbuatan fanatik yang membawa kepada permusuhan di antara penganut iman dari agama yang berbeda.”
Mari dengan kesadaran penuh, kita hadirkan toleransi yang sesungguhnya (yang bukan merupakan ide abstrak semata) dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk membangun bangsa Indonesia bersama-sama, tanpa memandang beda etnik, agama, maupun strata sosial.
PT56 11.43 290807

Senin, Agustus 27, 2007

Penjajahan Ideologi dan Budaya

Tatkala menulis artikel yang ku-post sebelum ini, aku senantiasa teringat satu diskusi pendek antara aku dengan seorang dosen tamu muda usia dari Amerika di eks tempat kerjaku. Terilhami dengan kebijakan MANIFEST DESTINY yang kudapatkan tatkala duduk di bangku kuliah, aku bertanya (dengan setengah menuduh LOL) bahwa Amerika melakukan perembesan budaya ke banyak negara di seluruh dunia melalui musik (dengan program-program MTVnya), way of living (dengan film-filmnya), ataupun cara makan dan jenis makanan (dengan fast food restaurant yang dituding hanya menawarkan junk food), dll. Keberhasilan masuknya budaya Amerika ke banyak negara—termasuk Indonesia—bisa kita interpretasikan bahwa Amerika telah menjajah banyak negara, tanpa membuat yang dijajah itu menyadarinya; bahkan mungkin justru membuat orang-orang yang ‘dijajah ideologinya’ bangga dengan mengatakan, “aku mendengarkan musik Amerika”, “aku hidup a la orang Amerika”, sampai “aku makan makanan Amerika”.
Matthew, nama dosen tamu tersebut, tentu saja nampak tersinggung dengan tuduhan itu. LOL. Namun karena dia harus membawa nama baik Amerika, dia menjawab pertanyaanku (ataupun ‘tuduhanku’) dengan hati-hati.
“We American don’t mean to colonize other countries’ ideology or way of living, etc via music, movies, or our fast food restaurants. I think this is related to your confidence with your own way of living. You Indonesians have great music, why don’t you just listen to your own music and just ignore those MTV products? Don’t watch American movies if you think those movies even make you forget or ignore your own way of living. Don’t come to eat at those fast food restaurants when you know that they just offer junk food. You have your own fast food restaurants, such as Padang food stall, or even warteg. I often wonder why Indonesian people even feel more prestigious when they are seen eating in American fast food restaurant, such as McDonald’s. I recommend that Indonesian people build their own confidence and trust to their own products, music, movies, food. If you stop listening to American music, or watching American movies, or consuming American junk food, MTV, Hollywood, or American fast food restaurants will stop importing their products to Indonesia too. And perhaps it will make you stop feeling colonized ideologically?”
Skak match. Mati aku. Hahahaha ...
Aku mulai mencoba menganalisis hidupku sendiri. Apakah tanpa kusadari ideologi hidupku ini telah dijajah oleh Amerika? Musik, well, aku penikmat musik dari banyak negara, tidak hanya Amerika. Tentu saja aku juga menikmati musik dari negeri sendiri, bahkan termasuk campur sari (yang kata Angie anakku, musik khas kondangan perkawinan LOL). Untuk film, well, dengan sangat menyesal aku harus mengakui aku lebih banyak nonton film buatan Hollywood memang, daripada film hasil karya anak negeri (karena kualitas yang menyedihkan), namun tidak berarti bahwa aku telah di-amerika-kan oleh film-film yang kutonton. (Ngeles boleh kan? LOL.) Mengenai makanan, nah, ini dia, aku benar-benar memiliki lidah dan perut Jawa, yang lebih suka nasi, pecel, rujak, gado-gado, opor, sambel goreng, dll ketimbang pizza, spaghetti, steak, dan sebangsanya itu.
Bagaimana dengan anakku? Untuk musik, dia sama denganku. Untuk film, dia kurang kritis dengan film produksi dalam negeri, (mungkin karena usianya yang masih muda belia), sehingga dia menikmati film-film remaja, sebangsa, My Heart, Love is Cinta, Bangsal 13, Mirror, dll yang bagiku tidak menggigit. Sedangkan film bagus, sebangsa Denias, dia kurang mengapresiasinya  meskipun aku mengatakan padanya bahwa Denias film bagus. Untuk makanan, dengan sedih harus kukatakan, dia telah dijajah oleh pizza, spaghetti, steak, dll, meskipun ketergantungan perutnya kepada nasi masih cukup besar.
How about you? Seberapa sadarkah kamu tentang penjajahan ideologi dan budaya ini?
==================
Note: MANIFEST DESTINY adalah kebijakan Amerika untuk memperluas tanah yang dikuasai. Di awal ‘pendudukan’ tanah Amerika oleh para migran Inggris, mereka hanya menempati pesisir pantai sebelah Timur, daerah New York dan sekitarnya, dengan jumlah koloni hanya 13. Dengan MANIFEST DESTINY, mereka berhasil memperluas daerah, hingga mencapai pesisir pantai Barat, di daerah California dan sekitarnya. Kepercayaan orang Amerika (awal) sebagai ‘the chosen people’, karena Tuhan memilih mereka sebagai penguasa dunia, adalah awal pembentukan MANIFEST DESTINY. Setelah mereka ‘menduduki’ semua tanah yang maha luas itu, dari pantai Timur ke pantai Barat, tentu mereka ingin tetap melanjutkan MANIFEST DESTINY dengan menyeberang lautan. Di zaman modern ini, melakukan penjajahan ideologi bisa jadi pilihan yang sangat tepat karena orang tidak akan menyadari bahwa mereka telah dijajah.
PT56 13.21 270807

Media dan Budaya

Media merupakan salah satu alat promosi yang paling jitu. Banyak perusahaan menggunakan media—baik cetak maupun elektronik—untuk mengiklankan produk maupun jasa yang mereka tawarkan kepada publik. Media juga merupakan alat penyebaran ideologi yang sangat berpengaruh di era globalisasi ini, termasuk salah satunya adalah budaya. Oleh karena itu, media pun dituding sebagai salah satu pihak yang paling berpengaruh dalam pembentukan/pengubahan pola pikir, perilaku, maupun cara berbusana.
Kolonialisme—dimana banyak negara Barat, yang notabene berkulit putih, menjajah negara Timur, yang notabene berkulit berwarna—telah menciptakan gap antara kulit putih dan kulit berwarna. Gap ini menciptakan inferioritas di kalangan kulit berwarna sebagai pihak yang dijajah terhadap kalangan kulit putih sebagai pihak yang menjajah. Sangatlah dipahami jika sampai saat ini inferioritas ini masih mendominasi sehingga apapun yang berasal dari Barat akan selalu dianggap lebih indah, lebih menarik, lebih modern dibandingkan yang berasal dari Timur.
Kehadiran internet dan televisi yang menjembatani negara-negara di seluruh belahan bumi pun membuat penyebaran budaya semakin cepat, perembesan satu budaya yang berasal dari negara-negara yang dianggap superior masuk ke negara-negara yang inferior tanpa disadari. Dalam televisi, orang-orang yang berada di balik layar, seperti para pekerja rumah produksi, produser, sutradara, hingga ke pemilik stasiun televisi biasanya orang-orang yang hanya mengejar keuntungan finansial untuk kocek mereka sendiri, sehingga mereka pun menayangkan program-program yang sering berkiblat ke negara-negara yang dianggap superior, untuk menarik lebih banyak pemirsa, yang berarti akan menaikkan rating, dus bermakna semakin banyak iklan yang masuk, tanpa mempedulikan bahwa hal ini berarti mereka telah melakukan suatu tindakan nyata untuk menghancurkan budaya bangsa sendiri secara perlahan-lahan.
Haruskah kita salahkan generasi muda kita yang mungkin akan lebih bangga jika mereka disebut sebagai generasi MTV? Haruskah kita salahkan mereka yang tidak lagi mengenal bahasa daerah masing-masing, wayang, tarian tradisional, dll? Haruskah kita salahkan mereka yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya window shopping di mall-mall, sembari makan-makan di fast food restaurant yang merupakan franchise produk luar negeri? Bukankah mereka sebenarnya merupakan korban keegoisan para pemilik modal, dan generasi yang lebih tua dari mereka yang menjejalkan budaya asing lewat media?
Gramsci yang terkenal dengan teori hegemoninya mengatakan bahwa untuk melepaskan diri dari cengkeraman budaya asing, diperlukan partisipasi keikutsertaan para intelektual organik—kaum inteletual yang harus menyadarkan masyarakat,terutama generasi muda, bukan kaum inteletual tradisional yang justru lebih melegitimasikan budaya-budaya asing tersebut. Namun tentu saja hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, jika kaum intelektual organik tersebut lemah modal. Bagaimana mereka akan mampu membuat produk saingan untuk menggeser tayangan-tayangan impor dari luar, agar lebih menarik para generasi muda jika mereka tidak memiliki modal yang cukup kuat? Menurut pengamatanku selama ini, kaum intelektual organik ini jumlahnya lebih sedikit, sehingga menyerahkan beban untuk menjaga generasi penerus dari pengaruh negatif globalisasi kepada mereka tentu sangat tidak bijaksana.
Sebagai seorang ibu dari seorang anak perempuan yang telah menginjak masa remaja, satu hal yang bisa kusarankan: hubungan harmonis dan terbuka antara orang tua dan anak. Komunikasi yang terjalin dengan baik akan memudahkan kita sebagai orang tua untuk ‘mengarahkan’ anak untuk tidak ikut terseret arus budaya yang tidak jelas juntrungannya, tanpa membuat anak-anak itu merasa digurui. Beda satu generasi antara kita dengan anak-anak kita sering membuat anak-anak itu berpikir bahwa kita telah masuk ke generasi katro, sehingga tidak mampu mengimbangi kemajuan cara berpikir anak-anak itu. Jangan sampai hal ini terjadi. Kita harus selalu mengikuti dan mendampingi anak-anak dalam menerima/mengalami hal-hal baru, kemudian kita perbincangkan dan mencari solusi bersama. Tidak semua sistem nilai dan ideologi yang diusung oleh program-program yang diimpor dari luar negeri—terutama Amerika dan Eropa—negatif. Kita sebagai orang tua yang harus aktif memilah dan memilih untuk anak-anak kita.
Let us start from home.
PT56 11.19 270807

Menikah?

Mengapa lebih banyak orang yang ingin menikah ketimbang yang tidak? (masih merunut ke artikel yang sama ‘Istri yang Ingin Independen’)


Jawabannya adalah kultur patriarki yang mengagungkan perkawinan masih lebih terkenal dibandingkan kacamata memahami diri sendiri—misal seseorang pun bisa menggapai kebahagiaan yang hakiki dengan hidup sendiri. Ayat Alquran yang mengatakan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup ini secara berpasangan diinterpretasikan secara ‘apa adanya’ tanpa melihat konteks mengapa ayat tersebut turun semakin mengukuhkan pandangan bahwa melalui perkawinan lah seseorang akan mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia ini. Juga mengartikannya secara sempit, bahwa berpasangan berarti semua manusia diciptakan memiliki pasangan di dunia ini. (Bukankah banyak orang yang keburu meninggal sebelum menikah?)


Dalam tulisan ini aku ingin menuliskan tentang dua temanku yang lain, yang bisa dikategorikan ‘menikah dalam usia yang terlambat’, sekitar pertengahan tiga puluh. Sebelum menikah, aku yakin mereka pun terprovokasi ‘anggapan’ bahwa perkawinan akan membawa mereka ke satu kehidupan yang paripurna. Keduanya mengenakan jilbab, yang biasanya berkonotasi bahwa mereka memahami ajaran agama lebih mendalam dibandingkan mereka yang telanjang kepala. :) 


Aku mulai dari seseorang yang kuberi nick Lia di sini. Dia pernah memiliki seorang pacar, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Semenjak putus itu, dia tidak pernah memiliki pacar lain, karena tetap berharap bahwa mantan pacarnya ini akan kembali kepadanya. Dulu dia kukenal sebagai seseorang yang pro poligami. Mungkin dia benar-benar mencintai mantan pacarnya yang telah menikahi perempuan lain itu (cinta sejati ataukah cinta buta?) sehingga berkeyakinan bahwa dia tidak keberatan untuk menjadi istri kedua. Sayang, si laki-laki ini benar-benar menghilang dari kehidupannya.


Setelah berkawan akrab dengankulah kutengarai dia mulai berpikir bahwa poligami merupakan salah satu kejahatan manusia tingkat tinggi. FYI, ini bukan ideku, melainkan ide seorang kawan lain yang beragama Kristen namun menikahi seorang laki-laki Muslim yang berdarah Arab. Mungkin juga karena akhirnya Lia mulai bosan menunggu sang mantan pacar pujaan untuk kembali kepadanya, untuk menjadikannya sebagai istri kedua.


Aku mengenal Lia sebagai seorang perempuan yang (nampaknya) menikmati kesendiriannya, sehingga tidak mudah terusik dengan pertanyaan-pertanyaan jail orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” ataupun gunjingan orang, “Kasihan deh dia belum laku di usianya yang telah lebih 30 tahun.” Namun mungkin anggapanku ini salah tatkala satu hari aku mendengarnya berbicara kepada seorang rekan kerja, “Eh, kenalin aja dia padaku.” Tatkala rekan kerjaku ini menawarkan seorang laki-laki yang sedang mencari calon istri.


Singkat kata tak lama setelah rekan kerja ini memperkenalkan Lia kepada laki-laki tersebut, dia berkata padaku bahwa mereka akan menikah. GUBRAK. Apakah diam-diam ternyata Lia pun mengidap penyakit yang biasa menghinggapi para lajang perempuan di sekitarku—tidak pede dengan kesendiriannya, dan termakan omongan orang bahwa perkawinan akan membawanya ke gerbang kebahagiaan? Dia bilang setelah shalat istikharah dia serasa mendapatkan petunjuk dari Allah bahwa laki-laki itu dikirim oleh Allah untuk menjadi pendamping hidupnya.


(FYI, aku tipe orang yang percaya bahwa ‘petunjuk’ semacam itu merupakan refleksi apa yang sebenarnya kita inginkan dari alam bawah sadar. Dalam alam bawah sadarnya, Lia mungkin ingin segera menikah. Dan keinginan ini muncul dalam mimpinya, ataupun menguasai kesadarannya yang kemudian dia baca sebagai petunjuk dari Allah.)


Setelah menikah, dan mendapati ternyata suaminya menderita schizophrenia yang akut, pernah masuk ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu, Lia merasa marah kepada keluarga suami yang menutup-nutupi keadaan itu. Namun tatkala dia ingin menceraikan suaminya, keluarga suami mengatakan, “Tolong jangan ceraikan dia saat ini, tunggu sampai dia sembuh.” Setelah Lia berkonsultasi dengan dokter yang pernah merawat suaminya, dia mengetahui bahwa kemungkinan sembuh itu sangatlah kecil.


Sekarang Lia tinggal di sebuah kota yang terletak di Jawa Timur, (dia pindah kesana bulan April 2006, setelah mendapatkan pekerjaan yang mapan disana) sedangkan suaminya tetap tinggal di Semarang. Lia telah mengubur impiannya bahwa perkawinan akan membawanya ke satu kehidupan yang penuh kebahagiaan.


Temanku yang kedua, sebut saja namanya Uni. Berbeda dengan Lia yang (dulu) nampak pede dengan kelajangannya, Uni selalu nampak ingin segera menikah. ‘Kacamata” patriarki bahwa perkawinan akan membawa seorang perempuan ke gerbang kebahagiaan membuatnya benar-benar ingin segera dipinang oleh sang pangeran. Itulah sebabnya tatkala ada seorang laki-laki yang melamarnya—meskipun berusia 9 tahun lebih muda, dan jenjang pendidikan yang berada di bawahnya—Uni segera menerimanya. Dia telah benar-benar gerah dengan pertanyaan usil orang-orang sekitar, “Kapan kamu menikah?” Dengan menikah, dia berharap bahwa dia akan segera mengakhiri ‘penderitaannya’, tudingan sebagai seseorang yang tidak diinginkan. 


Apa yang dia katakan tak lama setelah dia menikah? “Aku tertipu. Kata orang menikah itu enaknya hanya 10%, sedangkan yang 90% uenak banget. Kenyataannya? Yang 90% itu adalah perjuangan dan harapan.” Di saat lain dia mengatakan, “Kata siapa pernikahan hanya membawa kebahagiaan?” beberapa waktu lalu dia mengatakan, “Masih mending tidak menikah, paling kita cuma merasa terganggu saja tatkala orang dengan usilnya menanyakan kapan kita menikah. It was not a big deal.

 Setelah menikah? Uh ... banyak sekali permasalahan yang timbul.” Hal ini lebih diperburuk lagi dengan ucapan misoginis adiknya yang laki-laki, “Udahlah mbak, diterima saja. Udah untung ada yang mau menikahimu!” ucapan yang bisa dikategorikan KDRT, kekerasan secara psikis, karena hal ini bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seseorang. 


Tatkala Uni setengah menggugat ibunya yang dulu terus menerus menyuruhnya segera menikah, ibunya mengatakan, “Masak dulu Ibu menyuruhmu begitu?” dia tidak mau mengakuinya. 


Hal ini jelas terlihat bahwa Uni menikah karena dia masih menggunakan ‘kacamata’ publik yang patriarki bahwa ‘menikah itu harus dan perlu’. Tatkala dia mulai mencoba menggunakan ‘kacamata’nya sendiri untuk melihat dan memahami diri sendiri, dia pun menyesal. Namun tatkala aku bercerita tentang kasus Lia kepadanya, Uni mengatakan, “Aku masih lebih beruntung.” 


Akan bertahan berapa lama lagikah kacamata yang dipakai oleh kultur patriarki untuk menilai sebuah perkawinan di Indonesia ini? Masih sangat lama kukira. Di negara-negara Barat dimana kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan diri mereka dengan kaum laki-laki yang jauh lebih tinggi dari Indonesia pun, masyarakatnya masih tetap mengidolakan perkawinan. 


PT56 17.20 260807

Perempuan Modern?

Setelah menulis artikel yang ku-post sebelum ini, aku membaca sebuah artikel yang cukup menggelitik bagiku di surat kabar Suara Merdeka terbit hari Minggu 26 Agust. 07 halaman 25 yang berjudul “Istri yang Ingin Independen”. Apakah benar bahwa kedua tokoh yang dipilih oleh si penulis—yang disebut dengan menggunakan nama Dian dan Fitri—merupakan gejala PEREMPUAN MODERN?
Aku ingat salah satu penulis kesukaanku—Charlotte Perkins Gilman yang hidup di Amerika tahun 1860-1935—yang telah memiliki cara berpikir seperti Dian dan Fitri, sedangkan Gilman hidup di akhir abad 19 maupun awal abad 20. Perkawinan kedua orang tuanya yang kandas dan menjadikan ibunya plus dia dan adiknya menjadi korban membuatnya ragu-ragu untuk menikah. Sang ibu yang dididik secara patriarki—bahwa seorang perempuan itu tempatnya di rumah, bertugas melayani suami, dan bukannya bekerja untuk mencari sesuap nasi—tetap berpikir seperti itu meskipun sang suami telah meninggalkannya. Akibatnya, Gilman beserta adiknya dan ibunya harus hidup dengan cara meminta-minta kepada anggota keluarga—kakek, nenek, paman, bibi, dll—untuk terus menyambung hidup.
Masa kecil yang pahit inilah membuat Gilman berkesimpulan bahwa seorang perempuan harus mampu mandiri secara finansial. Secara psikologis—tempat curhat, dll—bisa dia dapatkan dari seorang sahabat, seorang perempuan. Seks? Gilman adalah seseorang yang melakukan olah raga dengan keras sehingga dia yakin bahwa keinginan untuk seks ini bisa tertimbun. Namun tatkala sahabatnya menikah, dan banyak dorongan dari lingkungan sekitar untuk menikah ketika seorang laki-laki, Charles Walter Stetson, melamarnya, akhirnya Gilman pun menikah tahun 1883. Sayangnya, pernikahan ini justru membuat penyakit Gilman, nervous breakdown, semakin memburuk, ditambah lagi baby blue setelah dia melahirkan anak pertama. Hasil Gilman membaca ‘diri’ menggunakan kacamata patriarki—bahwa untuk bahagia seseorang harus menikah—dan melupakan ‘kacamata’nya sendiri, untuk menentukan apa yang akan membuatnya bahagia: untuk hidup bahagia, Gilman tidak perlu menikah, lakukan saja apa yang ingin dia lakukan: menulis, mengekspreksikan semua ide yang dia miliki dalam bentuk tulisan, melakukan perjalanan ke seluruh Amerika untuk menyadarkan kaum perempuan untuk lebih mandiri secara finansial, karena hal inilah yang akan membuat seorang perempuan setara dengan laki-laki.
Pernikahan pertama ini berakhir dengan perceraian tahun 1894, karena Stetson merupakan tipe laki-laki old-fashioned yang menganggap Gilman aneh hanya karena karena Gilman ingin membentuk jati dirinya sebagai seorang Charlotte Anna Perkins, dan bukan seorang Mrs. Charles Walter Stetson.
Gilman menikah lagi tahun 1900. Suami keduanya, George Houghton Gilman, merupakan tipe laki-laki yang selalu mendorong Gilman untuk melakukan apa saja yang ingin dia lakukan. Pernikahan ini berlangsung sampai tahun 1934 tatkala George meninggal.
Aku juga ingat RA Kartini yang sebenarnya tidak ingin menikah karena cita-citanya untuk mencerdaskan kaumnya yang hidup di sekitarnya di sekolah yang dia dirikan. Namun karena dia ‘hanyalah’ seorang perempuan Jawa yang tidak punya hak untuk berkata TIDAK kepada orang tuanya, akhirnya Kartini pun bersedia menjadi istri kedua. ‘Kacamata’ patriarki yang dimiliki oleh orang tuanya—bahwa tugas mulia seorang perempuan adalah mengabdi kepada suaminya—jelas bertentangan dengan ‘kacamata’ kesetaraan yang dimiliki oleh Kartini. Kultur patriarki pun dituding telah membunuh seorang Kartini.
Dian dan Fitri hanyalah dua contoh perempuan yang memiliki kacamata sendiri untuk mengukur kebahagiaan dalam hidup ini. Mungkin di dua dekade lalu mereka pun sama seperti perempuan-perempuan lain yang berpikir bahwa pernikahan adalah ‘gerbang’ menuju kebahagiaan yang hakiki, bahwa perkawinan adalah segalanya, dimana seorang perempuan diciptakan untuk mengabdikan diri kepada suami. Namun tatkala pengalaman hidup mereka membawa mereka ke suatu keadaan yang membuat mereka menimbang kembali apa arti kebahagiaan, ini berarti bahwa mereka telah menemukan ‘kacamata’ baru.
Akankah perempuan tipe Dian&Fitri ini akan merusak tatanan pranata keluarga? TIDAK. ‘Kacamata’ baru yang mereka miliki akan membuat kaum muda—khususnya perempuan—untuk tidak terlalu dininabobokkan oleh Cinderella Complex, sehingga mereka justru akan lebih hati-hati dalam memilih calon suami yang akan selalu mendorong mereka untuk mengaktualisasikan diri. Perceraian yang akhir-akhir ini menunjukkan jumlah yang meningkat setiap tahun adalah hasil dari pasangan suami istri yang tidak saling mengenal dengan baik, terutama di strata sosial menengah keatas. Kebutuhan mengaktualisasikan diri bukan hanya milik seorang laki-laki, perempuan juga berhak untuk melakukannya.
Dian&Fitri bisa melakukan perbincangan terbuka dari hati ke hati dengan suami masing-masing, untuk mengkomunikasikan apa yang mereka inginkan. Ide utama—bahwa perempuan bukanlah makhluk yang diciptakan untuk melulu mengabdikan diri kepada suami—harus disampaikan kepada para suami. Selain itu bahwa setiap orang berhak untuk menikmati kesendirian untuk beberapa waktu (mengacu ke buku Virginia Woolf A ROOM OF ONE’S OWN) harus dipahami. Hal ini akan mengurangi beban Dian yang merasa bersalah tatkala dia ingin melakukan aktifitas yang butuh dia lakukan tatkala sang suami pulang. Jika ternyata komunikasi ini berjalan dengan baik, para suami memahami apa yang dibutuhkan oleh Dian&Fitri, dan bukannya merasa terluka keegoannya (karena menjadi merasa tidak dibutuhkan, ataupun dijadikan pihak yang kedua) bukankah ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba?
Mengacu ke definisi ‘gender’ yang diberikan oleh Claudette Baldacchino (lihat posting yang berjudul GENDER DAN MEDIA), perempuan harus berani menemukan cara untuk melihat dan memahami diri sendiri dan tidak membebek melulu dengan apa yang dikemukakan oleh kultur patriarki.
PT56 16.07 260807

Dua Perempuan

0813207xxxxx :Halo mbak ...Gek ngapa? Aku lg bngong nunggu Celia sklh. Ra bd adoh karo sopir lah pkke. Aku kgn Smg. Pgn cekakakan meneh kr tmn2 n adik2ku. Tp meh lungo ga sesimpel mauku. Ribet urusane. Celia jg dah sklh. Kmrn2 aku baby sitter n koki, skrg aku bb sitter n sopir. Ra gagah blas wong ra duwe duit dhewe. Aja mbok guyu ya.
0815756xxxxx : Sori bar adus plus cuci, btw, how much d u get paid per month by ur hubby? Cucuk ra? Plus his serving u in bed, hehehe...
0813207xxxxx: Wuah its more satisfying from d 2 d lho... Suer dah..Hehe.. I get paid w/ his love 2 my children ya enough lah. Sukur2 dia ttp sll love n loyal 2 me n fam.
0815756xxxxx: That’s very good that you realize it. Obviously we have different way of life, so no more complaint ur being baby sitter and driver dong 
0813207xxxxx: Hehe ... it was not really my choice actually. I hv no other choice lah. Kdg ttp ada rs ‘minus’ di dpn peremp yg krj. Though in fact ga gamp jg jd ibu rumah tangga yg baik, apalg utk yg minor ky aku gn. Susaaahhh... I’m still learning not only 2 b good mother n wife bt also 2 manage myself.. Nah lo!
0815756xxxxx: Hahaha ... btw, what we had better do adalah ‘berdamai’ dg keadaan yg sbnrnya (tak sengaja) kita pilih. 4 me there’s nothing else I can do: BERDAMAI dg diri sndr 
0813207xxxxx: Yup I agree w/u. Enjoy sm yg di dpn mata aja lah.. smile apapun yg dihadapi. Pgn awet muda boo... bkn bwt org laen, bt utk kpuasan dr. Hv a nice d yach.

‘Chat’ di atas terjadi antara aku dengan seorang teman baik, B, yang sekarang tinggal di sebuah kota di Jawa Barat. (aku sengaja mengetik ulang persis dengan aslinya, penuh singkatan di sana sini, khas bahasa sms. ) Aku mulai mengenalnya sekitar pertengahan tahun 1999. Tak lama setelah itu, kita menjadi semakin akrab dan terbuka satu sama lain; mungkin karena usia kita yang hanya terpaut satu tahun, dan kita berdua sama-sama berbintang Leo. Meskipun begitu kita berdua memiliki pengalaman hidup yang sangat jauh berbeda. Di usianya yang masih sangat belia, duduk di bangku SMP, dia mengaku melihat sesuatu yang sangat melukai perasaannya (dia tidak pernah cerita secara mendetail apakah itu, namun aku simpulkan bahwa apa yang dia lihat itu adalah seorang laki-laki yang melukai seorang perempuan), yang kemudian membuatnya bertekad untuk tidak pernah menggantungkan hidupnya kepada seorang laki-laki, apalagi menyerahkan jiwa, raga, dan perasaannya bulat-bulat kepada seorang laki-laki.
Aku bertolak belakang dengannya. Dibesarkan dalam suasana relijius yang kental, dan percaya bahwa menikah adalah salah satu sunnah Nabi, sehingga percaya bahwa pernikahan merupakan salah satu tujuan akhir hidup manusia, aku tumbuh menjadi seorang remaja pengidap Cinderella complex. Senantiasa menunggu seorang pangeran yang akan datang dalam hidupku, dan membawaku ke gerbang kebahagiaan yang abadi. Dan untuknya akan kuserahkan seluruh jiwa, raga, dan perasaanku.
B tumbuh berkeyakinan bahwa dia harus mampu hidup secara mandiri, terutama secara finansial. Dia mengaku selama dia tinggal di Semarang, dia tidak pernah minta uang kepada suaminya, padahal suaminya memiliki profesi yang biasanya bergelimang dengan uang, dokter. Suami yang memujanya itu yang tahu diri, menyisipkan sejumlah uang jika dilihatnya dompet B kosong.
Sekitar tahun 2003, dia harus mengikuti suaminya pindah ke satu kota di Jawa Barat untuk melanjutkan studi. Temanku dengan berat hati ikut pindah kesana, karena suaminya menginginkan keluarga itu tidak terpisah jarak. B berharap dia akan mendapatkan pekerjaan di sana, sehingga dia tidak perlu menggantungkan hidupnya kepada suaminya, secara finansial. Namun ternyata mencari pekerjaan tidaklah semudah yang dia harapkan. Apalagi dengan kehadiran anak keduanya, perhatiannya semakin tersita untuk keluarga.
Pengalaman pahit dalam perkawinanku, plus perjalanan hidupku yang memperkenalkanku dengan ideologi feminisme, membuatku merasa ada yang salah dalam memandang diriku sendiri, karena selama ini aku memakai ‘kacamata’ patriarki yang memang senantiasa dilanggengkan oleh sekolah, agama, dan media. Jika B mendapatkan ‘kesadaran’ nya (bahwa dunia tidak seindah cerita di negeri dongeng) karena sebuah peristiwa yang melukainya tatkala dia masih duduk di bangku SMP, aku mendapatkannya di usia pertengahan tiga puluhan. Better late than never, orang bijak bilang.
Jika kamu perhatikan ‘chat’ antara B denganku, sekarang justru kita berada di posisi yang sebenarnya tidak kita impikan di usia remaja. Aku telah menyembuhkan diri dari pengidap Cindrella Complex, hidup sendiri, mandiri, dan merasa puas dengan kemandirian ini. B berkebalikan, keadaan ‘memaksanya’ untuk bergantung, untuk menyerahkan seluruh jiwa, raga, dan hidupnya untuk suami dan kedua anaknya.
Hidup memang tidak selalu seperti yang kita inginkan.
PT56 11.30 260807

Sabtu, Agustus 25, 2007

Media dan Gender

Masih banyak orang yang tidak mengerti perbedaan kata ‘jenis kelamin’ dan ‘gender’, terutama di Indonesia, terlebih lagi dalam lingkup kecil tempatku tinggal dan bekerja. Claudette Baldacchino, seorang jurnalis feminis, mengartikan gender dengan merujuk kepada faktor-faktor sosial, budaya dan psikologis ketika kita mendefinisikan seseorang sebagai maskulin atau feminin. Lebih lanjut Claudette mengemukakan bahwa gender bukanlah sekedar sebuah aspek penting dari cara “orang lain” melihat “kita”, tapi juga sangat mempengaruhi cara “kita” melihat dan memahami “diri kita sendiri”.
Diri kita yang manakah?
Hari Jumat 24 Agustus 07 aku mebahas tentang ‘anorexia’ dan ‘bulimia’ di kelas Intermediate 4. Ada dua bacaan yang cukup panjang di buku yang kita bahas bersama. Bacaan itu mengenai seorang penderita bulimia yang bernama Melissa DeHart. Awal penderitaannya adalah keinginannya untuk menjadi selangsing bintanb-bintang Hollywood pujaannya yang terlihat begitu langsing, begitu cantik dan menarik dengan kelangsingannya sehingga membuat Melissa ingin menjadi seperti itu.
Ketika kulemparkan pertanyaan, “Why do many people think that being slim is beautiful?”, hanya satu orang yang menjawab dengan lumayan menarik perhatianku, “Because having slim body means healthy, Ma’am. Fat bodies usually refer to diseases, such as hypertension, easy to get heart attack, obesity, etc..” Yang lain hanya mengiyakan, atau pun menjawab, “No idea Ma’am.” Or “I don’t understand Ma’am.”
(FYI, most of the students are high school students, in the second or third grade. Only two of them are college students. The class was held 14.00-16.00)
Hal ini menandakan bahwa mereka tidak sadar bahwa mereka telah dibombardir oleh media tentang ide kecantikan. Seberapa banyak iklan mempromosikan bahwa yang cantik itu yang langsing, baik di media elektronik, seperti televisi, maupun media cetak, seperti surat kabar, tabloid, maupun majalah. Jika iklan itu tidak secara langsung mengiklankan produk pelangsing, iklan-iklan itu tentu menggunakan model-model yang langsing, yang semakin menekankan ide “cantik itu langsing” maupun “langsing itu cantik”. Wacana bahwa “big is beautiful” belumlah mampu menggeser paradigma lama bahwa yang cantik itu yang langsing.
Ketidaksadaran ini jika dihubungkan dengan definisi tentang gender yang dikemukakan oleh Claudette bahwa “cara kita melihat dan memahami diri kita sendiri” berarti bahwa kita harus mampu membangun definisi sendiri tentang segala hal. Misal dalam kecantikan, jangan melulu mengamini apa saja yang secara terus menerus ditampilkan oleh media bahwa cantik itu hanya mengacu ke tubuh langsing, berkulit putih, dan berambut panjang lurus bak model-model iklan shampoo.
Apa hubungan antara media dan gender?
Mengacu ke tulisanku sebelum ini “Blog Sebagai Jendela Dunia”, jika para pendukung status quo atas kultur patriarki menggunakan media untuk mengekalkan pandangannya, para pejuang kesetaraan gender, bisa melakukan hal yang sama, yakni dengan menerbitkan surat kabar, majalah, tabloid, maupun jurnal yang bertemakan kesetaraan gender. Sayangnya sampai sekarang, dunia jurnalisme masih dianggap sebagai ranah maskulin. Penelitian yang dilakukan oleh International Federation for Journalist (IFJ) yang dikeluarkan di Brussels tahun 200—melibatkan 39 negara di seluruh dunia—menyebutkan bahwa jurnalis perempuan hanya mencapai 38%, naik 11% dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan sepuluh tahun sebelumnya. Angka 38% ini mengacu hanya dalam jumlah jurnalis saja, sedangkan posisi pengambilan keputusan—misal editor, kepala departemen maupun pemilik media—masih lebih didominasi oleh laki-laki.
Mengacu ke apa yang dikemukakan oleh KOMNAS PEREMPUAN untuk mengurangi KDRT, sekaligus untuk lebih membebasjenderkan media, mari pare perempuan, menulislah. Tulis apa saja. Dan menurutku, media yang paling mudah ya menulislah di blog. Dan jangan lupa apa yang dikatakan oleh Claudette Baldacchino, tulislah menggunakan cara kita memandang diri kita sendiri.
PT56 11.24 250807

PKDRT



Dalam rangka untuk lebih memperkenalkan UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) nomor 34 tahun 2004, KOMNAS Perempuan menyelenggarakan beberapa kegiatan, dimana salah satunya adalah talkshow di empat kota: Jogjakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta. Dengan melibatkan Lembaga Pers Mahasiswa UNDIP MANUNGGAL, talkshow di Semarang diselenggarakan di pelataran tempat parkir Fakultas Sastra UNDIP pada hari Kamis 23 Agustus 07, pukul 09.00 sampai sekitar pukul 12.30. Ada tiga pembicara utama, yaitu Myra Diarsi dan Pipit yang merupakan wakil dari Komnas Perempuan, dan Uke dari The Body Shop Indonesia. Satu pembicara lagi, Putri, perwakilan dari Penerbit Erlangga yang menyelenggarakan Lomba Penulisan naskah dengan topik KDRT. Acara ini dimoderatori oleh Ninik, perwakilan dari LBH APIK Semarang.
Ninik memberikan kesempatan pertama kepada Putri untuk menyampaikan tentang diselenggarakannya lomba penulisan naskah dengan tema KDRT yang diberi judul KISAH—Kontes Inspirasi dan Harapan. Komnas Perempuan percaya bahwa salah satu upaya untuk menurunkan angka KDRT adalah dengan MENULIS, bukan untuk menguak tragedi ataupun menyebar trauma, tetapi untuk menyerukan perjuangan, cinta dan keberanian wanita dalam menghadapi tantangan hidup yang paling berat. Dengan menuliskan pengalaman sendiri maupun orang lain, dan melemparkannya ke publik, masyarakat akan semakin terbuka kesadarannya bahwa kekerasan itu hadir dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, nyata, bukan hanya di awang-awang.
Bagi yang tertarik untuk mengikuti sayembara penulisan naskah dengan topik KDRT ini bisa klik www.erlangga.co.id
Pembicara berikutnya, Pipit, dari Komnas Perempuan. Pipit menjelaskan empat jenis kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Di luar negeri, VIOLENCE IN THE HOME ini hanya terdiri dari tiga jenis yang disebut pertama, sedangkan untuk jenis yang terakhir ini sengaja ditambahkan di Indonesia karena kultur Indonesia yang berbeda dari negara lain. Hal ini mengacu kepada UU perkawinan dimana disebutkan bahwa seorang suami mendapatkan peran sebagai pencari nafkah sedangkan istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Dalam banyak hal UU perkawinan ini telah banyak merugikan kaum perempuan yang bekerja di ranah publik, misal gaji lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun memiliki posisi yang sama penting, jenjang pendidikan, pengalaman bekerja, dan lama bekerja yang sama, karena perempuan bekerja hanya dianggap sebagai ‘pelengkap’, side worker, dan bukan sebagai the breadwinner.
Di tabel di bawah ini bisa dilihat jumlah kekerasan yang dilaporkan:

Tahun Angka Pelaporan Kekerasan Angka Pelaporan Remarks
terhadap Perempuan KDRT

2003 7787 kasus

2004 14.020 kasus 9000 kasus naik 100%
2005 20.391 kasus 16.615 kasus (82%) naik 45%
2006 22.512 kasus 16.709 kasus (74%) naik 10%

Sedangkan KDRT menurut relasi korban pelaku:

Kekerasan terhadap istri 82% 12.726
Kekerasan terhadap anak 3.50% 552
Kekerasan dalam pacaran 5% 816
Kekerasan terhadap PRT 0.40% 73
KDRT/KDP (sulit dipilah) 9% 1348

Perlu diingat bahwa angka-angka di atas HANYA berdasarkan mereka yang melaporkan kejadian kekerasan tersebut, sedangkan yang belum melaporkan—bisa jadi karena tidak berani karena adanya ancaman, ataupun kurangnya kesadaran diri bahwa tindakan kekerasan yang mereka terima merupakan tindakan kriminal dan seyogyanya dilaporkan kepada pihak yang berwajib—mungkin akan menjadi berkali-kali lipat dari jumlah kekerasan yang telah dilaporkan, suatu hal yang biasa dikenal sebagai fenomena gunung es.
Pembicara berikutnya Uke dari The Body Shop. Motto The Body Shop “We believe business can be profitable and responsible” ingin menekankan bahwa merupakan tanggung jawab bersama untuk mengurangi KDRT. The Body Shop memang berkomitmen untuk selalu membela hak asasi manusia dan meningkatkan harga diri perempuan. Uke pun menunjukkan gambar-gambar yang menunjukkan perwakilan The Body Shop di banyak negara dalam rangka mengkampanyekan STOP VIOLENCE IN THE HOME.
Uke menjelaskan bahwa tiap tahun ada 16 hari yang khusus disediakan untuk kampanye anti kekerasan dalam rumah tangga, yakni mulai 25 November sampi 10 Desember, dan hal ini diselenggarakan di seluruh penjuru dunia. Kampanye ini dilakukan melalui budaya, misal di Indonesia melalui pertunjukan wayang kulit; di daerah pedalaman, bisa melalui upacara adat dll.

Semula Myra Diarsi memang dimaksudkan untuk ‘disimpan’ sebagai gong acara talkshow tersebut. Namun karena dari sesi tanya jawab yang telah diberikan moderator kepada hadirin, akhirnya Myra pun langsung menjawab banyak pertanyaan dari para penanya tentang topik utama: penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Apa yang bisa kita lakukan untuk ikut aktif berperan serta dalam mengurangi angka KDRT?

Menjadi sukarelawan dengan menghubungi Women Crisis Center di kota masing-masing. Untuk kota Semarang, anda bisa menghubungi dua alamat di bawah ini:

LBH APIK Semarang
Jl. Kelengan Kecil no. 594 Semarang
Telepon (024) 3510499

LRC KJHAM
Jl. Lemah Gempal II no. 765A Semarang
Telepon (024) 3521124
Email: lrc-kjham2004@yahoo.com

Ikut berperan serta dalam menggalang dana
Untuk ini, anda bisa mengirimkan ke

PUNDI PEREMPUAN
No. Rekening: 025-01-00098-00-3
Bank Niaga Cabang Jatinegara – Jakarta Timur
A/n Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan

Mendorong advokasi bersama => melakukan pendampingan kepada para korban

Menulis
Untuk cara yang terakhir—menulis—dengan bangga aku bisa menyebut diri telah ikut berkecimpung dengan menulis di blog, terutama tentang segala hal yang berhubungan dengan permasalahan gender dan perempuan. Dengan demikian aku telah ikut berpartisipasi dalam usaha untuk menekan KDRT.
Jika anda ingin mengetahui sekilas tentang UU PKDRT, klik alamat berikut ini:

http://themysteryinlife.blogspot.com/2007/08/uu-pkdrt_25.html

Terima kasih.
PT56 22.27 240807

Kamis, Agustus 23, 2007

S B I

Tatkala Angie masuk SMA N 3 Semarang tahun ajaran 2006/2007, aku tidak tahu apakah yang dimaksud dengan SNBI = Sekolah Nasional Berstandar Internasional (yang belakangan lebih dikenal sebagai SBI = Sekolah Bertaraf Internasional?) Angie ingin masuk sekolah negeri terfavorit di Semarang ini karena beberapa teman dekatnya waktu SMP masuk ke SMA N 3. Aku sendiri ingin Angie bersekolah di situ bukan melulu karena prestise (karena aku belum tahu apa-apa tentang SBI), namun lebih ke romantisme pertengahan tahun 1980-an, aku bersekolah di sekolah yang gedungnya merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang terletak di Jalan Pemuda no 149 ini.
Setelah Angie masuk SMA N 3, kepala sekolah Drs. Sudjono, menjelaskan yang dimaksudkan dari SBI. Para siswa diharapkan akan mampu bersaing dengan lulusan high school dari luar negeri. Bagaimana caranya? Di kelas X, enam mata pelajaran diberikan dalam Bahasa Inggris: matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan tentu saja Bahasa Inggris.  Sedangkan untuk prasarana, semua kelas dilengkapi dengan AC—agar siswa nyaman dan tidak merasa kegerahan, maklum Semarang terkenal dengan hawa panasnya—sehingga siswa diharapkan akan mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu, setiap kelas dilengkapi dengan LCD dan komputer yang bisa dipakai oleh guru maupun siswa. Tak heran jika beberapa guru memberikan catatan dalam bentuk file dan siswa mentransfernya ke dalam flash disk. Floppy disk menjadi kuno di sini, karena dianggap tak cukup untuk menampung semua data.
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif yang kurasakan. Pertama, aku senang dengan prasarana yang disediakan oleh sekolah—AC, LCD, dan komputer. Angie akan merasa nyaman dan tidak buta teknologi. Yang kedua aku ragu. Seandainya kemampuan Bahasa Inggris guru matematika, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi tidak memadai, bagaimana cara mereka mencerdaskan para siswa? Diberikan dalam Bahasa Indonesia saja masih memusingkan, apalagi diberikan dalam English yang masih tetap dianggap sebagai bahasa asing di Indonesia ini? (Sebagai bandingan, English dianggap sebagai bahasa kedua di negara tetangga, Malaysia dan Singapore.) Apa yang akan didapatkan Angie, selain bahwa she is exposed to an English-speaking environment?
Keraguan ini semakin membesar tatkala di lembaga kursus Bahasa Inggris tempatku bekerja dipercaya oleh sebuah sekolah kejuruan untuk memberikan pelatihan Bahasa Inggris kepada para gurunya, untuk mempersiapkan sekolah itu menyongsong era SBI. Kemampuan Bahasa Inggris para guru yang lebih dari 50% telah mencapai usia matang itu sangat memprihatinkan. Untuk daily conversation saja sangat memprihatinkan, bagaimana mereka harus menyampaikan pelajaran dalam Bahasa Inggris?
Sebagai seorang guru Bahasa Inggris, tentu aku sangat senang dengan lebih meluasnya pemakaian Bahasa Inggris dimana pun kita berada. Namun untuk ‘menyulap’ sebuah sekolah siap bersaing menjadi SBI, tidaklah semudah mengatakan abrakadabra. SMA N 1 yang tidak mau kalah dengan SMA N 3 pun mulai tahun ini menyiapkan diri menjadi SBI secara swadaya, lain dengan SMA N 3 yang dipilih oleh pemerintah sehingga mendapatkan bantuan dana. Swadaya? Ya, pihak sekolah membebani para orang tua siswa dengan uang sumbangan pembangunan sejumlah 4-5 juta rupiah per siswa baru, jumlah yang bagiku sangat fantastis untuk masuk ke SMA. Dan seperti yang kukemukakan di atas, untuk perlengkapan fisik kelas, seperti penyediaan AC, LCD, komputer dan internet jauh lebih mudah daripada meningkatkan mutu para guru dan karyawan. Sudah saatnya dalam perekrutan guru baru, syarat mampu berbahasa Inggris aktif harus disertakan, seperti beberapa perusahaan bonafide yang mengharuskan pelamarnya memiliki sertifikat TOEFL dengan skor tertentu.
Mengenai keraguan beberapa pihak bahwa seorang siswa yang bersekolah di SBI akan melupakan jati dirinya sebagai seorang anak Indonesia, aku tidak setuju. Untuk mengantisipasinya, dalam kurikulum bisa ditambahkan muatan lokal, seperti pelajaran menari tradisional, maupun bahasa daerah. Seseorang yang berbicara bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari tidak akan serta merta membuatnya menjelma menjadi seorang American atau European maupun Australian. Jack C. Richards dalam pidatonya sebagai salah satu keynote speaker dalam seminar TEFLIN di Surabaya tahun 2002 lalu mengatakan bahwa Bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia, bukan semata milik orang Inggris, Amerika, maupun Australia. Semua orang bisa berbicara bahasa Inggris menggunakan dialek lokal masing-masing, dan tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai seorang warga negara Indonesia, Jepang, Korea, dll.
Kembali ke masalah SBI. Kita belum melihat lulusan pertama hasil kurikulum SBI dari SMA N 3 yang kebetulan terpilih sebagai ‘kelinci percobaan’ pemerintah di Semarang. Apakah benar para siswa itu akan mampu bersaing dengan para lulusan high school luar negeri? Sebaiknya kita melihat dulu, dan tidak terburu-buru untuk mengubah sekolah lain mengikuti ‘demam SBI’, hanya demi gengsi sekolah, apalagi hanya demi keuntungan keuangan semata, dan mengorbankan pendidikan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa.
PT56 22.19 220807

The Pursuit of Happyness


We hold these truths to be self-evident that all men are created equal that they are endowed by their Creator with inherent and inalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness, …” (The Declaration of Independence by Thomas Jefferson)


Obviously Chris Gardner, the main character in the movie entitled “The Pursuit of Happyness”, a film by Gabriele Muccino was really obsessed by what Jefferson wrote—that all men are endowed the right to pursue happiness. The movie inspired by a true story has Will Smith as Chris Gardner, Thandie Newton as Linda, and Jaden Christopher Syre Smith as Christopher, their son.
When watching the movie, I was touched by the big belief of Gardner that he was really endowed that right. Everybody deserves to be happy and everybody has their own way to pursue their happiness, no matter their color, the gender, the ethnic group, the religion, etc. Therefore, everybody must strive to reach it.
Linda also believes in it. When she thinks that her husband cannot make her happy in their marriage, she has her own way to pursue her own happiness—by leaving her husband whom she thinks impotent to look for money. She is tired of being poor, having to work hard—double shift—to pay the bills while in the beginning of their marriage, she is promised happiness by her husband; happiness that she thinks without financial constraint, without her having to work double shift.
When leaving her husband, she takes Christopher with her. In America, children under 18 years old are to follow the mother when the parents are separated or divorced. However, when the following morning Chris takes Christopher from the day care, Linda doesn’t complain a lot. She does understand that Chris is a good father, only he is not really good in looking for money. That’s why when she leaves for New York to start a new life—her sister’s boyfriend opens a restaurant, Linda expects a better future there—she doesn’t mind leaving Christopher with his dad although she feels very unhappy.
Big determination of Chris to pursue his happiness—always remember what Jefferson writes in the Declaration of Independence—makes Chris do his best to reach his dream, not only for himself of course, but the more important thing is his only son. This is somewhat the reflection of his own life where he met his father for the first time when he was 28 years old. He feels very unhappy for that, and this makes him determined that if he has children, his children would know who their father is.
The story happened during the last two decades of the twentieth century. I am wondering whether Chris would get that position in the brokerage firm of Dean Witter—that miraculously changed his life—if the story had happened when Jim Crow Law still haunted America?
PT56 21.28 220807

Say 'NO' to Drugs

To prepare my students to enter lesson three of Advanced 4 level, I invited my students to watch ’28 DAYS’, a movie illustrating about drug addicts in a rehabilitation center. The main character of the movie, Gwen—played by Sandra Bullock—is a drug addict. Due to an accident she undergoes when she is ‘fly’, the court gives her two choices: to go to a jail or to go to a rehabilitation center for 28 days. She chooses the second option.
After watching the movie, I gave the following questions:
1.How did Gwen end up being a drug addict?
2.Did the treatment in the rehabilitation center work to cure the addicts?
3.In the rehabilitation center, did ‘chanting’ work to encourage the addicts to stay away from drugs?
4.Which is more important: the motivation from the addicts to cure themselves or from the family members/rehabilitation center?
5.What sometimes made an addict lose his/her spirit to live?
There are ten students in my class, five female and another five male students. One student is still in the third grade of senior high school, two students just graduated from senior high school, going to enter college, and the rest are college students. I asked the students to work in two groups: female and male groups.
For the first question ‘How did Gwen end up being a drug addict?’, the two groups referred to the familial background of Gwen. Her mother—Gwen has one older sister, Lily—was an alcoholic. There is no clear illustration about the father. The fact that the mother is an alcoholic infects Gwen to be an alcoholic too. (This is what she says to the other addicts in the rehabilitation center what makes her a drug addict at the first place.) A parent who doesn’t give good examples to the children will become a model. The difference between the female from the male group is that the female group came up with another idea—Gwen chooses wrong people as her friends. She chooses to live in wrong environment. An alcoholic mother only is not enough to make children become alcoholic too because Lily—Gwen’s sister—is not an alcoholic. Lily is ‘clean’ from either alcohol or drugs.
Gwen’s boyfriend apparently doesn’t support her to be cured from drugs because once in a while when he visits Gwen in the rehabilitation center, he brings her some drugs secretly. His reason is: Gwen needs it. Someone cannot be separated from drugs abruptly. He/she needs to be away from it step by step.
For the second question ‘Did the treatment in the rehabilitation center work to cure the addicts?’, the two groups had different idea. The boys said that it worked only to some addicts while the girls said it worked to all of the addicts under one condition: the addicts themselves had big motivation to cure their addiction.
The students thought that the rehabilitation center had good programs to help cure the addicts. It depends on the addicts then whether they had positive character to their own lives for their future.
The third question ‘In the rehabilitation center, did ‘chanting’ work to encourage the addicts to stay away from drugs?’, both groups agreed that the chant worked to encourage the addicts. By chanting, they remind themselves that they would have good future if they stayed away from drugs. I am myself of opinion that to some extent, ‘chanting’ here somewhat has the similar use of praying. When people pray, hopefully they will always remember the pray, and to make it come true, they will try their best to reach it. For example: when a student prays, “God, I want to graduate with flying colors”, he/she will study hard to make it come true.
For the fourth question ‘Which is more important: the motivation from the addicts to cure themselves or from the family members/rehabilitation center?’ the groups got a bit different answer: the girls said that the motivation from two sides—the addicts and the family members/rehabilitation center—is both important. The boys said that the motivation from the addicts is more important. The girls reasoned when an addict had big motivation to cure the addiction but the family members/environment doesn’t support him/her, it will be useless. The same example is Gwen’s case whose boyfriend doesn’t really support her.
The last question ‘What sometimes made an addict lose his/her spirit to live?’ referred to one addict named Andrea in the movie. Her days—for 28 days—in the center is going to be over soon. She will be leaving. Before her departure, her friends performs one scene play, taken from Santa Cruz, Andrea’s favorite soap opera, However, her last intake of drug—not clear how she can keep it secretly from the staff of the center—kills her. She dies because of overdose.
This scene is related to the previous scene where there is ‘family session’ in the center. All addicts are encouraged to invite their family members, to express their feelings to each other. It can be in the form of disappointment of the family members because the ‘addict’ becomes an addict. Or on the way around, the ‘addict’ becomes an addict because he/she doesn’t get enough attention from the family. When knowing that Lily will come, Gwen is worried because she thinks that Lily will make her ashamed with anything Lily says. On the contrary, Andrea is hurt when her parents say that they will not come because they are ashamed of her. They even say that they don’t want Andrea to come back.
Obviously, this makes Andrea lose her spirit to live. This very young girl doesn’t know where to go after leaving the rehabilitation center. Her using drug again—overdose—can be interpreted as Andrea’s committing suicide.
Gwen herself in fact then reconciles with Lily after the family session. They lack of talking to each other heart to heart that has made them have strained relationship. By the end of the movie, Gwen, who realizes that she has chosen a wrong person to be her boyfriend, breaks the relationship with him.
By the end of the discussion, we can come to a conclusion that having a close relationship with the right people—can be friends or family members—with whom we can talk to each other heart to heart, will save someone from being an addict. The feeling that we are loved, needed, and wanted—by the right people too—is another key to stay away from drugs.
LL 16.53 220807

Selasa, Agustus 21, 2007

English versus Bahasa

Several months ago I read a short writing in one blog belonging to a youngster (I forgot how young, but I suppose he was still in college for his bachelor’s degree). He complained when one day in one cyber café he heard two users speaking English, and both of them were Indonesians. The blogger considered that they JUST wanted to show off their capability in English! What was wrong with our own national language—Bahasa Indonesia? Why didn’t they just use it instead? He asked himself.
(I am really sorry I forgot to quote the site address. )
Last August 9 2007, Suara Merdeka published one article entitled “Alat Pemersatu Kurang Laku”; page 6 different from the one I quoted above but similar. The writer said that the phenomenon of people using foreign terms, such as bus way, three in one, etc showed that Indonesian people do not love their own language.
I love writing in English. Perhaps because I am an English teacher and I am accustomed to thinking in English when the first time I made a blog, I used English as the media. Moreover my blog where I got lots of warm comments from people all over the world was at an English website (www.blog.co.uk) This made me write in English more and more. I started writing in Bahasa even when I made friend with an Indonesian guy living in New Zealand. This best friend whom I call ‘Abang’ said that he was somewhat tired to speak English all the time there so he enjoyed speaking Bahasa when communicating with me and some other mailing list friends who live all around the world. My other mailing list friends also said the same thing—they would prefer to speak Bahasa to each other rather than to use English because they wanted to maintain their capability in Bahasa. Instead of using English (to show off who is the best to use this international language after living abroad for years, for instance), they chose the national language to communicate!
So, in this small scope, I absolutely don’t agree with the narrow-minded opinion that when people speak foreign language—English for example—it means the speaker doesn’t love the national language. I want to speak English with my daughter—especially in public so that people will not know what we are talking about, and not just to show off—but she refused to respond in English, perhaps because she is not used to it, or because she felt uncomfortable to people around that perhaps would judge us as arrogant. Meanwhile, I just want her to practice her capability in listening and speaking with me (besides to speak secretly in public). Anything wrong with this learning process? Learning does not always take place in classrooms, does it?
In a bigger scope, such as the use of Bahasa for titles of books, especially for literature—read it as novels, dramas, or poems, including movies—I am of opinion that in literature, people are free to express their being artistic and creative in using any language. In literature, the choice of one word—in any language—can mean a lot. If the word is changed into another word, the creator probably will think that the ‘sense’ is different. For the name of some television programs, or the name of some buildings/malls/offices, I somewhat agree that they had better use Bahasa. Should the government made a regulation about this? I don’t really agree with this though. To me this is not really crucial, compared to the government’s responsibility to provide job vacancies for the citizens so that they don’t need to go abroad to be migrant workers only to “let themselves killed by the irresponsible and cruel employers”; or to alleviate the poverty; or to decrease the prices of everything; or many other things: including paying attention to some insane mayors or regents of some cities/regencies in Indonesia that tend to make crazy regulations (such as checking female students’ virginity!!!)
In this globalization era, we all must realize that mastering one international language—in many cases English is considered to be the lingua franca. To master an international language, people must practice it again and again anywhere and anytime, including in public places, with whoever they speak. Will it decrease our love to our own national language? I don’t agree with it. Will it make Bahasa not be used as the national lingua franca among ethnic groups in Indonesia? I don’t agree with it either. The Javanese absolutely need Bahasa to communicate with the Sundanese or Balinese or any other ethnic groups in Indonesia when they don’t understand Boso Jowo (Javanese language). Even in some areas where there are many tribes like in Papua where each ethnic has respective local language and the people don’t understand each other, they need Bahasa to communicate with each other.
We will always need Bahasa to communicate with our fellow citizens from different ethnic groups who have different local language. Meanwhile, speaking English—or any other foreign language—will not easily reduce our love to our own national language.
PT56 21.49 190807

Sesama ...

Artikel yang berjudul “Sesama Indonesia” tulisan Adi Ekopriyono di Suara Merdeka hari Senin 20 Agustus 2007 mengingatkanku pada masa kecilku, terutama tatkala aku duduk di bangku SD. Pertama kali aku mengenal istilah BHINNEKA TUNGGAL IKA dan mengagumi negaraku sendiri sebagai satu negara yang tentram damai sentosa meskipun terdiri dari berbagai etnik grup dan agama. Bangsa Indonesia—menurut guru-guruku waktu SD—merupakan negara dimana para warga negaranya memiliki rasa toleransi yang sangat tinggi dengan sesamanya. Kekaguman seorang bocah kecil yang masih polos kepada negaranya sendiri.
Pada saat yang bersamaan, aku yang bersekolah di sebuah Madrasah Ibtidaiyah pun kenyang mendapatkan indoktrinasi tentang pentingnya fanatisme pada agama. Kita harus fanatik terhadap agama. Semua orang Muslim itu satu, laksana satu tubuh. Jika ada satu orang Islam yang sakit, orang Islam lain harus ikut serta membantu menyembuhkan. Hal ini bisa dianalogikan jika pipi kita ditampar orang dan merasa sakit, tidak hanya pipi saja yang merasakan sakit, namun seluruh tubuh akan merasakan hal yang sama. Jika satu orang Islam itu disakiti orang lain agama, kita tidak boleh diam saja, namun harus ikut merasakan. Dalam hal ini fanatisme agama akan mencuat.
Satu hal yang tidak terasa kontradiktif bagiku karena sempitnya lingkunganku. Semua temanku beragama sama, Islam. Hampir semua tetanggaku pun beragama sama. Praktis aku tidak sempat merasakan bagaimana kita harus mempraktekkan toleransi kepada orang yang beragama lain. Tanpa kusadari kata TOLERANSI hanyalah satu ide abstrak yang belum pernah kurasakan nyata.
Menginjak usia SMP—dengan membelot dari tradisi keluarga besarku—aku melanjutkan ke sebuah sekolah negeri yang tentu membuat lingkunganku lebih luas. Aku mulai mengenal teman beragama lain. Aku dipaksa keadaan untuk mempraktekkan kata indah yang kukenal sejak SD itu—toleransi. Di sisi lain fanatisme agamaku yang sangat kuat mendasar ternyata membuatku sulit mempraktekkan toleransi.  Indoktrinasi bahwa orang beragama lain itu kafir, calon penghuni neraka, menghalangiku berakrab ria dengan teman beragama lain. Aku juga merasa tidak nyaman. Kata ‘toleransi’ memang indah, namun ternyata sangat sulit mempraktekkannya. Bisa jadi di depan teman yang beragama lain itu aku bisa bersikap baik, namun di belakang, aku tak sanggup berhenti bergunjing, “Eh, calon penghuni neraka! Kasihan deh lu!”
Semakin besar aku semakin menyadari indoktrinasi kuat yang kuterima semasa duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah itu serasa menghantui kemana pun aku pergi, menghalangiku untuk berpikir, “sesama itu adalah sesama Indonesia…” bukan semata “sesama agama” saja.
Dengan bertambahnya usia, pula dengan bertambah luasnya pergaulanku, akhirnya aku berhasil mempraktekkan kata ‘toleransi’ ini dengan baik.
Semula kukira hal ini hanya terjadi kepada orang-orang dari agamaku saja, Islam. Namun tatkala tahun lalu aku mendapatkan sebuah kelas yang berisikan anak-anak yang masih duduk di bangku kelas 1 SD, berasal dari berbagai macam sekolah dengan latar belakang berbagai macam agama, aku menyadari fanatisme agama itu tidak hanya diajarkan di Madrasah Ibtidaiyah saja. Seorang siswa perempuan yang bertanya kepadaku, “Ms. Nana agamanya Islam atau Kristen atau Katolik?” membuatku terkesiap.
“Mengapa bertanya seperti itu?” tanyaku balik.
“Kata guruku di sekolah orang Islam hanya berteman dengan orang Islam, sedangkan yang beragama Kristen dan Katolik boleh berteman.”
Aku semakin shocked mendengarnya. (FYI, dia bersekolah di sebuah SD Kristen.)
“I am a Muslim, but I make friends with anybody from any religion. I love you. I love all of my students although not all of them are Muslim.” Kataku.
Mendengar perkataanku, anak perempuan itu nampak lega.
####
Hal inilah yang membuatku berdebat dengan seorang teman beragama Katolik yang ingin menyekolahkan anaknya ke sebuah sekolah Katolik dengan alasan untuk memberikan pendidikan agama yang kuat dan disiplin yang ketat kepada kedua anaknya. Dia bilang karena dia tidak disekolahkan di sebuah sekolah Katolik waktu masih kecil, dia merasa kurang memiliki bekal agama yang cukup. Sementara itu, aku hanya ingin memberinya wacana bahwa anaknya akan mengalami kesulitan untuk mempraktekkan toleransi kepada orang-orang yang beragama lain. Kenyataan bahwa dia tidak bersekolah di sekolah Katolik lah yang menurutku membuatnya mudah berteman dengan orang-orang beragama lain, mempraktekkan toleransi tanpa beban, tanpa fanatisme berlebihan terhadap agamanya.
Kita berdua memang berlatar belakang yang bertolak belakang. Aku menyekolahkan anakku di TK Islam. Namun lepas dari TK, dia kumasukkan ke sekolah negeri dengan pertimbangan dia harus berteman dengan teman-teman dari berbagai agama sejak kecil, mempraktekkan toleransi kepada orang yang beragama lain sejak kecil sebagai sesuatu yang nyata, dan bukan melulu satu ide abstrak semata.
Peran serta orang tua tentulah penting untuk membentuk kepribadian seorang anak. Dalam hal ini wawasan orang tua harus luas tentu saja, wawasan yang percaya bahwa ‘sesama’ tidak hanya berlaku kepada ‘sesama agama saja’, maupun ‘sesama etnik saja’, atau ‘sesama status sosial’, namun menghormati sesama manusia karena kemanusiaan mereka. Wawasan yang didukung dengan tidak bergunjing di belakang, maupun menjelek-jelekkan agama lain, hanya demi membenarkan agama sendiri.

N.B.: Bagi para pengunjung blogku, untuk membaca tulisanku mengenai FANATIK bisa mengunjungi alamat berikut ini:

http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/fanatik.html

Untuk tulisan lain, dengan tema yang mirip, yang kuberi judul UTOPIA, bisa dilihat di alamat berikut ini:

http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/utopia-1.html
http://afeministblog.blogspot.com/2007/06/utopia-2.html

Terima kasih.
PT56 21.55 200807

Blog Sebagai Jendela Dunia

“Tugas seorang jurnalis adalah untuk melakukan perubahan sosial dengan cara mendidik dan memberikan pencerahan pada masyarakat. Seorang jurnalis perlu memiliki passion, menulis berdasarkan suatu tujuan.” (Susan Faludi)


Kata “melakukan perubahan sosial” dalam kutipan di atas mengingatkanku akan satu seminar Bahasa yang kuikuti di tahun 1997, sepuluh tahun yang lalu. Topik utama seminar adalah “Teachers’ role as an agent of change.” Peran sebagai agen perubahan memang tidak secara eksklusif milik suatu profesi—misalnya guru—namun semua kita ini bisa memiliki peran tersebut. Michel Foucault menyebutkan bila di zaman sebelum revolusi industri, peran perubahan sosial melulu dimiliki oleh pihak sekolah, keluarga, dan tempat ibadah, di zaman sesudah revolusi industri, peran pembawa perubahan sosial bisa diambil alih oleh ‘anak’ industrialisasi, misal, media massa.
Di zaman globalisasi ini—di mana manusia memanfaatkan teknologi untuk saling berkomunikasi, tak pelak lagi internet pun memegang peran untuk melakukan perubahan sosial, termasuk semua orang yang terlibat di dalamnya, misal para blogger yang rajin menuangkan buah pikirnya ke dalam blog-blog mereka, untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka ke seluruh penjuru dunia. Tidak hanya para jurnalis yang perlu memiliki passion terhadap pekerjaannya, seperti yang diungkapkan oleh Susan Faludi. Para blogger yang berhasrat untuk ikut berperan serta dalam mengubah dunia pun perlu memiliki passion terhadap apa yang dilakukannya—menulis di blog.
Aku ingat tatkala pertama kali terjuan ke dunia blogging, untuk mencari audience yang lebih luas, tidak hanya para mahasiswa/mahasiswi maupun siswa/siswi yang biasa kutemui sehari-hari. Rasa prihatinku atas dunia jurnalisme yang masih sangat patriarki menggugahku untuk mulai menuangkan apa yang biasa kuucapkan secara lisan terhadap mahasiswa/mahasiswi/siswa/siswi. Untuk mengirimkan tulisanku ke surat kabar/majalah/tabloid memang bukan pilihan utama bagiku mengingat rumitnya prosedur yang harus dilalui oleh tulisanku. Belum lagi aku harus memilah dan memilih surat kabar/majalah/tabloid mana yang kira-kira sejalan dengan cara berpikirku sehingga kemungkinan tulisanku dimuat lebih tinggi. Urusan yang terlalu ribet inilah yang kemudian membuatku menjatuhkan pilihan untuk ikut meramaikan jagad perbloggingan di dunia internet yang tak lagi maya ini karena internet telah menjadi dunia nyata bagiku.
Setelah mendapatkan feedback dari para pengunjung blogku, bertukar pikiran dengan mereka melalui komentar-komentar yang kuterima, aku merasa bahwa pilihanku untuk blogging sangatlah tepat. Aku telah menemukan media tempatku berbagi keresahan—yang aku yakin juga menghinggapi para kaum feminis lain menghadapi kultur patriarki yang secara terus menerus mendapatkan dukungan lewat media massa yang patriarkis. Dengan caraku sendiri aku pun ikut ambil andil dalam menularkan tulisan maupun ide yang bebas gender. Selain itu, melalui blogging pun aku menemukan beberapa teman tempat berdiskusi bersama.
Dan aku pun mengikuti jejak Charlotte Perkins Gilman, seorang penulis feminis Amerika yang hidup tahun 1860-1935, “I write with a purpose.”
Para blogger pun tak kalah dengan para jurnalis, menulis dengan passion, menulis dengan tujuan: untuk membawa perubahan sosial. Bagi seorang feminis sepertiku, untuk lebih memasyarakatkan ide-ide kesetaraan yang mencerahkan. Sehingga rasanya tak terlalu berlebihan jika aku mengatakan “Blog adalah jendela dunia.”
PT56 22.55 200807

Sabtu, Agustus 18, 2007

The Chinese Lanterns ...

The Chinese lanterns were gone from some main streets in Semarang on Monday 13 August 2007! At first, those lanterns were put there to celebrate three events at the same time: SPA (Semarang Pesona Asia), the anniversary of Central Java province, and the independence day. They would hang to decorate the main streets until August 18. Unfortunately, the plan was canceled. Those lanterns were gone. Instead, people can see small red and white flags. Compare the pictures of Pemuda street below. The one with lanterns were taken on Saturday August 11 2007, the other ones were taken on August 16, 2007.



Why were they gone? You can refer to my previous post I entitled ‘Semarang. Djawahir Muhammad, as one representative of the expert in culture said the objection of people from some walks of life because those lanterns showed the dominance of one ethnic group in Semarang, Chinese. Semarang does not only consist of Chinese ethnic group. There are two other dominant ethnic groups, Javanese and Arabian. Djawahir was worried if the lanterns would hurt people from different ethnic groups. Djawahir also said that it would be better if the municipal government put Javanese lanterns rather than Chinese ones.
Professor Eko Budiharjo suggested that those lanterns could be used to decorate Chinatown, while some other areas could be decorated by using ethnic-free decoration.
Yesterday I interviewed some students of mine about this. Some said that they didn’t pay attention to it. They didn’t recognize there were new decorations in their city.  Some others said that they were questioning too, “Why this big event—SPA—event had closely related to Chinese culture?” Some others agreed with what Djawahir Muhammad said that it hurt people from other ethnic group, especially Arabian. Some other students said that the lanterns indeed made Semarang more beautiful and they didn’t mind it at all that it was Chinese culture. “Chinese culture is a part of Semarang culture. Why should I mind?” The fact that those lanterns were hanging only temporarily and not permanently made them think that it was really okay. “It will not out of the blue transform Semarang into one Chinese city anyway,” one student said.
Talking about the suggestion of Professor Eko, along Pahlawan street, there have been decoration that shows some puppets characters for many years, such as ‘Semar’, ‘Petruk’ until ‘gunungan’. This decoration can be said as the representative of the Javanese ethnic group in Semarang, and this decoration is permanent. Pahlawan street is also one main street that will lead people coming from the South area to Simpang Lima, the downtown of Semarang. Does this decoration ever make other ethnic groups jealous or create ethnic gap? I don’t think so.
If Chinese lanterns are only put in the Chinatown—far from the downtown, how can people see the multiculturalism in Semarang?
I assume that the Javanese as the majority don’t like the Chinese decoration because Chinese is just the minority? While other ethnic group (read it  Arabian) feels more marginalized because there is no decoration showing their ethnic yet in Semarang.
Well, indeed this is a very crucial issue. I personally mind the ethnic snob of the Javanese.
Next time if the government wants to decorate the main streets to welcome another big event, in order not to hurt one ethnic groups, the government had better put various lanterns, Chinese lanterns on one rope, Javanese lanterns on another rope, and Arabian lanterns on another one; if there is Arabian-style lantern. LOL. And they are all hung on the same street so that no ethnic groups will feel marginalized.
To end this article, I want to remember again what happened in 1998 where there were riots everywhere in Indonesia, Semarang was the only big city in Java island that was peaceful, we didn’t have any riots. Some students from some universities indeed did some demonstrations but no massive killing, no massive looting, no massive raping. I always want Semarang to be as peaceful as that without social gap due to various ethnic groups living in Semarang.
PT56 14.11 160807